• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selama berada di dalam Ian-jo, kehidupan jugun ianfu sepenuhnya menjadi milik Jepang. Mereka diatur sedemikian rupa. Eksploitasi merupakan kata yang tepat dalam menggambarkan keadaan mereka di dalam Ian-jo. Mereka dipaksa secara fisik dan psikologis. Bagaimana tidak, sebagai seorang perempuan yang mempunyai sifat lemah lembut harus berhadapan dengan laki-laki yang lebih bersifat kasar.

Dalam hal ini sebagai tentara Jepang yang dikenal kejam dan bengis selama perang. Ditambah dengan keterpaksaan untuk melayaninya. Tentunya ini sangat berdampak terhadap psikologis perempuan yang menjadi jugun ianfu.

Tubuh perempuan jugun ianfu menjadi objek bagi tentara Jepang, diperlakukan layaknya mainan. Tentara Jepang tidak memikirkan bagaimana kondisi fisik dan psikologis mereka. Hal ini menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan yang seharusnya diperlakukan secara lebih lembut dan manusiawi. Seharusnya perempuan yang menjadi jugun ianfu ini memiliki kedudukan yang sederajat dengan kaum laki-laki. Sehingga kaum perempuan tidak perlu mengalami ketidakadilan gender.

Selain itu, jugun ianfu dalam masyarakat dipandang sebagai pelacur.

Karena menjadi ransum Jepang pada masa pendudukannya di Indonesia.

Walaupun pada kenyataanya para perempuan yang menjadi jugun ianfu ini dipaksa untuk melayani kebutuhan seksual tentara dan sipil Jepang. Oleh karena itu, harus dibedakan antara konsep pelacuran dengan jugun ianfu. Menurut Encyclopaedia Britannica (1973-1974), pelacuran dapat didefinisikan sebagai :

”praktek hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja (promiskuitas), untuk imbalan berupa upah. Dengan demikian terdapat tiga unsur yang penting dalam pelacuran, yaitu promiskuitas, pembayaran dan ketidakacuhan emosional. Pelacuran dipegang oleh seorang mucikari yang bertindak sebagai pemilik perempuan yang menjadi pelacur. Ketika para laki-laki ingin menggunakan jasa pelayanan seksual dari perempuan, pembayarannya harus melalui mucikari. Maka terdapat tawar menawar harga atau pun sudah disesuaikan tarifnya.

Sedangkan jugun ianfu kalau diartikan secara harfiah menjadi ju = ikut, gun berarti = militer/balatentara, sedangkan ian = penghibur, dan fu = perempuan, dengan demikian arti keseluruhannya ”perempuan penghibur yang ikut militer”.

Dapat dikatakan bahwa istilah jugun ianfu merupakan istilah halus untuk perempuan-perempuan yang dipaksa bekerja sebagai budak seks yang ditempatkan di barak-barak militer atau bangunan yang dibangun di sekitar markas militer Jepang selama perang Asia Pasifik.

Sistem jugun ianfu dalam prosesnya memiliki persamaan dengan pelacuran, yaitu adanya promiskuitas, pembayaran dan ketidakacuhan emosional.

Tetapi yang ingin digaris bawahi adalah persamaan secara umum, hubungan antara sistem jugun ianfu dengan pelacuran. Jadi yang ingin dijelaskan disini bukan perempuan sebagai subjeknya tetapi sebagai objek. Pertama, promiskuitas;

dari konsep ini terdapat pengertian bahwa tidak adanya suatu ikatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan (jugun ianfu). Jugun ianfu dan pelacur tidak memiliki ikatan yang resmi, sehingga yang dicari hanya kepuasan semata. Kedua, pembayaran; dalam hal ini terdapat peran dari mucikari sebagai penyedia tempat, dalam denah di atas terdapat penjelasan mengenai disediakannya loket karcis untuk memilih perempuan bagi para tentara dan sipil Jepang. Pelacuran juga memiliki kesamaan, yaitu perempuan dipilih oleh laki-laki kemudian melakukan transaksi dengan mucikarinya. Ketiga, ketidakacuhan emosional; antara pelacuran dan jugun ianfu tidak mengenal adanya perasaan. Tujuan yang ingin dicapai adalah kepuasan semata, dalam hal ini laki-laki. Perempuan hanya dijadikan sebagai objek oleh laki-laki. Perbedaan antara jugun ianfu dengan pelacuran adalah tujuannya. Karena jugun ianfu dibuat untuk mengurangi resiko penyebaran penyakit kelamin para tentara Jepang dan mengurangi perkosaan terhadap perempuan pribumi.

Berbeda dengan pelacuran, mereka melakukannya hanya sebatas mencari uang dengan menjual tubuh kepada laki-laki. Hal ini yang menyebabkan adanya pandangan yang salah dari masyarakat mengenai jugun ianfu disamakan pelacuran. Masyarakat pada saat itu hanya melihat bahwa jugun ianfu sedang mencari perlindungan dari Jepang. Namun dimasa sekarang masyarakat sudah

bisa menerima kehadiran jugun ianfu, yang pada masa lalu mengalami pelecehan seksual.

Dari penjelasan di atas, sistem jugun ianfu dan pelacuran menganggap perempuan sebagai objek bagi laki-laki. Kemudian terdapat penjelasan antara jugun ianfu dan pelacuran yang dari sudut pandang subjeknya. Pertama, jugun ianfu merupakan perempuan yang dipaksa untuk melayani kebutuhan biologis tentara dan sipil Jepang. Sehingga dalam pelacuran juga mengenal mucikari yang menjadikan perempuan sebagai alat bagi mereka untuk menghasilkan uang. jugun ianfu dan pelacur pada dasarnya subjek yang menjadi objek seks bagi laki-laki.

Perempuan dipaksa untuk melayani kebutuhan seksual laki-laki terlepas itu sebuah paksaan atau pun hanya sebatas mencari kesenangan semata. Baik jugun ianfu dan pelacur, keduanya tidak bisa untuk keluar dari keadaan tersebut. Dalam buku Barry (Truong, 1992: 18) menjelaskan :

Perbudakan seksual perempuan hadir di semua situasi di mana perempuan tak dapat mengubah kondisi langsung keberadaan mereka; di mana, terlepas dari bagaimana mereka masuk ke dalam kondisi-kondisi tersebut, mereka tak dapat keluar darinya; dan di mana mereka menjadi objek kekerasan dan eksploitasi seksual.

Dari penjelasan di atas, perempuan tidak dapat menolak akibat adanya kekuasaan laki-laki terhadapnya. Perempuan yang memiliki sifat lemah lembut, berbeda dengan laki-laki yang bersifat kasar, menyebabkan laki-laki dapat dengan mudah melakukan penguasaan terhadap perempuan. Jugun ianfu dan pelacur juga mendapat perlakuan yang sama, tanpa adanya perlawanan terhadap penindasan yang menimpanya. Perempuan tersebut berada dalam ancaman bila melakukan perlawanan, maka siksaan baik secara fisik dan psikologis sudah pasti mereka

terima. Irfan (2001: 7) menjelaskan perempuan sedang tidak berdaya menghadapi kebiadaban individu, kultural dan struktural yang dibenarkan. Hal ini menjelaskan bahwa perempuan pada dasarnya sudah mengalami ketidakberdayaan sejak lama.

Di Indonesia, dalam adat Jawa perempuan terbiasa untuk selalu patuh dan mengikuti semua perintah keluarganya berbeda dengan laki-laki. Bahkan perlakuan tidak adil ini terus terjadi kepada perempuan di Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang perempuan sudah tidak asing diatur sedemikian rupa, walau berupa siksaan terhadap fisik dan psikologisnya.

a. Kondisi Fisik Jugun Ianfu selama di dalam Ian-jo

Berada di dalam Ian-jo bukan keinginan bagi para perempuan yang menjadi jugun ianfu. Perempuan yang menjadi jugun ianfu ini dipaksa dan mendapat kekerasan fisik selama melayani tentara dan sipil Jepang. Sehingga tak ayal beberapa jugun ianfu yang menderita luka-luka pada tubuh mereka.

Perlakuan kasar ini didapat apabila mereka tidak menuruti keinginan Jepang.

Tubuh mereka dieksploitasi secara fisik tanpa berani melawan, hanya bisa pasrah saja. Kalau melawan mereka akan mendapatkan tindak kekerasan yang lebih berat lagi. Keinginan Jepang hanyalah memuaskan hasrat mereka melalui perempuan.

Penderitaan mereka ini terus dirasakan pada saat melayani tentara atau sipil Jepang. Walaupun tidak semua yang memperlakukan kasar, tetapi pada dasarnya mereka melakukan hubungan biologis dengan paksaan. Sehingga tidak hanya kekerasan bersifat fisik tetapi juga psikologis para perempuan tersebut. Seperti penderitaan yang dialami oleh Maria Rosa Henson yang merupakan jugun ianfu

dari Filipina yang mengalami nasib yang sama dengan jugun ianfu di Indonesia.

Dalam buku yang ditulis oleh Tanaka (1999: 40) menjelaskan :

When soldier raped me, I felt like a pig. Sometimes they tied up my right leg with a waist band or belt and hung it on a nail on the wall as they violated me. I was angry all the time. But there was nothing I could do.

terjemahan

Ketika tentara “melecehkan”, aku merasa seperti seperti “binatang”.

Kadang-kadang mereka mengikat kaki kanan saya dengan sebuah ikat pinggang dan menggantungkannya pada paku di dinding saat mereka memperkosaku. Saya marah sepanjang waktu. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan.

Penderitaan yang dialami jugun ianfu di atas menggambarkan bagaimana perempuan tersebut dianiaya oleh tentara Jepang. Mereka diperlakukan tidak wajar oleh tentara Jepang. Kemudian penderitaan jugun ianfu ini semakin bertambah, karena setiap perempuan setidaknya harus melayani sekitar 10-15 orang tentara Jepang dalam satu harinya. Hal ini berlangsung setiap hari, kecuali perempuan tersebut mengalami masa Haid ataupun sakit. Perempuan mengalami nyeri dan sakit pada seluruh badannya terutama pada alat vitalnya. Seringkali terdapat jugun ianfu yang mengalami pendarahan akibat perlakuan kasar ataupun karena melakukan hubungan biologis secara berulang-ulang. Siksaan semakin bertambah ketika diantara mereka kedapatan hamil. Dokter setempat menganjurkan jugun ianfu tersebut untuk menggugurkan kandungannya. Karena itu masa pengguguran kandungan merupakan masa yang paling menyakitkan bagi para perempuan. Ini merupakan siksaan terberat bagi perempuan, belum lagi itu bisa menyebabkan penyakit permanen. Sehingga perempuan tidak bisa melahirkan lagi karena janinnya telah rusak atau tidak berfungsi lagi.

b. Kondisi Psikologis Jugun Ianfu selama di dalam Ian-jo

Tidak hanya kekerasan secara fisik yang diterima oleh jugun ianfu, mereka juga mendapat tekanan psikologis selama di dalam Ian-jo. Semenjak pertama kali masuk ke dalam Ian-jo pun mereka sudah mengalami tekanan psikologis berupa perasaan takut. Karena sejak awal mereka sudah ditipu akan dipekerjakan diberbagai tempat oleh Jepang. Tetapi yang terjadi adalah mereka dibawa ke tempat-tempat pelacuran. Tentu saja ini berdampak pada psikologis perempuan tersebut. Perempuan merasa terhina bila dianggap sebagai perempuan nakal, padahal bukan keinginan mereka untuk menjadi jugun ianfu. berikut :

Meski ada perasaan sedih dan sakit hati mendengar mereka menyebut kami sebagai ransum Jepang, namun kami tidak bisa berbuat apa-apa karena itu bukan keinginan diri sendiri untuk berada ditempat itu (Hindra dan Kimura, 2007: 113).

Arti dari ransum Jepang adalah “makanan Jepang”. Sehingga menganggap diri mereka sangat terhina oleh sebutan yang berkembang di masyarakat. Mereka hanya bisa pasrah dan menerima semua kenyataan. Karena apa yang terjadi sebenarnya para jugun ianfu ini menderita secara fisik dan psikis sepanjang pendudukan Jepang berlangsung. Bahkan setelah berakhirnya pendudukan Jepang mereka masih merasakan dampak akibat menjadi jugun ianfu.

Itu hanya sebagian kecil pengaruhnya terhadap psikologis perempuan yang menjadi jugun ianfu. Di dalam Ian-jo para jugun ianfu ini mendapatkan tekanan psikologis lebih besar lagi. Selama berada di dalam ruangan mereka sudah diperlakukan secara kasar, dipukuli, ditampar bahkan sampai ditendang. Tentunya bukan hanya rasa sakit fisik lagi yang mereka terima, tetapi sudah mencapai kepada jiwa mereka. Diperlakukan tidak adil walaupun bukan kemauan mereka

terpaksa diterimanya. Hal yang paling menyakitkan adalah ketika tentara Jepang melecehkan para perempuan yang menjadi jugun ianfu, bahkan sampai berulang-ulang. Sebagai perempuan itu merupakan sesuatu yang sangat menyakitkan.

Seharusnya itu diberikan kepada seorang suami yang dicintainya, bukan diberikan secara terpaksa kepada orang yang tidak dikenalnya.