• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

6.2. Saran

Berdasarkan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini, maka peneliti dapat menyampaikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Bagi responden atau mahasiswa yang kerap melakukan pendakian gunung, diharapkan untuk senantiasa meningkatkan dan meng-update ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan tak hanya sekedar mengenai Acute Mountai Sickness (AMS) sebagaimana kejadian yang diteliti oleh peneliti, namun juga ilmu-ilmu lain terkait kondisi gunung atau medan pendakian, persiapan dan perbekalan untuk pendakian, bagaimana fungsi tubuh yang normal maupun tidak ketika melakukan pendakian, dan ilmu-ilmu kesehatan sesuai dengan masalah yang bisa terjadi saat mendaki gunung. Selain itu, unit kegiatan mahasiswa kepecintaalaman bisa mengadakan pendidikan dan pelathian rutin disertai para mahasiswa kedokteran atau tenaga kesehatan agar ilmu pengetahuan yang dimiliki tidak simpang siur.

2. Bagi petugas kesehatan dan mahasiswa kedokteran sebaiknya memberikan edukasi supaya mencegah hal buruk ketika pendakian.

3. Bagi institusi pendidikan diharapkan dapat memfasilitasi edukasi yang diberikan petugas kesehatan atau mahasiswa kedokteran sehingga para mahasiswa, khususnya yang aktif melakukan perjalanan dan pendakian, dapat melakukan kegiatan tersebut dengan aman

4. Bagi peneliti selanjutnya, semoga penelitian ini dapat dijadikan rujukan. Selain itu, peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian mengenai AMS dengan mengamati secara langsung subjek penelitian ketika mendaki gunung sebagaimana berbagai penelitian sebelumnya. 5. Bagi peneliti sendiri, sebaiknya dapat berperan serta dalam mengedukasi

para mahasiswa, selain mahasiswa fakultas kedokteran, yang aktif melakukan pendakian gunung.

7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Ketinggian

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ketinggian merupakan tinggi suatu titik di atas bidang acuan dimana acuan yang biasanya digunakan adalah tinggi rata-rata dari permukaan laut.

Dalam sebuah studi, definisi ketinggian berdasarkan rentang tinggi suatu tempat dari permukaan laut. Ketinggian terdiri dari tiga skala, yaitu tinggi (2438 – 2658 meter), sangat tinggi (3658 – 5487 meter), dan ekstrim ( >5500 meter) (Febriana, Yunus, dan Wiyono, 2003).

2.2. Fisiologi Tubuh terhadap Kondisi di Ketinggian

Berbagai aktivitas manusia bisa dilakukan di ketinggian, misalnya terkait olahraga, bercocok tanam, tujuan pariwisata, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Namun, ketinggian tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk bertahan hidup. Temperatur yang begitu rendah, kecepatan angin yang tinggi, kelembapan yang rendah, peningkatan intensitas radiasi matahari, dan penurunan tekanan atmosfer merupakan berbagai tantangan yang harus dihadapi bagi mereka di ketinggian, khususnya para pendaki gunung (Chawla dan Saxena, 2014)

Jika seseorang menjalani suatu perubahan, maka tubuhnya, baik secara langsung maupun tidak, akan membentuk kompensasi terhadap perubahan tersebut. Hal itu bertujuan agar tubuh mampu menjaga homeostasis. Termasuk pada orang di ketinggian tertentu, khususnya mereka yang tidak menetap dan telah beradaptasi terhadap ketinggian tersebut, fisiologis tubuh mereka akan mengalami perubahan sesuai situasi dan kondisi. Terkait dengan fisiologi tubuh

8

terhadap kondisi ketinggian, ada dua aspek yang berada di dalamnya, yakni hypobaric hypoxia dan aklimatisasi.

2.2.1. Hypobaric hypoxia

Hypobaric hypoxia adalah tekanan parsial oksigen yang menurun yang berbading lurus dengan penurunan tekanan atmosfer di tempat dengan ketinggian tertentu (Chawla dan Saxena, 2014).

Menurut Chawla dan Saxena (2014), berdasarkan Hukum “Ideal Gas”, tekanan parsial suatu gas dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut

P = Fi x B

Keterangan :

• P : Tekanan parsial suatu gas (mmHg)

• Fi : Fraksi molekul suatu gas pada komposisi total gas di bumi (%)

• B : Tekanan di lingkungan sekitar (mmHg)

Besar tekanan atmosfer di permukaan laut yaitu 1 atm atau sebesar 760mmHg. Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen dalam udara di atmosfer yang membentuk 20,84% total komponen gas di bumi atau dapat dikatakan besar fraksi molekul O2 sebesar 20,84%. Dengan begitu, besar tekanan parsial di permukaan laut, PaO2 = 20,84% × 760 mmHg = 159mmHg (Guyton dan Hall, 2006)

Menurut Peacock (1998) dalam Febriana, Wiyono, dan Yunus (2003), tekanan atmosfer dan tekanan oksigen inspirasi akan menurun secara linear, menjadi 50% dari nilai permukaan laut pada ketinggian 5000 meter dan hanya 30% dari nilai permukaan laut pada ketinggian 8900 meter (Puncak Everest).

9

2.2.2. Kompensasi Tubuh Terhadap Ketinggian

Tubuh memiliki berbagai sistem dengan fungsi dan kerja kompartemen yang berbeda-beda, namun saling berkaitan dan membentuk sebuah kesatuan. Begitu pula jika terjadi perubahan, baik perubahan dari dalam tubuh (faktor internal) maupun dari lingkungan sekitar (faktor eksternal). Termasuk dalam bahasan mengenai ketinggian, tubuh juga akan melakukan respon atau kompensasi berupa perubahan berbagai aspek, termasuk perubahan sistem respiratori atau pernafasan, sistem kardiovaskular yang berkaitan erat dengan sistem hematologi, sistem urinary atau perkemihan, dan sistem hormonal (Chawla dan Saxena, 2014).

Gambar 2.1. Perubahan fisiologis terkait kondisi hypobaric hypoxia. (Chawla dan Saxena (2014). Physiology of High-Altitude Acclimatization,

hal. 540, figure 1)

a) Perubahan kondisi sistem respiratori

Semakin tinggi ketinggian suatu tempat, tekanan parsial O2 disana akan menurun dan berbanding lurus dengan penurunan tekanan parsial O2 di alveoli. Penilaian tekanan parsial oksigen (PaO2) alveolar yang

10

pertama kali dilakukan oleh Halden dan Priestley (1905), diikuti Boycott dan Halden (1908) serta Rahn dan Otis (1946) menyebutkan bahwa bila tekanan barometer menurun, ventilasi meningkat untuk

meminimalkan penurunan PaO2. Peningkatan ventilasi terjadi bila

tekanan oksigen inspirasi menurun sampai kira-kira 13,3 kPa (kilopascal) atau pada ketinggian 3000 meter dan tekanan oksigen alveolar kira-kira 8 kPa (tabel 1) (Febriana, Wiyono, dan Yunus, 2003).

Akibat tekanan parsial O2 menurun, maka terjadi peningkatan

deoksigenasi darah yang memicu difusi oksigen ke arteri di pulmonary

system menurun diikuti perfusi oksigen ke jaringan menurun. Mekanisme terjadinya hal tersebut dapat berbeda dan bergantung juga pada karakteristik tiap individu.

11

Tabel 2.1. Tekanan barometer sesuai ketinggian

Ketinggian Tekanan

barometer

PaO2 pada saat

nspirasi Persenta se oksigen pada permuka an laut Persenta se oksigen yang dibutuh kan

Kaki Meter KPa MmHg KPa MmHg % %

0 0 101 760 19,9 149 20,9 20,9 2000 4000 6000 8000 10000 610 1220 1830 2440 3050 94,3 87,8 81,2 75,3 69,7 707 659 609 564 523 18,4 16,9 15,7 14,4 13,3 138 127 118 108 100 19,4 17,8 16,6 15,1 14,0 22,6 24,5 26,5 28,8 31,3 12000 14000 16000 18000 20000 3660 4270 4880 5490 6100 64,4 59,5 54,9 50,5 46,5 483 446 412 379 349 12,1 11,1 10,1 9,2 8,4 91 83 76 69 63 12,8 11,6 10,7 9,7 8,8 34,2 37,3 40,8 44,8 49,3 22000 24000 26000 28000 30000 6710 7320 7930 8540 9250 42,8 39,2 36,0 32,9 30,1 321 294 270 247 226 7,6 6,9 6,3 5,6 4,9 57 52 47 42 37 8,0 7,3 6,6 5,9 5,2 54,3 60,3 66,8 74,5 83,2 35000 40000 45000 50000 63000 10700 12200 13700 15300 19200 23,7 18,8 14,8 11,6 6,3 178 141 111 87 47 3,7 2,7 1,8 1,1 0 27 20 13 8 0 3,8 2,8 1,9 1,1 0 - - - - -

Febriana, Wiyono, dan Yunus.(2003). Kelainan Paru pada Ketinggian. hal.6,tabel. 1)

12

Pada kondisi hipoksia, terjadi peningkatan kecepatan respirasi dan berhubungan dengan berbagai kejadian lainnya, seperti pulmonary hyperventilation, gangguan keseimbangan asam-basa, dan gangguan metabolic kompleks lainnya. Hiperventilasi di tempat tinggi diatur oleh kemoreseptor perifer yang terletak di aorta dan sinus karotis. Kemoreseptor tersebut peka terhadap perubahan tekanan parsial O2 arteri dan peningkatan tekanan parsial CO2, sehingga memberikan sinyal terhadap pusat pernafasan tertinggi di otak untuk membentuk

Hypoxic Ventilator Response (HVR) (Chawla dan Saxena, 2014).

HVR atau respon terhadap kondisi hipoksia berupa peningkatan kecepatan respirasi dan kedalaman ventilasi. HVR melibatkan pons dan medulla oblongata sebagai pusat pernafasan tertinggi untuk member sinyal kepada diafragma, otot-otot interkostalis, dan stretch receptor di paru-paru. Respon ventilasi pada kondisi hipoksia bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan paru dalam difusi gas dengan meningkatkan ventilasi alveoli. Jika hal itu tercapai, tekanan parsial O2 di rongga alveoli dapat meningkat hingga 25-30% (Chawla dan Saxena, 2014).

Seperti telah disebutkan sebelumnya, respon ventilasi memiliki proses yang bervariasi antar individu. Selain itu, waktu atau onset terjadinya juga dapat berbeda-beda. Awal respon ventilasi dapat ditutupi dengan terjadinya alkalosis respiratorik yang bersamaan sebelum ventilasi semakin meningkat sehubungan dengan status asam- basa.

b) Perubahan kondisi sistem kardiovaskular dan hematologi

Adaptasi tubuh terhadap kondisi hipoksia di ketinggian utamanya ditandai dengan peningkatan saraf simpatis. Begitu pula dengan kompensasi sistem kardiovaskular tubuh. Sistem saraf autonom

13

berperan penting dalam modulasi kardiovaskular bila berada di tempat yang lebih tinggi (Lanfranchi et al., 2005).

Segala kondisi pada sistem kardiovaskular berhubungan erat dengan pernafasan (sistem respirasi). Jantung adalah organ utama yang bekerja sebagai pompa untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Secara tidak langsung, jantung juga berperan penting dalam transportasi O2 ke seluruh tubuh. Transportasi O2 atau Oxygen Delivery (DO2) dapat dirumuskan dengan

DO2 = Q × AO2

Keterangan :

• DO2 : Oxygen Delivery

• Q : Volume jantung sekuncup dalam satu menit (Cardiac Output)

• AO2 : Arterial Oxygen

Menurut Richard et al. (2014), untuk menjaga oksigenasi darah arteri tetap adekuat, tubuh melakukan hiperventilasi pada kondisi hipoksia supaya hal tersebut dapat terwujud. Hal tersebut terkazit hiperventilasi karena ketinggian akan diikuti peningkatan curah jantung, frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik (Levitzky MG (1999), Levine et al. (1999), dan Schoene et al. (2000), dikutip dalam Febriana, Wiyono, dan Yunus, 2003)

Terkait respirasi dan aliran darah, khususnya aliran darah pulmoner, respon hiperventilasi akan diikuti perubahan sistem kardiovaskular. Penjelasan mengenai ini berhubungan dengan perangsangan simpatis sistem kardiovaskular yang menyebabkan perangsangan kemoreseptor arteri dan peningkatan inflasi paru. Selain itu, mungkin juga akibat langsung efek hipoksia miokardium yang

14

menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner. Peningkatan curah jantung, vasokonstriksi hipoksik pulmoner dan rangsang saraf simpatis pembuluh darah menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmoner rata-rata yang selanjutnya dapat mengakibatkan hipertensi pulmoner serta peningkatan kerja ventrikel kanan (Febriana, Wiyono, dan Yunus, 2003).

Darah—sebagai komponen di dalam sistem kardiovaskular— beperan dalam proses-proses yang telah dijabarkan. Penelitian tahun 2007 oleh Windsdor dan Rodway yang mengatakan bahwa oksigenasi arteri darah dapat optimal dengan cara meningkatkan hematokrit, hemoglobin, dan eritrosit. Dalam kondisi 2-3 jam hipoksia, tubuh akan melakukan kompensasi terkait peningkatan kadar eritropetin tersebut. Selanjutnya, eritropoetin akan menstimulus sumsum tulang untuk mensintesis sel darah merah (eritrosit). Dengan peningkatan kadar eritropoetin, maka sintesis eritrosit akan meningkat dan diikuti dengan peningkatan kadar hematokrit dan hemoglobin (Chawla dan Saxena, 2012).

Selain itu, Wagner et al. (2007) dalam Chawla dan Saxena (2012)

menjelaskan bahwa tahap-tahap tersebut dapat dicapai dengan

meningkatkan kadar 2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG) supaya

mengoptimalkan kompensasi tubuh dalam trasportasi dan perfusi O2.

2,3-DPG merupakan substansi di eritrosit dan berperan sebagai

allosteric regulator dalam afinitas O2 dan hemoglobin (HbO2).

Afinitas O2 dan hemoglobin akan menurun oleh karena peran 2,3-DPG

sehingga terjadi pelepasan O2 dari darah dan perfusi O2 ke jaringan.

Menurut Lundby dan Olsen (2011) dikutip dalam Heo et al.

(2014), eritropoetin (EPO) meningkatkan O2 di arteri tidak hanya

dengan meningkatkan volume eritrosit, tetapi juga dengan menurunkan volume plasma. EPO juga dapat meningkatkan kualitas fungsional dari seseorang.

15

c) Perubahan Keseimbangan Cairan dan Asam Basa

Respon ventilasi pada kondisi hipoksia diawali dengan alkalosis respiratorik tak terkompensasi. Ini dapat mengaburkan respon ventilasi inisal dimana kondisi alkalosis respiratorik akan meningkatkan pH

arteri yang diikuti menurunkan output kemoreseptor perifer.

Selanjutnya , terjadi penurunan difusi karbon dioksida melewati blood

brain barrier sehingga terjadinya penurunan kemoreseptor sentral oleh karena penurunan konsentrasi ion hidrogen pada cairan serebrospinal. Dalam beberapa hari, timbul asidosis metabolic yang melibatkan pembuangan bikarbonat oleh ekskresi renal. Kondisi asidosis metabolik berkontribusi meningkatkan ventilasi. (Luks, 2014)

d) Perubahan siklus tidur

Menurut Weil (2004) dikutip dalam Luks (2014), siklus tidur biasanya mengalami gangguan dimana semakin tinggi suatu tempat yang didaki akan meningkatkan insidensi kualitas tidur yang buruk, kesadaran, dan perubahan pola tidur.

Manifestasi klinis yang signifkan pada gangguan tidur ini, yaitu

central sleep apnea, oleh karena ventilasi yang meningkat di ketinggian yang bersamaan dengan tidak adanya peran kortikal saat

tidur sebagai feedback-control system (Luks, 2014).

Selama periode apnea, orang sering menjadi lelah dan terbangun karena perasaan seperti tercekik. Pernapasan periodic dapat berkurang pada aklimatisasi, akan hilang bila turun dari ketinggian. pernapasan periodic bervariasi pada tiap individu, mungkin berhubungan dengan fungsi kemosesitivitas terhadap keadaan hipoksia. Individu dengan respon tinggi terhadap hipoksia mempunyai ketidakstabilan interaksi antara oksigen dan karbondioksida di daerah sentral dan perifer (Febriyana, Wiyono, dan Yunus, 2003).

16

2.3. Aklimatisasi

2.3.1. Definisi Aklimatisasi

Aklimatisasi merupakan proses membaiknya toleransi dan penampilan individu setelah beberapa jam sampai beberapa minggu yang berkaitan dengan faktor-faktor tertentu atau karakteristik dari suatu lingkungan. Faktor tersebut antara lain temperatur lingkungan, ketinggian, iklim, dan cuaca. Aklimatisasi bertujuan untuk mempertahankan homeostasis tubuh dan tidak jatuh terhadap kondisi patologis (West, 2013).

2.3.2. Aklimatisasi pada Ketinggian

Aklimatisasi terhadap ketinggian bertujuan untuk mengantarkan oksigen ke jaringan dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini, Palmer (2010) menyebutkan bahwa perubahan fisiologis yang terjadi sehubungan aklimatisasi di ketinggian adalah sebagai berikut :

a. Peningkatan ventilasi secara involunter. b. Peningkatan konsentrasi hemoglobin.

• Memengaruhi hemokonsentrasi sehubungan dengan volume plasma (dalam beberapa hari).

• Meningkatkan jumlah sel darah merah atau eritrosit (2-3 minggu). c. Peningkatan afinitas hemoglobin dengan oksigen

• Pergeseran kurva disasosiasi oksigen ke kiri dari penurunan PCO2 dan peningkatan pH.

d. Penurunan cardiac output

• Peningkatan waktu difusi O2 dari alveolus ke kapiler akibat aliran darah melambat.

17

2.4. Acute Mountain Sickness (AMS) 2.4.1. Definisi AMS

Menurut Rennie et al. (1976) dan Subramanyam et al. (1969) dikutip dalam kepustakaan Roach et al. (2000), Acute Mountain Sickness (AMS) adalah sindrom yang muncul pada para petualang ke ketinggian dengan melakukan pendakian ke tempat yang terlalu tinggi dan atau terlalu cepat.

Definisi AMS berbeda lagi pada kepustakaan atau studi lainnya. Misalnya, kelompok Lake Louis Consensus mendefinisikan AMS dengan adanya sakit kepala pada individu yang tidak mampu aklimatisasi dan baru saja berada di ketinggian di atas 2500 m disertai dengan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut; masalah gastrointestinal (anorexia, nausea, atau muntah), insomnia, oyong, kelelahan (Hackett dan Roach, 2001).

2.4.2. Epidemiologi AMS

Tingginya suatu tempat dan kecepatan pendakian merupakan variabel utama dalam terjadinya AMS. Semakian tinggi suatu tempat dan cepat waktu pendakian, angka insidensi terjadi AMS juga semakin besar. Sebuah studi yang disebutkan dalam situs web Altitude Research Center dari Universitas Colorado Anschutz Medical, 22% dari mereka yang mendaki hingga ketinggian 7000 – 9000 kaki akan mengalami AMS, dan 42% mengalami AMS jika berada di ketinggian lebih dari 10000 kaki. Dan diduga sekitar 30 juta jiwa memiliki risiko untuk mengalami AMS setiap tahunnya.

Dalam studi lain, disebutkan bahwa sekitar 22-77% dari petualang, khususnya pendaki gunung, mengalami AMS di rentang ketinggian 1850-5895 meter di atas permukaan laut (mdpl) (Luks, 2014). Jika berdasarkan jenis kelamin, antara laki-laki dan perempuan tidak memeliki perbedaan untuk mengalami AMS (Palmer, 2010). Tetapi, hal tersebut berbeda dengan Hackett et al. (1976) dikutip dalam Sharma ( 2010) yang menyebutkan bahwa insidensi kejadian AMS sebesar 53% persen pada laki-laki dan 51% pada perempuan. Kejadian AMS berdasarkan pengelompokkan gender disebutkan juga berbeda dalam studi lain.

18

Menurut Hanaoka (2000) dikutip dalam Febriyana, Wiyono, dan Yunus (2003), laki-laki dan perempuan dapat menderita AMS walaupun perempuan lebih cenderung terkena AMS

Acute High Altitude Illness (AHAI), termasuk di dalamnya AMS, mengenai pada kelompok orang yang tidak menetap di ketinggain tertentu atau dengan kata lain mereka melakukan pendakian. Berbeda dengan para penduduk atau orang- orang menetap tinggal di ketinggian, yang mana mereka lebih mudah mengalami chronic mountain sickness (Monge disease). Sekitar 50-70% pendaki gunung umumnya mengalami AMS, meskipun insidensi bergantung pada kecepatan pendakian dan juga skala ketinggian. Insidensi AHAI juga dikelompokkan berdasarkan ketinggian dengan AMS umumnya terjadi pada ketinggian di atas 2500 mdpl (Smedley dan Grocott, 2013).

Studi lain menyebutkan bahwa AMS mungkin terjadi pada individu yang mendaki ke ketinggian di atas 2500 mdpl dan dilaporkan bahwa 53% di antaranya terjadi pada ketinggian di atas 4000 mdpl (Lanfranchi et al., 2005).

Ketinggian memengaruhi proses terjadinya AMS. Dalam hal ini, sekitar 6- 8 % disebutkan sebagai persentase terjadinya peningkatan frekuensi nadi dan ventilasi pada ketinggian 2700 mdpl, meskipun pada ketinggian di atas 3000 mdpl. Saturasi O2 pada orang yang belum terkena AMS masih dapat mencapai lebih dari 90% (Küpper et al., 2010).

Menurut Luks, Rodway et al. (2014), AMS dapat terjadi berdasarkan 3 kelompok kategori risiko, yaitu :

d) Rendah

• Individu tanpa riwayat altitude illness dan tidak pernah mendaki gunung ≤ 2800 mdpl.

• Individu memakan waktu ≥2 hari untuk mendaki gunung 2500- 3000 m.

e) Sedang

• Individu tanpa riwayat AMS dan tidak pernah mendaki gunung 2500-2800 mdpl dalam 1 hari.

19

• Individu tanpa riwayat AMS dan mendaki gunung > 2800 mdpl dalam 1 hari.

• Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian sekitar 3000-3500 mdpl dan dengan kecepatan > 500 m per hari.

f)Tinggi

• Individu dengan riwayat AMS dan mendaki gunung > 2800 mdpl dalam 1 hari.

• Semua individu dengan riwayat HAPE atau HACE.

• Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian > 3500 mdpl.

• Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian > 3500 mdpl dan dengan kecapatan > 500 m per hari

• Pendakian gunung yang sangat cepat.

2.4.3. Patofisiologi AMS

Menurut Sharma (2010), Acute Mountain Sickness tidak terjadi dengan onset cepat dan begitu saja. AMS terjadi dalam beberapa jam di ketinggian, tetapi mekanismenya sehubungan dengan hipoksia akibat tekanan parsial O2 lebih rendah belum dapat dijelaskan secara pasti. Pada respon tubuh normal terhadap ketinggian, tubuh akan mengalami diuresis. Sementara pada kejadian AMS, terjadi hal sebaliknya dimana terjadi antidiuresis.

Mengenai patofisiologi terjadinya AMS, proses pasti terjadinya AMS tidak diketahui. Hipoksia yang menginduksi vasodilatasi serebral dan efeknya seperti Nitrit Oksida (NO) dianggap menjadi penyebab timbulnya nyeri kepala melalui aktivasi sistem trigeminovaskular. AMS mungkin berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengkompensasi edema otak. Individu yang mempunyai rasio cairan serebrospinal cranial lebih besar, akan lebih baik dalam mengkompensasi edema melalui pemindahan cairan serebrospinal sehingga lebih jarang menderita AMS. Faktor lain yang dianggap memengaruhi kejadian AMS adalah perubahan pernafasan saat sampai di ketinggian. Individu dengan PCO2

20

tinggi saat sampai di ketinggian lebih mudah terkena AMS (Febriana, Wiyono, dan Yunus (2003).

Menurut Clarke (2006), ada beberapa faktor yang terlibat dalam patogenesis AMS. Faktor-faktor tersebut yaitu :

1. Faktor genetik

Orang-orang tertentu memiliki kecenderungan untuk terkena AMS dan altitude oedema. Meskipun belum secara pasti dapat dijelaskan, namun hal itu diduga berkaitan dengan angiotensin-converting enzyme genes dan polimorfisme pulmonary surfactant protein A.

2. Respon seluler terhadap kondisi hipoksia.

Misalnya, mitochondrial acclimatization dan penjalaran impuls di jalur axon yang melambat.

3. Perubahan yang terjadi di mikrovaskular.

Berdasarkan hipotesis tersebut, perubahan mikrovaskular yang terjadi bersifat unik dimana kondisi hipoksia menyebabkan perfusi berlebihan pada pembuluh darah kecil (mikrovaskular), khususnya di otak dan paru-paru. Hal ini dikarenakan oleh aktivasi vascular endothelial growth factor yang dipicu oleh mediator- mediator seperti hypoxia-inducible factor dan nitric oxide (Clarke, 2006).

2.4.4. Gejala Klinis dan Diagnosis AMS

Menurut Heo et al. (2014), gejala utama AMS berupa sakit kepala. Selain itu, manifestasi klinis AMS yaitu :

1. Masalah gastro-intestinal (Misalnya : anorexia, nausea, dan muntah) 2. Kelelahan (fatigue)

21

4. Gangguan tidur 5. Retensi cairan 6. Oligouria

Manifestasi klinis AMS jarang timbul pada ketinggian di bawah 2000 mdpl dan biasanya terjadi 6-10 jam setelah pendakian,namun terkadang dapat timbul 1 jam setelah pendakian (Hackett dan Roach, 2001)

Menurut Richard (2014) menyebutkan, diagnosis AMS dapat ditegakkan bila baru saja melakukan pendakian hingga ketinggian di atas 2500 mdpl dan diikuti sakit kepala diikuti satu atau lebih manifestasi klinis lainnya.

Selain itu, retensi cairan merupakan tanda klasik AMS, dimana normalnya aklimatisasi tubuh akan mengalami dieresis. Retensi cairan ditandai dengan oliguria diserta edema, baik di wajah maupun perifer. Jika terjadi perburukkan, maka sakit kepala akan semakin parah dan gejala lain yang menyertai dapat semakin buruk. Bahkan, jika terus berlanjut, dapat terjadi penurunan atau gangguan status menta dan koordinasi pergerakkan. Hal itu dapat dipicu oleh karena edema serebral yang mana menyebabkan kompresi struktur otak diikuti peningkatan tekanan intrakranial sehingga dapat terjadi ataxia, stupor, dan kelemahan saraf kranial III dan IV. Koma dapat terjadi bila hal ini terus dibiarkan atau tidak ditangani segera (Gomersall et al., 2012).

2.4.5. Tatalaksana dan Pencegahan AMS

Menurut Richard (2014), prinsip penatalaksanaan AMS terdiri dari tiga hal, yakni :

1. Hindari atau jangan melakukan pendakian ke ketinggian lebih lanjut. 2. Jika pasien telah diberi tatalaksana awal, tidak menunjukkan

perbaikan atau respon, segera evakuasi ke tempat yang lebih rendah. 3. Jika pasien menunjukkan gejala AMS berat dan bahkan sudah masuk

ke tahap edema serebri (High Altitude Cerebral Edema), maka segera evakuasi ke tempat yang lebih rendah.

22

Umumnya sebelum melakukan berbagai intervensi, membawa pasien AMS ke tempat dengan ketinggian yang lebih rendah, merupakan opsi utama, khususnya pada kejadian AMS berat. Sebuah studi menjelaskan bahwa mengevakuasi pasien AMS ke tempat dengan ketinggian 500—1000 meter yang lebih rendah memberikan dampak positif atau pasien menunjukkan perbaikan yang bermakna. Selain itu, perlu juga diberikan terapi oksigen dan ada baiknya kedua hal tersebut dikombinasikan supaya penanganan dapat optimal (Luks, 2014).

Namun, jika tidak memungkinkan untuk mengevakuasi pasien atau memberikan terapi oksigen, tatalaksana secara farmakologi bersifat krusial. Secara farmakologi, Acetazolamide dan Dexamethasone merupakan obat yang sering diberikan pada pasien AMS. Bahkan, tak jarang kedua obat ini juga digunakan untuk pencegahan AMS (Palmer, 2010).

Sebuah studi menunjukkan bahwa jika Acetazolamide dibandingkan placebo, Acetazolamide memberikan respon perbaikan dengan persentase sekitar 74% dalam waktu 24 jam. Berbagai studi lain mengungkapkan bahwa Dexamethasone memberikan respon yang lebih baik dan efektif dibandingkan dengan pemberian Acetazolamide dan hanya dalam waktu 12 jam. Namun,, kombinasi Dexamethasone dan Acetazolamide belum diketahui lebih efektif dikarenakan kerja obat tersebut berbeda (Hackket dan Roach, 2001)

Antioksidan alpha lipoic, vitamin C dan vitamin E bekerja secara sinergi untuk proteksi tubuh dari kerusakan radikal bebas dan kerusakan vaskular yang diinduksi hipoksia (Baillie et al., 2009)

.

Pereventif lebih baik daripada kuratif. Maka, pencegahan AMS merupakan hal utama yang sebaiknya dilakukan para pendaki gunung. Pencegahan tersebut mudah diterapkan oleh para pendaki gunung, sekalipun bukan paramedis ataupun mereka yang tidak paham bidang medis. Chawla dan Saxena (2014) menyebutkan bahwa anjuran bagi para pendaki adalah sebagai berikut :

23

Tabel 2.2. Anjuran bagi para pendaki gunung

(Chawla dan Saxena (2014), Physiology of High Altitude Acclimatization,hal. 547, tabel. 2)

Sebaiknya dilakukan Sebaiknya tidak dilakukan

Mendaki perlahan-lahan. Aktivitas berlebihan dan tidak perlu,

serta berjalan terlalu cepat saat pendakian.

Istirahat yang cukup, khususnya pada 72 jam pertama.

Hindari mengonsumsi alcohol dan pil tidur.

Minum yang cukup untuk menghindari dehidrasi dan makan makanan yang

Dokumen terkait