BAB IV ANALISIS
C. Representasi Feminisme dalam Novel Mimi lan Mintuno
3. Kekerasan Terhadap Indayati
Mansour Fakih mengungkapkan bahwa kekerasan yang menimpa perempuan dapat berasal dari berbagai gender tetapi kekerasan pada jenis kelamin tertentu,
misalnya terhadap perempuan lebih sering disebabkan oleh bias gender atau prasangka gender. Kekerasan yang disebabkan oleh perbedaan gender disebut dengan istilah gender sexual violence (Mansour Fakih, 2005: 17). Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan menetapkan definisi kekerasan terhadap perempuan. Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan berbunyi:
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi (Valentina Sagala, R dan Ellin Rozana, 2007: 29).
Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu wujud nyata dari budaya patriarki. Tidak adanya kesetaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan merupakan karakteristik budaya patriarki yang menyebabkan timbulnya berbagai kekerasan terhadap perempuan. Paham androsentris membuat perempuan sering mengalami berbagai tindak kekerasan dan dianggap sebagai objek penindasan kaum laki-laki. Adapun bentuk kekerasan yang dialami perempuan dalam teks novel Mimi lan Mintuno terdiri atas kekerasan domestik dan kekerasan publik
a. Kekerasan Domestik
Kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ditengarai sebagai suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga. KDRT terjadi karena berbagai macam aspek, salah satunya nilai-nilai pribadi yang diterima dan dianut suami, yaitu sistem patriarki. Dengan ditetapkannya peran laki-laki sebagai kepala dan pemimpin rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga, dapat memberi peluang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia
(perempuan) dalam kehidupan perkawinan. Lebih lanjut Romany Sihite mengungkapkan bahwa masih kentalnya budaya patriarki pada sebagian besar kehidupan sosial telah menempatkan perempuan sebagai owner property atau sebagai harta milik dan berbagai anggapan keliru (inferior, lemah, tergantung) yang
dilekatkan pada perempuan juga membawa konsekuensi buruk dan diperlakukan semena-mena, yang menjadikan mereka korban dari orang-orang disekeliling mereka (Romany Sihite, 2007:207). Akibat dominasi laki-laki dalam rumah tangga membuat Indayati sering mendapatkan perlakuan semena-mena dari suaminya. Beberapa luka fisik yang masih membekas di tubuh Indayati merupakan bukti tindak kekerasan yang kerapkali dilakukan Petruk. KDRT pada dasarnya adalah tindakan yang melanggar hak asasi manusia, sebab KDRT menggambarkan ketidakberhargaan perempuan di mata suaminya dan penghinaan terhadap harkat dan martabat perempuan yang harus dijamin hak-hak asasinya. Perhatikan beberapa kutipan berikut.
Dalam keadaan mabuk berat yang membuat matanya merah dan tubuhnya unggang anggit, dengan tangan kiri yang kuat lelaki itu memukul mulut istrinya. Cedera. Keluar darah. ...dengan tangan kanan yang lebih kuat lelaki ini memukul lagi. Istrinya terhuyung. Membentur dinding. Jengkang. Semaput. (Remy Sylado, 2007: 1).
...cedera di mulut dan mata yang kini membengkak besar, membuat wajah Indayati hilang cantiknya, dan bahkan sebaliknya berubah berantakan, entah berapa hari lagi baru bisa pulih seperti sediakala. (Remy Sylado, 2007: 4)
Di bibirnya bekas luka dari tamparan dan siksa Petruk selama itu. Itu belum lagi bekas luka yang tersembunyi di badannya yang tertutup baju. Hanya jika dia bertelanjang barulah terlihat beberapa bekas luka sudutan rokok di perut dan payudaranya yang dilakukan Petruk selama itu. (Remy Sylado, 2007: l13).
Berdasarkan beberapa kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa Remy Sylado menentang diskriminasi perempuan yang menekankan perempuan agar tunduk terhadap laki-laki sehigga menyebabkan ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Ketimpangan ini cenderung akan membuat perempuan tersubordinasi dan mengalami bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
b. Kekerasan Publik
Perdagangan perdagangan perempuan atau trafficking ditengarai berakar dari budaya patriarki sebab budaya yang mengukuhkan kekuasaan laki-laki tersebut cenderung menganggap perempuan sebagai objek terutama sebagai objek seks. Dengan adanya pandangan yang demikian maka perempuan menjadi suatu komoditas yang sangat dibutuhkan dan kemudian menjadi ajang untuk diperjual belikan (sebagai
lahan bisnis), sebagai pelayan seks laki- aki. Menurut Protokol PBB tahun 2000,
trafficking di definisikan sebagai berikut.
Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Gadis Arivia, 2006: 250).
Ketika menyadari dirinya telah terjerumus dalam praktek prostitusi Indayati berusaha untuk melepaskan diri dari berbagai kekerasan dan penindasan yang sering diterimanya. Akan tetapi sayang sekali usaha yang dilakukan Indayati sia-sia. Bahkan, dia harus menerima kekerasan psikologis, fisik, maupun perampasan kemerdekaan dengan sewenang-wenang.
Selama Indayati terjerumus dalam sindikat perdagangan perempuan, dia tidak diperlakukan secara manusiawi, berbagai kekerasan fisik serta penindasan sering diterimanya. Perhatikan beberapa kutipan berikut.
Ketika Indayati mengangkat kepalanya, dengan mula-mula melihat sepatu Bunda di dekat kepalanya, tiba-tiba rambutnya dijambak supaya tubuhnya tegak berdiri. Dan, manakala Indayati sudah berdiri dengan merasa sakit oleh jambakan itu, Bunda memutar badannya, sehingga Indayati pun ikut terpusing pula, dan setelah itu melepas jambakannya itu. Begitu jambakan itu lepas, Indayati pun terempas, jatuh tersungkur dengan mulut menggelesor di lantai. Darah pun memerah di ngisi Indayati (Remy Sylado, 2007: 168)
Indayati meronta. Dia berteriak-teriak, memohon, menangis, meratap. Tak digubris. Akhirnya melihat jendela di lantai atas ini terbuka, dia menerjang, berlari ke jendela itu, siap hendak meloncat. Dul Dower menangkapnya, menjambak rambutnya, menyeret ke ranjang. Di situ Indayati meronta-ronta lagi, menjerit-jerit, menyerapah. Dul Dower memuntir tangannya ke belakang hingga lemas. (Remy Sylado, 2007: 98)
Dalam perdagangan tersebut, mereka diperlakukan sebagai komoditas, diperjualbelikan, dan tidak lagi dipandang sebagai manusia seutuhnya yang
mempunyai harkat dan martabat. Mereka dicabut kebebasan dan hak hidupnya tanpa pilihan. Perdagangan perempuan untuk tujuan eksploitasi tenaga kerja dan eksploitasi seks jelas merupakan korban dari sistem ekonomi yang eksploitatif dan juga korban dari sistem dominasi patriarki (Romany Sihite, 2007: 214).
Beberapa saat setelah Indayati tiba di Bangkok, dia dipaksa menjalani beberapa sesi pemotretan. Pada sesi pemotretan tersebut mereka dipaksa melepaskan seluruh pakaiannya. Ada beberapa perempuan yang menolak tetapi justru menimbulkan perlakuan kasar dan keras. “Bunyi klik diarahkan pada semua pose. Ini babak khusus bagi mereka yang masih perawan, yang akan dijual ke Tokyo dan Hongkong” (Remy Sylado, 2007: 96). Trafficking yang pada umumnya terjadi terhadap perempuan, akan membuat korban tereksploitasi secara seksual untuk kepentingan industri pornografi (Romany Sihite, 2007: 200). Para rraffikiers telah mengabaikan hak asasi korban karena memperlakukan mereka bukan sebagai manusia seutuhnya, tetapi cenderung sebagai komoditas. Perhatikan kutipan berikut.
Dalam babak pertama, babak pemotretan perawan-perawan itu, adegannya tidak lebih hanya telanjang saja. Mereka semua dibugilkan. Caranya memang tidak langsung membuka habis pakaian-pakaian mereka, tapi mula-mula memotret sosoknya dengan bajurenang. Sehabis difoto dengan baju renang, lantasdisuruh buka bagian atas bajurenangnya, tustel berbunyi klik di atas tubuh dengan payudara yang tidak ditutup kain. Kemudian dibuka pula bagian bawah bajurenang itu. Dengan bagian bawah terbuka, artinya telanjang bulatlah objek yang difoto. (Remy Sylado, 2007: 97).
Berdasarkan kutipan tersebut, Remy Sylado menunjukkan bahwa dalam praktik rraffiking perempuan sering dianggap sebagai komoditas dan diperlakukan dengan semena-mena, sewenang-wenang. Lebih lanjut Romany Sihite
mengungkapkan bahwa trafficking yang dilakukan terhadap perempuan merupakan bentuk eksploitasi seksual karena tubuh perempuan disalahgunakan sebagai objek seks (Romany Sihite, 2007:199).
Eksploitasi secara seksual terus mendera Indayati. Setiap kali dia dipaksa melayani para hidung belang. Perhatikan kutipan berikut. “Duh, bagaimana aku Gusti? Jauh-jauh bronto sampai negeri orang hanya ngreyeng jadi lonte, laknat,
terkutuk, dinaiki bajingan-bajingan mancanegara” (Remy Sylado, 2007: 181). Perdagangan perempuan tidak semata-mata persoalan tindak kejahatan, melainkan terkait erat dengan pelanggaran HAM, sebab hak-hak paling fundamental dari mereka seperti hak mendapat kehidupan yang layak, apresiasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang bermartabat telah dilanggar karena mereka diperdagangkan layaknya properti dan eksploitasi secara seksual dan tenaga kerja, serta diperlakukan semena-mena (Romany Sihite, 2007:205).
Kekerasan sering dilakukan oleh orang-orang yang dianggap lebih kuat atau yang lebih dominan dan memiliki otoritas tertentu dengan tujuan menunjukan kekuasaanya terhadap perempuan. “Sepekan Indayati disekap dalam ruangan gelap pekat ini bersama dengan Vanida dan yang lain-lain.. Katanya, “kita rugi sedikit menolak pelanggan, tidak apa-apa, asal untuk selamanya kita untung mengelola orang-orang yang patuh.” (Remy Sylado, 2007: 178). Para pelaku rraffikiers yang memiliki “kekuasaan” akan lebih melakukan kekerasan apabila wewenangnya dilanggar dan tidak dipatuhi. Akan tetapi Sean PV yang menyekap Indayati tidak sertamerta dapat menghasilkan efek jera, kapok, dan patuh. Dalam keadaan tertawan satu-satunya keinginan yang ada di hati Indayati adalah membalas dendam atas penghinaan, penistaan, dan pelecehan yang sudah dilakukan oleh Sean PV. Perhatikan Kutipan berikut.
...aku sudah bersumpah untuk membalas dendam. Membunuh mereka semua. Dia berteriak keras. Aku akan bunuh mereka.
Ya. Ayo kita melawan dan membunuh bajingan-bajingan busuk Sean, Bunda Kiky. Bunuh mereka. (Remy Sylado, 2007: 265).
Indayati sudah beberapa hari dikurung tahanan ditindas, ditekan, dan dianiaya supaya menyerah dan patuh tetapi justru sebaliknya, Indayati merasa harus
melakukan perlawanan agar terlepas dari seluruh penindasan yang dilakukan oleh para traffikiers. Relasi sosial antara pelaku dan korban mencerminkan tindak kekerasan dan subordinasi. Praktik–praktik prostitusi seperti itu mempunyai tujuan yang sangat merugikan perempuan, yaitu mencari keuntungan secara finansial dari tubuh perempuan (Romany Sihite, 2007:201).