• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BENTUK – BENTUK TINDAK KEKERASAN YANG

B. Tindak Kekerasan Tidak Langsung

Tindak kekerasan ini berupa pembiaran ataupun pengabaian terhadap hak-hak yang menjadi hak warga binaan pemasyarakatan. Pengabaian ini tidak bisa dianggap remeh karena pada beberapa kasus berujung pada hilangnya nyawa seorang manusia.64

Bentuk-bentuk tindak kekerasan tidak langsung dapat juga dilakukan dengan penyimpangan prilaku warga binaan pemasyarakatan RUTAN. Penyimpangan- penyimpangan dapat terjadi dalam bentuk sebagai berikut:

1. Penyimpangan seksual

Setiap manusia yang sudah mencapai usia akil balig, sudah pasti mempunyai dorongan untuk menyalurkan kebutuhan seksualnya. Berbagai mekanisme penyaluran hasrat seksual telah dikenal dalam masyarakat. Bagi mereka yang sudah menikah, penyaluran seksual dapat dilakukan dengan cara-cara yang normal dan legal menurut aturan yang ada. Namun bagi mereka yang belum menikah maka penyaluran hasrat seksual dapat di sublimasikan dengan berbagai cara. Sehingga mereka tetap dapat dikatagorikan sebagai sesuatu yang "normal" secara seksual.

Namun lain halnya dengan narapidana, dimana ia secara fisik sangat dibatasi kebebasan bergeraknya maka penyaluran seksual -adalah merupakan suatu masalah yang muncul akibat dari pemenjaraan. Berbagai mekanisme penyaluran seksual dikenal dalam kosakata masyarakat penjara, antara lain istilah homobdolabui,

eentogan, memerian, anak-anakan, prostitusi, penyalah-gunaan ijin berobat dan lain

64 Ibid

sebagainya. Kesemuanya itu menunjukan adanya mekanisme penyaluran seksual yang muncul dalam masyarakat penjara.

Homobdolabui adalah kosakata yang sebahagian berasal dari bahasa sunda. Bo of artinya anus, bui artinya penjara dan homo seperti yang kita sudah kenal yaitu

hubungan seksual sejenis. Jadi homobdolabui artinya hubungan seksual yang dilakukan dalam penjara. Terjadinya homoseksual di dalam penjara dapat diakibatkan oleh pemerkosaan antara narapidana yang kuat (brengos) terhadap narapidana yang lemah. Biasanya yang menjadi korban adalah narapidana yang berusia muds, kulit bersih dan berperilaku seperti wanita. Ada juga yang sudah menjadi pasangan tetap, artinya secara sosial ia sudah memproklamirkan bahwa ada hubungan "suami-isteri" diantara mereka. Dalam kosakata di penjara dikenal dengan "anak-anakan" bagi karakter wanita, dan "bapak-bapakan" bagi karakter suami. Disamping itu ada juga narapidana yang melacurkan diri, yaitu ia bersedia menjadi pasangan homo dengan bayaran tertentu.

2. Perilaku kapal selam

Kapal selam adalah predikat yang diberikan kepada petugas yang selalu membela kepentingan individu penghuni penjara. Di Sulawesi Utara predikatnya "gandengan" sedangkan di Sumatera Selatan predikatnya "wong kits'. Sifat dari hubungan itu adalah semata-mata berdasarkan kepentingan bersama, antara penghuni RUTAN dengan oknum petugas. Di satu sisi, petugas menjamin segala kepeduan penghuni termasuk pengamanan dari tindakan-tindakan pemerasan balk yang

dilakukan oleh sesama penghuni, maupun yang dilakukan oleh oknum petugas lainnya, menjadi penghubung antara penghuni dan keluarganya dan lain sebagainya Sedangkan disisi lain, petugas mendapat bayaran tertentu dari penghuni yang, di lindunginya.

Sebagai contoh dalam peraturan penghuni dilarang membawa uang ke dalam penjara. Setiap uang harus dititipkan di register D. Namun penghuni lebih suka menitipkan uangnya kepada oknum pegawai yang menjadi "kapal selam". Walaupun rente yang harus dibayar sampai 30 % dari nilai uang yang dititipkan. Akan tetapi penghuni lebih suka mengambil jalan ini daripada dititipkan dalam Register D. Disamping prosedumya tidak berbelit-belit tapi kapal selam tersebut dapat berfungsi sebagai body-guardnya yang selalu siap tampil apabila ada masalah yang dihadapinya, baik masalah yang terjadi dengan sesama temannya maupun dengan petugas yang lain.

3. Pelarian dan Pemberontakan.

Gejala perilaku melarikan diri yang dilakukan oleh penghuni rutan/lapas, sering dilansir oleh media massa. Pernah pada suatu saat ada seorang Menteri Kehakiman yang menerapkan peraturan, barang siapa Kepala rutan/lapas dalam mass kepemimpinannya, terjadi pelarian narapidana maka ia saat itu juga hares dicopot dari jabatannya (non-job). Dampak dari aturan ini, banyak Kepala rutan/lapas yang tidak mau menanggung risiko, sehingga proses pemasyarakatan yang menjadi ciri pokok pembinaan narapidana berdasarkan system pemasyarakatan, pada saat itu mandeg.

Tidak sedikit lahan potensial yang tadinya diolah dan dijadikan open camp (pertanian terbuka) bagi pembinaan narapidana, jadi terbengkalai dan jadi semak belukar.

Demikian tabunya gejala pelarian bagi petugas pemasyarakatan pada saat itu, sehingga pemasyarakatan secara tidak disadari kembali lagi kepada system pemenjaraan yang dicirikan dengan penutupan dan semua kegiatan dilaksanakan di dalam rutan/lapas.

Apabila pelarian terjadi dari dalam rutan/lapas, maka dapat dianalisis bahwa hal itu diakibatkan oleh lemahnya pengawasan. Selama ini dikenal suatu asumsi bahwa suatu pelanggaran dapat terjadi manakala ada niat dan ada kesempatan. Asumsi itu dengan mudah dapat kita pakai untuk menilai apakah faktor kesempatan ini begitu terbuka. sehingga niat sekecil apapun tidak dapat di defeksi oleh system pengawasan. Dengan demikian dengan mudah kita pun akan menyalahkan system pengawasan.

Namun kalau kita lebih mendalami lagi permasalahannya, maka kita akan menemukan suatu kesimpulan bahwa niat melarikan diri tersebut adalah akibat adanya ketidak-mampuan narapidana yang bersangkutan untuk menanggung derita yang diakibatkan oleh pemenjaraan. Dengan demikian maka permasalahnnya adalah bagaimana agar narapidana tersebut dapat dibina sedemikian rupa sehingga ia memiliki toleransi yang cukup agar ia mampu menanggung penderitaan yang dialaminya. Dan hal itu dapat dilakukan oleh petugas yang memiliki empati.

Berbeda dengan pelarian yang bersifat individual, maka pelarian massal dan atau pemberontakan adalah satu sisi yang harus diwaspadai dan harus mendapat perhatian yang serius. Karena kejadian tersebut berakar kepada kondisi yang bersifat

structural. Dan oleh sebab itu maka analisanya pun harus di dekati dengan

pendekatan sosiologis.

Dalam ancangan sosiologi, pelarian- massal dan atau pemberontakan dikatagorikan sebagai perilaku kolektif. Salah satu ahli sosiologi yang telah menjelaskan perilaku kolektif adalah Smelser. Dalam mengembangkan teori mengenai perilaku kolektif, Smelser meminjam konsep nilai tambah (value added) dari ilmu ekonomi.65

Menurut teorinya perilaku kolektif ditentukan oleh enam faktor yang berlangsung secara berurutan. Seperti tahapan dalam proses produksi yang pada akhimya akan menghasilkan produk jadi, maka dalam perilaku kolektif pun masing- masing dari ke enam faktor tersebut memberi nilai tambah pada faktor yang mendahuluinya sehingga peluang untuk terjadinya perilaku kolektif semakin besar. Faktor tersebut adalah :66

a. Perilaku kolektif mula-mula diawali oleh faktor yang dinamakan structural

condisivness, faktor struktur situasi sosial yang memudahkan terjadinya perilaku

kolektif. Dalam masyarakat penjara hal ini bisa berupa pendekatan keamanan yang sangat ketat.

65 Sunarto, Op.Cit, hlm. 201-202 66 Ibid

b. Faktor kedua ialah adanya ketegangan structural (structural strain), semakin besar ketegangan structural semakin besar peluang terjadinya perilaku kolektif. Didalam masyarakat penjara hal ini bisa terjadi karena adanya arogansi petugas serta adanya ketidak adilan yang dirasakan sangat kental oleh para penghuni penjara (terjadinya kecemburuan sosial).

c. Faktor ketiga, berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum (growth

and spread of generalized belief) merupakan prasarat berikutnya bagi terjadinya

perilaku kolektif. Dalam masyarakat sering terjadi desas desus yang dipercaya kebenarannya dan kemudian disebarluaskan sehingga dalam situasi rancu suatu desas-desus berkembang menjadi pengetahuan yang dipercaya dan diyakini kebenarannya. Misalnya ada desas-desus akan dipindahkannya pentolan narapidana ke rutan/lapas lain, dapat berkembang menjadi faktor pencetus dari perilaku kolektif.

d. Faktor keempat terdiri atas faktor yang mendahului (precipitating faktors). Faktor ini merupakan faktor penunjang kecurigaan dan kecemasan yang dirasakan masyarakat. Desas-desus dan isu yang berkembang dan dipercaya khalayak memperoleh dukungan dan penegasan.

e. Faktor kelima ialah mobilisasi para peserta untuk melakukan tindakan. Perilaku kolektif terwujud manakala khalayak dimobilisasi oleh pimpinan-nya untuk bertindak. Oleh sebab itu, terhadap narapidana yang dianggap sebagai pemimpin yang kharismatis (the real man/brengos) harus dilakukan pendekatan-pendekatan

tertentu, sehingga potensi perlawanannya dapat ditundukan oleh cara-cara tersebut.

f. Faktor keenam adalah berlangsungnya pengendalian sosial (the operation of

sosial control). Faktor ini merupakan kekuatan yang justru dapat mencegah,

mengganggu ataupun menghambat akumulasi dari kelima faktor penentu sebelumnya. Dengan demikian maka hal yang harus diperhatikan adalah adanya sistem intelijen dan sistem informasi yang cepat dan akurat yang diterima oleh pimpinan, sehingga pimpinan dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna pencegahannya.

Penyimpangan perilaku yang terjadi di dalam masyarakat penjara adalah merupakan suatu konsekuensi dari adanya struktur yang terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyimpangan-penyimpangan dalam "kualitas tertentu" termasuk proses akomodasi adalah merupakan sesuatu yang fungsional terhadap situasi dan kondisi aman di dalam Penjara, walaupun tidak mustahil hat itu dapat menimbulkan ketidak-tertiban.

Namun sebaliknya apabila proses akomodasi ini dilakukan dengan berdasarkan kepentingan pribadi petugas (proses KKN) maka aka pada gilirannya akan dapat menimbulkan "kecemburuan sosial" karma proses akomodasi hanya dapat dilakukan oleh penghuni yang mampu secara finansial. Kalau. hat ini terjadi di semua sektor maka sudah dapat dipastikan akan terjadi kerawanan-kerawanan dalam bidang keamanan.

Oleh sebab itulah, sistem pemasyarakatan menganut strategi agar setiap penghuni berada di dalam, masyarakat bebas sesegera mungkin melalui program pemberian, asimilasi, remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, kerja luar dan lain sebagainya. Dalam kajian ini yang harus menjadi perhatian mendasar adalah melaksanakan strategi yang tepat melalui modifikasi prilaku yakni bahwa setiap pemberian kelonggaran yang nota bene adalah pemberian keringanan bagi penghuni harus dirangsang melalui reward (hadiah) yang didasarkan atas kelakuan baik yang diperlihatkan mereka selama berada didalam rutan/lapas. Dalam arti bahwa hak-hak narapidana yang berupa potongan remisi, mengunjungi keluarga, penglepasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan lain-lain harus diberikan berdasarkan sejauhmana mereka sudah dapat berkelakuan baik berdasarkan penilaian dari Team Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Tindakan penyiksaan dan kekerasan tersebut menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban dalam rutan/lapas.67

Tindakan penyiksaan dan kekerasan tersebut menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban dalam rutan/lapas.68

67

Sumber Data Direktorat Keamanan dan Ketertiban Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM RI, Januari 2008

68 Sumber Data Direktorat Keamanan dan Ketertiban Direktorat Jenderal Pemasyarakatan,

1. Gangguan Keamanan dan Ketertiban dalam Rutan/lapas. Tahun Jumlah Kerusuhan 2001 8 2002 13 2003 4 2004 14 2005 12 2006 25 2007 14 Tabel 3.1. Perkelahian/Pemberontakan/kerusuhan

Sumber : Direktorat Bina Kamtib Departemen Hukum Dan HAM RI

Berdasarkan tabel di atas, angka terhadap gangguan keamanan dan ketertiban dalam Rutan masih cukup tinggi dan bervariasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 jumlah gangguan yang ada menurun dari tahun sebelumnya, yaitu dari 25 orang warga binaan pemasyarakatan menjadi 14 orang warga binaan pemasyarakatan.

2. Pengaduan

Jumlah pengaduan kekerasan yang terjadi dalam Lapas/Rutan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tahun Jumlah Pengaduan Tahun 2001 18 Tahun 2002 18 Tahun 2003 25 Tahun 2004 12 Tahun 2005 35 Tahun 2006 49 Tahun 2007 31

Tabel 3.2. Jumlah Pengaduan Kekerasan Dalam Rutan

Sumber : Direktorat Bina Kamtib Departemen Hukum Dan HAM RI

Berdasarkan tabel di atas, apabila dibandingkan dengan jumlah kerusuhan yang sudah terjadi, maka jumlah pengaduan adanya kekerasan dalam rutan lebih tinggi. Secara umum materi pengaduan yang sering diadukan kepada petugas adalah: 1. Korupsi/pungli : 9 kasus

2. Diskriminasi perlakuan : 5 kasus 3. Arogansi petugas : 5 kasus 4. Penganiayaan : 5 kasus 5. Perampasan/pemerasan : 3 kasus. 6. Peredaran narkoba : 4 kasus

Berdasarkan kondisi di atas, dalam kehidupan masyarakat rutan terdapat suatu kebiasaan sebagai proses sosialisasi nilai yang berlaku di kalangan mereka. Kekerasan terutama dilakukan terhadap warga binaan pemasyarakatan baru. Kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan baru bukan hanya terjadi di Penjara Indonesia akan tetapi hal yang serupa terjadi di Penjara Luar Negeri sebagai contoh yang terjadi di Penjara London sebagai berikut

Suatu kebiasaan yang keji terdapat dalam kebanyakan penjara ialah apabila ada warga binaan pemasyarakatan baru, ia dipaksa oleh warga binaan pemasyarakatan yang lama agar kaki dan tangan serta bagian badan yang lainnya digambari seperti di beberapa penjara di London. Hal ini yang disebut dengan Humage. Terdengar di setiap ada warga binaan pemasyarakatan baru, kata–kata ” βayar atau telanjang” αδαλαη κατα-kata fatal yang akan kerap kali terdengar. Disebutkan fatal memang begitulah bagi beberapa orang yang karena tidak mempunyai uang terpaksa menyerahkan sebagian miliknya yang serba sedikit atau menderita siksaan.69

Contoh lain kasus kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan baru yang dilakukan oleh Petugas Rutan adalah sebagai berikut :

Ketakutan Sadi semakin menjadi ketika dia menyaksikan warga binaan pemasyarakatan yang sedang ditanyai oleh petugas dicecar habis-habisan. Secara bergantian para petugas itu melontarkan pertanyaan. Tidak jarang mereka saling timpal memberi komentar atas jawaban-jawaban yang diberikan oleh si warga binaan pemasyarakatan. Berulang-ulang si warga binaan pemasyarakatan itu menjawab, tapi berulang-ulang pula para petugas itu akan menanyakan hal yang sama. Mereka seolah selalu tidak puas dengan jawaban yang diberikan. Si warga binaan pemasyarakatan yang ditanyai itu pun sepertinya menjadi serba salah. Kalau menjawab pelan,. Ragu-ragu, atau panjang lebar, para petugas itu akan segera membentak dengan keras dan kasar.70

Beberapa contoh kasus kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan baru yang dilakukan oleh sesama penghuni adalah sebagai berikut :

Hal lain yang sudah biasa terjadi di sel itu adalah perpeloncoan. Perpeloncoan ini dilakukan oleh warga binaan pemasyarakatan lama terhadap warga binaan pemasyarakatan baru, warga binaan pemasyarakatan lama akan dengan sengaja mengganggu warga binaan pemasyarakatan baru untuk memancing- mancing kemarahannya. Tidak Jarang, warga binaan pemasyarakatan baru itu ada yang sampai dipukuli. Sadi pernah melihat ada warga binaan

69 Soejono Dirjosisworo, Sejarah dan Azas Teknologi Pemasyarakatan, (Bandung : Cv

Armiko, 1984), hlm.38

70 Agus Noor Alamsyah, Satriana, Distia Aviandari, Cerita Anak dari Penjara, (Jakarta:

Diterbitkan Atas Kerjasama : Lembaga Advokasi Hak Anak LAHA, Karya Namandira, Yayasan Saudara Sejiwa didukung Save The Children, 2005), hlm. 31-31.

pemasyarakatan baru yang tangannya sampai biru-biru karena dipukuli terus oleh warga binaan pemasyarakatan lama.71

Selain itu masih banyak sekali tindakan kekerasan yang terjadi baik itu di Rutan maupun rutan/lapas, diantaranya adalah kerusuhan yang terjadi di rutan/lapas Cipinang, pada April 2006 lalu yaitu, terjadi perkelahian massal antara narapidana (napi) yang tinggal di Blok A dengan napi di Blok E. Pemicunya adalah perseteruan antara Sammy Key dan Berti, dua pentolan pemuda Maluku yang punya pengaruh di rutan/lapas. Kerusuhan massal juga pernah terjadi pada bulan Oktober Tahun 2001 yang melibatkan ratusan napi penghuni Blok I rutan/lapas Cipinang. Dalam kejadian itu dua orang meninggal dunia, dan tidak kurang empat orang lainnya luka parah akibat perkelahian massal yang diduga melibatkan dua kelompok besar napi di rutan/lapas kelas satu itu. Demikian juga dengan kerusuhan yang terjadi Rutan Salemba dimana terjadi perkelahiaan antara sesama warga binaan pemasyarakatan, yang mengakibatkan 16 orang warga binaan pemasyarakatan harus mendapat perawatan, menurut salah seorang sipir penjara kejadian itu berawal dari seorang warga binaan pemasyarakatan di Blok A yang biasa memalak warga binaan pemasyarakatan lainnya. Sehingga kejadian tersebut menimbulkan kerusuhan.72 Perkelahian yang menelan korban jiwa juga terjadi pada Februari dan Maret 2001. Sedikitnya, lima orang kehilangan nyawa dan 22 orang luka parah. Bahkan, dalam kerusuhan Maret 2001, para napi sempat membakar gedung rutan/lapas yang

71 Ibid, hal 44.

didirikan sejak zaman Belanda itu, dan menantang aparat dengan segala macam senjata tajam.

Kasus lain yang terjadi di Rutan Klas I Medan mengakibatkan adanya warga binaan pemasyarakatan yang berupaya untuk lari dari Rutan karena tidak tahan disiksa :

Pada tanggal 19 Maret 2006 sekitar pukul 16.30 WIB telah terjadi upaya pelarian oleh 2 orang warga binaan pemasyarakatan (A dan B dari kamar yang berbeda) dengan modus melompat pagar dari Mesjid Rutan Klas I Medan yang mana pada hari itu dia berhasil lari dan setelah bebrapa hari melakukan pencaharian akhirnya warga binaan pemasyarakatan A dan B itu berhasil ditangkap.

Berdasarkan hasil Berita Acara Pemeriksaan dapat disimpulkan bahwa :

a. Upaya pelarian yang dilakukan oleh pelaku didasari oleh penekanan yang dilakukan oleh sesama penghuni.

b. Bentuk penekanan yang dilakukan adalah berupa pemerasan yang disertai dengan kekerasan terhadap sesama penghuni.

c. Penekanan yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi Rutan Klas I Medan yang saat itu sudah over kapasitas (Dengan kapasitas 850 Orang Isi 2000 Orang per 19 Maret 2006).73

Kasus di atas menggambarkan bahwa Rutan Klas I Medan mengalami over kapasitas, dengan kondisi yang demikian maka upaya persaingan diantara sesama penghuni dalam mempertahankan kelangsungan hidup menjadi semakin ketat, apapun akan dilakukan oleh penghuni meskipun tindakannya bertentangan dengan aturan yang berlaku salah satunya dengan melakukan kekerasan dan pemerasan terhadap sesama penghuni.

73 Dokumen Kesatuan Pengamanan Rutan Klas I Medan Berdasarkan Hasil Berita Acara

Pemeriksaan Warga binaan pemasyarakatan Rabu Tanggal 21 Maret 2006.

Menurut Kriminolog Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana, tawuran seperti itu merupakan satu dari tiga jenis kekerasan yang terjadi di Rutan/lapas. Secara umum ada tiga bentuk kekerasan. Pertama, kekerasan individual, Kedua, kekerasan kolektif, Ketiga, kekerasan yang berhubungan dengan pengaturan. Kekerasan individual biasanya terjadi di antara napi atau dengan salah seorang sipir penjara. Sedangkan kekerasan kolektif sering terjadi dalam masalah riot (kerusuhan, huru hara dan keributan). Kekerasan bentuk ini biasanya tidak secara spontan, tapi merupakan akumulasi persoalan yang mereka hadapi di penjara.

Khusus mengenai kekerasan jenis ketiga, kekerasan itu timbul karena adanya interaksi tidak sehat antara napi dan para petugas. Masalah utama yang sering muncul di permukaan adalah soal penghukuman fisik.

Para petugas menganggapnya sebagai bagian hukuman, tetapi para napi memandangnya sebagai bentuk penyiksaan. Melakukan kekerasan terhadap sesama manusia adalah merupakan suatu tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang untuk selanjutnya disingkat dengan HAM. HAM merupakan hak esensial yang dimiliki oleh setiap manusia sebagaimana yang tertuang dalam Magna Charta atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dalam perjalanan sejarah untuk mencegah terus berlangsungnya pelanggaran-pelanggaran HAM.

Dokumen terkait