• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.2.2. Kejadian Acute Mountain Sickness (AMS)

Ada beberapa cara, baik menggunakan kuesioner secara tertulis, wawancara, maupun pemeriksaan fisik dan penunjang, untuk menegakkan seseorang mengalami AMS atau tidak. Salah satunya yaitu dengan menggunakan kuesioner Acute Mountain Sickness-Lake Louis Scoring (AMS-LLS). Dalam penelitian ini, kuesioner AMS-LLS yang digunakan hanya meliputi pertanyaan- pertanyaan seputar self-diagnosis dan tanpa pertanyaan clinical assessment yang membutuhkan pemeriksaan fisik. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi sakit kepala sebagai keluhan utama dan gejala-gejala lain, berupa gangguan pencernaan, kelelahan, oyong, dan gangguan tidur.

Onset munculnya keluhan terjadi dalam 6 – 10 jam ketika pendakian. Kemudian, semakin tinggi dan cepat pendakian, maka keluhan yang muncul bisa memburuk (Luks, 2014). Namun, studi lain menyebutkan bahwa keluhan AMS terjadi dalam 2 – 3 jam pertama ketika pendakian dan umumnya keluhan yang muncul dapat menghilang dengan sendirinya dalam 2 – 3 hari. Kembali ke ketinggian lebih rendah sesegara mungkin merupakan penanganan bagi yang mengalami AMS (West, 2004).

Setelah reponden mengisi kuesioner yang berisi gejala-gelaja AMS, diagnosis AMS ditegakkan dengan kriteria responden mengalami sakit kepala dan total skor kuesioner AMS-LLS ≥ 3 (Roach et al., 1993, dalam Hall et al., 2014).

43

Berdasarkan Tabel 5.9, AMS sebanyak 33 orang (34,4%). Selanjutnya, derajat keparahan AMS dapat ditentukan berdasarkan total skor yang didapat. Dalam hal ini, skor 3 – 4 ditegakkan sebagai AMS ringan, dan skor 5 – 10 sebagai AMS sedang, dan skor 11 – 15 sebagai AMS berat (Bartsch et al., 2004 dalam Liu et al., 2014). Berdasarkan ketentuan tersebut, didapatkan hasil bahwa AMS ringan terjadi pada 15 orang (45,5%) dan AMS sedang pada 18 orang (54,5%).

AMS itu sendiri biasanya tidak mengancam jiwa seseorang, tetapi dapat memengaruhi kualitas kesehatan, menurunkan produktivitas, dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Pada kasus yang berat, AMS dapat memicu terjadinya oliguria, perdarahan retina, ataxia, dan koma (Tao et al., 2013). Menurut West (2004), jika AMS dapat diketahui sesegera mungkin dan dilakukan , hal ini dapat mencegah kejadian High Altitude Pulmonary Edema (HAPE) dan High Altitude Cerebral Edema (HACE). HAPE merupakan kondisi yang lebih serius daripada AMS dan mekanisme terjadinya yaitu ada kerusakan kapiler pulmoner oleh karena kondisi hipoksia. HACE juga kondisi fatal yang mekanisme terjadinya belum diketahui secara jelas.

Sebuah studi analisis multivariat faktor risiko high-altitute illness yang parah menunjukkan Hypoxic Ventilator Response (HVR) dan faktor psikologis pada kondisi hipoksia dipengaruhi oleh karakteristik dan riwayat penderita AMS. Hal-hal tersebut yaitu jenis kelamin, bentuk dan tingkat aktivitas, kecepatan pendakian dan riwayat pernah mengalami high-altitude sickness dan migren (Richalet et al., 2012 dalam Bartsch dan Swenson, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh prevalensi kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) lebih banyak dialami oleh wanita (51,5%) daripada pria (48,5%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Mahomed et al.(2015) bahwa kejadian AMS pada wanita lebih besar, yakni sebesar 57 %, dibandingkan laki-laki sebesar 43%. Menurut penelitian Macinnis et al. (2013), jenis kelamin merupakan salah satu dari tiga faktor risiko lainnya yang secara signifikan dapat menimbulkan kejadian AMS. Selain itu, pada penelitian Venturino (2015),

44

analisis hubungan jenis kelamin dengan insidensi AMS menunjukkan kejadian AMS lebih banyak terjadi pada wanita.

Menurut Venturino (2015), tubuh melakukan berbagai respon pada kondisi lingkungan hipoksia dan respon tubuh yang terjadi dapat menjelaskan mengapa AMS lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria. Salah satu penjelasan yaitu adanya peningkatan Hypoxic Ventilator Response (HVR) oleh karena sistem hormonal wanita. Sistem hormonal wanita, yaitu esterogen, juga berhubungan dengan respon tubuh lain terhadap kondisi hipoksia. Esterogen diketahui menurunkan threshold atau batas ambang pelepasan ADH, sehingga memicu terjadi retensi cairan. Retensi cairan menyebabkan terjadi gangguan HVR hingga menyebabkan seseorang mengalami AMS (Hackett et al., 1982, dalam Venturino, 2015).

Mekanisme lainnya berhubungan dengan eritropoetin (EPO), yang mana konsentrasi EPO meningkat saat pendakian dan diikuti peningkatan kadar hemoglobin sehingga oksigen yang dibawa oleh darah dapat didistribusikan secara maksimal pada kondisi hipoksemia. Ternyata, testosterone merupakan salah satu hormone eritropoetik. Hormon ini dimiliki secara dominan oleh pria. Maka, tidak heran jika pria lebih sedikit mengalami AMS daripada wanita (Venturino, 2015).

AMS jarang terjadi pada ketinggian < 2000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Insidensi dan derajat keparahan AMS bergantung pada kecepatan pendakian, ketinggian yang dicapai, durasi bermalam pada ketinggian tersebut, serta derajat aklmatisasi (Aslam, Hussain, dan Khan, 2001). Menurut Hackett dan Roach (2001) dalam Malcnnis et al., (2013), terdapat korelasi kuat antara kejadian AMS dengan ketinggian yang dicapai. Sejalan dengan pernyataan tersebut, hasil penelitian ini memiliki gambaran yang sama berdasarkan distribusi proporsi kejadian AMS dan ketinggian yang didaki. Dalam hal ini, rentang ketinggian dibagi menjadi tiga kelompok, yakni 2000 – 2500 mdpl, 2500 – 3500 mdpl, dan 3500 – 4500 mdpl. Meskipun sebaran responden tidak merata pada setiap kelompok, yang mana responden umumnya mendaki pada ketinggian 2000 – 2500 mdpl, tetapi perbandingan jumlah AMS dan tidak AMS pada setiap rentang

45

ketinggian semakin meningkat. Hasil studi ini menunjukkan bahwa perbandingan antara jumlah yang mengalami AMS dan tidak dapat diketahui dengan rincian sebagai berikut : pada ketinggian 2000 – 2500 mdpl sebesar 0,4, pada ketinggian 2500 – 3500 mdpl sebesar 0,73, dan pada ketinggian 3500 – 4500 mdpl sebesar 1,33.

Dalam studi literatur Jacob et al. (2012), disebutkan bahwa terdapat enam literatur sebelumnya mengenai insidensi AMS berdasarkan rentang ketinggian. Insidensi AMS pada ketinggian 2000 mdpl sebesar 7 – 28 % dan pada ketinggian 3000 – 3500 mdpl, insidensi AMS sebesar 10 – 28%. Serupa dengan studi tersebut, pada studi Chen, Ke, Luo, dan Song (2013), disebutkan juga insidensi AMS pada ketinggian 1850 – 2750 mdpl sebesar 22%, lalu 42% pada ketinggian 3000 mdpl, serta sebesar 75% pada pendakian Gunung Kilimanjaro (5984 mdpl). Maka, hasil penelitian ini (pada Tabel 5.4) sejalan dengan berbagai literatur sebelumnya.

Mengenai kejadian AMS pada subjek penelitian ini yang memiliki penyakit yang berhubungan dengan sistem repirasi dan kardiovaskular, didapati semua subjek dengan penyakit jantung bawaan mengalami AMS ketika melakukan pendakian. Menurut situs altitudemedicine.org, pada mereka yang memiliki penyakit jantung bawaan sejak lahir, akan terjadi right to left shunting oleh karena tekanan darah di paru-paru meninggi saat mendaki. Maka, hal tersebut memicu terjadinya keluhan altitude illness yang bahkan bisa memicu terjadinya pulmonary edema. Berbeda dengan penyakit kardiovaskular, kejadian AMS pada subjek yang menderita asma, hanya 1 dari 2 orang yang mengalami AMS. Menurut situs altitudemedicine.org, melakukan pendakian gunung tidak meningkatkan risiko mereka mengalami AMS atau keluhan altitude illness lainnya oleh karena eksaserbasi asma terjadi jika dipicu oleh allergen, sementara di ketinggian, umumnya allergen yang sering memicu asma, seperti polusi, debu, dan tungau, jarang ditemukan.

46

5.2.3. Gambaran Pengetahuan Pendaki Gunung pada Kelompok Mahasiswa USU

Dokumen terkait