• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

5.4 Kekerasan dalam Masyarakat Marginal

Ada hubungan yanng positif antara kemakmuran suatu kota dengan sumber daya manusia yang dimiliki oleh kota tersebut. Tingkat pendapat sampai batas tertentu ditentuikan oleh pendidikan yanng dimiliki oleh anggota masyarakat tersebut. Pendidikan dipandang tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga dapat meningkatkan keterampilan (keahlian tenaga kerja) yang pada gilirannya dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan penduduk. Di kota-

kota yang berkembang pesat, tingkat kesejahteraan dan penghasilan masyrakatnya tinggi, untuk sebagian, karena pendidikannya juga sangat baik. Ini juga perlu diperhatikan bagi kota yang ingin berkembang agar dapat melihat aspek pendidi- kan dan kesejahteraan masyarakatnya baik yang berada di pinggiran kota maupun di pusat kota, ini di tujukan untuk memajukan seluruh lapisan masyarakat.

Tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja suatu indikator keterlibatan sumber daya manusia dalam dunia kerja. Pada umumnya di perkotaan tingkat pengganguran begitu tinggi. Hal ini diakibatkan oleh berbagai macam faktor, misalnya sumber daya manusia itu sendiri yang kurang memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dunia industri. Dengan perkataan lain, angkatan kerja tidak memiliki keterampilan yang cocok dengan kebutuhan dunia industri. Akibatnya menjdai sangat kompleks. Ketika dunia indiustri tidak sanggup menyerap tenaga atau sumber daya yang berkualitas rendah, sehingga tenaga kerja yang seperti itu terpaksa mengalihkan dirinya untuk mencari penghidupan di sektor informal.

Sementara itu, karakteristik dunia industri yang padat karya, juga membuka peluang eksploitasi terhadap tenaga kerja tidak terampil yang mampu diserap di sektor industri tersebut. Kecuali tingkat pendapatan yang rendah menjadi penyebab utama keterjebakan mereka dalam lingkaran kemiskinan. Buruh tidak terampil di sektor formal senantiasa terjepit secara struktural. Perlakuan eksploitasi yang mereka terima, sangat sulit untuk ditolak. Perusahaan- perusahaan dapat dengan mudah mencari pengganti bagi pekerja yang mogok karena menuntut perbaikan upah. Kaum buruh tidak terampil yang masih tertampung di sektor industri padat karya menghadapi situasi struktural yang tidak

menguntungkan, yakni timpangnya kuantitas permintaan dan penawaran pada pasar input tenaga kerja.

Kemiskinan, kompleksitas ekses yang timbul oleh problem pengangguran, serta lingkungan kehidupan yang kumuh, menghiasi komunitas masyarakat marginal di perkotaan. Anggota masyarakat marginal tersebut, pada umumnya bekerja di sektor formal dan informal, dengan tingkat pendapatn yang relatif rendah dan resiko kecelakaan kerja yang tinggi. Mereka yang bekerja di sektor formal atau buruh kota membutuhkan keadaan fisik yang memadai. Dalam suatu proses produksi, buruh hanya akan menghasilkan produktifitas yang tinggi apabila keadaan fisiknya cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Noor Efendi dalam Justin, 2005: 53). Ini berarti bahwa membicarakan buruh dalam kaitannya dengan produktivitas mereka, tidak dapat mengabaikan peran upah yang layak. Dari penelitian yang saya lakukan, bahwa di lapangan informan dalam penelitian saya merupakan istri-istri yang suaminya bekerja sebagai buruh dan pekerja formal di supermarket atau perusahaan-perusahaan sebagai keamanan dan ofice boy ini dikarenakan tinggkat pendidikan rendah sehingga pekerjaan tersebut yangb didapatkan.

Pesatnya perkembangan sektor informal di perkotaan merupakan gejala adanya ketidak seimbangan kebijakan pembangunan. Kehadiran sektor informal dipandang sebagai akibat kebijakan pembangunan yang dalam banyak hal lebih berat pada sektor industri dari pada sektor tradisional. Sebagai dampaknya, arus migran mengalir dari pedesaan ke perkotaan. Ketika tenaga kerja migran yang dihasilkan dari arus urbanisasi tersebut tidak mampu tertampung oleh lapangan kerja sektor industri, maka meraka mencoba mengais rezeki dengan mengolah

sektor informal. Masyarakat marginal yang bekerja pada sektor informal dan formal mengalami berbagai tindakan eksploitasi serta kekerasan, khususnya dalam bidang-bidang ekonomi, politik dan sosial.

Salah satu faktor penyebab tingginya kekerasan dalam masyarakat marginal adalah problem ekonomi. Kekerasan yang disebabkan oleh faktor ekonomi menempati skala frekuensi yang dominan dibandingkan kekerasan- kekerasan yang dilatar belakangi oleh faktor non-ekonomi. Bahakan dapat dikatakan, kekerasan dalam masyarakat marginal yang disebabkan oleh faktor ekonomi, menjadi pemicu utama munculnya kekerasan di dalam masyarakat marginal secara umum. Meskipun masyarakat memasuki sektor ekonomi informal tentunya masalah yang awalnya mereka hadapi belum dapat diselesaikan karena dalam memenuhi kebutuhan produksi di sektor ekonomi informal, mereka juga membutuhkan modal yang banyak. Akibat dari hal tersebut para calon ekonomi informal meminjam uang kepada rentenir yang mengakibatkan masalah baru muncul. Ini akibat dari kurang percayanya para peminjam modal yang sah seperti BANK atau koperasi kepada masyarakat marginal tersebut. Hal tersebut dapat dipertegas dengan pernyataan dari ibu Dani, yaitu:

“keadaan warga dilingkuangan ini tidak terlepas dari masalah yang beragam ada masalah ekonomi, pendidikan anak, pergaulan anak yang menjurus kepada kenakalan anak seperti pemakaian narkoba”.

Hal tersebut di pertegas kembali oleh Ibu Ana, yaitu

“Di lingkuangan ini misalnya masalah ekonomi dalam hal lapangan pekerjaan, modal usaha, air, listrik serta masalah bentuan untuk masyarakat miskin yang tidak merata dalam hal pembagiannya”.

Berkaitan dengan masalah masyrakat marginal hal tersebut dipertegas oleh Pak Budi melalui pernyataannya sebagai berikut:

“Masalah pekerjaan karena kebanyakan disini warga buka usaha kecil- kecilan bapak lihat dari yang jualan lontong samapai kelontong. Ada juga masalah pergaulan anak-anak juga yang sudah mulai bahaya, kenapa bapak bilang seperti iyu karena daerah ini narkoba sudah banyak beredar”.

Permasalahan ekonomi dapat menjadi dasar bagi kekerasan dalam bidang lain seperti kekerasan politik dan sosial. Ada beberapa kekerasan dalam bidang ekonomi yang menjadi ketertarikan peneliti dalam melihat kekerasan pada masyarakat marginal, yaitu sektor formal, informal dan sektor informal yang tidak sah.

1. Sektor Formal

Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor formal sbetulnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor informal. Kecendrungan tindakan kekerasan dan eksploitasi pun terjadi disana. Bentuk-bentuk kekerasan dan eksploitasi adalah upayah yang rendah, diskriminasi berlatar belakang ras atau etnis dalam lingkungan pekerjaan, minimnya langkah antisipasi terhadap resiko kecelakaan kerja yang seharusnya menjadi kewajiban perusahaan, hingga perlakuan perusahaan, hingga perlakuan perusahaan yang kurang manusiawi terhadap para buruh yang bekerja. Perkembangan populasi yang bekerja di sektor formal akan berkembang seiring dengan meningkatnya pertumbuhan industri. Dari hasil yang didapat peneliti dilapangan bahwa ada beberapa kategori masyarakat marginal yang bekerja di sektor formal yaitu pelayan toko (penjaga), buruh pabrik dan pengawas, mandor serta pekerja administrasi.

2. Sektor Informal

Keberadaan sektor informal tidak dapat dilepaskan dari proses pembangunan kota. Peningkatan model pembangunan yang mengarah pada aspek pertumbuhan ekonomi memandang industrialisasi merupakan hal yang baik menuju tingkat penghidupan yang lebih baik. Namun percepatan industrialisasi berkaitan erat dengan masalah yang kompleks di seputar kemiskinan perkotaan yang diderita oleh masyarakat marginal. Industrialisasi seringkali dihadirkan dengan cara menciptakan kawasan bebas pemukiman penduduk yang harus ditebus dengan penggusuran, hal ini juga terjadi pada masyarakat Lingkungan XII Kelurahan Sei Mati, diamana keseluruhan penduduknya mendirikan bangunan pemukiman di atas lahan milik perusahaan swasta yang sewakru-waktu akan menggusur para penduduk dari lahan tersebut.

Terdapat pemikiran mengenai kaitan antara pembangunan dan sektor informal.

1. Kehadiran sektor informal sebagai gejala transisi dalam proses pembangunan di perkotaan. Sektor informal adalah tahapan yang harus dilalui dalam menuju tahapan modren.

2. Kehadiran sektor informal merupakan gejala adanya ketidakseimbangan kebijakan pembangunan. Kehadiran sektor informal dipandang sebagai akibat kebijakan pembangunan yang dalam banyak hal lebih berat dala sektor modren atau industri dari sektor pertanian (Tadjuddin dalam Justin, 2005: 56).

Sektor informal adalah sektor yang bertumpu pada kegiatan ekonomi marginal (kecil-kecilan) dengan ciri-ciri sebagai berikut adapun beberapa ciri-ciri

yang peneliti kemukaan merupakan hasil dari penelitian yang dilakuakn di Lingkungan XII terhadap masyarakat marginal sebagai pelaku ekonomi informal. 1. Kegiatan usahanya tidak mempergunakan fasilitas atau lembaga yang tersedia di

sektor formal. 2. Tidak berizin usaha.

3. Pola usaha tidak teratur, baik lokasi maupun jam kerjanya

4. Skala operasinya kecil, karena modal dan perputarannya juga relatif kecil.

5. Tidak memerlukan pendidikan formal, karena hanya berdasarkan pengalaman sambil bekerja dan kebanyakan usaha dari turun temurun (keluarga).

6. Pada umumnya bekerja sendiri, atau hanya dibantu pekerja keluarga yang tidak dibayar

7. Bermodal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi. 3. Sektor Informal yang Tidak sah

Sektor informal yang tidak sah adalah kegiatan seperti pelacuran, germo, gangster, pengedar narkoba, penjual/pembuat barang-barang bajakan serta pencurian, jenis pekerjaan sektor informal yang tidak sah inim identik dengan kekerasan itu sendiri. Artinya, selain masyarakat pekerja sektor informal tidak sah ini menderita kemiskinan akibat kekerasan struktural, mereka juga melakukan kekerasan terhadap orang lain sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat marginal ini tidak lepas

dari perbuatan kekerasan itu sendiri seperti melakukan pencurian dan perampokan.

Di kota Medan, peran politik masyarakat marginal secara formal hanya terjadi di dalam pemilihan umum. Secara formal, masyarakat marginal memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Namun dalam tataran konkret, hak untuk dipilih sangat mustahil dilaksansakan, karena anggota msayrakat marginal tidak memiliki akses politik atau kesmpatan bergabung dengan elit politik di dalm suattu organisasi.

Ketiadaan sumber ekonomi dan waktu, akhirnya semakin menjauhkan meraka dari aktivitas politik. Karena sibuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari- hari, mereka tidak memiliki kesempatan untuk melakukan mobilitas vertikal melalui kegiatan organisasi. Sempinya waktu, ruang dan sumber-sumber ekonomi yang dapat diandalkan menyebabkan tidak adanya organisasi yang mapan dalam masyarakat marginal. Kelemahan pengertian terhadap perpolitakan mengakibat- kan masyarakat marginal di manfaatkan sebagai penggerak majunya suatu partai politik oleh para politikus dalam hal mendapatkan kedudukan di pemerintahan. Begitu pula pada masyarakat marginal yang ada di Lingkungan XII kelurahan Sei Mati, lemahnya penguasaan terhadap dunia politik mengakibatkan warga lingkungan tersebut rentan terhadap pemanfaat sebuah partai politik.

Ada beberapa sebab mengapa tingkat politik golongan masyarakat marginal sangat rendah, yaitu: (Didik dalam Justin, 2005: 75)

1. Karakter kelompok dalam sikap keagamaan yang tradisional dengan pandangan bahwa faktor nasib berperan dalam kehidupan mereka.

2. Kenyataan akan gerak politik yang amat sangat sempit, tidak memberi peluang utunk mereka menyalurkan kepentingannya meskipun terancam penertiban- penetiban.

3. Tingkat pengetahuan yang rendah terhadap pemilihan politik yang dapat membantu kepentingannya.

4. Adanya desakan kebutuhan mendasar yang menyita hampir seluruh waktu sehingga kebutuhan akan partisipasi politik menjadi tidak penting dan sangat tidak relevan.

Rendahnya kesadaran politik masyarakat marginal ini menyebabkan ketiadaan organisasi yang secara politis dapat memperjuangkan kepentingan mereka apalagi masyarakat marginal yang berada di Lingkungan XII yang terkendala permaslahan lahan dengan perushaan swasta. Organisasi yang ada pada masyarakat marginal lebih cenderung merupakan asosiasi dan komunitas kelompok yang bersifat kekeluargaan, yang terlepas dari nuansa politik dan jauh dari agenda membangun kekuatan politik.

BAB VI

Dokumen terkait