• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL PENELITIAN

C. Gambaran Umum Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas

4. Kegiatan Pencatatan dan Pelaporan

Kegiatan pencatatan dalam penemuan kasus pneumonia balita harus dilakukan secara rutin, untuk memantau jumlah kasus pneumonia balita di Puskesmas dan melakukan kunjungan rumah penderita pneumonia. Kegiatan pencatatan dan pelaporan sebaiknya dilakukan oleh penanggung jawab program tersebut, hal ini dilakukan untuk mengetahui pencapaian target program yang telah dibuat. Dalam penelitian ini, dilakukan wawancara mendalam dan observasi media pencatatan dan pelaporan (lihat gambar 5.2 dan gambar 5.3) untuk mendukung informasi yang didapatkan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari kepala Puskesmas dan penanggung jawab P2 ISPA di Puskesmas yang berhasil mencapai

target nasional, diketahui bahwa kegiatan pencatatan dan pelaporan dilakukan oleh penanggung jawab P2 ISPA. Pencatatan dilakukan setelah jam pelayanan secara rutin, hal ini dapat diketahui dari register P2 ISPA pada saat observasi. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan kepala Puskesmas dan penangung jawab P2 ISPA yang mendukung informasi tersebut.

Informan 1

“iya yang melakukannya penanggung jawab program, kan nanti ada di LB3, dicatat setelah pelayanan”

Informan 2

“ iya petugasnya”

“ dilaksanakannya pastinya sesudah dong, sesudah selesai pasien

pelayanan lalu pencatatan register, iya setelah pelayanan. Saya berharap setiap hari harus sudah dilakukan, ada tidaknya form MTBS pneumonia harus di lakukan di register anak selesai hari itu juga di bagian umum juga gitu, Cuma kadang terkendala kalau petugas anaknya ada rapat diganti sama orang lain, kadang-kadang itu yang sedikit hambatan”

Informan 5

“disini kan pencatatanya ada pneumonia ada form sendiri,misalnya kita periksa terus kalo kita curiga pneumonia ya

sudah kita masukin aja ada registernya” “iya setiap hari”

Informan 6

“setiap hari, di register”

“register ISPA ada yang bukan ISPA ada harus dicatat kalau

yang khusus pneumonia ada lagi dibukunya”

Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional tidak hanya mencatat dari kasus yang datang ke Puskesmas, tetapi juga mencatat

dari laporan klinik swasta yang ada di wilayah kerja Puskesmas tersebut. Tatalaksana pneumonia balita di Puskesmas menggunakan formulir MTBS, sedangkan di klinik swasta tidak menggunakan formulir tersebut. Berikut ini adalah hasil wawancara yang mendukung informasi tersebut.

Informan 1

“ iya ada laporan kasus , dari klinik swastapencatatannya dilakukan sama penangung jawab P2 ISPA tapi kadang mereka saling bantu

Informan 2

“sebetulnya harus ada tapi biasanya temuan di klinik swasta di

laporin jarang paling ada ISPA pneumonia ringan, tapi itupun

mereka ngerjainnya tanpa MTBS”

Informan 5

“dari klinik swasta itu tiap bulannya itu dia yang kasus pneumonia sejauh ini kita paling dari bidan-bidan prakter, mantri kaya perawat balai pengobatan ya ada sih”

Informan 6

“ada kalau lagi ada, pasti kalau swasta harus kaya jemput bola

aja, kalau yang orangnya ini apa”

Kegiatan pelaporan kasus pneumonia balita di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional yaitu Puskesmas Baktijaya dan Serpong 1, dilakukan setiap bulan, jika laporannya sudah lengkap. Pelaporan kasus tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, adapun formulir pelaporannya sudah disediakan. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan informan yang mendukung informasi tersebut.

Informan 1

“kalau laporan ke dinkes setiap bulan"

Informan 2

“saya berharap kalau laporan bulanan sudah lengkap ya dilaporkan ke Dinkes”

Informan 5

“iya nanti data kasus tersebut, baru dilaporkan ke dinke, sesuai

dengan ketentuan Dinkes”

Informan 6

“itu mah pasti neng, kan dinkes juga puya target penemuan kasus, jadi Puskesmas harus lapor setiap bulannya”

Kegiatan pencatatan dan pelaporan di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia balita, menurut informasi yang didapat, diketahui bahwa di wilayah kerjanya tidak terdapat kasus pneumonia balita sehingga targetnya tidak tercapai. Dengan demikian, petugas hanya melakukan kegiatan pencatatan penyakit ISPA saja, adapun kegiatan pencatatan dilakukan di Puskesmas oleh penanggung jawab programnya tetapi ada juga dokter yang melakukannya. Adapun informasi tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara berikut ini:

Informan 3

“yang biasanya dokternya”

“iya, tapi ada juga tuh petugas P2 ISPA nya bantu” “em rutin-rutin, biasanya setelah jam pelayanan”

Informan 4

“ada di laporan W2. Kita setiap hari senin, yang mencatat laporannya penanggung jawab program”

Informan 7

“setiap bulan dari tanggal 25 ketemu tanggal 25 itu kita salin”

Informan 8

“habis pelayanan paling kita ngerekap, ada di register ISPA nya” “Ada paling itu juga ISPA dewasa, ISPA yang sudah dewasa

yang ringan juga. Paling bukan pneumonia. kalau disini kan pneumonia jarang, bukan jarang bahkan enggak ada pneumonia

kan”

Tidak berbeda jauh dengan Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, Puskesmas yang tidak mencapai target nasional juga memperoleh laporan dari klinik swasta mengenai kasus pneumonia. Pelaporan dari klinik swasta sudah ditentukan oleh kebijakan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, bahwa klinik swasta yang di Wilayah kerja Puskesmas harus melaporkan kunjungan pasiennya ke Puskesmas tersebut. Sejauh ini, kegiatan tersebut belum maksimal, sehingga belum ada kasus pneumonia yang dilaporkan oleh klinik swasta ke Puskesmas Pisangan dan Kranggan. Berikut ini adalah hasil wawancara yang mendukung informasi tersebut.

Informan 3

“kebanyakan kita sih yang jemput bola ya. iya kadang klinik swasta ini langsung ke dinas enggak melalui kita dipikirnya kita

minta ke dinas padahal kita sendiri harus mencari gitu”

Informan 4

“hmmm kalo klinik swasta paling dari BPS. Tapi disini mah

enggak maksimal ya”

Informan 7

“iya nerima laporan dari klinikswasta, tapi paling ISPA dewas, jarang yang pneumonia, malah enggak ada”

Informan 8

“dilaksanakan juga”

Kegiatan pelaporan kasus pneumonia balita di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, dilakukan setiap bulan. Prosedurnya dimulai dari register anak lalu dipindahkan ke register ISPA baru kemudian dilaporkan ke Dinkes. Kasus pneumonia di Puskesmas ini tidak ditemukan, sehingga hanya kasus ISPA saja yang dilaporkan ke Dinkes setiap bulannya, Berikut ini adalah hasil wawancara dengan informan yang mendukung informasi tersebut

Informan 3

“pelaporan ke Dinkes pasti ada, karena itu sudah tugas Puskesmas”

Informan 4

“ya.. kita punya register tersendiri dan itu dilakukan setiap hari

ispa, diare, dan itu dilakukan setiap hari terus petugasnya melaporkan ke dinas kesehtan seminggu sekali setiap hari senin.

Via email”

Informan 7

“ada, di register anak itu kita pindahin lagi ke register ISPA baru

kita laporin ke dinas”

Informan 8

“iya disini setiap bulan”

Menurut informan ahli kegiatan pencatatan dan pelaporan di Puskesmas seharusnya tidak dilakukan berkali-kali. Sehingga beban kerja penanggung jawab program tidak banyak, selain itu, untuk pelaporan dari klinik swasta hanya bersifat sukarela saja. Adapun informasi dari informan dapat dilihat dari hasil wawancara berikut ini:

Informan 11

“enggak, sehingga kalau dia enggak lapor enggak bisa dipaksa -paksa yang bisa adalah meminta kesukarelaan”

“nah itu yang dibuat oleh aturan teman-teman di ISPA, nah kemaren kita menyelasiakan pencatatan dan pelaporan diPuskesmas yang peacatatan seperti itu aku minta hilang karena di catat di bagian umum dari situ datanya diambil boleh nah

jangan buat pencatatan lagi nanti tugasnya banyak”

Berdasarkan informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pencatatan dan pelaporan di lakukan di Puskesmas. Akan tetapi untuk Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, berdasarkan pernyataan informan 8 kasus pneumonia tidak ditemukan di Puskesmas tersebut dan tidak ada pelaporan dari klinik swasta, sehingga kasus pneumonia balita di Puskesmas tersebut tidak ada. Berbeda dengan Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, berdasarkan pernyataan informan 5 dan 6 mengakui bahwa, Puskesmas Baktijaya dan Serpong 1 menerima laporan dari klinik swasta jika ada kasus pneumonia balita. Sedangkan menurut Informan ahli kegiatan pencatatan di puskesmas seharusnya tidak dilakukan berkali-kali dan pelaporan dari klinik swasta bersifat sukarela.

5. Faktor Petugas Kesehatan

Petugas kesehatan dalam penemuan kasus pneumonia balita berperan penting, karena sebagian besar kegiatan tersebut dilaksanakan oleh petugas kesehatan di Puskesmas. Adapun faktor petugas kesehatan yang diteliti yaitu jenis kelamin petugas, pelatihan petugas, pendidikan petugas, lama kerja dan pengetahuan petugas. Dalam

penelitian ini, untuk mengetahui informasi tersebut, maka peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam dan kuesioner. Berikut ini adalah penjelasan mengenai faktor petugas kesehatan.

1. Jenis Kelamin Petugas

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari tabel 5.1, jenis kelamin petugas penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS semua petugas adalah perempuan. Sedangkan untuk kepala Puskesmasnya yaitu 2 laki-laki dan 2 perempuan. Sehingga tidak ditemukan adanya perbedaan terkait faktor jenis kelamin petugas dalam penemuan kasus pneumonia, baik Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional maupun Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat yang disampaikan informan ahli bahwa, antara perempuan dan laki-laki dalam melaksanakan tugas ada perbedaannya. Seorang laki-laki pada dasarnya mempunyai sifat yang tegas dalam menjalakan suatu program program. Sedangkan seorang perempuan memiliki sifat atau naluri keibuan yang sangat dibutuhkan bagi petugas kesehatan terutama petugas MTBS pada saat memeriksa balita. Berikut ini adalah pernyataan informan ahli mengenai hal tersebut:

Informan 11

“saya tidak tahu persis secara teori tapi sepengalaman saya kalau laki-laki lebih intens dan tegas gitu, tapi kalau merawat balita

2. Pelatihan Petugas

Pada dasarnya pelatihan petugas Puskesmas dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman, sehinga petugas mempunyai keterampilan yang baik dalam pelayanan kesehatan. Selain itu, jika petugas tidak terlatih, akan kesulitan pada saat tatalaksana pneumonia terutama untuk mengetahui adanya TTDK (Tarikan Dinding Dada bagian bawah Ke dalam). Sedangkan petugas yang sudah dilatih akan terbiasa dalam menangani kasus pneumonia. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui apakah penangung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS sudah terlatih atau tidak, maka peneliti melakukan wawancara mendalam, dengan menanyakan apakah petugas sudah mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita atau MTBS.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan diketahui bahwa, salah satu petugas di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia sudah pernah mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita. Menurut informan 6, petugas sudah mengikuti pelatihan beberapa kali yang diselanggarakan dinas kesehatan. Oleh karena itu, penemuan kasus di Puskesmas tersebut dapat mencapai target cakupan yang sudah ditetapkan secara nasional. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan beberapa informan, yang mendukung informasi tersebut.

Informan 1

“kalau petugas yang di MTBS ya dilatih jadi enggak semua, ini

baru bu leny itu aja sih”

“dinas provinsi kalau disini khusus bu Leny saja kan enggak

semua, ya sudah siapa yang dilatih ngajarin temannya, kalau yang

dilatih bu Leny setahu saya harusnya juga melatih staf yang lain”

Informan 2

“seharusnya sudah”

“ setahu saya dia senior dan harusnya sudah”

Informan 5

“kalau saya belum, nah itu dokter lia itu dulunya pernah megang

program ISPA diare di situ gintung untuk pelatihan khususnya

sepertinya sudah ada Bu euis dulu dia itu sudah pernah dilatih” “dari dinas , namun masih kabupaten soalnya posisinya itu bu euis dulunya yang megang program ISPA diare, yang baru td itu bu euis kayaknya dia itu sudah pernah mengikuti pelatihan kalau yang dokter lia itu kayaknya belum tapi dia sudah megang ISPA

diare itu”

Informan 6

“sering”

“ya itu itu aja kayak gitu, penatalaksanaan ISPA dan Diare itu aja

paling ya intinya ya apa namanya cara pemeriksaanya gimana itu

itu aja sih saya juga bosen itu itu aja”

Berbeda dengan Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia, petugas P2 ISPA dan petugas MTBS di Puskesmas tersebut, salah satunya ada petugas yang sudah mendapatkan pelatihan. Sedangkan, Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, sebagian besar petugasnya belum mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita. Hanya terdapat satu petugas MTBS yaitu dokter yang pernah mendapatkan pelatihan di Puskesmas sebelumnya, dan baru 5 bulan bekerja di Puskesmas

Pisangan. Adapun informasi mengenai hal tersebut, dapat terlihat dari hasil wawancara berikut:

Informan 3

“kalau pelatihan belum, pelatihan kan enggak gampang ya nanti kalau dinas mengadakan pelatihan lagi gantian”

Informan 4

“hemm saya kira di sini petugasnya banyak yang belum di latih MTBS ya”

“belum, disini belum ada yang terlatih. Tapi mereka udah punya modul-modulnya .kan klasifikasinya sudah ada”

Informan 7

“belum ada”

“belum ada untuk P2 ISPA, kita belum ada”

Informan 8

“Blm pernah, belum ada”

“ya enggak tahu, mungkin dari Dinkesnya”

Informan 9

“pernah dulu perwakilan dari Puskesmas Jombang” “itu kan pedoman dari Kemenkes”

“pedoman MTBS, semuanya ada ya dari Kemenkes aja sih”

Informan 10

“belum ada sejauh ini, belum ada jadi hanya buku pedoman MTBS”

“belum”

“dari dinasnya kayaknya belum mengadakan pelatihan itu”

Menurut informan ahli, seharusnya petugas Puskesmas sudah mendapatkan pelatihan atau setidaknya memahami sebatas mana penemuan kasus pneumonia balita, yaitu dengan melakukan pelatihan kecil di Puskesmas pada saat loka karya mini. Sehingga tidak diperlu

dana yang besar untuk mengadakan pelatihan tersebut. Berikut pernyataan mengenai pentingnya pelatihan petugas.

Informan 11

iya, kader saja dilatih, petugas juga seharusnya tahu sebatas

mana penemuan kasus pneumonia balita gitu”

emang perlu anggaran kalau pelatihan gitu, karena gini pengalaman saya menjelaskan tentang apa penemuan pneumonia dibahas di loka karya jadi petugas ISPA menjelaskan bagaimana pneumonia balita, loka karya dilaksanakan setiap bulan sebetulnya pelatihan itu cukup begitu gitu enggak perlu ada hari pelatihan

khusus”

Berdasarkan informasi-informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa, banyak petugas yang belum mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita bahkan penanggung jawab program P2 ISPA dan petugas MTBS belum pernah dilatih terutama di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Sama halnya dengan kepala Puskesmas, semua kepala Puskesmas belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita. Menurut informan ahli pelatihan petugas dapat dilakukan pada saat loka karya mini dengan berbagi pengalaman dari petugas yang sudah pernah mendapatkan pelatihan.

3. Pendidikan Petugas

Berdasarkan tabel 5.1, diketahui bahwa pendidikan penanggung jawab P2 ISPA dan MTBS semuanya adalah D3 Kebidanan dan terdapat satu dokter umum sebagai petugas MTBS. Sedangkan, pendidikan kepala Puskesmas sebagian besar adalah S1 kedokteran

gigi dan hanya satu saja, yang berpendidikan SI Kesehatan Masyarakat.

Berdasarkan pengamatan peneliti, pada saat wawancara dengan informan. Diketahui bahwa, kepala Puskesmas dengan latar belakang pendidikan SKM lebih memahami penyakit pneumonia secara menyuluruh dan lebih terbuka dalam menyampaikan pendapat pada saat wawancara, dibandingkan dengan kepala Puskesmas dengan latar belakang pendidikan bukan SKM. Menurut informan ahli, seharusnya petugas Puskesmas mempunyai latar belakang pendidikan kesehatan seperti D3 Kebidanan, Sedangkan, kepala Puskesmas seharusnya SI Kesehatan Masyarakat. Selain itu, pada saat ini orang bekerja bukan karena pendidikan terakhirnya tetapi karena golongan atau pangkatnya. penjelasan tersebut terlihat dalam pernyataan informan ahli berikut ini:

Informan 11

“sekarang ini kita ruwet itu problematika negara, saya enggak tahu kalian nanti kerjanya dimana yang jelas kejadian dilapangan itu kita sering kali memberi tugas kepada orang yang sebetulnya bukan profesinya gitu yang paling banyak di jawa barat termasuk di banten itu petugas kesling jadi sopir ambulan, apapun sebabnya itu terjadi gitu, terus orang yang dilatih ISPA enggak tahu di pindah kemana itu menjadi persoalan gitu, apa lagi sekarang ketika menduduki jabatan apa jabatan di Puskesmas jadi eselon, kepala Puskesmas eselon berapa? dengan kepala stafnya satu itu dan itu jabatan daerah itu enggak lihat kamu siapa gitu pokoknya kamu golongannya sekian pangkat kamu sekian memenuhi tingkat jabatan seperti ini kamu saya pindahkan kemana gitu, makanya perawat banyak yang jadi staf, termasuk dari tempat lain masuk ke Puskesmas tiba-tiba jadi kepala Puskesmas karena golongannya”

Pengalaman seorang petugas Puskesmas utuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dinyatakan dalam lamanya melaksanakan pekerjaan tersebut. Dalam penelitian ini untuk mengetahui lama kerjanya petugas disuatu Puskesmas, maka peneliti melakukan wawancara mendalam. Berdasarkan tabel 5.2, lama kerja kepala Puskesmas di Puskesmas Bakti Jaya, Serpong 1 dan Keranggan baru berjalan 5 bulan, karena ada pergantian kepala Puskesmas dan petugas lainnya yang dilakukan oleh dinas kesehatan Kota Tangerang Selatan pada Februari 2015. Akan tetapi, sebelumnya kepala Puskesmas sudah bekerja lama menjadi kepala Puskesmas di Puskesmas sebelumnya.

Selain itu, berdasarkan tabel 5.2, diketahui bahwa, lama kerja penangung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, mempunyai waktu lama kerja yang lama, seperti informan 6 sudah 28 tahun bekerja sebagai penanggung jawab P2 ISPA. Sedangkan, lama kerja petugas Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional berkisar antara 1-2 tahun di Puskesmas tersebut. Menurut informan ahli lama kerja petugas mempengaruhi pencapaian program di Puskesmas. Adapun pernyataan informan ahli, tergambar dalam hasil wawancara berikut ini :

Informan 11

“ya pengalaman saya kerja orang bekerja itu dikasih sama butuh

waktu minimal enam bulan, kalau dia kerja kurang dari enam bulan itu tidak bagus kecuali beberapa orang yang mempunyai kemampuan berbeda rata-rata enam bulan tapi kalau dia sudah bekerja empat tahun perlu ada perubahan kalau enggak motivasi sama inovasinya hilang apalagi akalu sudah dua periode jabatan

kecuali beberapa orang ya kita membangun motivasinya tetap ada"

5. Pengetahuan Petugas

Pengetahuan petugas dalam penemuan kasus pneumonia balita sangat dibutuhkan terutama pada saat pemeriksaan pasien atau deteksi dini di masyarakat. pengetahuan petugas mengenai pneumonia meliputi, klasifikasi pneumonia, gejala dan tanda-tanda penderita pneumonia serta tatalaksana kasus pneumonia balita. Dalam penelitian ini, untuk menilai pengetahuan petugas, maka peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner pengetahuan yang berpedoman pada peanggulangan P2 ISPA. Adapun hasil pengetahun petugas tersebut, dapat dilihat dari tabel berikut ini.

Tabel 5.3

Pengetahuan Petugas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015

Puskesmas Pengetahuan Petugas

P2 ISPA MTBS P2 ISPA dan

MTBS

Pisangan Buruk Baik

Keranggan Buruk Buruk

Bakti Jaya Baik

Serpong 1 Baik

Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa pengetahuan petugas Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional tergolong buruk. Berdasarkan pengamatan pada saat wawancara, penangung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS, kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang peneliti ajukan. Hal ini terjadi karena di

puskesma tersebut, petugasnya belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita. Menurut informan ahli pengetahuan yang dimilki petugas, dalam penemuan kasus pneumonia balita sangat penting, terutama untuk membangun motivasi petugas. Adapun pernyatan informan yang mendukung informasi tersebut, dapat terlihat dari hasil wawancara berikut ini.

Infroman 11

“iya pengetahuan akan membangun motivasi”

Dokumen terkait