• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.3 Masyarakat Marginal Akibat dari Pertumbuhan

Dikatakan Elly M. Setiadi & Usman Kolip (2011:856) Masyarakat perkotaan adalah sekelompok orang yang hidup di dalam suatu wilayah yang membentuk komunitas yang heterogen karena kebanyakan anggota-anggotanya berasal dari berbagai daerah yang membentuk komunitas baru. Secara sosiologis pengertian kota memberikan penekanan pada kesatuan masyarakat industri, bisnis, dan wirausaha lainnya dalam struktur sosial yang kompleks. Berdasarkan penjelasan diatas dapat di katakan bahwa masyarakat perkotaan identik dengan kehidupan modern, lebih mudah menerima perubahan serta lebih mudah menyerap dan menerima informasi, kehidupan kota secara fisik juga dapat digambarkan dengan banyaknya gedung-gedung tinggi, kesibukan warga masyrakatnya dan juga tingkat persaingan yang tinggi.

Tidak mampunya daya dukung lingkungan perkotaan, industrialisasi yang lebih berorientasi kepada kebutuhan ekonomi, dan urbanisme yang tidak terkendali akan melahirkan berbagai masalah-masalah sosial berkaitan dengan pertumbuhan suatu wilayah menjadi kota, antara lain:

1. Urbanisasi.

Perpindahan penduduk dari pedesaan menuju daerah perkotaan. Yang menjadi masalah adalah warga dari daerah pedesaan yang ingin mengadu nasib di perkotaan, namun hanya memiliki kemampuan keahlian yang terbatas atau rendah, dan karena itu hidup sebagai pekerja kasar atau buruh dipabrik-pabrik dengan upah yang relatif rendah. Para pekerja pendatang ini pada umumnya laki- laki dan perempuan dengan rata-rata usia produktif atau orang-orang muda bujangan atau bujangan lokal yang tinggal berdesakan di sekeliling tempat mereka bekerja dengan cara menyewa atau kontrak kamar-kamar secara bergotong royong untuk meringankan beban pembayaran sewa kontrak sesuai dengan gaji buruh yang diterima dari pabrik. Oleh karena itu mereka hidup rata-rata pada perkampungan yang kumuh dan berbagai keterbatasan atas air, sanitasi serta fasilitas lainnya untuk pemukiman. Keberadaan perkampungan kumuh, disamping akan menimbulkan masalah bagi lingkungan atas pemakaian air, tanah, sungai, sanitasi, sampah dan tata ruang, juga akan memproduksi masalah-masalah sosial dan kejahatan. Masalah lain dari urbanisasi adalah penambahan penduduk kota yang tidak terkontrol sehingga sulit untuk melakukan pengawasan kependudukan.

2. Kemiskinan dan daerah kumuh atau liar.

Kemiskinan muncul dan semakin nampak mencolok keberadaannya di daerah perkotaan karena kontras dengan kekayaan yang menjadi ciri dari kehidupan perkotaan. Secara garis besar para penderita kemiskinan dikota adalah mereka yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki keterampilan keahlian yang berguna dalam kegiatan industri dan perekonomian di perkotaan. Golongan ini dapat berasal dari penduduk asli setempat dan para pendatang. Penduduk asli setempat yang sudah tergolong miskin sebelum berkembangnya kota menjadi pusat industri dan ekonomi pasar, hanya memiliki pendidikan rendah dan pas- pasan, serta tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan industri dan pasar. Kemampuan bertahan para penduduk asli setempat untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya adalah dengan menjual tanah warisan kepada para pendatang atau orang kaya, belum lagi untuk keperluan ibadah keagamaan seperti naik haji, upacara lingkaran kehidupan seperti mengawinkan anak atau untuk usaha keluarga berdagang atau jasa yang bercorak tradisional, dan karena lemahnya kemampuan manajemen menyebabkan bangkrutnya usaha dagang atau jasa tersebut. Belum lagi diantara mereka ada yang terlilit hutang kepada kepada rentenir dengan menggunakan jaminan rumah atau tanah mereka. Habisnya tanah warisan mengharuskan mereka tersingkir dari pusat kota kepinggiran dan terlibat dalam lingkungan pemukiman kumuh.

3. Transportasi dan jaringan jalan.

Tidak ada satu kotapun di Indonesia yang tidak mengalami kemacetan lalu lintas dan tidak mengalami kesukaran transportasi umum bagi warganya. Hal ini

disebabkan perencanaan perkotaan dan transportasi yang tidak akomodatif dan antisipatif terhadap perkembangan perkotaan. Dampak negatif dari kemacetan dan kesemarawutan transportasi serta tidak cukupnya jaringan jalan serta angkutan umum adalah (1) kendaraan umum berisi penumpang yang padat, kondisi ini mewujudkan terjadi berbagai kejahatan dan pelanggaran norma-norma kesopanan dan susila, (2) kepadatan kendaraan umum menyebabkan kemacetan yang panjang akibat antrian penumpang, berhenti disembarang tempat dan rusaknya jaringan jalan, (3) kemacetan yang panjang juga menghabiskan energi dan merusak perekonomian kota itu sendiri, (4) kurangnya angkutan umum layak yang disediakan oleh pemerintah dan tingginya kebutuhan masyarakat atas angkutan umum, menyebabkan warga menerima apa saja jenis angkutan umum yang tersedia meskipun tidak layak jalan dan layak pandang lagi, dan (5) kurangnya angkutan umum juga menyebabkan warga lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, seperti sepeda motor yang dapat menyebabkan tingginya angka kecelakaan lalulintas dan pencurian kendaraan bermotor, tingginya penggunaan kendaraan roda empat pribadi yang semakin menambah beban sarana transportasi dan kemacetan.

4. Penyerobotan tanah.

Tanah-tanah diperkotaan bukan lagi bernilai alamiah tetapi telah menjadi komoditi dan bahkan menjadi aset atau kapital. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa kasus-kasus penyerobotan tanah-tanah milik negara, perusahaan atau perorangan sering terjadi di kota. Para penyerobot dapat dibedakan atas para pemukim liar (squatter) yang rata-rata sangat miskin dan menduduki tanah milik

orang lain karena kepentingan untuk bermukim bukan untuk dijadikan aset atau kapital.

5. Stress serta frustrasi berkepanjangan.

Sebuah kota dengan berbagai permasalahannya dari aspek politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan keamanan terwujud secara nyata dalam kehidupan warganya seperti kepadatan hunian, kebisingan, kemacetan, jalan rusak, masalah air, listrik, gas, sanitasi, MCK, banjir, polusi air-tanah dan udara, naiknya harga sembako, pedagang kaki lima, penyerobotan tanah, penggusuran pemukiman, sempitnya ruang publik, sulitnya mendapatkan minyak, kesulitan mendapatkan sekolah, pekerjaan, pengangguran, kejahatan jalanan sampai dengan kewajiban berbagai retribusi dan pajak dan masalah-masalah sengketa dalam bisnis. Sementara itu dalam waktu yang bersamaan dan tempat yang berdampingan, sebagian kelompok orang kaya dan pejabat pemerintahan dengan mudah mendapatkan berbagai sarana dan kemewahan serta kekuasaan untuk mengusai sumber-sumber ekonomi dan politik. Kesenjangan atau gap atas kondisi ini yang mewujudkan potensi konflik komunal disatu sisi dan berbagai permasalahan pribadi seperti stress, frustrasi dan masa bodoh disisi yang lain.

Kota umumnya dipandang sebagai tempat yang cocok untuk mencari pekerjaan dan tempat untuk orang meraih sukses dan juga kota dianggap sebagai pusat peradaban ilmu pengetahuan. Masyarakat perkotaan juga dianggap sebagai masyarakat yang pintar, tidak mudah tertipu, cekatan dalam berfikir dan bertindak namun anggapan itu tidak selamanya sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan seperti yang ingin di teliti penulis, bahwa keadaan masyarakat perkotaan

seperti hal diatas berbeda dengan keadaan yang terdapat dilapangan, masih banyak kelompok masyarakat yang tinggal di diwilayah pemukiman kumuh, bekerja pada sektor informal, mereka bermukim di sepanjang bantaran sungai, di tepi jalan kereta api bahkan ada juga yang tinggal dikolom jembatan. Mereka tentu saja merupakan sekelompok orang marginal yang tidak mampu mengakses perubahan sosial budaya dan tidak berdaya menyerap arus modernisasi. Kemunculan kapitalime juga mempengaruhi terjadinya marginalisasi terhadap oarang-orang yang tidak memiliki skill atau keahlian, dikarenakan hanya orang- orang yang memiliki skill saja yang dapat bekerja di sektor formal. Hal ini menyebabka mereka menjadi terpinggirkan dan tiak diberi kesempatan untuk melakukan mobilitas.

Masyarakat marginal yang hidup diperkotaan sarat dengan masalah- masalah sosial yang terjadi akibat pesatnya pertumbuhan di perkotaan, masalah sosial tersebut adalah :

1. Kejahatan

Menurut Justin (dalam Sahetapy, 1989: 98), kejahatan yang tumbuh subur di dalam masyrakat marginal adalah kejahatan yang disertai oleh kekerasan fisik. Kejahatan ini dipengaruhi oleh kemiskinan yang dialami anggota masyarakat marginal. Faktor lain adalah perubahan sikap hidup yang dialami anggota masyarakat marginal akibat perpindahan dari desa ke kota. Di daerah baru mereka seperti kehilangan pegangan hidup karena tiadanya pegangan norma serta status sosial di dalam masyarakat tersebut.

Dalam pandangan Arief Gosita (dalam Justin, 2005: 76), kejahatan sebenarnya bukan hanya kriminalitas biasa, sebagaimana yang seringkali tumbuh didalam masyarakat marginal. Kejahatan bisa pula mencakup bentuk-bentuk halus yang biasa dikenal dengan istilah kejahatan kerah putih (White collar crime). Jenis kejahatan ini dilakukan oleh warga masyrakat yang tingkat pendidikan maupun kehidupan ekonominya lebih baik dibandingkan warga masyarakat marginal.

2. Gelandangan

Munculnya gelandangan secara struktural dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang menimbulkan dampak berupa tersingkirnya sebagian kelompok masyarakat dari sistem kehidupan ekonomi. Kaum gelandangan membentuk sendiri sistem kehidupan baru yang kelihatanya berbeda dari sistem kehidupan kapitalistis. Munculnya kaum gelandagan inni diakibatkan oleh pesatnya perkembangan kota yang terjadi secara paralel dengan tingginya laju urbanisasi. Pada umumnya kaum gelandangan tersebut mencari sumber kehidupan di jalanan, baik sebagai pengumpul barang bekas (pemulung), pengemis, pelacuran, pengamen maupun penyemir sepatu. (Justin, 2005: 79)

Dokumen terkait