• Tidak ada hasil yang ditemukan

SYARAT FAKULTATIF DAN KUMULATIF DALAM IZIN POLIGAMI (Studi Putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs dan Putusan Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SYARAT FAKULTATIF DAN KUMULATIF DALAM IZIN POLIGAMI (Studi Putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs dan Putusan Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

SYARAT FAKULTATIF DAN KUMULATIF DALAM IZIN POLIGAMI (Studi Putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs dan Putusan Nomor

0014/Pdt.G/2019/PTA.Btn)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Nadhia Rahma Al-Azkia

11160440000094

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 2021 M / 1442 H

(2)

i

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Nadhia Rahma Al-Azkia

NIM. 11160440000094

Pembimbing

Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H,

NIP. 198506102019031007

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 2021 M / 1442H

(3)
(4)
(5)

iv ABSTRAK

Nadhia Rahma Al Azkia. NIM 11160440000094 SYARAT FAKULTATIF DAN KUMULATIF DALAM IZIN POLIGAMI (Studi Putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs dan Putusan Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA.Btn). Skripsi Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2021M/1442H. (

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui syarat fakultatif dan kumulatif dalam izin poligami melalui pendekatan teori maslahah mursalah dan untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim pada putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs dan putusan Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA.Btn terhadap syarat fakultatif dan kumulatif dalam izin poligami.

Jenis penelitian yang penulis gunakan yaitu normatif legal research yang sasarannya pada data sekunder terutama bahan hukum primer dan dengan pendekatan statute approach (pendekatan undang-undang). Sumber data yang digunakan yakni Putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs dan putusan Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA.Btn, Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, buku-buku, artikel, dan jurnal yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa kandungan hukum yang termuat dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkait syarat fakultatif dan kumulatif dalam izin poligami telah sesuai dengan prinsip-prinsip kemaslahatan karena dengan adanya persyaratan tersebut maka perkawinan poligami yang cenderung mendatangkan kemadharatan akan ditolak dan dihindari demi upaya terciptanya kemaslahatan. Pada putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs hakim mengabulkan permohonan izin poligami kepada suami dengan pertimbangan bahwa isteri telah memberikan izinnya secara tidak tersurat dan hal itu tidak selaras dengan ketentuan Pasal 41 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dan juga ketentuan Pasal 58 ayat (2) yang menyatakan bahwa persetujuan isteri atau ister-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, sekalipun persetujuan tersebut telah ada secara tulis maka harus dipertegas kembali secara lisan pada persidangan. Kemudian Pengadilan Tingkat Banding membatalkan putusan tersebut dengan pertimbangan bahwa permohonan izin poligami yang di ajukan oleh suami tidak memenuhi syarat, baik syarat fakultatif yang ada pada Pasal 4 maupun syarat kumulatif yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sehingga penulis berpendapat bahwa jika suami ingin mengajukan permohonan poligami maka harus memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 agar izin poligami tersebut mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan.

Kata Kunci : Poligami, Persyaratan Poligami, Maslahah Mursalah

Pembimbing : Fathudin Kalimas, S.H.I., M.A.Hum., M.H. Daftar Pustaka : 1986 s.d 2018

(6)

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

ب B Be

خ T Te

ث Ts te dan es

ج J Je

ح H ha dengan garis bawah

خ Kh ka dan ha د D De ذ Dz de dan zet ر R Er س Z Zet ص S Es ش Sy es dan ye

ص S es dengan garis bawah

ض D de dengan garis bawah

ط T te dengan garis bawah

ظ Z zet dengan garis bawah

ع „ koma terbalik di atas hadap kanan

غ Gh ge dan ha

ف F Ef

ق Q Qo

(7)

vi ل L El م M Em ن N En ً W We ه H Ha ء ˋ Apostrop ي Y Ya

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau

monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ﹶ A Fathah ﹶ I Kasrah ﹶ U Dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ي Ai a dan i ً Au a dan u

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal

(8)
(9)

viii

Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: يراخثلا = al-Bukhâri tidak ditulis Al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan diatas:

No Kata Arab Alih Aksara

1 خارٌظحملا حيثت جرًزضلا darûrah tubîhu

al-mahzûrât

2 يملاسلإا داصتقلاا al-iqtisâd al-islâmî

3 وقفلا لٌصأ usûl al-fiqh

4 ححاتلإا ءايشلأا يف لصلأا al-„asl fî al-asyyaﹶal-ibâhah

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Ucapan syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Rabbul Izzati, Allah SWT., yang telah menerangi, menuntun dan membukakan hati serta pikiran penulis dalam menyelesaikan proses penyusunan skripsi ini. Iringan shalawat dan salam senantiasa mengalir kepangkuan manusia pilihan, Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan segenap sahabat-sahabat setianya hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun atas berkat rahmat dan ridha-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., dan Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A.,

Selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang tak pernah lelah memberikan dukungan serta motivasi kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Fathudin Kalimas, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H., selaku dosen pembimbing yang telah senantiasa meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya serta tak pernah putus memberikan arahan-arahan serta masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Qosim Arsyadani, M.A., selaku dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap Civitas Akademik Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

(11)

x

6. Cahaya dalam hidupku, penyemangat tiada henti, kekuatan saat lemahku, pelipur lara saat sedihku, Ayahanda Drs. Didi Kusnadi, M.Pd., dan Ibunda tercinta Nuryati yang tidak pernah mengenal kata lelah mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya berupa bimbingan dalam menuntunku menjadi pribadi yang lebih baik. Terimakasih untuk semua waktu dan tiap doa yang selalu kau panjatkan untuk anakmu ini. Terimakasih untuk selalu menjadi yang pertama membangkitkanku, menyemangatiku, serta membuatku tetap melapangkan hatiku saat aku mulai lelah dan kehabisan semangat. Bagi ananda, tiada penghargaan paling terindah di dunia ini selain melihat Ayah dan mamah selalu tersenyum.

7. Kepada Kakakku M. Zaky Ahla Firdausi, S.Sy., Adikku M. Zahid Noor El-Adly dan Keluarga Besarku yang senantiasa ada dan berupaya membantuku dalam menempuh kuliah baik berupa semangat, canda tawa, serta waktu. 8. Big Thank‟s To teman tercinta Sobat Ambyar, S.H., Brian, Imad, Aini,

Dhealia, Dina, Mila, Nabel, Nanda, Sarah dan Alm Ijem terimakasih atas dukungan, canda, tawa dan juga kebersamaan yang tak akan pernah tergantikan oleh apapun.

9. Teman-teman dan juga Kakak tercinta, Erni, Ningrum, Eka Agustin, Nadya dan Ka Lia Yulianti, S.H yang tak pernah lelah selalu memberikan semangat dan do‟a kepada penulis. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian. 10. Teman-teman Hukum Keluarga 2016 yang selalu memberikan semangat

kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Tetap semangat kawan dan semoga kita dapat berjumpa di lain waktu

Penulis berdoa semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi catatan pahala di sisi Allah Swt. Dan penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih perlu perbaikan sehingga penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, Aamiin.

Ciputat, 19 Maret 2021

(12)

xi DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

PENGESAHAN PANITIAN UJIAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Batasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 8

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika penulisan ... 11

BAB II KETENTUAN UMUM POLIGAMI DAN KONSEP MASLAHAH MURSALAH A. Poligami ... 14

1. Pengertian Poligami ... 14

2. Poligami Ditinjau dari Hukum Islam ... 15

3. Poligami Ditinjau dari Hukum Positif ... 12

B. Konsep Maslahah Mursalah ... 15

1. Pengertian Maslahah Mursalah ... 15

2. Dasar Hukum Maslahah Mursalah ... 18

3. Syarat-syarat Maslahah Mursalah ... 30

4. Macam-macam Maslahah Mursalah ... 32

(13)

xii

BAB III PUTUSAN NOMOR 2598/PDT.G/2018/PA.TGRS DAN PUTUSAN NOMOR 0014/PDT.G/2019/PTA.BTN

A. Uraian Umum Putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs ... . 38 1. Duduk Perkara ... 38 2. Putusan Hakim dan Pertimbangan Hukum ... 42 B. Uraian Umum Putusan Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA.Btn .. 43 1. Duduk Perkara ... 43 2. Putusan Hakim dan Pertimbangan Hukum ... 44

BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP SYARAT

FAKULTATIF DAN KUMULATIF DALAM IZIN POLIGAMI

A. Analisa Prespektif Maslahah Mursalah Terhadap Syarat Fakultatif dan Kumulatif dalam Izin Poligami ... 46 B. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs Terhadap Syarat Fakultatif dan Kumulatif dalam Izin Poligami ... 51 C. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA.Btn Terhadap Syarat Fakultatif dan Kumulatif dalam Izin Poligami ... 55

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 58 B. Saran ... 59

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting dalam kehidupan manusia dengan berbagai konsekuensi hukumnya. Karena itu hukum mengatur masalah perkawinan ini secara detail. Yang dimaksud dengan perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang harus juga dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 1

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dan pada dasarnya perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami. Asas ini terdapat dalam Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa: “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami”.2

Namun seorang suami dapat beristri lebih dari seorang apabila hal tersebut dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, namun hanya dapat dilakukan apabila memenuhi beberapa persyaratan tertentu dan diputuskan di pengadilan dan hal tersebut disebut dengan perkawinan poligami. 3

Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang mubah. Allah Swt memperbolehkan pria untuk berpoligami sampai empat orang istri, dengan syarat bahwa pria tersebut dapat berlaku adil kepada istri-istrinya. 4 Perlakuan adil ini meliputi dalam hal melayani kebutuhan istri-istrinya, seperti urusan nafkah, pakaian, tempat tinggal, serta segala hal yang bersifat lahiriah.

1Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), h. 10

2Pasal 3 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3H. Masyfuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Mas Agung. 1993), h. 10. 4

Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992) h. 44.

(15)

2

Keadilan terhadap istri-istrinya ini harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Dalam Al-Qur‟an terdapat ayat yang menerangkan mengenai poligami, yaitu Q.s. An-Nisa (4): 3 sebagai berikut:

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilahwanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jikakamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, ataubudak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepadatidak berbuat aniaya”.5

Ayat tersebut memberikan beberapa batasan, yang pertama batas maksimal empat orang istri, dan yang kedua adalah hanya boleh dilakukan jika pria yang ingin berpoligami tersebut dapat berlaku adil. Sehingga, jika syarat adil ini tidak dapatterpenuhi maka pria tersebut dilarang untuk melakukan poligami.

Menurut Quraish Shihab, poligami merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh seseorang yang amat sangat membutuhkan dengan syarat yang ketat. Quraih memandang poligami bukan dari segi ideal atau baik buruknya, tetapi lebih kepada penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab merupakan salah satu karya tafsir yang cukup tegas menolak tentang syariat poligami dalam Islam, betapa pun belum berani menegaskan bahwa sejatinya poligami dilarang oleh al-Qur‟an.6

Dalam hal suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Pengadilan Agama, kemudian di Pengadilan Agama akan memberikan keputusan apakah permohonan tersebut dikabulkankan atau ditolak. Pengadilan Agama dalam tugasnya memberikan putusan tentang permohonan poligami, berpedoman

5Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta:

Proyek Pengadaan Kita Suci Al-Qur‟an Departemen Agama R.I).,

(16)

pada aturan yang berlaku, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan kekuasaan mengadili atau menangani perkara (Absolute Coupetensial) Pengadilan Agama berhak untuk menyelesaikan perkara perkawinan poligami, dan mempunyai pertimbangan serta penafsiran tersendiri tentang poligami. 7

Bagi para pihak yang mengajukan permohonan poligami harus memenuhi beberapa persyaratan yang ketat dan menunjukkan bukti-bukti serta alasan-alasan yang kuat yang bisa diterima oleh Hakim Pengadilan Agama. Adapun alasan-alasan izin poligami yang dapat diterima oleh Pengadilan Agama adalah seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 4 ayat (1) yaitu: “Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan didaerah tempat tinggalnya”.

Pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan, dan Istri tidak bisa melahirkan keturunan.

Kemudian Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menjelaskan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat 1 Undang-undang perkawinan maka harus memenuhi beberapa syarat diantaranya:

a. Adanya persetujuan dari istri-istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

d. Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 huruf (a) Pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dipintai persetujuannya dan tidak dapat pula menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya dari 2 (dua) tahun lamanya atau dikarenakan

7Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama. Pedoman Beracara

(17)

4

sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Ketentuan dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebut juga dengan syarat fakultatif dan kumulatif. Syarat fakultatif ialah syarat yang wajib dipenuhi minimal satu saja yang berhubungan dengan alasan yang digunakan seorang suami dalam mengajukan izin poligami.8 Syarat fakultatif bisa berupa isteri tidak bisa menjalankan kewajibannya, istri mendapatkan cacat badan atau istri tidak dapat melahirkan keturunan.9

Sedangkan dalam syarat kumulatif terdapat dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Syarat kumulatif ialah syarat yang wajib dipenuhi dalam permohonan poligami yang menyangkut persetujuan istri, jaminan suami untuk memenuhi kebutuhan dan jaminan suami untuk berlaku adil.10 Hal yang sama tentunya ditegaskan kembali dalam bab IX Kompilasi Hukum Islam yang merupakan pengembangan dari hukum perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Izin poligami tidak hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam saja. Izin poligami pun diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diatur pada bab VIII dari mulai Pasal 40 hingga Pasal 44.

Dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa Pengadilan harus memeriksa permohonan izin poligami mengenai: ada atau tidak adanya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi yang dikarenakan isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya

8Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenamedia Group, 2016), h.

97.

9 Khaeron Sirrin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan Antar Negara, Agama, dan

Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), h. 37

10 Khaeron Sirrin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan Antar Negara, Agama, dan

(18)

sebagai isteri, bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Ada atau tidak adanya persetujuan dari isteri, baik persetujuan secara lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan maka persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak dengan memperlihatkan surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja atau surat keterangan pajak penghasilan atau surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. Dan kemudian ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Syarat fakultatif dan kumulatif menjadi persyaratan yang harus dipenuhi oleh suami jika hendak melakukan poligami atau mengawini isteri kedua atau selanjutnya. Apabila syarat fakultatif dan kumulatif terpenuhi maka hakim berhak untuk memberikan izin kepada suami untuk berpoligami dan apabila kedua syarat tersebut tidak terpenuhi maka hakim berhak untuk menolak permohonan izin poligami tersebut. Namun, pada kenyataannya penulis menemukan adanya perbandingan putusan hakim dalam pemberian izin poligami, sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Agama Tigaraksan Nomor: 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor: 0014/Pdt.G/2019/PTA. Btn.

Dalam putusan tingkat pertama hakim memberikan izin poligami pada suami ketika permohonan poligami yang diajukannya tidak memenuhi syarat fakultatif dan kumulatif yang mana kenyataannya pada diri isteri tidak terdapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, isteri dapat melahirkan keturunan yang dapat dibuktikan bahwa selama menjalin pernikahan suami dan isteri telah dikarunia 4 (empat) orang anak dan isteri dengan jelas dan tegas di depan persidangan menyatakan bahwa isteri tidak memberikan izin kepada suaminya untuk berpoligami. Pertimbang hakim dalam memberikan izin poligami pada suami ialah dengan mendengarkan

(19)

6

keterangan para saksi yang menyatakan bahwa isteri rela dipoligami asalkan secara sirri/poligami secara agama. Dengan pernyataan para saksi, maka Majelis Hakim menafsirkan bahwa isteri bersedia di poligami meskipun izinnya tidak tersurat secara lisan dalam persidangan.11 Kemudian isteri merasa bahwa hakim Pengadilan Agama tidak adil dalam memberikan putusan sehingga isteri mengajukan ketingkat banding. Setelah itu hakim Pengadilan Tingkat Agama membatalkan putusan tingkat pertama dengan pertimbangan bahwa syarat fakultatif dan kumulatif dalam izin poligami tidak ada satupun yang terpenuhi.12 Atas dasar tersebut penulis ingin menganalisis atas dasar apa hakim memberikan izin poligami ketika tidak terpenuhinya syarat fakultatif dan kumulatif dan bagaimana implikasi putusan nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs dan putusan nomor: 0014/Pdt.G/2019/PTA. Btn dan ditinjau dari perspektif teori Maslahah Mursalah.

Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah judul “SYARAT FAKULTATIF DAN

KUMULATIF DALAM IZIN POLIGAMI (Studi Putusan Nomor

2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs dan Putusan Nomor

0014/Pdt.G/2019/PTA.Btn)”

B. Identifikasi, Batasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut, maka dapat disebutkan identifikasi masalah dibawah ini sebagai berikut:

a. Bagaimana ketentuan izin poligami dalam perspektif hukum Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia?

b. Apa dasar pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs?

c. Apa dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA.Btn?

11Salinan Putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs.

(20)

d. Bagaimana tingkat pengetahuan masyarakat mengenai aturan serta syarat dalam izin poligami?

e. Bagaimana pengawasan yang dilakukan terhadap pelaksanaan syarat fakultatif dan kumulatif dalam izin poligami di Pengadilan Agama?

2. Batasan Masalah

Mengingat begitu luasnya pembahasan yang berkenaan tentang izin poligami penulis memberikan batasan masalah agar dapat focus dan tidak melebar dari penelitian ini. Adapun focus penelitian yakni Putusan Pengadilan Agama Tigaraksan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA. Btn.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari identifikasi dan pembatasan masalah, selanjutnya penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana syarat fakultatif dan kumulatif ditinjau dari perspektif teori

Maslahah Mursalah?

b. Bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap syarat fakultatif dan kumulatif dalam putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs dan putusan nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA. Btn?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk menjawab rumusan masalah yang sudah dibuat, sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui syarat fakultatif dan kumulatif ditinjau dari prespektif teori Maslahah Mursalah.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam hal syarat fakultatif dan kumulatif dalam putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs dan putusan nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA. Btn.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yakni:

(21)

8

a. Memberikan wawasan keilmuan dibidang hukum keluarga khususnya dibidang hukum perkawinan tentang izin poligami.

b. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana analisa secara mendalam mengenai izin poligami.

c. Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang akan melakukan penelitian berkaitan mengenai izin poligami.

2. Secara praktis diharapkan dapat:

a. Memberikan informasi yang bermanfaat kepada masyarakat pada umumnya dan secara khusus kepada praktisi hukum.

b. Menjadi pedoman bagi akademisi hukum keluarga.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dari hasil penelusuran pada karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan izin poligami ternyata memiliki sejumlah bahasan yang berbeda. Baik itu secara tematik serta objek kajian yang diteliti. Adapun kajian terdahulu yang penulis temukan diantaranya adalah sebagai berikut :

Muhammad Irfan Nurhadi (2014), dalam penelitiannya yang berjudul

“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami Karena Istri Bekerja Diluar Negri (Studi Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 185/Pdt.G/2012/PA. Smn)”. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa yang menjadi dasar

hakim dalam putusan tersebut adalah Pasal 4 ayat (2) huruf a dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 junto Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam, meskipun dalam putusan tidak disebutkan secara langsung tetapi hal tersebut menjadi dasar hukum hakim, sedangkan pertimbangan hakim mengabulkan permohonan izin poligami karena demi kemashlahatan. Karena dengan menolak izin poligami dapat menimbulkan kemadharatan yang lebih besar.13

Muhammad Najmul Walid (2017), dalam penelitiannya yang berjudul

“Analisis Izin Poligami Di Pengadilan Agama (Studi Putusan Hakim Terhadap Izin Poligami Di PA Semarang Tahun 2016)”. Ia menjelaskan bahwa di

13Muhammad Irfan Nur Hadi, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami Karena

Istri Bekerja Diluar Negri (Studi Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 185/Pdt.G/2012/PA. Smn), Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

(22)

Pengadilan Agama Semarang penerapan syarat-syarat poligami tidak bersifat kaku sehingga hakim dapat berijtihad keluar dari konteks undang-undang dengan melakukan penafsiran maupun contra legem apabila perhomonan izin poligami tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang telah diatur oleh undang-undang.14

Mohamad Arik Borneo (2019), penelitiannya berjudul “Penolakan

Hakim Terhadap Izin Poligami (Analisis Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PA. JB)”. Dalam penelitiannya ia menjelaskan bahwa dalam pertimbangan hakim

menolak permohonan izin poligami padahal telah terpenuhinya salah satu syarat alternatif yang ditentukan dalam undang-undang (istri tidak dapat melahirkan) itu dikarenakan suami ingin menikahi perempuan yang bukan pilihan istrinya dan itu lebih kepada keinginan pribadi dengan mengorbankan keutuhan rumah tangganya. dan apabila hakim mengabulkan permohonannya maka rumah tangga suami akan hancur karena suami berpoligami dengan perempuan yang bukan pilihan istri pertamanya.15

Hasim Efendi (2015) dengan judul “Tinjaun Hukum Islam Terhadap

Perzinahan Sebagai Alasan Poligami (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Temanggu No. 070/Pdt.G/2014/PA. Tmg)”. Dalam skripsi ini

dijelaskan bahwa perzinahan tidak dapat dijadikan sebagai alasan seseorang boleh mengajukan izin poligami. Dalam memutuskan perkara ini majelis hakim lebih mempertimbangkan apakah pemohon sudah memenuhi syarat serta ketentuan yang berlaku dalam hokum Islam maupun hukum yang telah diterapkan di Indonesia atau tidak. Sebab inilah majelis hakim mengabulkan permohon izin poligaminya.16

14

Muhammad Najmul Walid , “Analisis Izin Poligami Di Pengadilan Agama (Studi

Putusan Hakim Terhadap Izin Poligami Di PA Semarang Tahun 2016)”, Skripsi Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Walisongo Semarang, 2017.

15

Mohamad Arik Borneo, “Penolakan Hakim Terhadap Izin Poligami (Analisis Putusan

Nomor 1143/Pdt.G/2012/PA. JB)”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2019.

16Hasim Efendi “Tinjaun Hukum Islam Terhadap Perzinahan Sebagai Alasan Poligami

(Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Temanggu No. 070/Pdt.G/2014/PA. Tmg)”, Skripsi

(23)

10

Secara umum seluruh penelitian di atas lebih menitik beratkan pada penolakan hakim terhadap persyaratan izin poligami yang bersifat normative demi kemashlahatan rumah tangga. Sedangkan perbedaan mendasar antara penelitan terdahulu dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah pada pertimbangan hakim yang secara normatif bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, sehingga penelitian ini jauh lebih menarik dari penelitian-penelitian sebelumnya dengan pembahasan yang hampir serupa.

F. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakansuatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada suatu metode, sistematika danpemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapagejala hukum, dengan jalan menganalisanya.17 Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian normatif legal research yaitu penelitian yang sasarannya pada data sekunder terutama bahan hukum primer (hukum yang mempunyai kekuatan mengikat) yang kemudian dianalisis secara kualitatif dalam arti perumusan pembenaran melalui kualitas norma hukum itu sendiri, pendapat-pendapat ahli/doktrin dan pendukung informasi hukum.18 Dan dikaitkan dengan masalah yang diteliti. 2. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan statute

approach (pendekatan undang) yaitu dengan menelaah

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani.19 Dan juga menggunakan buku-buku terkait perkawinan poligami yang kemudian dihubungkan dengan case approach (pendekatan kasus) yang terdapat pada putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor

17Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986) h. 43. 18 Meray Hendrik Mezak, Jenis, Metode, dan Pendekatan Dalam Penelitian Hukum (Lab

Review, Fakultas HukumUniversitas Pelita Harapan, Vol. 5 No. 3, Maret 2006) h. 85.

(24)

2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA. Btn lalu kemudian di analisis.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini, bahan atau materi penelitian bersumber dari data primer dan sekunder yakni :

a. Bahan Hukum Primer

Sumber data primer yaitu bahan-bahan hukum, yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.Dalam tulisan ini diantaranya putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs dan putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA. Btn, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Fikih lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder

Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, dan tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok dalam bahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera, dan salah satu ciri dari data sekunder tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.20

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah dengan cara menganalisis data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dan data-data dari Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten.

5. Teknik Pengelolahan dan Analisis Data

Teknik analisis data dalam penulisan ini diawali dengan mengumpulkan berbagai dokumen peraturan perundang-undangan serta bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul dalam penelitian ini.

20Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas Indonesia,

(25)

12

Kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik terkait kata-kata (word), makna (meaning) simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lain yang dimaksudkan dalam isi peraturan perundang-undangan tersebut.21 6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang di terbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab, dimana masing-masing Bab berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:

Bab Pertama, berisikan Pendahuluan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang akan dibahas, Latar belakang masalah, Identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sitematika penulisan.

Bab Kedua, berisi kajian pustaka yaitu memberi gambaran mengenai ketentuan umum tentang poligami terdiri dari poligami ditinjau dari Hukum Islam dan poligami ditinjau dari Hukum Positif dan kemudian membahas tentang konsep maslahah mursalah.

Bab Ketiga, berisi tentang penguraian putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs dan putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA. Btn yang meliputi duduk perkara, pertimbang hakim dan putusan hakim.

Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini, yaitu analisis terhadap syarat fakultatif dan kumulatif dalam izin poligami

berdasarkan putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor

2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs dan putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor 0014/Pdt.G/2019/PTA. Btn

21

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 24.

(26)

Bab Kelima, merupakan bab akhir pada penelitian ini yang terdiri dari penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.

(27)

14 BAB II

KETENTUAN UMUM POLIGAMI DAN KONSEP MASLAHAH MURSALAH

A. Poligami

1. Pengertian Poligami

Perkawinan merupakan suatu akad yang sangat kuat (mitsaqon ghalidlan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah.1 Sedangkan menurut Sajuti Thalib,

perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki- laki dan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun- menyantuni, kasihmengasihi, tentram dan bahagia.2

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkab bahwa perkawinan menganut asas monogami yang mana seorang suami hanya boleh memiliki seorang isteri dan seorang isteri hanya boleh memiliki seorang suami. Akan tetapi asas tersebut bukanlah asas monogami yang mutlak dan masih terbuka pintu lebar bagi seorang suami untuk memiliki lebih dari satu seorang isteri atau melakukan perkawinan poligami.3

Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat muslim adalah poligami. Poligami sendiri memiliki pengertian bahwa seorang laki-laki mengawini dua orang perempuan atau lebih dan dalam pelaksanaannya Undang-undang perkawinan mengatur tentang poligami.

1 Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung : Pustaka Setia, 2000), hlm. 11 2

Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam : suatu Analisis Undang- Undang No 1

tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), hlm. 2

3 Nur Shofia Ulfiyati, Izin Isteri Sebagai Syarat Poligami Perspektif Hak Asasi Manusia:

Kajian Terhadap Undang Undang Perkawinan, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 8, Nomor 2

(28)

Secara etimologis kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari dua kata poli atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Jika digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak, dan bisa jadi dalam arti yang tidak terbatas. Sedangkan secara terminologi, Poligami yaitu seorang laki-laki beristeri lebih dariseorang, akan tetapi dibatasi paling banyak empat orang.4

Adapun dalam istilah kitab-kitab fiqih poligami disebut dengan ta‟addud

al-zaujat yang berarti banyak isteri, sedangkan secara istilah diartikan sebagai

kebolehan mengawini perempuan dua, tiga, atau empat, dengan syarat bisa berlaku adil dan jumhur ulama membatasi poligami hanya empat wanita saja.5

Definisi poligami dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian poligami sebagaisistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawanjenisnya dalam waktu yang bersamaan.6

Menurut Sayyid Qutub, poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah yang dapat dilakukan hanya dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini masih disyaratkan harus bisa berbuat adil terhadap isteri-isteri dibidang nafkah, mu‟ amalah, pergaulan dan pembagian malam. Bagi calon suami yang tidak sanggup berbuat adil, maka diharuskan cukup menikahi satu orang isteri saja, sedangkan bagi suami yang sanggup berbuat adil, maka boleh berpoligami dengan batasan maksimal hanya empat orang isteri.7

2. Poligami Ditinjau dari Hukum Islam

a. Hukum dan Dasar Hukum Poligami

Islam merupakan agama dan pedoman yang mengatur pola hidup masyarakat dalam ruang lingkup kecil maupun besar. Semua permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat baik yang berkenaan dengan

4

Saleh Ridwan, Poligami di Indonesia, ,Ar- Risallah, Volume 10, Nomor 2 (November 2010), hlm 369.

5

Supardi Mursalim , Menolak Poligami Studi tentang Undang Undang Perkawinan dan

Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 16

6 Departemen Pendidikan Nasioanl, Kamus Besar Berbahasa Indonesia, (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 1089.

7

(29)

16

ibadat, mu‟amalat, munakahat dan sebagainya diatur dalam agama yang sempurna tersebut. Salah satu aspek yang diatur oleh Islam dalam kehidupan berumah tangga adalah poligami.8

Dalam pandangan Islam bahwa poligami itu hukum asalnya mubah atau diperbolehkan. Apabila seorang laki-laki mampu dari segi seksual, mampu dari segi materil dan mampu berlaku adil maka ia boleh untuk poligami. Kemudian apabila banyak wanita yang belum kawin, maka bagi laki-laki yang mempunyai kelebihan dianjurkan untuk kawin lebih dari satu demi terpenuhinya kebutuhan batin bagi wanita yang sangat membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dalam perkawinan yang sah dan halal menurut hukum Islam.9

Dasar hukum dibolehkannya poligami dalam Islam diatur dalam surat An-Nisa (4) ayat 3:

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Ayat diatas menyebutkan kebolehan poligami yang dilakukan jika diperlukan (karena khawatir tidak akan berlaku adil terhadap anak-anak yatim) dengan syarat yang cukup berat yaitu keadilan yang bersifat material. Ayat ini diturunkan segera setelah perang uhud Ketika masyarakat muslim dibebani

8

M. ichsan, Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam (Kajian Tafsir Muqaranah), Jurnal Ilmiah Syari‟ah, Vol. 17, Nomor, 2 (Juli-Desember 2018), hlm. 151.

9

Abu Samah, Izin Isteri Dalam Poligami Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun

(30)

dengan banyak anak yatim, janda serta tawanan perang. Maka perlakuan itu diatur dengan prinsip- prinsip kemanusiaan dan keadilan besar.10

Khusus mengenai asbab al-nuzul al-Nisa ayat 3, al-Shabuni mengemukakan dari Urwah ibn Zubair sesungguhnya ia pernah bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah di atas. Maka pertanyaan Urwah bin Zubair itu dijawab oleh Aisyah: ”Wahai keponakanku, maksud ayat ini adalah setiap perempuan yatim yang berada dalam asuhan laki-laki yang menjadi walinya, yang mana penggunaan harta benda keduanya tercampur. Laki-laki yang mengasuhnya tertarik pada harta dan kecantikan perempuan yatim yang diasuhnya, kemudian dia berkeinginan untuk menikahinya dengan tidak memberikan mahar yang layak kepadanya, lantas turunlah ayat yang berisi larangan bagi para wali untuk menikahi perempuan yatim yang berada dalam asuhannya, kecuali jika dia memberikan kepadanya mahar yang sepantasnya. Para wali juga diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan lain yang baik dan mereka senangi di samping perempuan yatim yang diasuhnya.11

Menurut Abduh, poligami dibenarkan oleh syar‟I dalam keadaan darurat, seperti ketika dalam keadaan perang dan dengan syarat yang tidak menimbulkan kerusakan dan kedzaliman. Baginya poligami dianggap baik hanya sebatas konteks umat Islam generasi awal, berbeda dengan generasi saat ini. Poligami menjadi bencana dan hanya menimbulkan konflik, kebencian dan juga permusahan antara isteri-isteri dan anak-anak.22

Dan hadist Nabi tentang Ghailan bin Salamah dan Naufal bin Muawiyah yang memiliki sepuluh orang istri sebelum masuk Islam, kemudian Nabi memberikan perintah kepada mereka untuk memilih empat orang istri saja dan menceraikan yang lain ketika masuk Islam.12

10

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta : Prenamedia Group, 2016), Hlm. 87.

11 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Terjemahan oleh Abdurrahim, dkk, (Jakarta: Cakrawala

Publishing, 2008), hlm. 345

22 Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., S.Ag., M.Ag., Hukum Perkawinan Di Indonesia (Tangerang

Selatan: YASMI (Yayasan Asy-Syari‟ah Modern Indonesia), 2018), hlm. 185

12

A. Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-qur‟an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), hlm. 206

(31)

18

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami (Hannad), telah menceritakan kepada kami (Abdah) dari (Sa‟id bin Abu „Arubah) dari (Ma‟mar) dari (Az-Zuhri) dari (Salim bin Abdullah) dari (Ibnu Umar) bahwa Ghailan bin Salamah Ats Tsaqafi masuk Islam sedang dia saat itu memiliki sepuluh orang istri dari masa Jahiliyah. Mereka semuanya masuk Islam juga. Nabi SAW menyuruhnya agar memilih empat dari mereka”.

Rasyid Ridho mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi bahwa Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human

nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak

tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anank-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri berserta anak-anaknya masing-masing.13

Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak istri-istrinya, maka suami haram untuk melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga orang, maka ia haram menikahi istri keempatnya dan begitupun sebaliknya. 14

Berkenaan dengan ketidakadilan suami terhadap istri-istrinya, Nabi Muhammad SAW bersabda:

13

Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 130-131.

14

Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 132.,

(32)

Dari Abu Huraira ra. Sesumgguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda: Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah satunya, makai akan datang pada Hari Kiamat.

Kemudian Yusuf al-Qardawi berpendapat bahwa hukum poligami dibagi menjadi tiga macam, dengan ketentuan sebagai berikut:15

1) Boleh berpoligami

Al-Quran jelas membolehkan poligami, akan tetapi kebolehan poligami tersebut sebenarnya merupakan rukhsah atau keringanan untuk keadaan-keadaan tertentu saja, artinya tidak diperbolehkan untuk sembarangan keadaan. Menurut Yusuf al-Qardawi, ada 2 keadaan dimana poligami diperbolehkan yaitu, Pertama: manusia yang kuat keinginannya untuk memiliki keturunan, akan tetapi istrinya tidak beranak (mandul) karena sakit atau sebab lainnya. Kedua: laki-laki yang kuat syahwatnya, akan tetapi istrinya tidak kuat karena sakit atau haidnya terlalu lama dan sebab-sebab lainnya, sementara lelaki tersebut tidak tahan dalam waktu lama tanpa wanita

2) Makruh berpoligami

Jika seorang Muslim menikah dengan satu istri yang dapat menjadi penghibur dan penentram hatinya dengan demikian terciptalah suasana sakina, mawaddah wa rahmah, yang merupakan sendi-sendi kehidupan suami-istri menurut al-Quran. Maka dari itu ulama mengatakan: “Orang yang mempunyai satu istri yang mampu memelihara dan mencukupi kebutuhannya, dimakruhkan baginya untuk menikah lagi. Karena hal itu membuka peluang bagi darinya untuk melakukan sesuatu yang haram”. 3) Haram berpoligami

Yaitu bagi orang yang lemah (tidak mampu) untuk mencari nafkah kepada istrinya yang kedua atau khawatir dirinya tidak bisa berlaku adil terhadap kedua istrinya.

15

Anshori Fahmi, Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah, (Bandung: Pustaka Liman, 2007) h. 177-183

(33)

20

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa poligami menurut para ulama diperbolehkan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Selain itu adapula yang memperbolehkan poligami hanya dalam keadaan darurat saja dan adapula yang mengharamkan poligami apabila suami khawatir dapat berbuat zalim apabila ia berpoligami.

b. Syarat-Syarat Poligami

Islam adalah Agama yang sangat mengutamakan keberanian, keselarasan dan keseimbangan. Dalam Islam perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami namun, Islam memberikan kelonggaran untuk suami yang ingin berpoligami dengan berbagai syarat dan syarat yang ditentukan bukan syarat yang mudah.

Ilham Marzuq dalam bukunya, beliau memberikan syarat-syarat jika seorang suami ingin berpoligami, diantaranya adalah:16

1) Kuat imannya

Seseorang suami harus mempunyai keimanan hati yang kuat ketika berhadapan dengan segala cobaan dalam rumah tangga. Karena sebagai seorang suami berpoligami tentunya harus memimpin keluarga, membimbing, mengayomi, mendidik dan melindung istri-istrinya beserta keluarganya.

2) Baik akhlaknya

Akhlak atau budi pekerti adalah salah satu pondasi dalam rumah tangga. Karena salah satu tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Rasa kasih saying terhadap para istri akan lebih erat jika diiringi dengan akhlak dan budi pekerti yang baik.

3) Mempunyai materi yang cukup

Selain menjadi kepala rumah tangga, suami juga harus memenuhi segala kewajiban dan kebutuhan istri-istrinya dan juga anak-anaknya. Oleh karena itu kebutuhan materi sangatlah penting di dalam sebuah keluarga

16 M. Ilham Marzuq, Poligami Selebritis, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka April,

(34)

dan sudah menjadi kewajiban seorang suami untuk memenuhi semua kebutuhan istri-istrinya.

4) Jalan darurat

Salah satu syarat ini bisa jadi pintu pembuka poligami, yang artinya tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk memecahkan sebuah masalah dalam keluarga yang membawa dampak jangka panjang. Misalnya istri tidak dapat memberikan keturunan dengan keadaan tersebut dikhawatirkan kelak tidak ada keturunan untuk menyambung silsilah keluarga.

Sedangkan menurut Isham dan Musfir syarat-syarat poligami yaitu meliputi jumlah istri, pembagian nafkah, dan adil kepada seluruh istri.17

1) Jumlah Istri

Dalam hal ini, jumhur ulama berpendapat bahwa kebolehan poligami terbatas pada empat perempuan saja dan mereka berlandasan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ghailan bin Salamah ats-Tsafiqi.

Dengan adanya kebolehan poligami terbatas pada empat perempuan saja, Abdurrahman al-Ghozali menjelaskan bahwa dengan dengan adanya batas maksimal berpoligami dapat mencegah adanya kelalain dalam tanggung jawab terhadap istri-istrinya. Karena jika menikah lebih dari empat istri dapat melampaui batas kemampuan baik dari segi fisik maupun mental. Selain itu dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil dn cenderung dapat melakukan kezaliman baik terhadap dirinya sendiri maupun istri dan anak-anaknya.18

2) Pembagian Nafkah

Memberi nafkah menjadi kewajban suami agar hak istri dapat terpenuhi. Nafkah yang dimaksud adalah mencakup makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan alat-alat rumah tangga lainnya. Apabila seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu, maka pemberian

17 Abu Malik Kamal Ibn Sayyid Salim, Fiqh As-Sunnah Li an-Nisa, Penerjemah Firdaus

Sanusi, Fikih Sunnah Wanita, (Jakarta: Qisthi Press, 2013), h. 562

(35)

22

nafkah harus dipertimbangkan secara adil baik secara zahir atau batin meskipun Quraish Shihab berpendapat bahwa suami akan mustahil dapat memberikan nafkah batin kepada istri-istrinya secara adil.19

3) Adil

Adil yang dimaksid adalah keadilan yang dapat direalisasikan manusia, yaitu bersikap seimbang kepada seluruh isteri dalam makan, minum, pakaian, tempat tinggal, bermalam, dan bermu‟amalah sesuai dengan keadaan para isteri.

Menurut Yusuf Qardhawi, adil berada dalam keyakinan, jika seorang suami yakin pada dirinya sendiri dapat berlaku adil jika berpoligami maka diperbolehkan, namun apabila tidak adanya keyakinan pada diri sendiri dapat berlaku adil maka haram baginya berpoligami.20

3. Poligami Ditinjau dari Hukum Positif

a. Hukum dan Dasar Hukum Poligami

Poligami di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menjadi dasar diperbolehkannya poligami diatur pada Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.21

Sedangkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menjadi dasar hukum poligami terdapat pada Pasal 43 yang mana “Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang”.23

19 Musda Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Kerjasama antara

Lembaga Kajian Agama Dan Gender, Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999), hlm. 46

20 Yusuf Qardhawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, Terj. Abu Sa‟id Al-Falahi, (Jakarta:

Robbani Press, 2002), hlm. 214

21

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinans

(36)

Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa “Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43”.24

Dalam Kompilasi Hukum Islam memberikan pengaturan tentang tata cara berpoligami bagi pemeluk agama Islam, yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan konsep mazhab-mazhab konvensional termasuk Syafi‟i. sebagaimana diatur pada bab IX Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari Pasal 55 sampai Pasal 59.

b. Syarat-Syarat Poligami

Adapun syarat-syarat poligami yang di atur dalam Hukum Positif tercantuk dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ialah bahwa pengadilan hanya dapat memberikan izin kepada suami untuk berpoligami apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Kemudian Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang hendak melakukan poligami adalah:

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidu istri-istri dan anak-anak mereka

c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap anak dan istri-istri mereka.

Persyaratan yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dapat disebut dengan dengan syarat fakultatif. Syarat fakultatif ialah syarat yang wajib dipenuhi minimal satu saja yang berhubungan

(37)

24

dengan alasan yang digunakan seorang suami dalam mengajukan izin poligami.25 Jika salah satu dari syarat fakultatif terpenuhi maka seorang suami sudah memenuhi syarat-syarat untuk perpoligami.

Sedangkan persyaratan yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebut dengan syarat kumulatif. Syarat kumulatif ialah syarat yang wajib dipenuhi dalam permohonan poligami. Oleh karena itu, jika seorang suami hendak melakukan poligami maka ketiga syarat yang ada pada Pasal 5 harus lah dipenuhi semuanya.

Kompilasi Hukum Islam pun mengatur persyaratan seorang suami jika hendak berpoligami. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 55 dan juga Pasal 56. Adapun ketentuan yang tertuang dalam Pasal 55 menyatakan bahwa batas untuk beristeri lebih hanya sampai empat isteri, syarat utama beristeri lebih dari seorang suami harus mampu berlaku adil, dan apabila suami tidak mungkin dapat berlaku adil maka suami dilarang beristeri lebih dari seorang.26

Sedangkan dalam Pasal 56 mengatur bahwa suami yang hendak beristeri lebih dari seorang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Selain itu, pengajuan permohonan izin poligami dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan apabila perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga dan keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum

Selanjutnya dalam Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam bahwa Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, suami harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

25Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenamedia Group, 2016), h.

97.

(38)

Perkawinan, yang mana harus adanya persetujuan isteri dan adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang tersebut diatas, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.27

Permohonan izin poligami yang diajukan oleh suami kepada Pengadilan Agama merupakan perkara contentious karena diperlukan persetujuan istri. Selain itu, dalam permohonan izin poligami terdapat kepentingan orang lain, dimana didalamnya dimungkinan terjadi sengketa antara pihak seperti sengketa harta bersama sehingga perkara tersebut harus diselesaikan dengan cara contentiosa. Karena itu, perkara ini diproses di kepaniteraan gugatan dan di daftar dalam register induk perkara gugatan.28

B. Konsep Maslahah Mursalah

1. Pengertian Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah.

Secara etimologi kata maslahah berasal dari kata shalaha (حلص( yang berarti manfaat, faedah dan patut.29 Kemudian maslahah adalah bentuk mufrad dari kata (حلاصم) yang merupakan masdar dari (حلصا) yang bermakna mendatangkan kemaslahatan. Sehingga kata maslahah juga diartikan dengan kata (حلاصلا) yang mempunyai arti kebaikan atau terlepas darinya kerusakan.30 Kata al-

27 Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam Nomor 1 Tahun 1997.

28 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 235. 29

Asnawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amrah: 2011), 128.

30 Muhammad Ali Rusdi, Maslahat Sebagai Metode Ijtihad Dan Tujuan Utama Hukum

(39)

26

maslahah adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah, juga dilawankan dengan kata al-madarrah yang mengandung arti kerusakan.

Dalam arti umum, maslahah diartikan sebagai segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan atau dalam arti menolak atau menghindarkan, seperti menolak kemudaratan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahat, meski manfaat yang dimaksud mengandung dua sisi, yaitu mendatangkan kebaikan dan menghindarkan bahaya atau kerusakan di sisi lain.31

Menurut al-Ghazali, secara terminologi maslahah adalah sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menghindarkan mudarat (bahaya/ kerusakan). Yang dimaksud dengan manfaat dalah syara‟ ialah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta kekayaan. Sehingga semua hal yang memenuhi kelima unsur tersebut disebut sebagai maslahah, dan sebaliknya hal-hal yang menyalahi unsur tersebut disebut mafsadat.32

Sedangkan Al-Bûtî, dalam bukunya Dawâbit al-Maslahah fî asy-Syarî„ah

al-Islâmiyyah, mengartikan maslahah sama dengan manfaat yang dapat

membuat kesenangan, atau suatu tindakan yang bisa mencegah dengan akibat (hasil) dapat memberikan manfaat kesenangan dan kesenangan ini dapat dirasakan langsung. Sebab, kesenangan itu merupakan fitrah yang selalu dicari setiap manusia, karena itu, manusia akan selalu berupaya untuk mencari kesenangan ini.33

Al-Mursalah adalah kata dasar dari (لسر) dengan penambahan huruf “alif” diawal sehingga menjadi (لسرا) yang isim maf‟ulnya adalah ( لسزملاح ).

Al-Mursalah secara etimologi adalah “terlepas” atau “bebas”. Dan apabila

dihubungkan dengan kata maslahah maksudnya adalah “terlepas atau bebas

31 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 345

32 Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maṣ laḥ ah”, Salam: Jurnal Filsafat dan Budaya

Hukum, vol. 12, no. 2, (Desember 2014), hlm. 314

33 Al-Bûtî, Dawâbit Maslahah fî asy-Syarî„ah Islâmiyyah (Beirut: Muassasah

(40)

dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan namun tetap sesuai dengan tujuan-tujuan syara”.34

Kemudian definisi Maslahah mursalah itu sendiri ialah suatu metode

ijtihad untuk menggali istinbath hukum Islam untuk persoalan-persoalan yang

tidak dinyatakan dalam nashnya dengan memperhatikan kepentingan Maslahah, yakni memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.35

Wahbah Zuhaily memberikan definisi bahwa Maslahah mursalah adalah sifat-sifat yang mempunyai kesamaan dengan penetapan dan tujuan syara‟ akan tetapi tidak ada dalil khusus yang mengukuhkan atau menolaknya. Kemudian dari hubungan karakter atau sifat tersebut dengan hukum ini menghasilkan sebuah perwujudan kemaslahatan untuk menolak atau menghindari mafsadah kepada manusia.36

Muhammad Abu Zahra memberikan definisi bahwa Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan syariat Islam dan tidak ada petunjuk yang memberikan bukti tentang pengakuan atau penolakan terhadap hal tersebut.37

Dengan demikian, Maslahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal dan sejalan dengan syara‟ dalam menetapkan hukum yang mana tidak ada petunjuk dari syara‟ secara khusus untuk menolak atau mengaturnya demi mewujudkan kebaikan atau menghindari keburukan bagi manusia.38

34 Asriaty, Penerapan Maslahah Mursalam Dalam Isu-Isu Kontemporer, Jurnal Madania,

Volume 19 Nomor 1, (Juni, 2015) hlm. 121.

35 Drs. Dede Rosyada, MA, Hukum Islam Dan Pranata Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers,

1993), hlm. 54;

36 Wahbah al-Zuhaily, Ushul Fiqh Islamiy, (Beirut Libanon: Daar Fikr, Juz II, 2008),

hlm. 37.

37 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Edisi Pertama Cetakan Ke-6 (Jakarta: Kencana, 2011),

hlm. 355-336

38 M. Nasib Ar-Rifa‟I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Edisi Jilid III (Jakarta: Gemma

(41)

28

2. Dasar Hukum Maslahah Mursalah

Teori Maslahah mursalah dipelopori oleh Imam Malik sebagai landasan berfikir dalam menetapkan hukum. Adapun landasan hukum maslahah

mursalah adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur‟an

1) Surat Al-Anbiya‟ [21] ayat 107:

Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Adapun penjelasan dalam ayat ini, Allah SWT menjelaskan tujuan-Nya dalam mengutus Nabi Muhammad SAW yang membawa agam Islam sebagai rahmat bagi semesta dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akhirat. Maka barangsiapa yang menerima rahmat dan mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan berbahagia di dunia dan di akhirat sedangkan barangsiapa yang menolak dan menentangnya niscaya dia akan merugi di dunia dan di akhirat.

2) Surat An-Nisa [4] ayat 59

ٓ

ٓ

Artinya: “Hai orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang beriman itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Sayyid Qutub menjelaskan tentang ayat tersebut bahwa Allah SWT menjelaskan syarat Iman dan batasan Islam namun dijelaskan pula kaidah hukum dan sumber kekuasaan. Semua persoalan diselesaikan sesuai dengan perintah Allah dan Rasul Nya. Sedangkan mengenai hal-hal yang tidak ada

(42)

nashnya diperlukan pertimbangan yang cukup serius dengan metode lain seperti istislah atau maslahah mursalah.39

b. Hadits

Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, Rasulullah bersabda:

“Muhammad Ibnu Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur Razzaq bercerita kepada kita, dari Jabir al-Jufiyyi dari Ikrimah, dari Ibn Abbas: Rasulullah SAW bersabda “tidak boleh membuat mazdarat (bahaya) pada dirinya dan tidak boleh pula membuat mazdarat pada orang lain” (HR. Ibn Majjah)”.

Al-Thufi menjelaskan bahwa hadits diatas perlu adanya penerapan maslahah dan menghindari kerusakan. Karena pada lafadz رزض لا yang dimaksud ialah kerusakan. Maka jika syara‟ mempunyai tujuan untuk menolak kerusakan maka harus menetapkan kemaslahatan.40

c. Ijma‟

Pada masa kepemimpinan Abu Bakar, para sahabat Para sahabat telah menghimpun ayat-ayat Al-Qur‟an dalam satu mushaf. Hal ini dilakukan karena khawatir ayat-ayat tersebut akan hilang dan sementara perintah dan larangan Nabi Muhammad SAW tentang hal tersebut tidak ditemukan sehingga upaya pengumpulan ayat-ayat tersebut dilakukan semata-mata demi kemaslahatan. Dengan demikian dalam tataran praktis para sahabat telah menerapkan

maslahah mursalah, meskipun secara teknis istilah tersebut belum ada

ketentuannya saat itu.41

Atas dasar al-Qur‟an dan Hadits di atas maka Syaikh Izzuddin bin Abdul Salam menjelaskan bahwa dalam penerapan maslahah mursalah, setidaknya

39 Sayyid Qutub, Tafsir fi Dzilalil Qur‟an Jilid II, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),

hlm. 345

40 Abdul Al-Karim Al-Tufi, Risalah fi Ri„ayat Al-Maslahah, (Beirut: Daar al-Masdiyah

al-Bananiyah, 1998), hlm.17

41 Mohammad Rusfi, Validitas Maslahat Mursalah Sebagai Sumber Hukum, Jurnal

Referensi

Dokumen terkait

Proses pembuatan beras analog dilakukan dengan penambahan nanokalsium dari tulang ikan swanggi, bawal, mujair, kemudian ditambahkan tepung umbi garut dan tepung

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang bejudul “Pengaruh Persepsi Kemudahan Penggunaan, Persepsi Manfaat dan

Sedangkan dalam hal ini para pemimpin organisasi, yaitu pada ketua Muslimat NU yang menyampaikan pesan dari para calon kandidat untuk disampaikan pada anggota

Pengaturan lain mengenai penyadapan terdapat dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

Keterangan : Monticellita adalah mineral yang agak sulit dikenal karena tidak mempunyai sifat yang jelas, mempunyai forster dan olivine tetapi mempunyai bias rangkap

Ada hubungan antara tinggi dinding sumur gali, kondisi lantai sumur gali, dan jarak sumur gali dari sumber pencemar dengan kadar nitrit pada air sumur gali di Kelurahan

Efektivitas media schedule board dalam meningkatkan keterampilan menulis kalimat bahasa jepang (penelitian eksperimen murni terhadap siswa kelas viii-d smp laboratorium upi tahun

Hasil kegiatan Iptek Bagi Masyarakat (IbM) yang dilaksanakan pada kedua mitra adalah tersedianya sistem pelayanan kesehatan 5 meja pada kedua poslan dan