• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BENTUK – BENTUK TINDAK KEKERASAN YANG

A. Kekerasan Langsung

Kekerasan bukan barang kemasan baru dari abad ke-21 dan bukan pula solusi baru melalui kekerasan terhadap kekerasan. Jargon awam tentang kekerasan bahwa kekerasan identik dengan (perbuatan) fisik, sesungguhnya tidak selalu harus berarti demikian. Perbuatan kekerasan tidak harus selalu dengan menggunakan atau secara fisik. Ia bisa berupa sesuatu yang nonfisik, yang psikologis, yang teologis, yang kultural, yang sosial, yang ekonomis, yang struktural, dari yang berwajib/ berkuasa, secara psikis, sampai pada yang bersifat naratif.

Bahkan secara logika mungkin sulit diterima, kalau dikatakan dalam bentuk penipuan yang jelas secara kasat mata bukan kekerasan, pada asasnya menurut yargon awam, ujung-ujungnya adalah "kekerasan". Atau dari optik viktimologi implikasi atau konsekuensi akhir adalah dapat terwujud pada kristalisasi (penggunaan) kekerasan. Tentang ungkapan terakhir sebagaimana disinggung di atas akan diulas sepintas di bawah ini.

“Κεκερασαν συδαη δικεναλ σεϕακ περmυλααν πενχιπτααν. Σεβελυm αγαmα- agama besar mendapatkan wahyu demi eksistensinya, kekerasan demi dan melalui serta oleh agama-agama itu sendiri, kekerasan sudah dikenal dan menggunakan

kekerasan atas nama agama itu sendiri. Padahal Tuhan yang memiliki sifat dan hakikat serta berwujud segala "maha" serta rahmani dan rahimi, belum tentu mengizinkan atau membenarkan kekerasan untuk sang khalik serta untuk dan atas nama agama”.54

Masyarakat Indonesia begitu pluralistik dalam hampir seluruh way of life-nya, dengan kadar penggunaan kekerasan secara berbeda, yang pada dasarnya berakar juga dalam kekerasan (kultural) meskipun sudah disiram dengan ajaran agama yang pada dasarnya tidak ingin menggunakan kekerasan juga atas nama agama itu sendiri.

Selama tahun 2007 kasus tindak kekerasan yang menimpa masyarakat yang tengah mengalami status hukum sebagai warga binaan pemasyarakatan terlihat cukup menonjol. Hal ini sangat disayangkan telah terjadi di tengah upaya pemerintah sebagai pemangku tanggung jawab pengelolaan Negara untuk dapat meningkatkan wibawa hukum di masyarakat. Meningkatnya kasus tindak kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan hanya akan menambah apriori dan pesimistis masyarakat terhadap semua proses hukum yang ada. Lebih jauh fenomena ini hanya akan memberi contoh anarkisme terhadap proses hukum pada masyarakat. Sangat ironis ini dilakukan oleh pihak-pihak yang mendapat mandat untuk menjaga serta meningkatkan kualitas mekanisme hukum yang ada.

Sanford Kadish mengemukakan bentuk-bentuk tindak kekerasan dapat diklasifikasikan ke dalam:

54JE Sahetapy, Op.Cit, hlm. 2.

1. Emotional and Instrumental Violence,

2. Random or Individual Violence,

3. Collective Violence.

Martin R. Haskell dan Lewis Yablonsky 55 mengemukakan adanya empat katagori tindak kekerasan, yakni :

1. Kekerasan legal

Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum, misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan, maupun kekerasan yang dibenarkan secara legal, misalnya: sport-sport agresif tertentu serta tindakan-tindakan untuk mempertahankan diri.

2. Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi

Suatu faktor penting dalam menganalisis kekerasan adalah tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadapnya. Misalnya : tindakan kekerasan seorang suami atau penzina akan memperoleh dukungan sosial.

3. Kekerasan rasional

Yang dipandang rasional dalam konteks kejahatan adalah beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tidak ada sanksi sosialnya. Contohnya pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan terorganisasi.

55 Martin R.Haskell dan Lewis Yablonsky, Criminology : Crime and Criminality Chicago:

Rand Mac Nally College Publishing Company, 1974 hlm. 425 dst. Lihat pula Mulyana W.Kususma dalam Analisa Kriminologi tentang Kejahatan Kejahatan Kekerasan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm.25

Mengenai kekerasan rasional. ini Gilbert Geis56 mengatakan bahwa orang- orang yang terlibat dalam perkerjaannya pada kejahatan terorganisasi yaitu dalam kegiatan-kegiatan seperti perjudian, pelacuran, serta lalu lintas narkotika, secara tradisional menggunakan kekerasan untuk mencapai hasil lebih daripada orangorang yang ada di lingkungan tersebut.

4. Kekerasan yang tidak rasional

"Irrational violence", yang terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dahulu,

tanpa memperlihatkan motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. Dapat digolongkan ke dalamnya adalah apa yang dinamakan "raw

violence" yang merupakan ekspresi langsung dari gangguan psikis seseorang dalam

saat tertentu kehidupannya, misalnya membunuh untuk kesenangan atau iseng.

Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam pengalaman kita ternyata tidak susah untuk memahami kejahatan itu sendiri.

Usaha memahami kejahatan ini sebenarnya telah berabad-abad yang lalu difikirkan oelh para ilmuwan terkenal. Plato (427-347 Sm), misalnya menyatakan bahwa emas, manusia adalah merupakan sumber kejahatan. Sementara itu, Aristoteles (382-322 SM) menyatakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan

56 Frank. P. William III & Marilyn McShane, Criminological Theory, Prince Hall, New

Jersey, 1988. hlm. 4

pemberontakan. Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk kemewahan.

Sementara pendapat sarjana lain Thomas Aquino menyatakan: “Βεβεραπα

pengaruh kemiskinan terhadap kejahatan.”57 Menurutnya orang kaya yang hidup untuk kesenangan dan memboros-boroskan kekayaannya, jika suatu kali jatuh miskin, mudah menjadi pencuri. Kondisi di atas menunjukkan bahwa sebenarnya banyak hal yang dapat menjadi pemicu timbulnya kejahatan. Pendapat-pendapat para sarjana ini kemudian tertampung dalam suatu ilmu yang disebut dengan kriminologi. Kriminologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang muncul pada abad ke –19 yang pada intinya merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab musabab dari kejahatan. Hingga kini batasan dan ruang lingkup kriminologi masih terdapat beberapa perbedaan.

Kejahatan adalah pokok penyelidikannya, artinya, kejahatan yang dilakukan orang-orang yang melakukannya; segi yuridis dari persoalan tersebut perumusan dari pada berbagai-berbagai kejahatan itu, tidak menarik perhatiannya atau hanya dengan tidak langsung.

Lebih dulu akan diterangkan tentang arti kejahatan. Dipandang dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu perbuatan, yang oleh masyarakat, (dalam hal ini negara diberi pidana), suatu uraian yang tidak memberi penjelasan lebih lanjut seperti juga definisi-definisi yang formil pada umumnya, ditinjau lebih

57 Soedjono Dirdjososworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1994),

dalam sampai pada intinya, suatu kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan- perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. Pertanyaan yang kerapkali diajukan apakah suatu kejahatan harus termasuk di dalamnya, biarpun tak dapat disangkal juga ada perbuatan dalam zaman pendudukan dengan kekejamannya sudah banyak kita kenal yang dicap sebagai kejahatan tapi tidak dirasakan sebagai melanggar kesusilaan. Yang dimaksud disini ialah perbuatan yang hanya dipandang jahat menurut bentuknya.

Hukum pidana semacam itu tidak bertujuan melindungi masyarakat, malahan memperkuat alasan untuk menentang perbuatan sewenang-wenang dari penguasa. Janganlah dikirakan bahwa dalam hal yang demikian, jika dari kedua unsur dari definisi sudah dipenuhi, lalu dengan sendirinya seluruh masyarakat menganggap bahwa perbuatan tersebut melanggar kesusilaan atau penilaiannya tentang pelanggaran itu, sama. Dalam tiap masyarakat (tingkatan dan lain-lain) dan tiap orang termasuk dalam lebih dari satu golongan mengenai hal ini akan terlihat banyak perbedaan. Tapi dapat dikatakan bahwa di negara-negara yang modern hampir tiap perbuatan yang dicap sebagai kejahatan, oleh hampir semua penduduknya dirasakan sebagai melanggar kesusilaan, biarpun peilaiannya tidak sama.

Seseorang penjahat pencaharian (penjahat yang melakukan kejahatan sebagai mata pencaharian), berangapan bahwa pencurian adalah perbuatan yang melanggra kesusialaan jika dilakukan terhadap dirinya sendiri atau salah seorang dari golonagnya. Agaknya tidak perlu dinyatakan, lepasa dari perbedaan tersebut di atas, bahwa ada perbedaan besar dalam memberi penilaian mengenai perbuatan-perbuatan 66

yang dilarang; dari yang ringan seperti pemburuan hewan dengan tidak minta izin atau penyeludupan barang gelap, hingga yang paling berat seperti pembunuhan biasa atau pembunuhan dengan direncanakan yang mendapat celaan sangat keras.

Jika disoalkan tentang sifat hakekat dari perbuatan immoril terlihat bahwa ada dua sudut pandangan subyektif, jika dipandang dari sudut orangnya, adalah perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan; obyektif, jika dipandang dari sudut masyarakat, adalah merugikan masyarakat. Penyelidikan mengenai hal ini oleh sosiologi khususnya ethnologi membutikan, bahwa immoril berarti: anti-sosial dipandang dari sudut masyarakat.58

Golongan utilitaritis yang mengira bahwa kesusilaan dapat diterangkan berdasarkan kegunaannya bagi perseorangan, adalah salah, tapi pendapatnya menjadi betul, jika perkataan perseorangan diganti dengan masyarakat, kegunaan bagi masyarakat inilah yang dituju oleh peraturan-peraturan kesusilaan.

Biarpun dalam beberapa hal manusia mempunyai perasaan yang tajam terhadap apa yang merugikan masyarakat, masa lampau baru-baru ini (seperti juga masa yang telah lebih lama lampau) mengajarkan pada kita dengan tegas sekali bahwa rasa ini, karena pengaruh dari para pemimpin yang tidak mepunyai kesusilaan, dalam suatu bangsa dapat hilang untuk sementara (atau selama-lamanya) dengan cara yang menyedihkan.

58 P. A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, ( Bandung: Citra Aditya Bakti,

Karena besarnya kekuasaan masyarakat atas perseorangan yang sedang bertumbuh, maka biasanya diterimalah olehnya aturan-aturan kesusilaan yang berlaku. Perbuatan immoril oleh sebab itu adalah perbuatan anti sosial, yang dirasakan demikian pula. Tidak ada suatu perbuatan yang a priori dapat dianggap per se immoril atau dianggap sebagai kejahatan jadi tidak ada perbuatan yang menurut kodratnya jahat ini tergantung dari keadaan masyarakat.

Tetapi beberapa perbuatan begitu bertentangan dengan tiap masyarakat, hingga hampir selalu dilarang (seperti mencuri, karena sifatnya yang merugikan). Masyarakat selalu berobah dan dalam taraf sekarang malahan cepat sekali. Karena itu terjadi perobahan-perobahan besar dalam kesusilaan, perobahan-perobahan mana juga terasa dalam hukum pidana. Hal ini baru terjadi lama kelamaan ketegangan antara kesusilaan yang berobah dengan cepat dan hukum pidana yang agak tetap dapat jadi besar sekali.59

Kejahatan termasuk perbuatan immoril, tapi hanya merupakan sebagian daripadanya saja. Pada umumya dapat dikatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang paling immoril. Kejahatan merupakan intinya, bagian yang lebih kasar, tapi yang pokok. Peraturan kesusilaan dan peraturan hukum pidana dapat disamakan dengan dua lingkaran yang konsentris dan yang pertama adalah yang terbesar. Perbedaan besar kecilnya dua lingkaran tadi sangat berlainan menurut tempat dan waktu, pada suatu waktu dua lingkaran tadi saling menutup, pada lain waktu berbeda jauh lagi. Dalam keadaan yang pertama ini berarti suatu tanda yang tidak baik, tiap

59 Ibid

masyarakat yang terdapat hampir semua pelanggaran mengancam dengan hukuman, adalah lemah dari dalam. 60

Berdasarkan tempat kejadian, kasus tindak kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan terjadi umumnya di dua lokasi, yaitu: 61

1. Tempat warga binaan pemasyarakatan di lokasi kantor Kepolisian setempat. Kantor Kepolisian menjadi lokasi utama seringnya terjadi tindak kekerasan terhadap masyarakat sipil yang tengah mengalami status penahanan, baik sebagai tersangka ataupun sekedar menjadi saksi. Hal ini khususnya berkaitan dengan proses investigasi kesaksian warga binaan pemasyarakatan ataupun dalam rangka penyusunan BAP sebuah perkara hukum yang dilakukan oleh aparat Kepolisian. Proses memperoleh informasi ataupun kesaksian sebuah peristiwa yang dilakukan oleh aparat Kepolisian ternyata sampai saat ini masih sarat dengan tindak kekerasan.

Bentuk kekerasan tersebut bisa berupa teror, pemukulan, bahkan penganiayaan di mana dalam banyak kasus berujung pada hilangnya nyawa manusia. Pihak aparat kepolisian ternyata masih belum bisa melepaskan motode-metode kekerasan dalam mendapatkan informasi ataupun kesaksian dari masyarakat yang status hukumnya baru menjadi tersangka ataupun saksi. Tewasnya seorang

60 Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, (Jakarta: Mandar Maju, 1997),

hlm. 98.

61 Executive Summary,

Ινδονεσια: Dεmοκραsi Etalase”Χαταταν Κονδισι ΗΑΜ Ινδονεσια 2007,

masyarakat sipil dalam kasus eksekusi Lahan di Jeneponto pada 7 Desember 2007 bisa memberikan gambaran fenomena di atas.

2. RUTAN/Lembaga Pemasyarakatan (LP). rutan/lapas yang mempunyai fungsi sebagai lembaga yang diharapkan mampu memberikan pendidikan serta pengayoman terhadap masyarakat yang tengah menjalani status narapidana, ternyata seringkali justru menjadi lokasi yang sarat dengan tindak kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan.

Pada Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan, kekerasan yang pernah dilakukan warga binaan pemasyarakatan pada warga binaan pemasyarakatan lainnya antara lain berupa tindakan-tindakan penganiayaan, terutama pada saat warga binaan pemasyarakatan baru saja menjadi penghuni Rutan.62

Rutan/lapas yang mempunyai fungsi sebagai lembaga yang diharapkan mampu memberikan pendidikan serta pengayoman terhadap masyarakat yang tengah menjalani status narapidana, ternyata seringkali justru menjadi lokasi yang sarat dengan tindak kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Tindak kekerasan ini berupa tindak kekerasan langsung baik fisik maupun psikis terhadap warga binaan pemasyarakatan. Tercatat seorang narapidana di LP Pekanbaru, Alfin Saputra (29), tewas mendadak pada 22 November 2007. Sekujur tubuhnya terlihat bekas luka memar. Pihak keluarga menduga napi itu telah dianiaya. Alfin baru 10 hari menjadi

62 Hasil wawancara dengan pegawai Rutan Klas I Medan, tanggal 20 Januari 2009.

warga binaan pemasyarakatan LP Pekanbaru. Dia divonis 5 tahun penjara oleh PN Pekanbaru dalam kasus pencabulan awal pekan lalu. Jenazah Alfin kemudian dibawa ke RSUD Pekanbaru, Jl Hangtuah. Istrinya meminta mayat suaminya divisum. Dia curiga atas bekas luka di sekujur tubuh suaminya.

Bentuk kekerasan lain yang sering dilakukan di RUTAN adalah penyiksaan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Penyiksaan, adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik (Pasal 1 ayat 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Dalam rutan/lapas, penyiksaan dan kekerasan dapat terjadi atau dilakukan oleh petugas terhadap narapidana (warga binaan pemasyarakatan) atau sebaliknya, dan oleh narapidana (warga binaan pemasyarakatan) terhadap narapidana (warga binaan pemasyarakatan) lain, serta oleh narapidana (warga binaan pemasyarakatan) terhadap anggota masyarakat luar.63

63 Didin Sudirman, Posisi Dan Revitalisasi Peasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana di

Dokumen terkait