• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BATASAN KONSUMEN PADA SEKTOR JASA

B. Pengertian Konsumen

B. Pengertian Konsumen

1. Menurut Ketentuan PBB mengenai Perlindungan Konsumen (United Nation

Guidelines for Consumer Protection as expanded in 1999)

United Nation Guidelines for Consumer Protection as expanded in 1999

atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Perlindungan Konsumen, sebagaimana diperluas pada tahun 1999 merupakan aturan yang berkaitan dengan konsumen, yang dikeluarkan pada tahun 1985. Pedoman yang mengatur mengenai prinsip-prinsip umum, pedoman, dan kerjasama internasional terkait perlindungan konsumen ini mengalami perluasan pengaturan dalam rangka memasukkan ketentuan konsumsi berkelanjutan yang merupakan bagian penting dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak konsumen.

Definisi konsumen tidak terdapat secara langsung dalam Pedoman PBB ini, tetapi dari beberapa ketentuan dalam pedoman ini dapat diambil kesimpulan bahwa PBB mengartikan konsumen sebagai pengguna barang dan/atau jasa. Hal ini dapat dilihat dalam Angka 11 dan 12 Huruf A Romawi Pedoman PBB tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang telah diubah pada tahun 1999 terkait Keselamatan Fisik, yaitu:

11. Governments should adopt or encourage the adoption of appropriate measures, including legal systems, safety regulations, national or international standards, voluntary standards and the maintenance of safety records to ensure that products are safe for either intended or normally foreseeable use.

12. Appropriate policies should ensure that goods produced by manufacturers are safe for either intended or normally foreseeable use. Those responsible for bringing goods to the market, in particular suppliers, exporters, importers, retailers and the like (hereinafter referred to as distributors), should ensure that while in their care these goods are not rendered unsafe through improper handling or storage and that while in their care they do not become hazardous through improper handling or storage. Consumers should be instructed in the proper use of goods and should be informed of the risks involved in intended or normally foreseeable use. Vital safety information should be conveyed to consumers by internationally understandable symbols wherever possible.

Artinya Pemerintah harus mengadopsi atau mendorong adopsi langkah yang tepat, termasuk hukum sistem, peraturan keselamatan, standar nasional atau internasional, standar sukarela dan pemeliharaan catatan keselamatan untuk memastikan bahwa produk tersebut aman untuk baik dimaksudkan atau biasanya “penggunaan” mendatang. Kemudian, kebijakan yang tepat harus memastikan bahwa barang yang diproduksi oleh produsen yang aman baik untuk dimaksudkan atau “penggunaan” normal mendatang. Mereka yang bertanggungjawab untuk membawa barang ke pasar, khususnya pemasok, eksportir, importir, pengecer dan sejenisnya, harus memastikan bahwa sementara dalam perawatan mereka barang-barang ini tidak diberikan tidak aman melalui penanganan yang tidak tepat atau penyimpanan dan sementara dalam perawatan mereka mereka tidak menjadi berbahaya melalui penanganan yang tidak tepat atau penyimpanan. Konsumen harus diinstruksikan dalam “penggunaan” yang tepat dari barang dan harus diberitahu tentang risiko terlibat dalam “penggunaan” yang dimaksudkan atau

biasanya mendatang. Informasi keselamatan penting harus disampaikan kepada konsumen dengan simbol dimengerti secara internasional sedapat mungkin.

Hal yang serupa juga dapat terlihat dalam Angka 45, 50, dan 54 Huruf G Romawi terkait promosi konsumsi berkelanjutan, yaitu:

45. Governments should encourage the design, development and use of products and services that are safe and energy and resource efficient, considering their full life-cycle impacts. Governments should encourage recycling programmes that encourage consumers to both recycle wastes and purchase recycled products.

50. Governments, in partnership with the private sector and other relevant organizations, should encourage the transformation of unsustainable consumption patterns through the development and use of new environmentally sound products and services and new technologies, including information and communication technologies, that can meet consumer needs while reducing pollution and depletion of natural resources.

54. Governments and international agencies should take the lead in introducing sustainable practices in their own operations, in particular through their procurement policies. Government procurement, as appropriate, should encourage development and use of environmentally sound products and services.

Artinya pemerintah harus mendorong desain, pengembangan dan “penggunaan” produk dan jasa yang aman dan energi dan sumber daya yang efisien, mengingat dampak siklus hidup penuh mereka. Pemerintah harus mendorong program daur ulang yang mendorong konsumen untuk kedua limbah daur ulang dan membeli produk daur ulang. Kemudian, pemerintah dalam kemitraan dengan sektor swasta dan organisasi terkait lainnya, harus mendorong transformasi pola konsumsi yang tidak berkelanjutan melalui pengembangan dan “penggunaan” produk ramah lingkungan dan layanan baru dan teknologi baru, termasuk informasi dan teknologi komunikasi, yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen sekaligus mengurangi polusi dan menipisnya sumber daya alam. Selain

itu, pemerintah dan badan-badan internasional harus memimpin dalam memperkenalkan berkelanjutan praktik dalam operasi mereka sendiri, khususnya melalui kebijakan pengadaan mereka. Pengadaan oleh pemerintah, sebagaimana mestinya, harus mendorong pengembangan dan “penggunaan” ramah lingkungan produk dan jasa.

Ketentuan dalam pedoman tersebut menunjukkan bahwa tidak ada batasan terhadap konsumen akhir maupun konsumen antara sebagaimana yang terdapat dalam pembagian konsumen yang ada, bahkan tidak ada pengertian konsumen dalam pedoman ini. Namun dari ketentuan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa konsumen yang dimaksud adalah pengguna barang dan/atau jasa. Hal ini karena beberapa rumusan yang terdapat dalam pedoman ini menempatkan kata “penggunaan barang dan/atau jasa” terkait perlindungan konsumen. Dengan demikian, batasan konsumen dalam pedoman ini yaitu sebagain pihak atau orang sebagai pengguna barang dan/atau jasa.

2. Menurut Peraturan Perundang-Undangan Negara lain

Negara-negara lain seperti Australia, Pakistan, Malaysia, dan Inggris memiliki peraturan terkait perlindungan konsumen. Australia memiliki undang-undang mengenai perlindungan konsumen pada tahun 1974, Pakistan pada tahun 1995, Malaysia pada tahun 1999, dan Inggris pada tahun 1987.

Menurut UU Australia

Trade Practices Act 1974 and the Australian Securities and Investments Commission Act 2001):

Acquiring goods as a consumer (1) a person is taken to have acquired particular goods as a consumer if, and only if the amount paid or payable for the goods, as worked out under subsections (4) to (9), did not exceed

$40,000 or if a greater amount is prescribed for the purposes of this paragraph—that greater amount or the goods were of a kind ordinarily acquired for personal, domestic or household use or consumption or the goods consisted of a vehicle or trailer acquired for use principally in the transport of goods on public roads. (2) However, subsection (1) does not apply if the person acquired the goods, or held himself or herself out as acquiring the goods for the purpose of re-supply or for the purpose of using them up or transforming them, in trade or commerce in the course of a process of production or manufacture or in the course of repairing or treating other goods or fixtures on land.

Artinya, konsumen sebagaimana disebutkan bahwa (1) seseorang diambil untuk memperoleh barang-barang tertentu sebagai konsumen jika, dan hanya jika jumlah yang dibayarkan atau terutang untuk barang, seperti bekerja di bawah subbagian (4) ke (9), tidak melebihi $40.000 atau jika jumlah yang lebih besar diresepkan untuk tujuan ayat bahwa jumlah yang lebih besar atau barang yang dari jenis yang biasanya diperoleh untuk pribadi, domestik atau rumah tangga penggunaan atau konsumsi atau barang terdiri dari kendaraan atau trailer yang diperoleh untuk digunakan terutama dalam angkutan barang di jalan umum. (2) Namun, “ayat (1) tidak berlaku jika orang tersebut memperoleh barang, atau dipegang dirinya sendiri sebagai memperoleh barang untuk tujuan pasokan kembali atau untuk tujuan menggunakan mereka atau mengubah mereka, dalam perdagangan atau komersial” dalam jalannya proses produksi atau pembuatan atau dalam proses perbaikan atau mengobati barang atau perlengkapan lain di darat.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Negara Pakistan 1995 (Islamabad Consumer’s Protection Act 1995): 32

Consumer means any person who buy goods for a consideration which has been paid or partly paid and partly promised to be paid or under any

32

Islamabad Consumer’s Protection Act 1995 dalam M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: 2012), hlm. 7.

system of deferred payment or hire purchase and includes any user of such goods but does not include a person who obtains such goods for re-sale or for any commercial purpose or hires any goods or services for a consideration which has been paid or promised or partly paid and partly promised or under any system of deferred payment and includes any beneficiary of such services.

Artinya konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen Negara Pakistan merupakan setiap orang yang membeli barang-barang untuk pertimbangan yang telah dibayar atau dibayar sebagian dan sebagian dijanjikan akan dibayar atau di bawah sistem pembayaran ditangguhkan atau menyewa pembelian dan mencakup setiap pengguna barang tersebut tetapi “tidak termasuk orang yang memperoleh barang-barang tersebut untuk dijual kembali atau untuk tujuan komersial atau menyewa barang atau jasa” untuk pertimbangan yang telah dibayar atau dijanjikan atau sebagian dibayar dan sebagian dijanjikan atau di bawah setiap sistem pembayaran ditangguhkan dan mencakup setiap penerima layanan tersebut.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Malaysia 599 Tahun

1999 (Laws of Malaysia Act 599 Consumer Protection Act 1999): 33

Artinya, konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen Malaysia merupakan seseorang yang memperoleh atau menggunakan barang atau jasa dari jenis yang biasanya diperoleh untuk pribadi, domestik atau rumah tangga tujuan,

Consumer means a person who acquires or uses goods or services of a kind ordinarily acquired for personal, domestic or household purpose, use or consumption and does not acquire or use the goods or services, or hold himself out as acquiring or using the goods or services, primarily for the purpose of resupplying them in trade, consuming them in the course of a manufacturing process or in the case of goods, repairing or treating, in trade, other goods or fixtures on land.

33

Laws of Malaysia Act 599 Consumer Protection Act 1999 [Reprint – 2001] dalam M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta,: 2012), hlm. 8.

penggunaan atau konsumsi dan “tidak memperoleh atau menggunakan barang atau jasa, atau menahan dirinya keluar sebagai memperoleh atau menggunakan barang atau jasa, terutama untuk tujuan menyediakannya kembali dalam perdagangan”, mengkonsumsinya dalam perjalanan proses manufaktur atau dalam kasus barang, memperbaiki atau merawat, dalam perdagangan, barang-barang lain atau perlengkapan di darat.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Inggris (Consumer

Protection Act 1987 in Part III about Misleading Price Indications in Pasal 20

about Offence of giving misleading indication):

Consumer is in relation to any goods, means any person who might wish to be supplied with the goods for his own private use or consumption, in relation to any services or facilities, means any person who might wish to be provided with the services or facilities otherwise than for the purposes of any business of his; and in relation to any accommodation, means any person who might wish to occupy the accommodation otherwise than for the purposes of any business of his.

Artinya, konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen Inggris erat kaitannya dengan barang-barang, yang berarti setiap orang yang mungkin ingin diberikan bersama barang untuk penggunaan pribadi sendiri atau konsumsi, dalam kaitannya dengan layanan atau fasilitas, berarti setiap orang yang mungkin ingin diberikan dengan layanan atau fasilitas “selain untuk tujuan bisnis apapun darinya”, dan dalam kaitannya dengan akomodasi apapun, berarti setiap orang yang mungkin ingin menempati akomodasi selain untuk keperluan bisnisnya.

Konsumen yang dimaksud dalam empat undang-undang ini yaitu sebagai orang yang mengkomersialkan barang dan/atau jasa yang diperolehnya atau dengan kata lain terlibat memperjualbelikan barang dan/atau jasa yang

diperolehnya. Berarti batasan konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir. Ini dibuktikan dengan adanya redaksi kata “tidak berlaku dalam perdagangan atau komersial” pada UU Australia, “tidak untuk dijual kembali atau untuk tujuan komersial” pada UU Pakistan, “tidak dalam perdagangan” pada UU Malaysia, dan “selain untuk tujuan bisnis” pada UU Inggris. Artinya secara keseluruhan menghendaki konsumen bukanlah orang yang mengkomersialkan barang dan/atau jasa yang diperolehnya.

3. Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Konsumen dalam Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan.34

a. Setiap orang

Unsur-unsur konsumen dalam undang-undang ini, yaitu:

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti orang individual yang

lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum

(rechtpersoon).

b. Pemakai

Kata pemakai dalam Penjelasan Pasal 1 Angka (2) UU Perlindungan Konsumen menekankan pada konsumen adalah konsumen akhir. Pemakai yang dimaksud tidak selalu harus memberikan prestasinya

34

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 Angka 2.

dengan cara membayar uang untuk memperolah barang dan/atau jasa itu. Jadi yang paling penting terjadinya transaksi konsumen berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam

menggunakannya.35

c. Barang dan/atau jasa

Pengertian barang menurut Pasal 1 Angka 4 UU Perlindungan

Konsumen:36

Pengertian jasa dalam UU Perlindungan Konsumen adalah

“setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen”.

37

d. Yang tersedia dalam masyarakat

“setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasar. Hal ini juga sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 9 Ayat 1 Huruf e UU Perlindungan Konsumen. Namun dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan

35

Shidarta, Op.Cit., hlm. 7. 36

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 Angka 4.

37

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 Angka 5.

pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan

transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi.38

e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup

lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekadar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya).

f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Barang dan/atau jasa yang tidak untuk diperdagangkan berarti menunjukkan konsumen sebagai pemakai barang dan/atau jasa akhir bukan pemakai antara.

Unsur-unsur konsumen tersebut menunjukkan bahwa tidak selalu memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku

usaha tidak harus kontraktual (the privity of contract).39

38 Shidarta, Op.Cit., hlm. 8. 39 Ibid., hlm. 6. Hubungan konsumen dengan pelaku usaha tidak terbatas hanya berdasarkan hubungan transaksi jual beli saja, melainkan lebih dari pada hal tersebut dapat disebut sebagai konsumen. Karena seseorang tersebut tidak hanya sekedar sebagai pembeli, walaupun tidak

sebagai pembeli atau tidak ada hubungan kontraktual dengan pelaku usaha dari kontrak tersebut, seseorang tersebut sebagai konsumen dapat melakukan klaim atas kerugian yang diderita dari pemakaian produk tersebut, maka jelaslah bahwa konsumen tidak sebatas pada transaksi jual beli saja, akan tetapi setiap orang yang mengkonsumsi atau memakai suatu produk.

Senada dengan batasan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen, pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius dan para ahli hukum juga menjelaskan bahwa konsumen sebagai pemakai produk terakhir dari benda dan

jasa.40 Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan

pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti

sempit hanya mengacu pada konsumen pada pemakai terakhir.41

4. Menurut UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Menurutnya, konsumen lebih tepatnya dikatakan konsumen akhir.

Pasal 1 Angka 15 UU OJK menjelaskan bahwa konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal

40

E.H. Hondius, “Konsumentenrecht”, dalam Shidarta, Ibid., hlm. 2. 41

UUPK menggunakan tiga istilah, yaitu pemakai,, pengguna dan pemanfaat barang dan/atau jasa, namun tidak memberikan penjelasan siapa yang pemakai, pengguna dan pemanfaat, sehingga membingungkan pemakaiannya. Pada waktu undang-undang ini diproses, tim ahli dari DPR mengusulkan kata “pemakai” digunakan untuk pemakaian barang-barang seperti sandang, pangan dan papan yang tidak mengandung listrik atau elektronik. Kata “pengguna” untuk yang pemakai barang-barang listrik dan elektronik, seperti computer, televise, radio, sedangkan “pemanfaat” diartikan sebagai mereka yang memanfaatkan jasa, seperti jasa angkutan, jasa

kedokteran, advokat dan lainnya, dalam

di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana

Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.42

a. Pihak-pihak

Unsur-unsur konsumen dalam undang-undang ini, yaitu:

Pihak-pihak tersebut, diantaranya nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian dan peserta pada Dana Pensiun.

b. Yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang

tersedia

Konsumen yang menempatkan dananya sering disebut sebagai kreditur, tetapi tidak jarang juga disebut sebagai investor atau pemodal. Memanfaatkan biasanya ditujukan untuk pemanfaatan produk konsumen berbentuk jasa (misalnya pemanfaatan jasa asuransi, jasa perbankan, jasa transportasi, jasa advokat, jasa

kesehatan, dan lain-lain).43

42

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab I, Pasal 1 Angka 15.

43

Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 14.

Memanfaatkan dalam ketentuan undang-undang ini bersesuaian dengan apa yang berlaku dalam doktrin. Dengan melihat kata penghubung “dan/atau”, menunjukkan adanya pihak-pihak yang dapat menduduki posisi bukan hanya sebagai pihak yang menempatkan dananya tetapi juga pihak yang memanfaatkan pelayanan yang tersedia, misalnya nasabah pada Perbankan dan pemegang polis pada Perasuransian.

c. Lembaga Jasa Keuangan

Pengertian Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 Angka 4 UU OJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 Angka 10 UU OJK adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan

peraturan perundang-undangan.44

Pihak-pihak atau orang-orang yang memperoleh barang dan/atau jasa dalam ketentuan undang-undang ini akan menjual kembali barang dan/atau jasa yang telah diperolehnya. Dengan demikian, batasan konsumen dalam undang-undang ini bukan hanya sebagai konsumen akhir, tetapi juga sebagai konsumen antara,

44

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab XI, Pasal 1 Angka 4.

karena konsumen dapat diartikan sebagai pihak yang memperjualbelikan atau mengkomersialkan barang dan/atau jasa.

Dokumen terkait