• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KETENTUAN UMUM POLIGAMI DAN KONSEP MASLAHAH

2. Poligami Ditinjau dari Hukum Islam

a. Hukum dan Dasar Hukum Poligami

Islam merupakan agama dan pedoman yang mengatur pola hidup masyarakat dalam ruang lingkup kecil maupun besar. Semua permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat baik yang berkenaan dengan

4

Saleh Ridwan, Poligami di Indonesia, ,Ar- Risallah, Volume 10, Nomor 2 (November 2010), hlm 369.

5

Supardi Mursalim , Menolak Poligami Studi tentang Undang Undang Perkawinan dan

Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 16

6 Departemen Pendidikan Nasioanl, Kamus Besar Berbahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 1089.

7

16

ibadat, mu‟amalat, munakahat dan sebagainya diatur dalam agama yang sempurna tersebut. Salah satu aspek yang diatur oleh Islam dalam kehidupan berumah tangga adalah poligami.8

Dalam pandangan Islam bahwa poligami itu hukum asalnya mubah atau diperbolehkan. Apabila seorang laki-laki mampu dari segi seksual, mampu dari segi materil dan mampu berlaku adil maka ia boleh untuk poligami. Kemudian apabila banyak wanita yang belum kawin, maka bagi laki-laki yang mempunyai kelebihan dianjurkan untuk kawin lebih dari satu demi terpenuhinya kebutuhan batin bagi wanita yang sangat membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dalam perkawinan yang sah dan halal menurut hukum Islam.9

Dasar hukum dibolehkannya poligami dalam Islam diatur dalam surat An-Nisa (4) ayat 3:

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Ayat diatas menyebutkan kebolehan poligami yang dilakukan jika diperlukan (karena khawatir tidak akan berlaku adil terhadap anak-anak yatim) dengan syarat yang cukup berat yaitu keadilan yang bersifat material. Ayat ini diturunkan segera setelah perang uhud Ketika masyarakat muslim dibebani

8

M. ichsan, Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam (Kajian Tafsir Muqaranah), Jurnal Ilmiah Syari‟ah, Vol. 17, Nomor, 2 (Juli-Desember 2018), hlm. 151.

9

Abu Samah, Izin Isteri Dalam Poligami Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun

dengan banyak anak yatim, janda serta tawanan perang. Maka perlakuan itu diatur dengan prinsip- prinsip kemanusiaan dan keadilan besar.10

Khusus mengenai asbab al-nuzul al-Nisa ayat 3, al-Shabuni mengemukakan dari Urwah ibn Zubair sesungguhnya ia pernah bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah di atas. Maka pertanyaan Urwah bin Zubair itu dijawab oleh Aisyah: ”Wahai keponakanku, maksud ayat ini adalah setiap perempuan yatim yang berada dalam asuhan laki-laki yang menjadi walinya, yang mana penggunaan harta benda keduanya tercampur. Laki-laki yang mengasuhnya tertarik pada harta dan kecantikan perempuan yatim yang diasuhnya, kemudian dia berkeinginan untuk menikahinya dengan tidak memberikan mahar yang layak kepadanya, lantas turunlah ayat yang berisi larangan bagi para wali untuk menikahi perempuan yatim yang berada dalam asuhannya, kecuali jika dia memberikan kepadanya mahar yang sepantasnya. Para wali juga diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan lain yang baik dan mereka senangi di samping perempuan yatim yang diasuhnya.11

Menurut Abduh, poligami dibenarkan oleh syar‟I dalam keadaan darurat, seperti ketika dalam keadaan perang dan dengan syarat yang tidak menimbulkan kerusakan dan kedzaliman. Baginya poligami dianggap baik hanya sebatas konteks umat Islam generasi awal, berbeda dengan generasi saat ini. Poligami menjadi bencana dan hanya menimbulkan konflik, kebencian dan juga permusahan antara isteri-isteri dan anak-anak.22

Dan hadist Nabi tentang Ghailan bin Salamah dan Naufal bin Muawiyah yang memiliki sepuluh orang istri sebelum masuk Islam, kemudian Nabi memberikan perintah kepada mereka untuk memilih empat orang istri saja dan menceraikan yang lain ketika masuk Islam.12

10

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta : Prenamedia Group, 2016), Hlm. 87.

11 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Terjemahan oleh Abdurrahim, dkk, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), hlm. 345

22 Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., S.Ag., M.Ag., Hukum Perkawinan Di Indonesia (Tangerang Selatan: YASMI (Yayasan Asy-Syari‟ah Modern Indonesia), 2018), hlm. 185

12

A. Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-qur‟an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), hlm. 206

18

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami (Hannad), telah menceritakan kepada kami (Abdah) dari (Sa‟id bin Abu „Arubah) dari (Ma‟mar) dari (Az-Zuhri) dari (Salim bin Abdullah) dari (Ibnu Umar) bahwa Ghailan bin Salamah Ats Tsaqafi masuk Islam sedang dia saat itu memiliki sepuluh orang istri dari masa Jahiliyah. Mereka semuanya masuk Islam juga. Nabi SAW menyuruhnya agar memilih empat dari mereka”.

Rasyid Ridho mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi bahwa Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human

nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak

tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anank-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri berserta anak-anaknya masing-masing.13

Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak istri-istrinya, maka suami haram untuk melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga orang, maka ia haram menikahi istri keempatnya dan begitupun sebaliknya. 14

Berkenaan dengan ketidakadilan suami terhadap istri-istrinya, Nabi Muhammad SAW bersabda:

13

Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 130-131.

14

Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 132.,

Dari Abu Huraira ra. Sesumgguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda: Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah satunya, makai akan datang pada Hari Kiamat.

Kemudian Yusuf al-Qardawi berpendapat bahwa hukum poligami dibagi menjadi tiga macam, dengan ketentuan sebagai berikut:15

1) Boleh berpoligami

Al-Quran jelas membolehkan poligami, akan tetapi kebolehan poligami tersebut sebenarnya merupakan rukhsah atau keringanan untuk keadaan-keadaan tertentu saja, artinya tidak diperbolehkan untuk sembarangan keadaan. Menurut Yusuf al-Qardawi, ada 2 keadaan dimana poligami diperbolehkan yaitu, Pertama: manusia yang kuat keinginannya untuk memiliki keturunan, akan tetapi istrinya tidak beranak (mandul) karena sakit atau sebab lainnya. Kedua: laki-laki yang kuat syahwatnya, akan tetapi istrinya tidak kuat karena sakit atau haidnya terlalu lama dan sebab-sebab lainnya, sementara lelaki tersebut tidak tahan dalam waktu lama tanpa wanita

2) Makruh berpoligami

Jika seorang Muslim menikah dengan satu istri yang dapat menjadi penghibur dan penentram hatinya dengan demikian terciptalah suasana sakina, mawaddah wa rahmah, yang merupakan sendi-sendi kehidupan suami-istri menurut al-Quran. Maka dari itu ulama mengatakan: “Orang yang mempunyai satu istri yang mampu memelihara dan mencukupi kebutuhannya, dimakruhkan baginya untuk menikah lagi. Karena hal itu membuka peluang bagi darinya untuk melakukan sesuatu yang haram”. 3) Haram berpoligami

Yaitu bagi orang yang lemah (tidak mampu) untuk mencari nafkah kepada istrinya yang kedua atau khawatir dirinya tidak bisa berlaku adil terhadap kedua istrinya.

15

Anshori Fahmi, Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah, (Bandung: Pustaka Liman, 2007) h. 177-183

20

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa poligami menurut para ulama diperbolehkan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Selain itu adapula yang memperbolehkan poligami hanya dalam keadaan darurat saja dan adapula yang mengharamkan poligami apabila suami khawatir dapat berbuat zalim apabila ia berpoligami.

b. Syarat-Syarat Poligami

Islam adalah Agama yang sangat mengutamakan keberanian, keselarasan dan keseimbangan. Dalam Islam perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami namun, Islam memberikan kelonggaran untuk suami yang ingin berpoligami dengan berbagai syarat dan syarat yang ditentukan bukan syarat yang mudah.

Ilham Marzuq dalam bukunya, beliau memberikan syarat-syarat jika seorang suami ingin berpoligami, diantaranya adalah:16

1) Kuat imannya

Seseorang suami harus mempunyai keimanan hati yang kuat ketika berhadapan dengan segala cobaan dalam rumah tangga. Karena sebagai seorang suami berpoligami tentunya harus memimpin keluarga, membimbing, mengayomi, mendidik dan melindung istri-istrinya beserta keluarganya.

2) Baik akhlaknya

Akhlak atau budi pekerti adalah salah satu pondasi dalam rumah tangga. Karena salah satu tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Rasa kasih saying terhadap para istri akan lebih erat jika diiringi dengan akhlak dan budi pekerti yang baik.

3) Mempunyai materi yang cukup

Selain menjadi kepala rumah tangga, suami juga harus memenuhi segala kewajiban dan kebutuhan istri-istrinya dan juga anak-anaknya. Oleh karena itu kebutuhan materi sangatlah penting di dalam sebuah keluarga

16 M. Ilham Marzuq, Poligami Selebritis, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka April, 2009), h.63-67

dan sudah menjadi kewajiban seorang suami untuk memenuhi semua kebutuhan istri-istrinya.

4) Jalan darurat

Salah satu syarat ini bisa jadi pintu pembuka poligami, yang artinya tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk memecahkan sebuah masalah dalam keluarga yang membawa dampak jangka panjang. Misalnya istri tidak dapat memberikan keturunan dengan keadaan tersebut dikhawatirkan kelak tidak ada keturunan untuk menyambung silsilah keluarga.

Sedangkan menurut Isham dan Musfir syarat-syarat poligami yaitu meliputi jumlah istri, pembagian nafkah, dan adil kepada seluruh istri.17

1) Jumlah Istri

Dalam hal ini, jumhur ulama berpendapat bahwa kebolehan poligami terbatas pada empat perempuan saja dan mereka berlandasan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ghailan bin Salamah ats-Tsafiqi.

Dengan adanya kebolehan poligami terbatas pada empat perempuan saja, Abdurrahman al-Ghozali menjelaskan bahwa dengan dengan adanya batas maksimal berpoligami dapat mencegah adanya kelalain dalam tanggung jawab terhadap istri-istrinya. Karena jika menikah lebih dari empat istri dapat melampaui batas kemampuan baik dari segi fisik maupun mental. Selain itu dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil dn cenderung dapat melakukan kezaliman baik terhadap dirinya sendiri maupun istri dan anak-anaknya.18

2) Pembagian Nafkah

Memberi nafkah menjadi kewajban suami agar hak istri dapat terpenuhi. Nafkah yang dimaksud adalah mencakup makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan alat-alat rumah tangga lainnya. Apabila seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu, maka pemberian

17 Abu Malik Kamal Ibn Sayyid Salim, Fiqh As-Sunnah Li an-Nisa, Penerjemah Firdaus Sanusi, Fikih Sunnah Wanita, (Jakarta: Qisthi Press, 2013), h. 562

22

nafkah harus dipertimbangkan secara adil baik secara zahir atau batin meskipun Quraish Shihab berpendapat bahwa suami akan mustahil dapat memberikan nafkah batin kepada istri-istrinya secara adil.19

3) Adil

Adil yang dimaksid adalah keadilan yang dapat direalisasikan manusia, yaitu bersikap seimbang kepada seluruh isteri dalam makan, minum, pakaian, tempat tinggal, bermalam, dan bermu‟amalah sesuai dengan keadaan para isteri.

Menurut Yusuf Qardhawi, adil berada dalam keyakinan, jika seorang suami yakin pada dirinya sendiri dapat berlaku adil jika berpoligami maka diperbolehkan, namun apabila tidak adanya keyakinan pada diri sendiri dapat berlaku adil maka haram baginya berpoligami.20

Dokumen terkait