BAB III: KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL
B. Kejadian ISPA
Ukuran angka kejadian ISPA dalam penelitian ini adalah insidensi kejadian ISPA yaitu IR. IR kejadian ISPA diperoleh dari jumlah siswa yang mengalami gejala ISPA berdasarkan keluhan yang dirasakan dibagi total siswa yang menghuni kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat. Nilai IR tertinggi yaitu sebesar 85,11% di SDN 2Ciputat dan terendah sebesar 25% di SDN 5 Ciputat.
Penelitian Pramayu (2012) tentang gangguan ISPA pada siswa SD di Kecamatan Cipayung Kota Depok tahun 2012 juga menunjukkan bahwa jumlah siswa yang mengalami gangguan ISPA lebih banyak dibanding dengan jumlah siswa yang tidak mengalami gangguan ISPA yaitu 75 siswa (62,5%) mengalami gangguan ISPA dan 45 siswa (37,5%) tidak mengalami gangguan ISPA.
Hal ini dapat terjadi karena kondisi ruang kelas SDN yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Padahal sebagian besar waktu siswa adalah di sekolah khususnya di dalam kelas. Kondisi ruang kelas tersebut meliputi suhu, kelembaban, kepadatan hunian dan ventilasi ruang kelas (Pramayu, 2012).
Menurut Hasil laporan EPA (2002), kondisi ruang kelas dan kualitas udara kelas akan mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar. Breysse (2010) menyatakan bahwa kondisi ruangan khususnya kualitas udara ruang seringkali menjadi hal yang terlupakan oleh masyarakat. Kualitas udara ruang seharusnya menjadi perhatian mengingat bahwa anak usia sekolah menghabiskan jumlah waktu yang signifikan di sekolah dan anak-anak merupakan golongan yang rentan terkena penyakit.
C. Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA
Suhu adalah derajat panas atau dingin udara dalam ruang kelas (Kepmenkes, 2002). Suhu udara yang tinggi menyebabkan tubuh banyak kehilangan garam dan air. Selain itu, peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan polutan udara (WHO, 1997). Suhu menjadi faktor penting yang harus diperhatikan karena dapat memicu terjadinya infeksi saluran pernafasan. Selain itu, suhu dalam suatu ruangan dapat mempengaruhi kelembaban, sehingga dapat berpengaruh pada kondisi udara yang kering dan mengakibatkan iritasi membran mukosa (WHO, 2007).
Peningkatan suhu dapat menyebabkan polutan terperangkap dan tidak menyebar. Selain itu peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan polutan udara. Tingginya suhu udara akan menyebabkan partikel debu bertahan lebih lama di udara sehingga memungkinkan terhisap ke dalam pernafasan. Hal itu yang menjadikannya faktor risiko terjadinya ISPA (Yusnabeti, 2010).
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara suhu dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013, dengan p value sebesar 0,001. Selain itu adanya hubungan yang kuat antara suhu dengan kejadian ISPA (r=0,653).
Penelitian Pramayu (2012) menyatakan bahwa siswa yang berada di ruang kelas dengan kondisi suhu yang tidak memenuhi syarat maka akan beresiko 3,08 kali lebih tinggi untuk terkena gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa SD yang berada di ruang kelas dengan suhu yang memenuhi syarat. Kemudian pada penelitian lain yang dilakukan Lindawaty (2010) menyatakan bahwa suhu memiliki pengaruh terhadap munculnya gangguan ISPA. Balita yang berada dalam rumah dengan suhu tidak dalam rentang yang dtentukan oleh kementrian kesehatan maka akan mengalami resiko 18 kali lebih tinggi untuk mengalami ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan suhu yang memenuhi syarat.
Suhu ruang dikatakan memenuhi syarat yaitu sebesar 18-280C. Hasil pengukuran suhu di 30 ruang kelas SD negeri di Kecamatan Ciputat
menunjukkan 8 sekolah dengan suhu ruang kelas memenuhi syarat. Selain itu, 22 kelas menunjukkan hasil pengukuran suhu ruang kelas diatas 280C.
Suhu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan virus, bakteri dan jamur yang menyebabkan ISPA. Virus, bakteri dan jamur dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum (suhu yang optimal). Pada suhu tertentu, faktor penyebab ISPA pertumbuhannya dapat terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau mati (dalam rentang suhu 18-280C), tapi pada suhu tertentu dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan sangat cepat yaitu pada suhu lebih dari 290C. Hal ini yang membahayakan karena semakin sering anak berada dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka anak terpapar faktor risiko tersebut. Akibatnya makin besar peluang anak untuk terjangkit ISPA (Padmonobo, 2012).
D. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA
Kelembaban adalah persentase kandungan uap air udara dalam ruang kelas (Kepmenkes, 2002). Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan berkembang biaknya organisme patogen dan alergen. Sedangkan kelembaban terlalu rendah dapat menyebabkan kekeringan/iritasi pada membran mukosa serta gangguan sinus. Semakin tinggi kelembaban dalam ruangan maka dapat mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama infeksi pernafasan(Kemenkes, 2007).
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013, dengan p value sebesar 0,016. Selain itu adanya hubungan yang sedang antara kelembaban dengan kejadian ISPA (r=0,487).
Penelitia Pramayu (2012) di Kota Depok menyatakan bahwa ada hubungan antara kelembaban dengan gangguan ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan kondisi suhu dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat maka akan beresiko 3,08 kali lebih tinggi terkena gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa SD yang berada di ruang kelas dengan suhu dan kelembaban yang memenuhi syarat. Penelitian Gertudis (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kelembaban dengan gangguan ISPA. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban tidak memenuhi syarat akan mengalami resiko terkena gangguan ISPA 11,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban yang berada dalam rentang yang memenuhi syarat.
Kelembaban dikatakan memenuhi syarat apabila berada pada kisaran 40-70% (Kepmenkes, 2011). Hasil pengukuran kelembaban di 30 ruang kelas SD negeri menunjukkan hasil kelembaban terendah sebesar 57% dan kelembaban ruang kelas tertinggi adalah 65%.
Kelembaban dalam ruang kelas yang tinggi dalam penelitian ini dapat disebabkan ventilasi alami yang tidak dipergunakan secara maksimal. Jendela yang tersedia dalam ruang kelas termasuk cukup banyak, namun banyak dari
jendela tersebut yang tidak dapat dibuka, sehingga tidak dapat membantu sirkulasi udara berjalan dengan baik dan hanya dengan mengandalkan lubang angin dalam ruang kelas. Akibatnya kelembaban dalam ruang meningkat.Padahal menurut WHO (2007), kelembaban berkaitan dengan ventilasi dimana sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi kelembaban menjadi tinggi. Kondisi tersebut dapat memicu perkembangbiakan mikroorganisme, termasuk virus penyebab ISPA.
Kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan virus, bakteri dan jamur penyebab ISPA. Virus, bakteri dan jamur dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum (kelembaban yang optimal). Pada kelembaban tertentu, faktor penyebab ISPA pertumbuhannya dapat terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau mati (kelembaban 40-60%), tapi pada suhu dan kelembaban tertentu dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan sangat cepat (kelembaban di atas 65%). Hal ini yang membahayakan karena semakin sering anak berada dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka anak terpapar faktor risiko tersebut. Akibatnya makin besar peluang anak untuk terjangkit ISPA (Padmonobo, 2012).Kelembaban yang tinggi dan debu dapat menyebabkan berkembang biaknya organisme patogen maupun organisme yang bersifat allergen (Kemenkes, 2007).
Mairusnita (2007) menyatakan bahwa kelembaban udara menyebabkan bakteri akan bertahan lebih lama. Dalam kondisi rumah yang tidak dilengkapi
ventilasi yang baik, maka akan mempercepat proses penularan penyakit.Naria (2008) juga menyatakan bahwa keadaan kelembaban rumah memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat dapat terjadi karena keadaan ventilasi rumah. Kurangnya ventilasi rumah akan meningkatkan kelembaban rumah.
Udara yang lembab akan menimbulkan gangguan kesehatan penghuninya terutama timbulnya penyakit ISPA. Kelembaban yang tinggi merupakan media yang baik untuk perkembangan mikroorganisme patogen. Kelembaban rumah yang tinggi akanmendukung terjadinya penyakit dan penularan penyakit.Penelitian Gardinassi (2012) menunjukkan ketika kelembaban udara meningkat, virus infeksi saluran pernafasan cenderung meningkat. Pada kelembaban relatif sebesar 75%, virus pernafasan terdapat dalam beberapa sampel laboratorium.
E. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA
Batas kepadatan dalam ruang kelas yang baik ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Tahun 2007 mengenai standar sarana dan prasarana sekolah adalah sebesar ≥2m2/siswa. Jika dirasakan dalam suatu ruang kelas terasa pengap atau seperti terasa sesak, penyebab kondisi ini karena luas ruangan tidak mencukupi untuk menampung murid-murid. Terlalu padatnya kondisi ruang kelas dapat menghalangi proses pertukaran udara bersih, sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi (Pramayu, 2012).
Menurut Yusup (2005) dalam jurnal kesehatan lingkungan menyatakan bahwa semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas. Dengan banyaknya penghuni maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan CO2 ruangan dan dampak dari peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam rumah.Kepadatan yang terlalu tinggi dalam sebuah ruangan juga memudahkan terjadinya penularan suatu penyakit melalui inhalasi individu, ataupun kekerapan terkena droplet dari siswa yang sedang sakit kepada siswa lainnya (Pramayu, 2012).
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013, dengan p value sebesar 0,011. Selain itu adanya hubungan yang kuat antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA, dengan (r=0,510).
Penelitian Pramayu (2012) di Kota Depok menunjukkan kepadatan hunian siswa dalam ruang kelas terbukti berpengaruh dalam menimbulkan gangguan ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan luas <2m2/siswa akan mengalami gangguan ISPA 2,73 kali lebih tinggi dibandingkan siswa yang berada di ruangan kelas dengan luas ≥2m2/siswa. Penelitian Ringgih (2012) menunjukkan hasil adanya hubungan kepadatan penghuni rumah dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p sebesar 0,001. Penelitian Wattimena (2004) juga mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kepadatan hunian dengan terjadinya gangguan saluran pernafasan pada bailta. Balita yang tinggal di dalam rumah yang tidak memenuhi syarat batas hunian beresiko 4,3 kali lebih tinggi dibandingkan yang memenuhi syarat.
Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa untuk ketetapan luas rumah, jumlah, dan ukuran ruangan harus disesuaikan dengan jumlah orang yang akan menempati rumah tersebut agar tidak terjadi kelebihan jumlah penghuni rumah. Luas lantai bangunan harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan penghuninya akan menyebabkan over crowded. Hal ini akan mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan serta menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen sehingga berpotensi terhadap penularan penyakit infeksi. Jika penghuni terlalu padat, bila ada penghuni yang sakit maka dapat mempercepat penularan penyakit tersebut, seperti penyakit yang berhubungan dengan saluran pernapasan.
Mairusnita (2007) menyatakan bahwa kepadatan hunian berpengaruh terhadap terjadinya cross infection. Ketika ada penderita ISPA yang berada dalam satu ruangan, maka pada saat batuk/bersin melalui udara akan mempercepat proses penularan terhadap orang lain.Padmonobo (2012) juga menyatakan bahwa kepadatan hunian tidak terlepas dari faktor penularan suatu penyakit antar individu. Gangguan pernafasan yang disebabkan oleh virus biasanya disebarkan dari satu individu ke individu lainnya dan dihantarkan melalui udara. Semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit
melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian ISPA.