• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KETENTUAN UMUM POLIGAMI DAN KONSEP MASLAHAH

B. Konsep Maslahah Mursalah

5. Kehujjahan Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah adalah sebuah kemaslahatan yang tidak di atur dalam

nash untuk memerintah atau melarang perwujudan kemaslahatan tersebut. Oleh sebab itu para ulama berbeda pendapat mengenai diperbolehkannya atau tidak penggunaan maslahah mursalah sebagai dalil syara‟.

Jumhur ulama menetapkan bahwa maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai dalil syara‟ yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum. Adapun alasan yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut:

a. Kemaslahatan manusia terus berkembang sesuai perkembangan zaman dan kebutuhannya. Seandainya yang hanya diperhatikan adalah kemaslahatan-kemaslahatan yang ada nash nya saja dan mengabaikan kemaslahatan yang sedang berkembang maka pasti banyak kemaslahatan-kemaslahatan manusia yang terdapat di beberapa daerah dan pada masa

54 Syarif Hidayatullah, Maslahah Mursalah Menurut Imam Al-Ghazali, Jurnal al-Mizan, vol. 4, no. 1 (Februari 2018), hlm. 119.

55 Syarif Hidayatullah, Maslahah Mursalah Menurut Imam Al-Ghazali, Jurnal al-Mizan, vol. 4, no. 1 (Februari 2018), hlm. 121.

yang berbeda-beda akan mengalami kekosongan hukum sehingga tidak sesuai dengan salah satu tujuan syari‟at yang mewujudkan sebuah kemaslahatan manusia disetiap tempat dan masa.

b. Pada masa sahabat banyak ditemukan sebuah hukum, putusan-putusan atau peraturan-peraturan yang dibuat oleh para sahabat, tabi‟in, dan imam-imam mujtahidin yang dibuat untuk mewujudkan sebuah kemaslahatan bersama.56

Sedangkan penolakan terhadap kehujjahan maslahah dating dari kalangan

Zahiriyyah dan Syi‟ah. Mereka berpendapat apabila maslahah dijadikan

sebagai dalil syara‟ maka akan menimbulkan hilangnya kesucian hukum-hukum syara‟ dikarekan adanya salah satu bentuk pelampian dari keinginan hawa nafsu yang cenderung akan menimbulkan kemanfaatan untuk kepentiangan individual. Disamping itu, kemaslahatan itu mengandung beberapa kemungkinan. Baik kemungkinan didukung oleh syara‟ ataupun kemungkinan ditolak oleh syara‟ sehingga sesuatu yang keberadaannya masih dalam kemungkinan maka tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.57

56 Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan

Hukum Fiqih Islam, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1993), hlm. 107

38 BAB III

PUTUSAN NOMOR 2598/PDT.G/2018/PA.TGRS DAN PUTUSAN NOMOR 0014/PDT.G/2019/PTA.BTN

A. Uraian Umum Putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs 1. Duduk Perkara

Pokok persoalan pada putusan ini adalah perkara izin poligami yang mana para pihak dalam perkara ini adalah Pemohon yang sebagai suami melawan Termohon yang berstatus sebagai Istri. Para pihak sama-sama tinggal di wilayah Kabupaten Tangerang sehingga sudah menjadi kewenangan relative Pengadilan Agama Tigaraksa untuk mengadili perkara tersebut.1

Permohonan izin poligami Pemohon kemudian terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Tigaraksa pada tanggal 05 Juni 2018. Pemohon mengajukan permohonan izin poligami dengan berbagai alasan namun, sebelum nya pada hari Ahad, 22 September 1996 telah dilangsungkan pernikahan antara Pemohon dengan Termohon secara syariat Islam dan dihadapan pejabat Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Ceper Kabuoaten Klaten Provinsi Jawa Tengah yang dibuktikan dengan adanya Kutipan Buku Nikah Nomor: 265/47/IX/1996 dan status Pemohon adalah Perjaka.2

Pernikahan Pemohon dan Termohon telah dikarunia 4 (empat) orang anak. Anak pertama bernama Akhlaqul Karimah yang berusia 20 tahun, anak kedua bernama Hanifah berumur 17 tahun, anak ketiga bernama Ibrohim berumur 14 tahun dan anak keempat bernama Sulaiman Abbas berumur 11 tahun.

Pada pertengahan pernikahan antara Pemohon dengan Termohon, Pemohon mengajukan permohon izin poligami kepada Pengadilan Agama Tigaraksa dengan alasan pemohon telah mempunyai calon istri yang sesuai

1 Salinan Putusan Nomor: 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs, hlm. 1

dengan keinginan Pemohon tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun dan ingin pernikahan kedua Pemohon dilaksanakan sesuai dengan syariat agama dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Selain itu, Pemohon pun menyatakan dapat berlaku adil apabila izin poligaminya dikabulkan dan Pemohon mempunyai penghasilan dengan penghasilan pokok Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah).

Berdasarkan alasan-alasan yang diajukan, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili permohonan ini, untuk dapat mengabulkan dan memberikan izin bagi Pemohon untuk dapat bepoligami dengan wanita pilihan Pemohon.

Kemudian dalam jalannya persidangan, Pemohon dan Termohon telah hadir di persidangan pada hari yang telah ditentukan yang kemudian Majelis Hakim telah berusaha memberikan upaya perdamian kepada Pemohon dan Termohon agar Pemohon dapat kembali berpikir untuk melakukan poligami namun, tidak berhasil. Kemudian persidangan dilanjutkan oleh Majelis Hakim dengan membacakan surat permohonan Pemohon yang pada intinya tetap mempertahankan isi maksud permohonan tersebut. Disamping itu, Termohon di muka sidang telah memberikan jawaban secara tertulis atas surat permohonan Pemohon yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:3

Bawah benar antara Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan dan telah dikarunia 4 (empat) orang anak. Kemudian ketika mediasi berlangsung Termohon keberatan dengan proses mediasi yang dilakukan oleh Mediator karena Termohon merasa Mediator tidak bersikap netral dna terkesan memihak Pemohon.

Terkait keinginan Pemohon untuk menikah kembali, Termohon keberatan dengan alasan bahwa antara Pemohon dan Termohon telah dikarunia 4 (empat) orang anak dan Termohon masih dapat melakukan kewajibannya sebagai seorang istri, khususnya dalam hal melayani kebutuhan biologis

40

Pemohon. Selain itu, jika permohonan Pemohon dikabulkan maka Pemohon tidak akan dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya. Hal ini sudah terbukti karena memang Pemohon sudah melakukan pernikahan secara agama (nikah sirri) dengan calon istri keduanya tersebut, dan selama ini Termohon merasakan ketidakadilan baik dari segi sikap, perhatian dan lainnya. Sehingga Termohon mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa untuk menolak permohonan izin poligami yang diajukan oleh Pemohon.4

Bahwa atas jawaban Termohon tersebut, selanjutnya terjadi jawab menjawab antara Pemohon dan Termohon yang pada pokoknya masing-masing tetap pada pendiriannya. Selanjutnya, calon istri kedua Pemohon memberikan keterangan kepada Majelis Hakim yang pada intinya menerangkan bahwa antara calon istri Pemohon sudah kenal baik dengan Termohon dan tidak memiliki hubungan darah diantara keduanya. Kemudian calon istri Pemohon menerangkan bahwa ia mengaku sudah mendapat restu dari Termohon untuk menjadi istri kedua Pemohon pada saat menikah secara agama (nikah sirri) dan ia pun tidak akan mengganggu gugat harta antara Pemohon dengan Termohon.5

Secara teknis beracara, sidang selanjutnya yaitu tahap pembuktian, dimana Pemohon dan Termohon saling mengajukan bukti tertulis dan juga saksi-saki yang memberikan keterangan dibawah sumpah.

Dalam hal ini, Pemohon telah memberikan bukti tertulis berupa bukti surat danTermohon tidak memberikan bukti tertulis. Pemohon memberikan bukti surat berupa Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon dan Termohon, Fotocopy Kutipan Akta Nikah Nomor: 265/47/IX/1996 tanggal 22 September 1996 atas nama Pemohon dan Termohon yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Ceper Kabupaten Klaten Jawa Tengah, Fotocopy Surat Keterangan Penghasilan, Surat Pernyataan Berlaku Adil, Fotocopy satu unit rumah. Fotocopy satu unit rumah kontrakan, Fotocopy

4 Salinan Putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs, hlm, 6

satu unit ruko/gudang, 5 (lima) Fotocopy STNK untuk 5 (lima) unit mobil dan 4 (empat) Fotocopy STNK untuk 4 (empat) unit sepeda motor. Semua bukti fotocopy tersebut telah diperiksa, dimaterai, dinazelegen, dan dicocokkan dengan aslinya.

Pemohon telah mengajukan 2 (dua) orang saksi yang telah bersumpah dan menerangkan keterangannya. Saksi-saksi tersebut yakni teman Pemohon yang mana menerangkan bahwa Pemohon dengan Termohon adalah pasangan suami istri dan Pemohon memang benar hendak menikah kembali dengan calon istri Pemohon dan setahu saksi Termohon menyetujui itu. Kemudian saksi menerangkan bahwa Pemohon sanggup jika beristri dua karena Pemohon adalah seorang Pengusaha dan bisa memenuhi kebutuhan istri-istrinya dan juga anak-anaknya.6

Kemudian Termohon mengajukan 2 (dua) orang saksi yang telah bersumah dan menerangkan keterangannya yang mana saksi pertama adalah tetangga Termohon dan saksi kedua yakni keponakan Termohon. Para saksi menerangkan bahwa Pemohon dengan Termohon adalah pasangan suami istri dan Pemohon memang benar hendak menikah kembali dengan calon istri Pemohon namun, setahu saksi antara Pemohon dan calon istri Pemohon telah melakukan pernikahan secara agama (nikah sirri) dan ketiks itu Termohon memberika izin kepada Pemohon agar antara Pemohon dengan calon istri Pemohon terhindar dari maksiat. Selain itu, para saksi menerangkan bahwa ketika 3 (tiga) bulan pernikanan Pemohon dengan calon istri Pemohon, Pemohon tidak berlaku adil terhadap Termohon yang dibuktikan bahwa Termohon sudah tidak diperhatikan dan tidak diberi nafkah bathin oleh Pemohon.7

Sidang berikutnya Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada Pemohon dan Termohon untuk menyampaikan kesimpulan dan kesimpulan

6 Salinan Putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs, hlm. 10

42

tersebut disampikan secara lisan yang pada intinya Pemohon dan Termohon tetap pada dalil-dalil semula.

2. Putusan Hakim dan Pertimbangan Hukum

Dalam memutuskan perkara izin poligami ini, majelis hakim mengabulkan permohonan Pemohon untuk dapat melakukan perkawinan poligami, dengan pertimbangan hukum diantaranya yaitu:

a. Maksud dan tujuan Pemohon untuk menikah kembali yaitu agar perkawinan poligaminya dilakukan secara ketentuan syariat agama Islam dan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

b. Majelis Hakim juga menimbang terkait bukti surat yang diajukan oleh para pihak dari mulai P.1 hingga P.18 telah dicocokkan serta sesuai dengan yang asli sehingga bukti tersebut secara formal telah memenuhi syarat sebagai alat bukti yang autentik.

c. Pemohon telah memenuhi syarat -syarat yang telah diatur dalam Pasal 5 huruf (b). dan huruf (c) yaitu Pemohon dapat menjamin keperluan istri-istri dan anak-anak mereka dan juga Pemohon menyatakan bahwa akan dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.8

d. Dalam perkara izin poligami Pemohon harus mendapatkan izin dari Termohon baik secara tertulis ataupun lisan yang disampaikan langsung dalam persidangan didepan Majelis Hakim, dalam hal ini Termohon menyatakan keberatan jika Pemohon menikah lagi, namun dari keterangan saksi-saksi Termohon dihubungkan dengan kesimpulan Termohon yang sebenarnya Termohon mengijinkan Pemohon untuk berpoligami asalkan secara sirri/agama. Sehingga hal tersebut membuat Majelis Hakim mentafsirkan bahwa sebenarnya Termohon memberikan izin namun izin tersebut tidak tersurat secara lisan dalam pesidangan.

e. Majelis Hakim memberikan izin kepada Pemohon untuk berpoligami karena poligami ini adalah suatu jalan keluar yang bersifat dharuri sehinggan Permohonan Pemohon dapat dipertimbangkan.

B. Deskripsi Putusan Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA. Btn 1. Duduk Perkara

Perkara ini adalah perkara lanjutan dari perkara Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs yakni perkara permohonan izin poligami dan dalam hal ini Termohonlah yang mengajukan banding. Sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan apabila istri tidak mau memberikan persetujuan kemudian Pengadilan Agama menetapkan tentang pemberian izin dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding.9

Perkara ini sesuai dengan yang didaftarkan kepada Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Agama Banten yang tertera pada Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA. Btn pada tanggal 26 Oktober 2018 Masehi.10

Pada perkara ini, Termohon terlihat belum puas dengan apa yang sudah Majelis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa putuskan sehingga pihak yang merasa berkeberatan mengajukan upaya hukum untuk mendapatkan keadilan.

Upaya hukum ialah suatu upaya yang diberikan oleh undang-undang bagi seseorang maupun badan hukum dalam hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai suatu tempat bagi para pihak yang tidak puas atas keputusan hakim.11 Adapun jenis-jenis upaya hukum terdiri dari upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.

Upaya hukum yang dilakukan pada perkara ini adalah upaya hukum banding yang termasuk kedalam upaya hukum biasa. Upaya hukum banding ialah upaya yang dilakukan apabila salah satu pihak baik pihak Penggugat atau Tergugat tidak menerima suatu putusan pengadilan karena merasa hak-haknya terserang oleh akibat adanya putusan tersebut.12

9 Kompilasi Hukum Islam

10 Salinan Putusan Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA. Btn

11 Syahrul Sitorus, Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata (Verzet, Banding, Kasasi,

Peninjauan Kembali dan Derden Verzet), Jurnal Hikmah, vol. 15, No. 1 (Januari-Juni 2008), h. 63

12

Laila M. Rasyid dan Herinawati, Modul Pengantar Hukum Acara Perdata, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2015), h. 124.

44

Mengutip uraian yang sebagaimana termuat dalam putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs, yang amar putusannya bahwa Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon untuk mendapatkan izin menikah lagi/poligami dengan calon istri pilihan Pemohon.13 Maka Termohon telah mengajukan upaya hukum banding atas putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs, pada tanggal 25 Oktober 2018 yang bertepatan dengan tanggal 15 Shafar 1440 Hijriyah dan permohonan banding tersebut telah diberitahukan kepada Terbanding pada hari Jum‟at tanggal 09 November 2018.

Atas permohonan banding tersebut Termohon/Pembanding telah mengajukan memori banding pada tanggal 05 November 2018 yang kemudian diterima oleh Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Tigaraksa pada tanggal yang sama dan memori banding tersebut telah diberitahukan kepada Terbanding pada tanggal 09 November. Atas memori banding tersebut Terbanding mengajukan kontra memori banding tertanggal 19 November 2018 dan diterima oleh Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Tigaraksa pada tanggal yang sama.

Para pihak yang berperkara diberikan kesempatan untuk memeriksa dan mempelajari berkas perkara banding (inzage) sebelum dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama, namun Pembanding dan Terbanding tidak melakukan pemeriksaan perkara banding (inzage) sesuai dengan surat keterangan yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Tigaraksa Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs pada tanggal 08 Januari 2019.

2. Putusan Hakim dan Pertimbangan Hukum

Dalam memutuskan perkara banding ini, maka Majelis Hakim mengabulkan permohonan banding Pembanding dan membatalkan putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs. dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:

13

a. Permohonan banding Pembanding secara formil dapat diterima karena permohonan tersebut telah diajukan oleh Pembanding dalam tegang waktu pada hari ke 2 setelah putusan perkara di Pengadilan Agama Tigaraksa diputuskan

b. Termohon/Pembanding dengan tegas menolak atau tidak memberikan izin kepada Pemohon/Terbanding untuk menikah lagi (poliami)14

c. Bukti-bukti yang diajukan Pemohon/Terbanding tidak adasatupun bukti yang membuktikan bahwa Pemohon/Terbanding memperoleh salah satu dari ketiga syarat poligami yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a yaitu tidak adanya izin secara tertulis ataupun lisan yang disampaikan dalam persidangan di depan Majelis Hakim. Selain itu Pemohon/Terbanding pun tidak memenuhi syarat-syart yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2).15

d. Untuk syarat dapat berlaku adil Pemohon/Terbanding tidak memenuhi syarat tersebut. Karena hal tersebut sudah terbukti bahwa Pemohon/Terbanding sudah menikah sirri dan tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istri.

14 Salinan Putusan Nomor 0014/Pdt.G/PTA. Btn. Hlm. 6

46 BAB IV

PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP SYARAT FAKULTATIF DAN KUMULATIF DALAM IZIN POLIGAMI

A. Analisa Prespektif Maslahah Mursalah Terhadap Syarat Fakultatif dan Kumulatif dalam Izin Poligami

Perkawinan di Indonesia pada prinsipnya mengandung asas monogami, yang mana asas ini terdapat pada Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa “seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memeliki seorang suami”. Akan tetapi asas tersebut tidaklah mutlak sehingga Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 Ayat (2) memberikan pengecualian atas dibolehkannya seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila hal tersebut dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Terkait pengecualian tersebut, Undang-Undang Perkawinan memberikan pembatasan yang cukup berat, yaitu berupa suatu pemenuhan syarat dengan suatu alasan tertentu dan izin pengadilan seperti yang dicantumkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Khoirudin Nasution membagi syarat poligami menjadi dua jenis yaitu syarat fakultatif dan syarat kumulatif. Syarat fakultatif yang dimaksud terdapat didalam Pasal 4 Ayat (2) adalah isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagi isteri; Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan syarat kumulatif terdapat pada Pasal 5 Ayat (1) yaitu adanya persetujuan tertulis dari isteri/isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri dan anak-anak mereka, dan ada jaminan tertulis bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanaknya. 1Adapun perbedaan antara Pasal 4 dan Pasal 5 mengenai aturan tentang izin poligami yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ialah bahwa pada

1 Danu Aris Setyanto, Poligami Dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam (Kritik Terhadap Hukum Perkawinan Di Indonesia), Al-Ahwal, Volume 10, Nomor 1, (Juni, 2017), h. 53-54

Pasal 4 berisi persyaratan yang mana salah satu syarat yang diajukan pada Pasal 4 harus ada atau terpenuhi agar suami dapat diberikan izin poligami oleh pengadilan. Sedangkan Pasal 5 ialah persyaratan yang mana seluruh syarat yang ada pada Pasal 5 harus dapat dipenuhi oleh seorang suami dalam mengajukan izin poligami ke pengadilan.

Aturan hukum lainnya atas izin poligami ditentukan atau terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Bab IX Pasal 55, 56, 57, 58, dan Pasal 59.2 Dari beberapa ketentuan, syarat poligami dijelaskan pada Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: 1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri; 2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya; 3) Apabila syarat utama yang disebut pada Ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, maka suami dilarang beristeri lebih dari seorang.

Berbagai ketentuan hukum yang dimuat dalam pasal-pasal perundang-undangan baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam maka dengan jelas ketentuan tersebut mengatur secara ketat tentang aturan seorang suami jika hendak menikah kembali atau berpoligami, yakni dengan adanya persyaratan-persyaratan tersebut yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang hendak berpoligami dan harus mengajukan permohonan ke pihak pengadilan dan disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk membetuk keluarga yang bahagia dan kekal sehingga terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan

rahmah atau dapat disebut dengan keluarga yang tentram dan penuh dengan

cinta dan juga kasih sayang. Maka dari itu di dalam rumah tangga keberadaan suami dan istri perlu saling membantu dan saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai suatu kesejahteraan baik secara spriritual maupun secara material. Sehingga jika rumah tangga di antara suami dan isteri ada sebuah perkawinan dengan system

2 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: PT. Akademika Pressindo, 2010), h. 126

48

poligami maka harus mempertimbangkan berbagai ketentuan dan peraturan hukum baik yang terdapat dalam hukum syara‟ maupun dalam hukum positif.3 Dalam pandangan Islam bahwa poligami itu diperbolehkan namun tetap menetapkan berbagai syarat poligami yang ketat, seperti suami mampu dari segi seksual, mampu dari segi materil dan mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya kelak. Sehingga dalam hal ini, terlihat bahwa Islam tidak dengan mudah mengizinkan umatnya berpoligami dikarenakan Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam keluarga dan juga kemaslahatan keluarga.

Para ulama ushul fiqh bersepakat bahwa penetapan hukum syara‟ bertujuan untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan untuk manusia baik di dunia dan juga di akhirat. Salah satu metode penetapan hukum yang diambil berdasarkan kemaslahatan manusia adalah maslahah mursalah.4Selain itu, para ulama pun secara umum membagi ketentuan-ketentuan syara‟ menjadi dua bagian, yaitu ketentuan syara‟ yang berkaitan dengan masalah ibadah yang sudah menjadi hak Allah Swt dan ketentuan syara‟ yang berkaitan dengan muamalah yang mana ketentuan ini untuk menjaga keseimbangan hubungan di antara sesama makhluk Allah Swt.

Menurut al-Ghazali, maslahah adalah sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menghindarkan mudharat (bahaya/ kerusakan). Yang dimaksud dengan manfaat adalah memelihara tujuan syara‟ ialah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta kekayaan. Sehingga semua hal yang memenuhi kelima unsur tersebut disebut sebagai maslahah, dan sebaliknya hal-hal yang menyalahi unsur tersebut disebut mafsadat.5 Maka jika suatu penetapan hukum mengandung tujuan memelihara tujuan syara‟ maka hukum tersebut termasuk dalam maslahah dan sebaliknya apabila penetapan hukum tidak bertujuan untuk memelihara syara‟ maka hukum yang ditetapkan

3 Tim Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan

Perwakafan), cet. II (Bandung: PT. Nuansa Aulia, 2009)h. 103

4 Nur Asiah, Istilah dan Aplikasinya dalam Penetapan Hukum Islam, Jurnal Hukum Diktum, vo. 14, no. 2 (Desember 2016)h. 150

5

Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maṣ laḥ ah”, Salam: Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum, vol. 12, no. 2, (Desember 2014), hlm. 314

termasuk dalam masfsadah. Jika penulis kaitkan dengan salah satu syarat kumulatif dalam izin poligami maka penulis perpendapat bahwa meminta izin terlebih dahulu kepada isteri sebelumnya untuk menikahi perempuan lain adalah untuk memelihara agama, akal, keturunan dan juga harta. Karena jika tidak ada izin dari isteri sebelumnya untuk suami berpoligami besar kemungkinan akan terjadi kerusakan pada agama, keturunan, pemeliharaan rumah tangga serta menimbulkan kemudharatan. Kemudian persyaratan yang harus di penuhi oleh seorang suami jika hendak berpoligami ialah mempunyai rasa keadilan yang mana adil dalam hal memenuhi hak akan isteri-isterinya,

Dokumen terkait