• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan Di Rutan Klas I Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan Di Rutan Klas I Medan"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

PENCEGAHAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP WARGA

BINAAN PEMASYARAKATAN DI RUTAN KLAS I MEDAN

TESIS

Oleh

PARIAMAN SARAGIH

077005018/Hk

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENCEGAHAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP WARGA

BINAAN PEMASYARAKATAN DI RUTAN KLAS I MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

PARIAMAN SARAGIH

077005018/Hk

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PENCEGAHAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI RUTAN KLAS I MEDAN

Nama Mahasiswa : Pariaman Saragih

Nomor Pokok : 077005018

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Chainur Arrasyid, SH) K e t u a

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 15 Juli 2009

PANITIA UJIAN TESIS

Ketua : Prof. Chainur Arrasyid, SH

Anggota : 1.Prof. Dr.Bismar Nasution, SH, MH

2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M. Hum

3. Dr. Sunarmi, SH, M. Hum

(5)

ABSTRAK

Seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum positip seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana maka akan mengalami proses peradilan dalam sistem Peradilan Pidana Indonesia atau Criminal Justice Sistem. Pengadilan sebagai institusi yang melakukan pemeriksaan terhadap permasalahan pelanggaran hukum menentukan kesalahan dan kebenaran dan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa sesuai dengan tingkat kesalahannya. Salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) pada jajaran Pemasyarakatan yang berfungsi sebagai tempat melakukan penahanan adalah Rumah Tahanan Negara untuk selanjutnya disingkat Rutan adalah tempat orang-orang yang ditahan secara sah oleh pihak yang berwenang dan tempat terpidana penjara (dengan masa pidana tertentu). Pada masa inilah tahanan kadangkala mendapat perlakuan yang tidak manusiawi meskipun sejumlah konvensi dan aturan telah menetapkan ketentuan yang harus dipenuhi dalam menyikapai para tahanan.

Adapun permasalahan yang akan dikemukakan dalam tesis ini adalah faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap sesama Warga Binaan Pemasyarakatan di Rutan Klas I Medan, bagaimana bentuk-bentuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap sesama Warga Binaan Pemasyarakatan di Rutan Klas I Medan dan bagaimana upaya yang dilakukan petugas untuk mencegah tindak kekerasan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Rutan Klas I Medan.

Untuk memperoleh data dalam pembahasan tesis maka penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penerapan peraturan perundang-undangan. Sumber data berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan petugas Rutan Klas I Medan.

Hasil penelitian menunjukkan Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap sesama Warga Binaan Pemasyarakatan di Rutan Klas I Medan antara lain adalah Over kapasitas dan perbandingan jumlah petugas dan penghuni yang sangat tinggi,pola perlakuan yang cenderung top down, mass treatment, dan security approach, kurangnya pengawasan dan pengendalian oleh petugas, pelaksanaan tugas cenderung berdasarkan kebiasaan, dan kurang respect terhadap kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan Kesejahteraan petugas dan keinginan Warga Binaan Pemasyarakatan yang kuat untuk mendapatkan kebebasan atau kelonggaran, perbedaan perlakuan, persaingan tidak sehat, dan kecemburuan sosial, Upaya yang dilakukan petugas untuk mencegah tindak kekerasan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Rutan Klas I Medan dilakukan dengan upaya sebagai berikut: Sosialisasi nilai-nilai HAM terhadap petugas pemasyarakatan dan Warga Binaan Pemasyarakatan , Program pemberian Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), Cuti Bersyarat (CB), dan Pembebasan Bersyarat dengan syarat-syarat tertentu dan peningkatan pengawasan.

Kata Kunci: Pencegahan Kekerasan di Rutan Klas I Medan

(6)

ABSTRACT number of rules and regulation regulating the treatment for imprisoners.

The problem proposed in this thesis was factors effecting the violence among inhabitants of Correctional System themselves in Detention Center of Class I Medan, what is the form of violence Center of Class I Medan and what is the measures taken by the authority or professionals to prevent the violence on inhabitants of Correctional System in Detention Center of Class I Medan.

To get the data in this discussion of thesis, this research was made by using the normative yuridical method, i.e…, an approach on the problem through

perspective of the prevailing status, the application of status. The source of data was derivated from primary and secondary data. The primary data was gained by interview with professionals of Detention Center Class I medan.

The result of research indicated that factors effecting the occurrence of violence among inhabitants of Correctional System in Detention Center of Class I Medan included overcapacity and higher ratio of professionals to inhabitants, top down and mass treatment behavior pattern, and security approach, the lack of controlling and supervision by the professionals, habit-based task implementation, and lack of respect for inhabitants needs of Correctional System, and strong desire of inhabitants to get the freedom of flexibility, difference in treatment (discrimination), unhealthy competition, and social discrimination. The preventive measures taken by professionals for inhabitants of Correctional System in Detention Center of Class I Medan included; Socialization of Human Rights value on professionals of correctional system and inhabitants of the Correctional System, a toward – release

leave program, the family – visiting leave, conditional leave, and conditional release

through specific requirements and increased controlling.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat rahmat dan kuasaNya tesis ini dapat diselesaikan. Sebagai judul dari tesis ini adalah:

“Πενχεγαηαν Τινδακ Κεκερασαν τερηαδαπ Wαργα Βινααν Πεmασψαρακαταν δι ΡΥΤΑΝ

Klas I Medan”.

Tesis ini disusun Penulis sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Akan tetapi menurut Penulis, tesis ini adalah merupakan amanah yang diberikan dan harus dipertanggung jawabkan sedaya mampu dalam hakekat kemanusiaan yang penuh keterbatasan. Semoga bermanfaat bagi seluruh ummat. Amin.

Penulis menyadari tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan, perhatian dan kasih sayang dari berbagai pihak, baik moril maupun materil yang telah diberikan kepada Penulis.

Terutama ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada istri tercinta Sri

Suhanni Kartini br.Barus dan anak-anak Penulis Agrifa Leonardo Saragih, Nike

Yolanda br Saragih dan Brema Evantri Saragih dan tak upa pula orang tua

Penulis T br. Damanik dan mertua serta abang dan kakak serta adik ipar Penulis dan seluruh keluarga tercinta.

(8)

Ucapan terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI beserta seluruh jajarannya khususnya BPSDM, departemen Hukum dan HAM RI.

2. Bapak Kepala Kantor Wilayah Propinsi Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTMH, Sp.A(k), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara beserta para para pembantu Rektor, para Kepala Biro dan Lembaga

4. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara., Ketua Program Studi Ilmu Hukum beserta Sekretaris.

5. Bapak Prof. Chainur Arrasyid, SH selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, dan Bapak Dr. T.Mahmud

Mulyadi, SH, MH selaku anggota Komisi Pembimbing.

6. Kepala Rumah Tahanan Negara Klas I Medan beserta seluruh pejabat struktural dan staf

7. Bapak Tonny Nainggolan, Bc.IP, SH, MH selaku Kepala Rumah Tahanan Negara Klas II-B Labuhan Deli yang banyak memberikan dispensasi waktu kerja selama peneliti menyelesaikan tesis.

8. Rekan-rekan kerja baik dari RUTAN Klas I Medan, RUTAN Klas IIB Labuhan Deli dan rekan-rekan Mahasiswa S2 di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

(9)

Akhir kata Penulis dengan senang hati membuka diri untuk menerima sumbangan fikiran. Harapan Penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para akademisi, pembuat kebijakan dan juga bagi pembaca.

Medan, Juni 2009 Penulis

PARIAMAN SARAGIH

NIM. 077005018/HK

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama

: Pariaman Saragih

Tempat/Tgl Lahir : Kabanjahe, 30 Mei 1971 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Pendidikan :

- Sekolah Dasar Negeri Kabanjahe (Lulus Tahun 1985) - Sekolah Menengah Pertama Negeri II Kabanjahe (Lulus Tahun 1988) - Sekolah Menengah Atas Negeri XI Medan (Lulus Tahun 1991) - Fakultas Hukum Universitas Pancabudi (Lulus Tahun 1998)

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR ISTILAH ... xi

BAB I

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep... 10

G. Metode Penelitian ... 18

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 18

2. Sumber data dan teknik pengumpulan data ... 19

3. Lokasi penelitian ... 21

(12)

BAB II FAKTOR–FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KEKERASAN TERHADAP SESAMA WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI RUTAN KLAS I MEDAN

... 23

A. Tinjauan Umum Rumah Tahanan Negara Klas I Medan... 23

1. Sejarah Singkat Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 23

2. Struktur Organisasi... 24

B. Pengertian Tindak Kekerasan ... 33

C. Sejarah dan Teori krominologi ... 43

D.

Faktor Penyebab terjadinya Kekerasan terhadap Sesama Warga Binaan Pemasyarakatan di Rutan Klas I Medan ...

49

BAB III BENTUK – BENTUK TINDAK KEKERASAN YANG DILAKUKAN TERHADAP SESAMA WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI RUTAN KLAS I MEDAN... 61

A. Kekerasan Langsung ... 61

B. Tindak Kekerasan Tidak Langsung ... 72

BAB IV UPAYA PENCEGAHAN TERHADAP KEKERASAN YANG DILAKUKAN TERHADAP SESAMA WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI RUTAN KLAS I MEDAN ... 86

A. Sosialisasi Nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam Pembinaan Narapidana... 86

B. Pemberian Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Bersyarat (CB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), dan Pembebasan Bersyarat (PB) dengan Syarat-syarat Tertentu ... 90

(13)

D. Pengelolaan Pengaduan atau Keluhan ... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 112

A. Kesimpulan ... 112

B. Saran ... 113

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Data Penghuni Rutan Kas I Tanjung Gusta Medan... 56

2.2. Pegawai Rumah Tahanan Klas I Medan Berdasarkan Jenis Kelamin ... . 59

3.1 Perkelahian/Pemberontakan/kerusuhan... . 80 3.2 Jumlah Pengaduan Kekerasan Dalam Rutan ... . 81 4.1 Anggota Regu Penjagaan Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan .... . 97 4.2 Staf Keamanan Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan... . 98

4.3 Daftar Senjata Api Laras Panjang / Bahu Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan... 98

4.4 Daftar Senjata Api Laras Pendek / Pistol Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan... 99 4.5 Daftar Menu Makanan Untuk Warga Binaan Rutan Klas I

Tanjung Gusta Medan ... . 107 4.6 Daftar Kegiatan Olah Raga Bagi Penghuni Rutan Klas I Tanjung

(15)

DAFTAR ISTILAH

BAP : Berita Acara Pemeriksaan CB : Cuti Bersyarat

CJS : Criminal Justice System CMB : Cuti Menjelang Bebas CMK : Cuti Mengunjungi Keluarga HAM : Hak Asasi Manusia

KPR : Kesatuan Pengamanan Rutan

KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana LAPAS : Lembaga Pemasyarakatan

PB : Pembebasan Bersyarat RUTAN : Rumah Tahanan Negara

SMR : Standard Minimum Rules for Prisoners SPP : Sistem Peradilan Pidana

UPT : Unit Pelaksanaan Teknis

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Undang–undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Republik Indonsia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat). Sebagai negara hukum maka Indonesia selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia. Selalu menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Idealnya, sebagai negara hukum, Indonesia menganut sistem kedaulatan hukum atau supremasi hukum yaitu hukum mempunyai kekuasaan yang tertinggi di dalam negara.1

Sebagai negara hukum, Indonesia menganut salah satu asas yang penting yakni asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Asas yang demikian selain ditemukan dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) juga dapat disimak dalam Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004 yang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman. Dinyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.2 Oleh

(17)

karena itu, seseorang yang menjadi tersangka / terdakwa dalam proses peradilan pidana harus diberikan hak–hak sebagai bentuk perlindungan dan jaminan hak asasi yang dimilikinya.

Hukum positip di Indonesia mengenai hak-hak tersangka / terdakwa dibatasi sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP. Berdasarkan pentahapan proses peradilan pidana hak tersangka / terdakwa dapat dibagi hak yang berkaitan dalam proses pra adjudikasi (proses penyelidikan dan penyidikan), hak yang berkaitan dalam proses adjudikasi (proses penuntutan dan pemeriksaan di persidangan), hak yang berkaitan dengan proses post adjudikasi (proses setelah dijatuhi hukuman tetapi belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti).3

Negara hukum yang dibangun di atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial nampaknya merupakan aspirasi dari para pendiri Negara Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam pokok-pokok pikiran yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 serta penjelasannya yang menyebutkan anatara lain bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. . Penegasan tersebut mengandung makna bahwa hukum harus diberi peranan sebagai titik sentral dalam seluruh kehidupan perorangan, masyarakat, maupun bangsa dan negara.

3 Kunarto, Hak Asasi Manusia dalam penegakan hukum, (Jakarta : Cipta Manunggal, 1996),

hlm.34

(18)

Seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum positip seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana maka akan mengalami proses peradilan dalam sistem Peradilan Pidana Indonesia atau Criminal Justice Sistem. Menurut Romli Atmasasmita : Criminal Justice Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menyebabkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana sedangkan Criminal Justice Sistem.adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat

dalam proses peradilan pidana.4

Kepolisian merupakan ujung tombak dalam sistem Peradilan Pidana dimana pelaksanaan tugasnya memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan, penahanan, dan penyelidikan terhadap peristiwa yang berkaitan dalam pelaksanaan hukum. Setelah dilakukan Penyidikan dan Penyelidikan oleh Kepolisian dalam suatu Berita Acara Pemeriksaan Perkara (BAP) maka BAP tersebut diserahkan ke pihak Kejaksaan. Kejaksaan adalah lembaga penuntutan, yang melakukan penuntutan dalam suatu perkara pidana. Berdasarkan BAP dari Kepolisian maka Kejaksaan dapat melakukan penuntutan.

Pengadilan sebagai institusi yang melakukan pemeriksaan terhadap permasalahan pelanggaran hukum menentukan kesalahan dan kebenaran dan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa sesuai dengan tingkat kesalahannya. Lembaga Peradilan di Indonesia terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi

4 Romli Atmasasmita, Kemandirian Polri dan Penegakan HAM di Indonesia, Lokakarya

(19)

untuk memeriksa tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat Pemeriksaan Kasasi sementara Lembaga Pemasyarakatan adalah merupakan bagian akhir dari SPP yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melakukan perawatan warga binaan pemasyarakatan, pembinaan dan rehabilitasi. Jadi putusan pengadilan merupakan tonggak yang penting bagi cerminan keadilan, termasuk putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana dan pemidanaan. Lahirnya penjatuhan pidana dan pemidanaan bukan muncul begitu saja, melainkan melalui proses peradilan. Proses yang dikehendaki undang-undang adalah cepat, sederhana, dan biaya ringan. Biasanya asas itu masih ditambah bebas, jujur dan tidak memihak serta adil.

Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang Pengadilan terhadap seseorang dapat dilakukan penahanan yaitu penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oeh Penyidik atau Penuntut umum atau Hakim dengan penetapannya dan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.5 Penjatuhan pidana dan pemidanaan dapat dikatakan cermin peradilan pidana. Apabila proses peradilan yang misalnya berakhir dengan penjatuhan pidana itu berjalan sesuai asas peradilan, niscaya peradilan dinilai baik. Apabila sebaliknya, tentu saja dinilai sebaliknya pula. Bahkan dapat dicap sebagai ada kemerosotan kewibawaan hukum. Penahanan terhadap seseorang dapat dilakukan dengan alasan sebagai berikut :

5 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta : Rineka Cipta, 1995), hlm.232.

(20)

1. Mencegah tersangka atau terdakwa lebih lanjut melakukan tindak pidana;

2. mencegah tersangka atau terdakwa mengintimidasi korban atau saksi; 3. mencegah tersangka atau terdakwa berbahaya untuk merusak atau

menghilangkan barang bukti;

4. mencegah tersangka atau terdakwa untuk merusak atau menghilangkan barang bukti;

5. mencegah tersangka atau terdakwa melarikan diri yang berdampak pemeriksaan terlarang6

Salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) pada jajaran Pemasyarakatan yang berfungsi sebagai tempat melakukan penahanan adalah Rumah Tahanan Negara untuk selanjutnya disingkat rutan adalah tempat orang-orang yang ditahan secara sah oleh pihak yang berwenang dan tempat terpidana penjara (dengan masa pidana tertentu)7. Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rutan merupakan proses awal hilangnya kemerdekaan bergerak seperti dikemukakan oleh Baharuddin Suryobroto:

Bahwa warga binaan pemasyarakatan yang ditempatkan di rutan merupakan proses penderitaan permulaan selama belum ada putusan dari Pengadilan Pidana yang memutuskan apakah perampasan kemerdekaan permulaan itu harus diakhiri atau harus dilanjutkan untuk kemudian diputuskan secara definitif apakah yang bersangkutan selanjutnya harus dikenakan perampasan kemerdekaan sebagai sanksi pidana, yang

6

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Penyidikan dan

Penuntutan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hlm.164.

7 Petunjuk Pelaksanaan dan Teknis Perawatan Rumah Tahanan Negara, (Jakarta: Direktorat

(21)

pelaksanaannya dilakukan oleh instansi pelaksana pidana yang hilang kemerdekaan atau instansi pemasyarakatan.8

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa rutan merupakan tempat untuk melaksanakan perampasan dan kemerdekaan dapat diakhiri dengan bebas dari segala tuntutan hukum atau dilajutkan berdasarkan Putusan Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa terpidana yang salah harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan dengan menjalani pidan penjara. Manusia adalah makluk sosial karena mereka hidup bersama dalam berbagai kelompok yang terorganisasi yang disebut masyarakat.

Rutan juga merupakan suatu bentuk masyarakat yang unik dimana anggotanya terdiri dari Petugas, warga binaan pemasyarakatan, dan narapidana serta masyarakat. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam suatu keadaan yang dipaksakan, Lingkungan yang tereliminasi dari dunia luar karena dibatasi oleh tembok keliling dan diatur oleh berbagai macam kontrol sosial baik formal maupun informal yang bersumber dari petugas maupun yang berlaku di kalangan mereka sendiri .

PBB menetapkan sejumlah konvensi yang berkaitan dengan perlindungan HAM seperti Konvensi Hak Sipil dan Politik; Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; Konvensi Hak Anak; Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau

8 Bunga Rampai Pemasyarakatan, Kumpulan tulisan Almarhum Baharuddin Suryobroto,

Mantan Kepala Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, diterbitkan dalam rangka Hari Bakti Pemasyarakatan ke – 38, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, April. 2002), hlm.10

(22)

merendahkan martabat manusia, standar` perlakuan minimum terhadap Narapidana/Warga binaan pemasyarakatan; Konvensi Internasional penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial; Konvensi Internasional penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan lain-lain. Beberapa instrumen internasional tersebut telah diratifikasi ke dalam perundang-undangan RI. HAM melekat pada diri setiap manusia tanpa memandang bulu, termasuk juga bagi narapidana/warga binaan pemasyarakatan yang melanggar hukum. Hukum merupakan suatu gejala yang muncul dalam hidup manusia sebagai norma bagi kehidupan bersama. Sebagaimana hidup manusia mempunyai banyak seginya, demikian pula dengan norma-norma bagi hidup manusia. Hukum itu seluas hidup itu sendiri. 9

Standard Minimum Rules for Prisoners (SMR) - Standar Perlakuan

Minimum bagi Narapidana dan Warga binaan pemasyarakatan- menyatakan bahwa hak yang hilang daripada narapidana/warga binaan pemasyarakatan hanyalah hak atas kebebasan. Akan tetapi hak-hak lain yang melekat pada dirinya harus tetap diberikan selama mereka menjalani masa pidana/masa warga binaan pemasyarakatannya. Berdasarkan alasan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul “Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Warga binaan pemasyarakatan di Rutan Klas I Medan ” υντυκ δισαϕικαν mενϕαδι συατυ

penelitian dalam tesis ini.

9 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), hlm.70

(23)

B. Rumusan Masalah

Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini, maka perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian10 yang akan dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang telah diidentifikasi tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap sesama warga binaan pemasyarakatan di Rutan Klas I Medan ?

2. Bagaimana bentuk-bentuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap sesama warga binaan pemasyarakatan di rutan Klas I Medan ?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan petugas untuk mencegah tindak kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan baru di Rutan Klas I Medan ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahn yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap sesama warga binaan pemasyarakatan di Rutan Klas I Medan

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap sesama warga binaan pemasyarakatan di Rutan Klas I Medan.

10 Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm.117

(24)

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan petugas untuk mencegah tindak kekerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan baru di Rutan Klas I Medan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang di dapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan

ilmu pengetahuan serta menambah khasanah kepustakaan.

2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuaan hukum mengenai pendekatan yang dapat dilakukan terhadap warga binaan pemasyarakatan, untuk berbagai kalangan yaitu:

a. Aparat/ Praktisi hukum agar mengetahui pendekatan yang dapat dilakukan terhadap warga binaan pemasyarakatan untuk mencegah tindakan kekerasan terhadap sesama warga binaan pemasyarakatan b. Pelaku yaitu orang yang melakukan kekerasan agar jangan lagi

mengulangi perbuatannya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya pada sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian menyangkut masalah ”Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap

Warga Binaan Pemasyarakatan di Rutan Klas I Medan

(25)

Sepanjang yang penulis ketahui belum pernah ada tulisan tentang topik yang sama. Dengan demikian penelitian ini betul asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan terbuka untuk dikritisasi yang sifatnya konstruktif sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

a. Kerangka Teori

Di dalam melakukan penelitian diperlukan adanya kerangka teori sebagai pijakan atau dasar bagi penulis dalam melakukan analisa terhadap permasalahan yang diambil sebagaimana dikemukakan oleh Ronny H. sumitro bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai pemikiran teoritis. Adapun kerangka teori yang dipergunakan adalah Sistem Peradilan Pidana dan teori tujuan pemidanaan. Sistem Peradilan Pidana untuk selanjutnya disingkat dengan SPP. Istilah SPP kini menjadi istilah yang menunjukkan mekanisme kinerja masing-masing sub sistem SPP dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan system.

(26)

Tujuan SPP dapat dirumuskan11:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Mardjono mengemukakan bahwa 4 (empat) komponen dalam SPP (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan), diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu Integrated

Criminal Justice System. Apabila keterpaduan dalam bekerja system tidak

dilakukan, diperkirakan akan terdapat kerugian sebagai berikut :

1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama ;

2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana) ; dan 3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas

terbagi maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari SPP.12

11 Anastasia Reni Widyastuti, Perbandingan Sistem Peradilan, (Medan: Penerbit Unika St.

Thomas, 2003), hlm. 15.

12

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia Peran Penegak Hukum

melawan kejahatan, dikutip dari Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994), hlm. 84-85

(27)

Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu jaringan

(net work) peradilan yang menggunakan hukum pidana material, hukum

pidaan formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini, harus dilihat dalam konteks sosial, sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidak adilan.13 Komponen SPP, yang lazim diakui baik dalam pengetahuan, mengenai kebijakan pidana maupun dalam lingkup praktek penegakan hukum, terdiri atas unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan LAPAS. Namun demikian, apabila SPP, dilihat dari sebagai salah satu pendukung atau instrument dari suatu kebijakan kriminal maka unsur yang terkandung di dalamnya termasuk juga pembuat undang-undang sebagaimana dikemukakan oleh Nugel.

Hukum Pidana objektif berisi tentang berbagai macam perbuatan yang dilarang yang terhadap perbuatan –perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidana kepada barang siapa yang melakukannya. Sanksi pidana yang telah ditetapkan dalam undang-undang tersebut kemudian oleh Negara dijatuhkan dan dijalankan pada pelaku perbuatan. hak dan kekuasaan Negara yang demikian merupakan sesuatu kekuasaan yang sangat besar yang harus dicari dan diterangkan dasar-dasar pijakannya. Pada dasarnya, tindakan pemidanaan (Penahanan dan pemenjaraan) adalah upaya paksa terhadap

13 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Penerbit UNDIP, 1995),

hlm.1-2

(28)

seseorang yang bertentangan dengan hak asasi manusia, namun karena dijamin oleh peraturan perundang-undangan, maka tindakan itu sah menurut hukum. rutan dalam hal ini, berfungsi sebagai tempat pelaksanaan “υπαψα

paksa “ τερσεβυτ. Σεβαγαι τεmπατ διλακυκαννψα πεmιδανααν, rutan melaksanakan fungsinya berdasarkan teori pemidanaan yang berlaku. 14

Mengenai teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif tersebut. Teori-teori ini mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak Negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.15

Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan. Namun yang banyak itu dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) golongan besar yaitu : 1. Teori absolute atau teori pembalasan

2. Teori relatif atau teori tujuan 3. Teori gabungan.

Ad. 1 Teori absolute atau teori pembalasan

(29)

Negara yang telah dilindungi). Oleh karena itu, ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.

Ad.2 Teori relatif atau teori tujuan

Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib hukum di dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat dan menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.

Ad. 3 Teori gabungan.

Teori gabungaan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas perwarga binaan pemasyarakatan tata tertib masyarakat. Dengan kata lain 2 (dua) alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu sebagai berikut :

1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat.

(30)

2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari perbuatan yang dilakukan terpidana16

Sebagaimana kita ketahui, teori pemidanaan dari masa ke masa mengalami perubahan. Pada jaman dahulu, pidana dijatuhkan dengan tujuan pembalasan. Keadilan masyarakat dicapai melalui pembalasan yang setimpal, mata dibalas dengan mata, dan gigi dibalas dengan gigi (an eye for an eye,

and a tooth for a tooth : mozaik doctrin). Pada masa kemudian, di samping

masih menganut teori pembalasan, tujuan pemidanaan berkembang dalam bentuk penjeraan (deterrence), baik yang ditujukan kepada si pelaku (special

deterrence) maupun kepada anggota masyarakat (general).

Pecah kulit, atau diikat dan ditarik dengan beberapa kuda dari semua arah, di samping juga pengurungan dalam sel, merupakan bagian dari penjeraan seseorang. Maksud mendapatakan rasa keadilan si korban dan masyarakat pada kedua jaman tersebut dilakukan melalui perlakuan fisik / kekerasan, yang lebih cenderung termasuk kategori penyiksaan.

Pada masa selanjutnya sudah tidak lagi berorientasi kepada tujuan pembalasan / penjeraan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, tujuan pemidanaan berubah pada orientasi rehabilitasi

16 Schravendijk, Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Groningen,

(31)

(perbaikan, penyembuhan), namun masih dipandang berorientasi pada individu dengan mengesampingkan kepentingan masyarakat secara umum. Oleh karenanya, pada masa kini pemidanaan diarahkan lebih pada tata perlakuan yang bertujuan bukan saja agar para terpidana bertobat dan tidak melakukan tindak pidana lagi, melainkan juga melindungi masyarakat dari tindak kejahatan. Tata perlakuan ini dilaksanakan berdasarkan Sistem Pemasyarakatan yang berlaku sejak 27 April 1964.17

b. Kerangka Konsep

Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi antara abstraksi dan realitas . Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi operasional untuk menghindarkan dari penafsiran mendua atau dubius dari suatu istilah yang dipakai. Dalam tesis ini ada beberapa landasan konsepsional yaitu warga binaan pemasyarakatan, penahanan, kekerasan, dan Rutan.

17 Warta Pemasyarakata, Op.cit, hlm. 19

(32)

Warga binaan pemasyarakatan adalah tersangka atau terdakwa yang ditempatkan di dalam rutan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan .18

Penahanan adalah upaya paksa menempatkan Tersangka/Terdakwa disuatu tempat yang telah ditentukan, karena alasan dan dengan cara tertentu.19

Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk-kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.20

Rutan adalah tempat tahanan ditempatkan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, pengadilan

18

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana / Warga binaan pemasyarakatan.

(33)

Tinggi, dan Mahkamah Agung.21 Rutan adalah unit pelaksana teknis tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.22

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis ini sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan. 23

Untuk mengumpukan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian ini menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji

21 Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.04.UM.01.06 Tahun 1983

Pasal 1 ayat 1

22 Keputusan Menteri Kehakiman RI, Op.Cit

23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia UI Press,

1986), hlm. 43.

(34)

hipotesa-hipotesa atau teori-teori.24 Pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan pendekatan jenis penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris (yuridis sosiologis).

Yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis sosiologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk melihat perilaku hukum sebagai pola perilaku masyarakat dan terlihat sebagai kekuatan sosial.

Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library research), penelitian kepustakaan sebagai salah satu cara mengumpulkan data didasarkan pada buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu yang tentunya berkaitan dengan tesis ini, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah sebagai perbandingan maupun petunjuk dalam menguraikan bahasa terhadap masalah yang dihadapi selanjutnya peneliti mengumpulkan dan mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik tesis ini.

2. Sumber Data dan teknik pengumpulan Data

Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori,

24 Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan

(35)

dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian baik berupa peraturan perundang-undangan maupun karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer, antara lain : 1. Norma atau kaedah dasar; 2. Peraturan dasar;

3. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peranan aparat penegak hukum di Rutan Kelas I Medan, yakni Undang-undang b. Bahan Hukum Sekunder berupa buku yang berkaitan dengan, peranan

aparat penegak hukum, dan sistem peradilan pidana (cri-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini

c. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.25

Pengumpulan data pada penelitian tesis ini menggunakan teknik studi dokumen, artinya data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan

25 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998,

hlm.195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif

suatu tinjauan singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1990), hlm. 41

(36)

berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian di sistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. Sedangkan penggunaan data primer berupa studi lapangan (field research) digunakan untuk mendukung data sekunder. Hal ini menunjukkan bahwa

field research dalam penelitian ini sebagai suatu cara untuk mengumpulkan

data yang dijadikan bahan dalam merumuskan suatu permasalahan untuk mewujudkan suatu tujuan. Studi lapangan dilakukan untuk menggali dan memahami secara mendalam mengenai pendapat responden tentang pendekatan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam pencegahan tindak kekerasan (studi kasus di Rutan kelas I Medan), sehingga dapat dijadikan bahan untuk menganalisis permasalahan dalam tesis ini. Untuk itulah studi lapangan dilakukan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada para informan yang terdiri dari:

1. Petugas pengamanan di Rutan Kelas I Medan.

2. Warga binaan pemasyarakatan di Rutan Kelas I Medan.

3. Lokasi Penelitian

(37)

4. Analisis Data

Metode analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian data sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data 26. Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan analisis kualitatif maksudnya adalah bahwa data yang telah dikumpulkan dari studi kepustakaan tersebut selanjutnya dianalisis dan hasil analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka melainkan data yang dianalisis digambarkan dalam bentuk kalimat-kalimat bebas dari bahan- bahan yang bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk kesimpulan dengan uraian kalimat bebas.

26 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta : Remaja Rosdakarya, 2002), hlm.

103

(38)

BAB II

FAKTOR – FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA

KEKERASAN TERHADAP SESAMA WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI RUTAN KLAS I MEDAN

A. Tinjauan Umum Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

1. Sejarah Singkat Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas 1 Medan pada awalnya berada di JL.Listrik, Kemudian pindah ke Suka Mulia. Terakhir pindah ke JL. Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan yang dimulai dibangun pada Tahun 1994 dan diresmikan pada Tahun 1995 oleh Menteri Kehakiman RI. Yang pada saat itu dijabat oleh bapak Oetojo Oesman, sehingga terbentuklah menjadi Rumah Tahanan Negara Klas I Medan.

Kapasitas Rumah Tahanan Negara Klas I Medan adalah 850 orang,namun pada saat ini sudah melebihi kapasitas hingga mencapai 2.592 orang penghuni, selain di isi oleh warga binaan pemasyarakatan juga narapidana.

Adanya Warga Binaan Pemasyarakatan dan napi sesuai dengan petunjuk teknik No.E 70 UM.01.06 Tahun 186,bagi terpidana 12 bulan atau sisa pidananya tidak lebih dari 12 bulan.

Rumah Tahanan Negara Klas I Medan terdiri dari beberapa blok.yaitu :

Blok A : Blok khusus narapidana

Blok D : Blok khusus karantina

Blok B, C, E, F, G, H : Blok khusus tahanan

(39)

Status Rumah Tahanan Negara Klas I Medan berada di bawah naungan pemerintah yaitu : Menteri Kehakiman dengan landasan hukum Pasal 22 KUHP (UU No. 8 Tahun 1981) dan PP 27 Tahun 1983 (tentang pelaksanaan KUHP).

Fungsi dan tugas dalam jaklak Menteri Kehakiman RI No.E 76 UM 01 Tahun 1986 antara lain Rutan sebagai unit pelaksanaan taktis pemasyarakatan sidang pelaksanaan,penahanan,pelayanan,dan perawatan warga binaan pemasyarakatan.

2. Struktur Organisasi

Dengan terbentuknya struktur organisasi yang jelas,akan dapat memberikan pengertian yang mudah untuk mengenal organisasi yang bersangkutan,juga mempermudah para pegawai mengetahui dengan pasti apa yang harus dikerjakan, dari siapa menerima perintah dan kepada siapa mempertanggungjawabkannya.

Adapun pola struktur yang dimiliki oleh Rutan adalah sebagai berikut : Dep. Hukum dan Perundang-Undangan RI Kantor Wilayah Sumatera Utara S.E. Menteri Kehakiman Tanggal 20 September 1985, Nomor: M.04.PR.07.03 Tahun 1985.

(40)

Yan

Gambar 1. Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas I Medan

Adapun tugas dan tanggung jawab dari masing-masing bagian dalam struktur organisasi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kepala Rumah Tahanan Negara Kelas 1 Medan a. Uraian Tugas :

Ka. Rutan

Kasat Pengamanan Kasie Yantah Kasie Pengelolaan Kaur Tata Usaha

Kasubsie Perawatan

Kasubsie Keuangan & Perlengkapan Petugas

Pengamanan

Kasubsie Bankumluh

Kasubsie Umum

Kasubsie Bim Kerja

(41)

1) Mengkoordinir penyusun rencana kerja umum Rutan dengan memadukan rencana kerja unit-unit kerja bawahan untuk menetapkan rencana kerja (Renker) dan program kerja (Proker) Rutan.

2) Memeriksa singkat Warga Binaan Pemasyarakatan baru dengan cara meneliti surat penahanan dan register daftar penahanan.

3) Mencek hasil penggeledahan barang dan Warga Binaan Pemasyarakatan. 4) Meneliti keadaan fisik dan rohani Warga Binaan Pemasyarakatan

berdasarkan hasil pemeriksaan pejabat-pejabat bawahan dan dokter Rutan untuk melepaskan perawatan Warga Binaan Pemasyarakatan.

5) Menenrima laporan kematian Warga Binaan Pemasyarakatan dan melakukan tindak lanjut urusan Warga Binaan Pemasyarakatan.

6) Mengkoordinasi urusan pemakaman Warga Binaan Pemasyarakatan yang meninggal dunia.

7) Melaksanakan pengeluaran demi hukum berdasarkan masa Warga Binaan Pemasyarakatan dan tidak ada perpanjangan dari instansi yang berwenang. 8) Mencek dan mengurus persediaan beras sesuai prosedur untuk memenuhi

kebutuhan para Warga Binaan Pemasyarakatan.

9) Mengawasi administrasi dan pengelolaan keuangan Rutan dengan cara membina dan menata administrasi keuangan dalam rangka pertanggungjawaban keuangan.

10)Mengkoordinasikan urusan kebutuhan dan pengelolaan perlengkapan Rutan.

(42)

11)Melakukan pembinaan kepegawaian sesuai dengan ketentuan undang-undang bidang kepegawaian.

12)Memebina ketatataklaksanaan umum Rutan deangan cara mengecek dan memberi informasi sistem pelaksanaannya.

13)Mempelajari laporan hasil pemeriksaan inspektorat jendral dengan cara memeinta data informasi dari pejabat bawahan untuk melaksanakan RTL dan LPH.

b. Tanggung Jawab

1) Keamanan umum tata tertib Rutan.

2) Perawatan kesejahteraan Warga Binaan Pemasyarakatan dan narapidana. 3) Pengawasan dan pengendalian bantuan hukum dan penyuluhan Warga

Binaan Pemasyarakatan.

4) Kelancaran pelaksanaan bimbingan kegiatan Warga Binaan Pemasyarakatan.

5) Pengeluaran atau pembebasan warga binaan pemasyarakatan dari Rutan. 6) Pembinaan pegawai Rutan.

7) Pelaporan atas segala kegiatan perawatan warga binaan pemasyarakatan dan peristiwa yang terjadi dalam Rutan.

c. Wewenang

1) Menyampaikan usul dan saran kepada atasan tentang pelaksanaan tugas. 2) Meneliti pokok materi ceramah pendidikan dan penyuluhan pada Warga

(43)

3) Menerapkan jadwal bimbingan kegiatan Warga Binaan Pemasyarakatan. 4) Mengolah hasil karya warga binaan pemasyarakatan.

5) Mengatur cuti warga binaan pemasyarakatan. 6) Meneliti pekerjaan bawahan.

7) Menerapkan rencana kerja umum rutan.

8) Pengeluaran atau pembebasan warga binaan pemasyarakatan demi hukum. 9) Membagi tugas.

2. Kepala Urusan Tata Usaha a. Uraian tugas :

1) Menyusun rencanan kerja dan urusan tata usaha Rutan.

2) Melaksanakan pendistribusian pengelolaan surat masuk dengan sistem kartu kendali.

3) Melaksanakan pengetikan surat keluar di lingkungan Rutan. 4) Mengurus pengiriman surat keluar untuk memperlancar informasi. 5) Mengklasifikasikan arsip dan dokumen di lingkungan Rutan. 6) Menyelenggarakan urusan kearsipan dan dokumentasi. b. Tanggung jawab :

1) Kebenaran rencana kerja urusan tata usaha Rutan.

2) Kebenaran usulan dan saran kepada atasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3) Pembinaan pegawai bawahan.

(44)

4) Pemeliharaan perawatan peralatan dan sarana kerja. c. Wewenang :

1) Menyusun rencana kerja program kerja dan tata usaha

2) Mengajukan saran dan usulan kepada atassan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3) Menilai pelaksanaan pekerjaan bawahan dalam DP3 4) Memberi peringatan atau teguran dan bimbingan kerja 5) Menyetujui, menunda permintaan cuti

3. Kepala Kesatuan Pengamanan a. Uraian Tugas :

1) Menyusun rencana kerja pengamanan Rutan

2) Mengelola administrasi keamanan dan ketertiban Rutan

3) Mengawasi pelaksanaan penjagaan pengamanan dan pengawasan terhadap warga binaan pemasyarakatan

4) Mengorganisasikan tugas-tugas pemeliharaan keamanan

5) Mengawasi pelaksanaan penerimaan penempatan dan pengeluaran warga binaan pemasyarakatan

6) Mengontrol sarana dan prasarana keamanan dan ketertiban Rutan b. Tanggung jawab:

1) Kebenaran rencana kerja urusan tata usaha Rutan

(45)

3) Pembinaan pegawai bawahan

4) Hasil pelaksanaan tugas sesuai dengan rencana kerja 5) Disiplin pegawai

6) Pemeliharaan perawatan peralatan dan sarana kerja 7) Keamanan dan pengamatan Rutan

c. Wewenang :

Menetapkan rencana kerja seksi-seksi, mengajukan usulan pendapat kepada atasan serta menentukan langkah-langkah pembinaan pegawai

4. Kepala Seksi Pelayanan Warga binaan pemasyarakatan a. Uraian tugas :

1) Menyusun rencana kerja seksi pelayanan warga binaan pemasyarakatan 2) Melakukan pelayanan administrasi bagi warga binaan pemasyarakatan

yang memerlukan perawatan

3) Mengorganisasikan dan menyiapkan pelaksanaan pembinaan bantuan hukum

4) Mengorganisasikan kegiatan penyuluhan rohani

5) Melakukan pembinaan pegawai lingkungan seksi pelayanan warga binaan pemasyarakatan

b. Tanggung jawab :

1) Kebenaran rencana kerja urusan tata usaha Rutan

2) Kebenaran usulan dan saran kepada atasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

(46)

3) Pembinaan pegawai/pejabat bawahan

4) Hasil pelaksanaan tugas sesuai dengan rencana kerja 5) Disiplin kerja pejabat bawahan

c. Wewenang :

1) Menilai pejabat bawahan 2) Menegur pajabat bawahan

3) Menentukan,mengurangi,merubah permohonan cuti 4) Melaksanakan dan memantau Waksat

5) Menggunakan peralatan sarana kerja 5. Kepala Subseksi Administrasi dan Perawatan

a. Uraian Tugas :

1) Menyusun rencana kerja subseksi administrasi dan perawatan 2) Mengawasi dan memberikan petunjuk pengawasan

3) Membagi tugas kepada bawahan untuk mencatat dat surat perintah 4) Mengecek atas pelaksanaan pembuatan tera sidik jari warga binaan

pemasyarakatan baru

5) Melaksanakan pengambilan foto warga binaan pemasyarakatan sesuai dengan ketentuan dan petunjuk atasan

b. Tanggung jawab :

1) Kebenaran data pada rencana kerja

(47)

2) Pelaksanaan proses pendaftaran dan penempatan warga binaan pemasyarakatan

3) Akurasi data-data warga binaan pemasyarakatan 4) Pelaksanaan perawatan warga binaan pemasyarakatan 5) Disiplin pelaksanaan tugas pegawai bawahan

c. Wewenang:

1) Menyampaikan usul dan saran kepada atasan 2) Menilai pelaksanaan tugas pegawai bawahan 3) Membagi tugas bawahan

6. Kepala Seksi Pengelolaan a. Uraian tugas :

1) Menyusun rencana kerja seksi pengelolaan

2) Meneliti dan mengoreksi konsep surat yang berkaitan dengan tugas kerumahtanggaan

3) Menyelenggarakan pemeliharaan kendaraan dinas untuk digunakan 4) Mengatur penggunaan kendaraan/angkutan dinas untuk digunakan 5) Menyelenggarakan administrasi biaya pemeliharaan kendaraan dinas b. Tanggung jawab :

1) Kebenaran rencana kerja seksi pengelolaan 2) Kebenaran usul dan saran serta pendapat 3) Menyelenggarakan administrasi kerja

(48)

4) Hasil pelaksanaan tugas sesuai dengan rencana 5) Pembinaan peralatan dan sarana kerja

c. Wewenang:

1) Mengajukan usul dan saran kepada kepala Rutan

2) Menentukan langkah-langkah pembinaan pegawai Rutan 3) Memberi peringatan dan bimbingan pada bawahan 4) Mengesahkan, menilai pelaksanaan pekerjaan bawahan

B. Pengertian Tindak Kekerasan

Pada awal 1960-an, banyak orang meyakini kebenaran gagasan Konrad Lorenz, seorang ethiolog (pakar "psikologi" binatang) asal Jerman, yang menyebutkan bahwa kekerasan, tak ubahnya rasa lapar, adalah naluri manusia sebagai bagian dari kodratnya yang jasmaniah. Di dasawarsa berikutnya, tahun 1970-an, orang lebih menaruh perhatian pada apa yang kemudian dinamai sebagai "lingkaran setan" kekerasan.27

Menurut mereka, kekerasan seolah telah mengental lebih dari sekedar naluri yang nature, dan menjadi culture, budaya kekerasan. Kalau pengamatan itu benar, artinya perlahan-lahan hubungan antar-manusia di abad ini tak hanya mengalami eskalasi kekerasan secara akumulatif, tapi juga sofistikasi, pencanggihan, kekerasan. Meminjam pengalaman pahit masyarakat miskin Amerika Selatan, Dom Helder Camara, memfatwakan betapa suatu kekerasan tak pernah berdiri sendiri. Ia lahir

(49)

menyusul, dan menjadi rantai fantasi berikutnya dari kekerasan-kekerasan terdahulu yang telah berjalin-kelindan.

Awalnya kekerasan lahir dibidani oleh egoisme para penguasa dan kelompok-kelompok yang rakus. Berikutnya kekerasan pun muncul sebagai jawaban dari para pejuang keadilan yang mengangkat senjata untuk menumbangkan para penguasa lalim itu. Kekerasan akan kembali muncul sebagai satu-satunya jalan berpikir yang ada dari para penguasa untuk menumpas bentuk kekerasan kedua. Begitulah seterusnya, hingga nyaris tak henti-hentinya darah mengalir untuk menyuburkan dendam yang tak kunjung menuntas.

Rasa ketidakadilan umumnya muncul sebagai pemicu kekerasan. Kekerasan menjadi wacana keseharian ketika banyak orang dibiarkan menderita dan tidak berdaya sementara tak sedikit orang menjadi kaya dan berkuasa. Inilah kekerasn struktural, yang menurut Galtung, selalu menjadi prasyarat penting bertebarannya kekerasan personal (atau kelompok).28 Ekspresinya bisa beragam: struktur ekonomi, politik, kebudayaan, dan sebagainya. Secara struktural, individu dan kelompok ditenggelamkan dalam ketidakberdayaannya, dan tidak diabaikan kepentingan-kepentingannya. Ia tampaknya memang diberi kesempatan memperoleh semua itu melalui jalur-jalur struktural yang ada, namun struktur yang ada sendiri sudah tidak memungkinkan untuk "menang" dalam perjuangan menegakkan eksistensinya. Setiap orang memang diberi kesempatan yang sama untuk meminjam modal di bank, tapi

28 Muzakky, Kejahatan Kekerasan, http://zakysme.blogdetik.com/ 2008/10/27/ Kejahatan

Kekerasan, diakses tanggal 12 Februari 2009.

(50)

struktur ekonomi tidak memungkinkan mereka yang tidak punya apa-apa untuk memanfaatkan kesempatan itu. Modal justru lebih lancar mengalir kepada mereka yang sesungguhnya telah memiliki apa saja. Frustasi berhadapan dengan kekuatan struktur yang tak berwajah namun perkasa itu justru mengundang kekerasan personal dari mereka-mereka yang berharap perbaikan nasib.

Kekerasan secara definitif jelas-jelas berseberangan dengan kebebasan. Mengutip Johan Galtung, "Kekerasan ada lantaran manusia dipengaruhi sebegitu rupa hingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya." 29 Kekerasan tidak hanya tampak dari remuknya wajah seseorang oleh popor senapan, atau terburainya usus dari perut yang tersabet celurit, tapi juga dari cara orang memandang orang lain, cara mendidik anak, dan yang terpenting: cara mengatasi konflik. Kalau sudah kronis dan menjadi budaya, artinya kekerasan telah menjadi modus vivendi sebuah masyarakat yang sakit.

Kekerasan dipelajari sebagai cara paling efektif mengatur hubungan antar-manusia, dan antar-kelompok. Ia bukanlah reaksi terhadap kekerasan sebelumnya, melainkan sebuah aksi yang sadar dan sukarela. Bahkan sebuah kreasi yang memuat dimensi imajinatif manusia. Dalam situasi serupa itu, bentuk-bentuk kekerasan yang massif dan brutal bukan hanya bom waktu yang bisa meletup setiap saat, tapi sebuah konsekuensi serius dari kecerobohan seseorang untuk mengatur hubungan sosial dengan resiko paling minimal.

29 JE Sahetapy, Penanggulangan Kekerasan Tanpa Kekerasan, http:// www. polarhome.

(51)

Penggunaan kekerasan yang dimaksud terwujud dalam memukul dengan tangan saja, memukul dengan senjata, menyekap, mengikat, menahan, dan sebagainya. Dalam ketentuan Pasal 89 KUHP, dapat dilihat perluasan dari pengertian kejahatan dengan kekerasan, yang mana dalam pasal ini disebutkan: melakukan kekerasan disarnakan dengan membuat orang pingsan. Kekerasan itu harus ditujukan kepada seseorang. Seseorang di sini tidak perlu para pemilik barang, tetapi juga orang lain yang diberikan tugas/kepercayaan untuk menjaganya.

Tindak kekerasan biasanya berwujud menjadi kejahatan. Menurut Soedarto, pada umumnya kejahatan kekerasan dapat diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik terhadap barang atau orang sedemikian rupa, sehingga cukup membahayakan benda hukum yang dilindungi oleh ketentuan pidana yang bersangkutan.30

Adapun unsur-unsur kejahatan dengan kekerasan seperti yang Bering dikemukan dalam setiap perumusan kejahatan dengan kekerasan dalam KUHP terdiri dari: "Didahului dengan kekerasan atau ancaman kekerasan" mengandung pengertian bahwa kekerasan atau ancaman kekerasan ini dipergunakan sebelum dilakukan kejahatan pokok yang dimaksudkan untuk mempersiapkan diri bagi si pelaku.31

"Disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan" maksudnya penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan dilakukan bersamaan dengan dilakukannya kejahatan. pokoknya. Penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan di sini dimaksudkan untuk mempermudah dilaksanakan kejahatan pokoknya.

30Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, Tahun 1981), hlm.113. 31 Ibid

(52)

"Diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan" mengandung maksud penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan setelah kejahatan pokoknya dilakukan. Tujuannya memberikan kesempatan kepada diri sendiri atau peserta lain untuk melarikan diri, serta dapat menjamin pemilikian hasil kejahatan tersebut jika tertangkap tangan.

Secara sederhana dapat dijawab bahwa kejahatan dengan kekerasan mengakibatkan korban menderita luka berat, secara fisik maupun secara mental, meninggal dunia, harta miliknya berpindah tangan karena paksaan, kehormatannya dirusak.32

Stephen Schafer,dalam suatu studinya mengenai kejahatan-kejahatan dengan kekerasan di Florida,mendasarkan rumusannya pada batasan Kelompok Internasional pars Ahli PBB yang beranggapan bahwa kejahatan-kejahatan kekerasan yang utama adalah pembunuhan, penganiayaan berat, serta perampokan, dan pencurian berat.33 Sedangkan pelaku kejahatan dengan kekerasan adalah mereka-mereka yang melakukan kejahatan yang berakibat kematian maupun luka bagi sesama manusia.

Pengertian kejahatan dengan kekerasan menurut Kepolisian Republik Indonesia meliputi Sembilan jenis kejahatan, yaitu : penjambretan, penodongan, pembajakan, perampokan, pencurian kendaraan bermotor, pemerasan, pembunuhan,

32 Mulyana W. Kusumah, Kriminalitas Dalam Surat Kabar, (Jakarta : Penerbit Antar Kota, 1991), hal 57.

33 Stephen Schafer, The Beginnings of Victimology, dalam Israel Drapkin dan Emilio Viano,

(53)

penganiayaan berat, dan perkosaan.34 Tidak ada penjelasan atau keterangan dari

pembagian katagorikatagori ini, walau untuk beberapa jenis kejahatan, arti katanya memang jelas. Misal, untuk "pembajakan", dapat timbul pertanyaan apakah yang dimaksud di sini bentuk kejahatan "penodongan dalam kendaraan umum (bus)" ataukah bentuk "pembajakan pesawat terbang" dan bentuk yang menyerupainya. Perbedaan antara "penodongan" dengan "perampokan" juga tidak jelas karena kesan pertama yang diperoleh adalah bahwa "penodongan" dilakukan di tempat umum jalan, pasar), sedangkan "perampokan" di tempat pemukiman (rumah). Namun, istilah umum tentang "perampokan" bisa juga dikaitkan dengan tempat terjadi kejahatan seperti bank, toko, atau perusahaan lainnya.

Mengenai masuknya jenis kejahatan "pencurian kendaraan bermotor" sebagai jenis kejahatan dengan kekerasan juga dapat menimbulkan pertanyaan. Apakah pencurian yang tanpa diketahui pemiliknya (berarti tanpa adanya kekerasan) termasuk pula di sini? .

Demikian pula, "penjambretan" dan "penodongan" perlu ditinjau secara bersama-sama, karena peristiwanya lebih sering dilakukan di jalan atau

34

Lihat Buku : Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Dinas Penelitian dan Pengembangan, Kriminalitas dengan kekerasan di Indonesia dan Konsepsi PenangRulangannya Makalah Polri dalam Seminar Kriminalitas dengan Kekerasan di Jakarta, 1983, hlm. 5. Penggolongan kejahatan sebagaimana dilakukan di sini perlu dijelaskan tujuannya, dan dengan sendirinya konsep dari setiap golongan oleh Dislitbang Polri digunakan istilah jenis' tersebut. Pada dasarnya, untuk analisis yang bertujuan lebih memahami macam-macam golongan tipologi perilaku kejahatan ini, tipologi hukum hampir tidak bermanfaat. Lebih banyak manfaatnya bilamana dilakukan tipologi sosiologis dan tipologi psikologis lihat antara lain : Hermann Mannheim, Comparative Criminology, Naughton, 1965: 161-173. Lihat pula Mardjono Reksodiputro dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum U1, 1994), hlm. 48.

(54)

tempat umum lainnya seperti pasar atau tempat hiburan. Kedua jenis kejahatan ini tidak memerlukan "keahlian", dilakukan terhadap korban yang lengah (lalai), dan lebih sering tidak menimbulkan derita atau cacat badan (fisik) pada korban. Sebaliknya, pada "perampokan" diperoleh kesan diperlukan adanya "keahlian" (yang sofistikasinya tergantung pada sasaran perbuatan), paling tidak ada perencanaan, dan sering pula mengakibatkan derita psikis atau badan pada korban, serta tidak jarang pula cacat badan atau kematian pada korban.

Marshal B.Clinard, juga mengemukakan tentang perkembangan kejahatan dengan kekerasan sebagai berikut : 35

"As a country develops, robbery with violence and threat of violence increases. In the developing countries, armed attacks, with represent a growing problem in isolated non-urban areas, are made on homes, motor vehicles, and bases on the highways, and the spread of industrial, banking and business enterprises requires the transportation of large sums of money usually with few guards. The increase in robbery is due in part to the training acquired among growing prison populations, since more and more offenders are beinf taught sophisticated criminal techniques in their willingness to resort to force"

(terjemahan bebas: Ketika suatu negara berkembang, perampokan dengan kekerasan dan ancaman kekerasan meningkat. Pada negara-negara berkembang, serangan-serangan bersenjata yang menunjukkan tumbuhnya masalah di wilayah-wilayah non urban, terjadi di dalam rumah, kendaraan bermotor atau di jalan raya, sementara itu penyebaran perusahan-perusahan industri, bank, dan dagang rnembutuhkan transportasi sejumlah uang beserta pengawalannya. Peningkatan perampokan untuk sebagian disebabkan oleh latihan yang diperoleh di dalam penghuni penjara yang kian padat, yang menyebabkan lebih banyak lagi pelanggar hukum diajarkan tehnik-tehnik

35

(55)

kejahatan yang 'sophisticated' dalam kecendrungan mereka untuk melakukan kekerasan).

Perumusan kejahatan dengan kekerasan dapat dilihat dari beberapa aspek (mempunyai beberapa elemen atau unsur-unsur yaitu) : 36

1) The degree and type of injury (tingkat dan jenis kerusakan),

2) The intent of the participant(s) to apply or to threaten to apply force

(kesungguhan peserta untuk menggunakan atau mengancam mempergunakan kekerasan),

3) The object of the attack (i.e., a person, property, or an animal) (objek

serangan (misalnya orang, properti, atau binatang),

4) The causes of and motivations and justifications for the behavior

(penyebab dan motivasi serta pembenaran atas perilaku tersebut)

5) The numbers of persons involved in the incident, and Oumlah orang-orang

yang terlibat dalam peristiwa tersebut),

6) Whether the harm is the result of behavior that is committed or omitted

(apakah kerusakan tersebut merupakan akibat dari perilaku yang dilakukan ataukah bukan).

Jika dibandingkan dengan jenis-jenis kejahatan dengan kekerasan yang telah diformulasikan Polri, maka jenis kejahatan dengan kekerasan menurut The Federal

Bureau of Investigation di bawah Uniform Crime Reporting Program terdiri dari :37

1) Criminal homicide (comprising murder and nonnegliegent

manslaughter): "the willfull (nonnegligent) killing of one human being by

another) (kejahatan pembunuhan, meliputi pembunuhan dan

pembantaian manusia yang bukan merupakan kelalaian : pembunuhan dengan sengaja (bukan kelalaian) seorang atau lebih manusia oleh orang lain).

2) Forcible rape: "the carnal knowledge of a female forcibly and against her will (perkosaan dengan paksaan: menguasai jasmani dari seorang

wanita yang diancam dengan kekerasan. dan melawan keinginanya). 3) Robbery : the taking or attempting to take something of value from the Policy, Harcourt Brace Jovanovich HBJ, Publisher, 1990. hlm. xiii.

37 Marshal B Clinard, Op.Cit, hlm. 201.

Gambar

Gambar 1. Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas I Medan
Tabel 2.1. Data Penghuni Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan
Tabel 2.2. Pegawai Rumah Tahanan Negara Kelas I Medan Berdasarkan       Jenis Kelamin
Tabel 3.2. Jumlah Pengaduan Kekerasan Dalam Rutan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Proses pembinaan di Rutan Kelas II B blok wanita Kabanjahe dilakukan dengan memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga binaan wanita dan prinsip-prinsip

Disarankan kepada: (1) Manajemen Rutan Klas I Medan perlu segera mengimplementasikan strategi penanggulangan tuberkulosis pada Lapas/Rutan, khususnya deteksi dini melalui screening

kesehatan gigi dan mulut warga binaan pemasyarakatan di Rumah Tahanan Klas I. Surakarta dalam mewujudkan derajat

Dapat memberikan data yang empiris tentang Perbedaan tingkat stres antara warga binaan ditinjau dari jenis kelamin di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang dan Lembaga

Dapat disimpulkan bahwa dalam Rutan Klas I Cipinang tersebut masih banyak warga binaan yang belum mengetahui adanya bantuan hukum yang disediakan negara sebagaimana diatur

Keadaan warga binaan remaja yang merasa sudah nyaman dengan kondisi di Rutan Klas I Bandung, menyebabkan mereka tidak berkeinginan merencanakan masa depan setelah bebas

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gambaran tingkat kecemasan warga binaan wanita menjelang bebas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A

1 ANALISIS INTERNAL DAN EKSTERNAL PENGHAMBAT POLA PEMBINAAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TEBING TINGGI TESIS Diajukan untuk memenuhi