• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Karakteristik Individu dan Mutu Pelayanan Klinik VCT terhadap Pemanfaatan Klinik VCT oleh Warga Binaan Pemasyarakatan Risiko HIV/AIDS di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Karakteristik Individu dan Mutu Pelayanan Klinik VCT terhadap Pemanfaatan Klinik VCT oleh Warga Binaan Pemasyarakatan Risiko HIV/AIDS di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN MUTU PELAYANAN TERHADAP PEMANFAATAN KLINIK VOLUNTARY COUNSELING TEST

DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS I MEDAN

OLEH WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN RISIKO HIV-AIDS

T E S I S

Oleh

M. SAKTI SIREGAR 097032179/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

THE INFLUENCE OF INDIVIDUAL CHARACTERISTIC AND QUALITY OF SERVICE ON THE UTILIZATION OF VOLUNTARY COUNSELING

TEST CLINIC BY THE INMATES AT RISK OF HIV-AIDS IN THE CLASS I STATE PENITENTIARY

MEDAN

T H E S I S

By

M. SAKTI SIREGAR 097032179/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

(3)

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN MUTU PELAYANAN TERHADAP PEMANFAATAN KLINIK VOLUNTARY COUNSELING TEST

DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS I MEDAN

OLEH WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN RISIKO HIV-AIDS

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

M. SAKTI SIREGAR 097032179/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Judul Tesis : PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN MUTU PELAYANAN TERHADAP PEMANFAATAN KLINIK VOLUNTARY COUNSELING TEST

Nama Mahasiswa : M. Sakti Siregar

OLEH WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN RISIKO HIV-AIDS DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS I

MEDAN Nomor Induk Mahasiswa : 097032179

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp. PD, Sp, JP) (

Ketua Anggota drh. Hiswani, M.Kes)

Dekan

(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 19 Januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp. PD, Sp.JP Anggota : 1. drh. Hiswani, M.Kes

(6)

PERNYATAAN

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN MUTU PELAYANAN TERHADAP PEMANFAATAN KLINIK VOLUNTARY COUNSELING TEST

DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS I MEDAN

OLEH WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN RISIKO HIV-AIDS

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2012

(7)

ABSTRAK

VCT (Voluntary Counseling and Testing) merupakan layanan pencegahan HIV/AIDS termasuk di Rutan. Pemanfaatan klinik VCT Rutan Klas I Medan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) belum optimal karena hanya dimanfaatkan 11.3 % dari seluruh WBP.

Tujuan penelitian ini menganalisis pengaruh karakteristik individu dan mutu pelayanan terhadap pemanfaatan Klinik VCT oleh warga binaan pemasyarakatan risiko HIV/AIDS di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan. Penelitian dengan menggunakan survei eksplanatori ini dilaksanakan pada bulan April 2011 hingga Desember 2011. Populasinya adalah seluruh WBP Rutan Klas I Medan sebanyak 2.499 orang. Sampel sebanyak 97 orang, diambil dengan teknik systematic random sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada pengujian α = 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor umur dan pendidikan berpengaruh terhadap pemanfaatan Klinik VCT, sedangkan status perkawinan tidak berpengaruh. Variabel mutu pelayanan dimensi yakni keandalan, daya tanggap, jaminan, empati dan bukti langsung berpengaruh signifikan terhadap pemanfaatan Klinik VCT. Variabel mutu pelayanan dimensi keandalan merupakan variabel yang paling memengaruhi pemanfaatan Klinik VCT

Disarankan : 1) Koordinator klinik hendaknya meningkatkan aspek keandalan (reliability) pelayanan VCT dengan mengharuskan dokter selalu berada di tempat dan petugas laboratorium melakukan pemeriksaan secara cermat dan teliti, 2) Petugas Klinik VCT perlu memperbaiki penampilan petugas pada saat memberikan pelayanan sehingga meningkatkan kemauan kepada WBP dalam memanfaatkan Klinik VCT, 3) WBP di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan perlu diberikan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran melakukan pemeriksaan kesehatan ke VCT sebagai upaya deteksi dini terjadinya penyakit HIV/AIDS serta tindakan pencegahan dan pemeliharaan kesehatan.

(8)

ABSTRACT

VCT (Voluntary Counseling and Testing) is preventive services of HIV/AIDS including in the panitentiaries. The utilization of VCT Clinic in the Class I State Panitentiary Medan by inmates was not optimal yet, its because the utilization still 11,3% of all inmates.

The purpose of this survey study with explanatory approach was to analyze the individual characteristic and the quality of service on the utilization of VCT Clinic by the inmates at risk of HIV/AIDS in the Class I State Panitentiary Medan. The research took place on April 2011 to December 2011, with 2.499 inmates in the Class I State Panitentiary Medan as population. As 97 of them were selected to be the sample, which took through systematics random sampling. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews and the data obtained were

analyzed through multiple logistic regression tests at α =5%.

The result of this study showed that age and education had influence on the utilization of VCT Clinic while marital status did not. The variable of quality of service measured based on the dimensions of tangible, reliability, responsiveness, assurance and empaty had significant influence on the utilization of VCT Clinic. Reliability was the most influencing variable on the utilization of VCT Clinic.

It is recomended : 1) Clinic Coordinator is suggested to improve the reliability services VCT by obligation to the doctor that usually on side and the staff laboratory doing examination with valid and reliabel, 2) the staff of VCT Clinic should improve their performance when providing their services than it can encourage the inmates to utilize the VCT Clinic, 3) the inmates in the Class I State Panitentiary Medan need extension in order to improve their awareness as an efforts to do early detection before the HIV/AIDS occurs as well as prevention and health promotion.

(9)

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul " Pengaruh

Karakteristik Individu dan Mutu Pelayanan Klinik VCT terhadap Pemanfaatan Klinik VCT oleh Warga Binaan Pemasyarakatan Risiko HIV/AIDS di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk

menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat

Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,

M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat,

Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

(10)

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku sekretaris Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera

Utara.

5. Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp. PD, Sp, JP selaku ketua komisi pembimbing dan

drh. Hiswani, M.Kes, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh

perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu

untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

6. Dosen penguji tesis yang telah memberikan saran dan masukan serta arahan untuk

kesempurnaan proposal hingga penulisan tesis ini selesai.

7. Thurman SM. Hutapea, BcIP, S.H, M.Hum selaku Kepala Rumah Tahanan

Negara Klas I Medan yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada

penulis untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus memberikan izin belajar

pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

8. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas

Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

9. Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ayahanda dan Ibunda atas

segala jasanya sehingga penulis selalu mendapat pendidikan terbaik.

10.Teristimewa buat istri tercinta Endang Supriati serta anak-anakku tersayang:

(11)

menunggu, memotivasi dan memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan

pendidikan.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan

kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan

harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan,

dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Oktober 2011 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

M. Sakti Siregar, lahir pada tanggal 07 Maret 1965 di Medan, anak ketiga dari

tujuh bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Awaluddin Siregar (alm) dan Ibunda

Hj. Chadijah Nasution.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah

Dasar Negeri No. 060853 Medan, selesai Tahun 1977; Sekolah Menengah Pertama di

SMP Negeri 11 Medan, selesai Tahun 1981, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri

6 Medan selesai tahun 1984; Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan, selesai Tahun 1991.

Mulai bekerja sebagai Kepala Puskesmas Sukaramai Labuhanbatu dari tahun

1992 sampai tahun 1995, Staf Medis dan Pengajar di RS Haji Medan tahun 1995

sampai sekarang, tahun 1997 sampai dengan sekarang Pegawai Negeri Sipil di

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan.

Tahun 2009 penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Hipotesis ... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. HIV/AIDS ... 10

2.1.1. Pengertian HIV/AIDS ... 10

2.1.2. Situasi Epidemi HIV/AIDS ... 10

2.2. Penanggulangan HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan ... 14

2.2.1. Tujuan Penanggulangan HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan ... 16

2.2.2. Pelaksana Penanggulangan HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan ... 16

2.2.3. Kebijakan Pelaksanaan Program Penanggulangan HIV/ AIDS di Lembaga Pemasyarakatan ... 18

2.2.4. Tatalaksana Penanganan Tahanan Berisiko Tinggi Tertular HIV di Lembaga Pemasyarakatan ... 21

2.2.5. Pemberian perawatan berkesinambungan (continue of care) di Lembaga Pemasyarakatan ... 25

2.2.6. Konseling dan Tes HIV ... 26

2.2.7. Pendampingan pada tahanan yang HIV+ ... 29

2.2.8. Perawatan dan pengobatan Tahanan yang Terinfeksi HIV 33 2.2.9. Proses pengalihan Tahanan HIV+ dari Rutan ke Lapas... 26

2.2.10. Pelepasan Narapidana terinfeksi HIV+ ... 34

2.3. Klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) ... 35

(14)

2.3.2. Tujuan VCT ... 36

2.3.3. Standar Pelayanan VCT ... 37

2.4. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan ... 38

2.5. Mutu Pelayanan ... 41

2.6. Landasan Teori ... 45

2.7. Kerangka Konsep ... 46

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 47

3.1. Jenis Penelitian ... 47

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

3.3. Populasi dan Sampel ... 47

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 49

3.4.1. Uji Validitas ... 49

3.4.2. Uji Reliabilitas ... 50

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 50

3.6. Metode Pengukuran ... 51

3.7. Metode Analisis Data ... 53

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 54

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 54

4.4.1. Gambaran Umum Rumah Tahanan Negara Klas I Medan 54

4.4.2. Gambaran Umum Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 55

4.2 Identitas Responden ... 56

4.3 Mutu Pelayanan VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 57

4.3.1. Reliability (Keandalan) ... 57

4.3.2. Responsiveness (Daya Tanggap) ... 59

4.3.3. Assurance (Jaminan) ... 61

4.3.4. Empathy (Empati) ... 63

4.3.5. Tangible (Berwujud) ... 65

4.4 Pemanfaatan Klinik VCT Rutan Klas I Medan ... 67

4.5 Pemanfaatkan VCT di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan menurut Karakteristik Individu ... 68

4.6 Pengaruh Karakteristik Individu dan Mutu Pelayanan terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan . 73 4.6.1. Pengaruh Umur terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 76

4.6.2. Pengaruh Pendidikan terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 76 4.6.3. Pengaruh Dimensi Keandalan pada Mutu Pelayanan terhadap

(15)

4.6.4. Pengaruh Dimensi Daya Tanggap pada Mutu Pelayanan

terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara

Klas I Medan ... 77

4.6.5. Pengaruh Dimensi Jaminan pada Mutu Pelayanan terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 77

4.6.6. Pengaruh Dimensi Empati pada Mutu Pelayanan terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 77

4.6.7. Pengaruh Dimensi Berwujudpada Mutu Pelayanan terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 78

BAB 5. PEMBAHASAN ... 79

5.1 Pengaruh Karakteristik Individu terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 79

5.1.1. Pengaruh Umur terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 80

5.1.2. Pengaruh Pendidikan terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 81

5.1.3. Pengaruh Status Perkawinanterhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 82

5.2 Pengaruh Mutu Pelayanan terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 83

5.2.1. Pengaruh Keandalan Pelayanan terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 84

5.2.2. Pengaruh Daya Tanggap Pelayanan terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 85

5.2.3. Pengaruh Jaminan Pelayanan terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 86

5.2.4. Pengaruh Empati Pelayanan terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 88

5.2.5. Pengaruh Wujud Pelayanan terhadap Pemanfaatan Klinik VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 89

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

6.1 Kesimpulan ... 95

6.2 Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 97

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 51

3.2. Aspek Pengukuran Variabel Pemanfaatan Klinik VCT Rutan

Klas I Medan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan Risiko HIV-AIDS ... 52

4.1. Distribusi Identitas Responden di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan . 56

4.2. Distribusi Responden tentang Keandalan Pelayanan VCT di Rumah

Tahanan Negara Klas I Medan ... 57

4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Keandalan Pelayanan VCT

di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 59

4.4. Distribusi Responden tentang Daya Tanggap Pelayanan VCT di Rumah

Tahanan Negara Klas I Medan ... 59

4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Daya Tanggap Pelayanan

VCT di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 61

4.6. Distribusi Responden tentang Jaminan Pelayanan VCT di Rumah

Tahanan Negara Klas I Medan ... 61

4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Jaminan Pelayanan VCT di

Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 63

4.8. Distribusi Responden tentang Empati Pelayanan VCT di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 63

4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Empati Pelayanan VCT di

Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 65

4.10. Distribusi Responden tentang Berwujud Pelayanan VCT di Rumah

Tahanan Negara Klas I Medan ... 65

4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Berwujud Pelayanan VCT di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 67

4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Mutu PelayananVCT di

(17)

4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pemanfaatan VCT di Rumah

Tahanan Negara Klas I Medan ... 68

4.14. Distribusi Pemanfaatan VCT menurut Umur Responden ... 68

4.15. Distribusi Pemanfaatan VCT menurut Pendidikan Responden ... 69

4.16. Distribusi Pemanfaatan VCT menurut Status Perkawinan Responden ... 69

4.17. Distribusi Pemanfaatan VCT menurut Keandalan Pelayanan VCT ... 70

4.18. Distribusi Pemanfaatan VCT menurut Daya Tanggap Pelayanan VCT .... 71

4.19. Distribusi Pemanfaatan VCT menurut Jaminan Pelayanan VCT ... 71

4.20 Distribusi Pemanfaatan VCT menurut Empati Pelayanan VCT ... 72

4.21. Distribusi Pemanfaatan VCT menurut Berwujud Pelayanan VCT ... 73

(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Pola Desain Pelaksanaan Program Penanganan HIV di Lembaga

Pemasyarakatan. ... 22

2.2. Proses pengalihan Tahanan HIV+ dari Rutan ke Lapas ... 33

2.3. Landasan Teori ... 45

2.4. Kerangka Konsep Penelitian ... 46

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 101

2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 104

3. Uji Univariat ... 107

4. Uji Bivariat ... 116

5 Uji Multivariat ... 125

6. Surat Izin Penelitian dari FKM USU ... 125

(20)

ABSTRAK

VCT (Voluntary Counseling and Testing) merupakan layanan pencegahan HIV/AIDS termasuk di Rutan. Pemanfaatan klinik VCT Rutan Klas I Medan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) belum optimal karena hanya dimanfaatkan 11.3 % dari seluruh WBP.

Tujuan penelitian ini menganalisis pengaruh karakteristik individu dan mutu pelayanan terhadap pemanfaatan Klinik VCT oleh warga binaan pemasyarakatan risiko HIV/AIDS di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan. Penelitian dengan menggunakan survei eksplanatori ini dilaksanakan pada bulan April 2011 hingga Desember 2011. Populasinya adalah seluruh WBP Rutan Klas I Medan sebanyak 2.499 orang. Sampel sebanyak 97 orang, diambil dengan teknik systematic random sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada pengujian α = 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor umur dan pendidikan berpengaruh terhadap pemanfaatan Klinik VCT, sedangkan status perkawinan tidak berpengaruh. Variabel mutu pelayanan dimensi yakni keandalan, daya tanggap, jaminan, empati dan bukti langsung berpengaruh signifikan terhadap pemanfaatan Klinik VCT. Variabel mutu pelayanan dimensi keandalan merupakan variabel yang paling memengaruhi pemanfaatan Klinik VCT

Disarankan : 1) Koordinator klinik hendaknya meningkatkan aspek keandalan (reliability) pelayanan VCT dengan mengharuskan dokter selalu berada di tempat dan petugas laboratorium melakukan pemeriksaan secara cermat dan teliti, 2) Petugas Klinik VCT perlu memperbaiki penampilan petugas pada saat memberikan pelayanan sehingga meningkatkan kemauan kepada WBP dalam memanfaatkan Klinik VCT, 3) WBP di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan perlu diberikan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran melakukan pemeriksaan kesehatan ke VCT sebagai upaya deteksi dini terjadinya penyakit HIV/AIDS serta tindakan pencegahan dan pemeliharaan kesehatan.

(21)

ABSTRACT

VCT (Voluntary Counseling and Testing) is preventive services of HIV/AIDS including in the panitentiaries. The utilization of VCT Clinic in the Class I State Panitentiary Medan by inmates was not optimal yet, its because the utilization still 11,3% of all inmates.

The purpose of this survey study with explanatory approach was to analyze the individual characteristic and the quality of service on the utilization of VCT Clinic by the inmates at risk of HIV/AIDS in the Class I State Panitentiary Medan. The research took place on April 2011 to December 2011, with 2.499 inmates in the Class I State Panitentiary Medan as population. As 97 of them were selected to be the sample, which took through systematics random sampling. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews and the data obtained were

analyzed through multiple logistic regression tests at α =5%.

The result of this study showed that age and education had influence on the utilization of VCT Clinic while marital status did not. The variable of quality of service measured based on the dimensions of tangible, reliability, responsiveness, assurance and empaty had significant influence on the utilization of VCT Clinic. Reliability was the most influencing variable on the utilization of VCT Clinic.

It is recomended : 1) Clinic Coordinator is suggested to improve the reliability services VCT by obligation to the doctor that usually on side and the staff laboratory doing examination with valid and reliabel, 2) the staff of VCT Clinic should improve their performance when providing their services than it can encourage the inmates to utilize the VCT Clinic, 3) the inmates in the Class I State Panitentiary Medan need extension in order to improve their awareness as an efforts to do early detection before the HIV/AIDS occurs as well as prevention and health promotion.

(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini

berkembang secara pandemi. Obat dan vaksin untuk mengatasi masalah tersebut

belum ditemukan, yang mengakibatkan kerugian yang tidak hanya di bidang

kesehatan tetapi juga di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya dan demografi. Pola

penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit menular dan

salah satunya adalah HIV/AIDS. Selain itu, pada waktu yang bersamaan juga terjadi

peningkatan penyakit tidak menular. Dengan demikian telah terjadi transisi

epidemiologi sehingga Indonesia menghadapi beban ganda pada waktu yang

bersamaan (double burdens) (Depkes RI, 2006).

Pandemi HIV/AIDS yang mengancam penduduk dunia saat ini telah nyata

menunjukkan berbagai dampak sosial dan ekonomi bahkan keamanan negara

disamping dampak kesehatan. Menurut WHO (2009), jumlah penderita HIV/AIDS

sebanyak 33,3 juta di seluruh dunia pada tahun 2009 dan menurut KPAN (2010),

jumlah penderita HIV/AIDS pada tahun 2010 sebanyak 40 juta, 70% diantaranya

(28,1 juta) ada di kawasan Sub Sahara Afrika. Diperkirakan 3,4 juta orang terinfeksi

baru dan lebih dari 20 juta yang meninggal. Pada kawasan Asia Selatan dan Tenggara

(23)

Pasifik mendekati 7 juta orang terinfeksi HIV/AIDS dan merupakan kawasan dengan

jumlah ke 2 terbesar setelah Sub Sahara Afrika.

Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), risiko penularan

HIV tidak hanya terbatas pada sub-populasi yang berperilaku risiko tinggi, tetapi juga

dapat menular pada pasangan atau istrinya, bahkan anaknya. Diperkirakan pada akhir

tahun 2015 akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak

yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV. Para ibu ini sebagian besar tertular dari

suaminya (KPAN, 2007). Demikian juga dengan (UNAIDS, 2006), infeksi

HIV/AIDS tidak terjadi pada golongan tertentu saja atau di wilayah tertentu saja,

melainkan dapat terjadi pada semua golongan umur dan semua lokasi, terutama

mereka yang melakukan penyimpangan perilaku seksualnya, karena 75-85%

penularan terjadi melalui hubungan seks (5-10% di antaranya melalui hubungan

homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang tercemar (terutama pada pemakai

narkotika suntik), 3-5% melalui transfusi darah yang tercemar.

Permasalahan virus HIV/AIDS di Indonesia harus diantisipasi secara benar

dan cepat sebelum menjadi permasalahan kesehatan yang sangat besar, karena jumlah

kasus yang dilaporkan atau tercatat jauh lebih kecil dibandingkan yang sebenarnya.

The Joint United Program on HIV/AIDS (2007), menyatakan sekalipun angka

prevalensi HIV/AIDS di Indonesia terbilang masih rendah tetapi mengingat jumlah

penduduk Indonesia yang cukup besar maka dapat dikatakan Indonesia berada dalam

tepi jurang epidemik HIV/AIDS, sehingga diperkirakan pada tahun 2010 kasus

(24)

Menghadapi bertambahnya kasus baru HIV perlu dilakukan akselerasi

program penanggulangan HIV/AIDS. Bersamaan dengan itu, perlu dibangun sistem

penanggulangan HIV/AIDS jangka panjang yang komprehensif mencakup program

pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan serta mitigasi. HIV adalah

epidemi yang mengancam kesehatan dan kehidupan generasi penerus bangsa, yang

secara langsung membahayakan perkembangan sosial dan ekonomi, serta keamanan

negara. Oleh karena itu, upaya penanggulangannya harus diangggap sebagai masalah

yang penting dengan tingkat urgensi yang tinggi dan merupakan program jangka

panjang yang membutuhkan koordinasi semua pihak yang terkait, serta mobilisasi

sumber daya yang intensif dari seluruh lapisan masyarakat untuk mempercepat dan

memperluas cakupan program (KPAN, 2008).

Data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), jumlah kasus AIDS di

Indonesia sampai dengan tahun 2010 secara kumulatif sebanyak 20.564 kasus yang

tersebar di 32 provinsi dan 300 Kabupaten/Kota. Saat ini rasio kasus AIDS antara

laki-laki dan perempuan adalah 31, penularan HIV/ AIDS melalui heteroseksual

50,2%. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur

20-29 tahun (48,7%), selanjutnya kelompok umur 30-39 tahun (30,3%) dan kelompok

umur 40-49 tahun (8,9%). Kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari Jawa Barat, Jawa

Timur, DKI Jakarta, Papua, Bali, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan,

Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Barat (KPAN, 2010). Kasus AIDS ini dideteksi

(25)

Salah satu program dalam rangka untuk meminimaliasi prevalensi HIV/AIDS

adalah dengan konseling dan tes HIV Sukarela (VCT), sampai saat ini pencapaiannya

ada 388 klinik VCT yang aktif sebagai layanan konseling di 118 kabupaten/kota

yang terintegrasi dengan Puskesmas atau layanan kesehatan lainnya seperti Rumah

Sakit, klinik swasta, klinik IMS. Salah satu kendala yang dihadapi adalah rendahnya

pemanfaatan layanan yang tersedia dan terbatasnya jumlah layanan di daerah tertentu

(Depkes RI, 2010a).

Kasus HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Utara tahun 2009 terdapat sebanyak

528 kasus, apabila dibandingkan dengan kasus HIV/AIDS tahun 2008, yaitu

sebanyak 403 kasus, maka kasus yang ditemukan pada tahun 2009 jauh lebih tinggi.

Berdasarkan data yang diperoleh di Klinik VCT RSUP Adam Malik, jumlah

penderita HIV/AIDS dengan jenis kelamin pria mencapai 407 orang lebih tinggi

daripada penderita HIV/AIDS dengan jenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 121

orang. Jumlah kasus baru HIV/AIDS setiap tahunnya akan meningkat. Terkuaknya

kasus HIV/AIDS yang terus meningkat merupakan berkat keberhasilan klinik-klinik

VCT menemukan kasus HIV/AIDS (KPA Provinsi Sumatera Utara, 2010).

Provinsi Sumatera Utara sendiri belum memiliki klinik VCT pada seluruh

Kabupaten dan Kota. Berdasarkan data Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia

(PKVHI), Provinsi Sumatera Utara baru memilki 22 klinik VCT yang aktif tersebar

pada 6 (enam) Kabupaten Kota, salah satu diantaranya adalah klinik VCT Rutan Klas

I Medan yang melakukan kegiatan surveilen epidemiologi penyakit menular melalui

(26)

Jumlah kasus HIV/AIDS tahun 2009, pada lembaga pemasyarakatan di

Indonesia sebanyak 279 orang positif dan 85 meninggal. Upaya mengatasi

permasalahan tersebut telah dibuat strategi penanggulangan HIV/AIDS untuk

lembaga pemasyarakatan yang meliputi penguatan kelembagaan, peningkatan

kapasitas, pelayanan sosial, dan penyuluhan. Dalam pelaksanannya perlu dilakukan

kerja sama dengan berbagai lembaga baik lokal, nasional maupun internasional untuk

menyediakan program yang komprehensif (KPAN, 2010).

Persentase kasus yang positif HIV/AIDS serta yang meninggal akibat

HIV/AIDS di lembaga pemasyarakatan sangat tinggi. Di samping itu jumlah

penghuni yang berisiko HIV/AIDS juga sangat banyak, seperti pengguna narkotika

suntik, sehingga perlu dilakukan upaya untuk penanggulangannya.

Upaya yang dilakukan Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak

Azasi Manusia dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah melalui salah satu strategi,

yaitu kebijakan terwujudnya manusia mandiri yang bebas HIV/AIDS dan

Penyalahgunaan Narkoba di Lapas/Rutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya

menanggulangi masalah penyebaran HIV/AIDS yang sangat memprihatinkan, dimana

hasil kajian pada seluruh Unit Pelayanan Teknis (UPT) lembaga pemasyarakatan di

Indonesia, menunjukkan proporsi HIV/AIDS sekitar 10–20 %. Penanggulangan

HIV/AIDS di Lapas/Rutan perlu dilakukan dengan berbagai ragam pendekatan, baik

melalui pelatihan-pelatihan, pendampingan teknis, serta pengembangan berbagai

(27)

Kasus HIV/AIDS di lembaga pemasyarakatan wilayah Provinsi Sumatera

Utara menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini didasarkan pada hasil surveilens

yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan pada tahun 2005 diperoleh data bahwa di

Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta, dari 279 orang yang diperiksa

13 orang HIV+, di LP Lubuk Pakam dari 173 orang yang diperiksa, 3 orang HIV+,

Rutan Tobasa/Balige, dari 51 orang yang diperiksa, diketahui 3 orang HIV+dan

Rutan Tarutung, dari 31 orang yang di periksa, diketahui 1 orang HIV+ (KPA

Provinsi Sumatera Utara, 2006).

Berdasarkan survei pendahuluan di Klinik VCT Rutan Klas I Medan,

komunitas warga binaan pemasyarakatan yang diberi konseling pada bulan Januari

2011 sebanyak 28 orang, bulan Februari sebanyak 32 orang dan bulan Maret

sebanyak 25 orang, sehingga jumlah keseluruhan sampai dengan bulan Maret 2011

sebanyak 85 orang. Proporsi berdasarkan kelompok umur, seluruhnya pada kelompok

umur 25-49 tahun. Adapun target yang telah ditetapkan oleh Dinas Kesehatan

Propinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 75 orang klien setiap bulannya.

Pelayanan di klinik VCT adalah skrining terhadap setiap penghuni baru,

selanjutnya dilakukan proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing

HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini membantu orang

mengetahui status HIV. Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang HIV

dan manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas

issue HIV yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk

(28)

Mutu pelayanan yang diberikan petugas kesehatan di VCT memengaruhi

cakupan pelayanan yang dilakukan, dimana kualitas (mutu) pelayanan kesehatan

merupakan gabungan dari dua suku kata, yaitu quality (mutu) dan health service

(pelayanan kesehatan). Mutu pelayanan kesehatan sering dipertanyakan banyak

orang, namun penjelasannya seringkali tidak memuaskan sehingga orang memiliki

persepsi yang beragam mengenai mutu tersebut. Menurut Tjiptono (2004), kualitas

atau mutu memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan

hubungan yang kuat dengan perusahaan. Dalam jangka panjang ikatan seperti ini

memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan

serta kebutuhan mereka.

Menurut Azwar (2006), pelayanan kesehatan yang berkualitas adalah suatu

pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, dalam hal ini akan ditentukan oleh profesi

pelayanan kesehatan dan sekaligus diinginkan baik oleh pasien/konsumen ataupun

masyarakat serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan

merujuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang di satu pihak dapat

menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata

penduduk, serta dipihak lain tata cara penyelenggarannya sesuai dengan standar dan

kode profesi yang telah ditetapkan.

Menurut Parasuraman et al. (1990), ada 5 (lima) dimensi yang digunakan

sebagai kerangka konsep dalam mengukur kualitas pelayanan yaitu : (a) tangible

(29)

Pentingnya peningkatan mutu pelayanan kesehatan terhadap warga binaan di

lembaga pemasyarakatan sebagai upaya meningkatkan pemanfaatan pelayanan

kesehatan, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh karakteristik

individu dan mutu pelayanan terhadap pemanfaatan Klinik VCT oleh warga binaan

pemasyarakatan Risiko HIV/AIDS di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan

penelitian ini sebagai berikut: bagaimanakah pengaruh karakteristik individu (umur,

pendidikan dan status perkawinan) dan mutu pelayanan: reliability (keandalan);

responsiveness (cepat tanggap); assurance (kepastian); empaty (empati); dan tangible

(berwujud) terhadap pemanfaatan Klinik VCT oleh warga binaan pemasyarakatan

risiko HIV/AIDS di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ?.

1.3. Tujuan Penelitian

Menganalisis pengaruh karakteristik individu (umur, pendidikan dan status

perkawinan) dan mutu pelayanan: reliability (keandalan); responsiveness (cepat

tanggap); assurance (kepastian); empaty (empati); dan tangible (berwujud) terhadap

pemanfaatan Klinik VCT oleh warga binaan pemasyarakatan risiko HIV/AIDS di

(30)

1.4. Hipotesis

Karakteristik individu (umur, pendidikan dan status perkawinan) dan mutu

pelayanan: reliability (keandalan); responsiveness (cepat tanggap); assurance

(kepastian); empaty (empati); dan tangible (berwujud) berpengaruh terhadap

pemanfaatan Klinik VCT oleh warga binaan pemasyarakatan risiko HIV/AIDS di

Rumah Tahanan Negara Klas I Medan.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1.5.1. Bagi pengembangan Ilmu Administrasi Kebijakan Kesehatan yang berkaitan

dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatan di lembaga pemasyarakatan

melalui penelitian terhadap sarana pelayanan VCT.

1.5.2. Bagi Rutan Klas I Medan, sebagai masukan dalam rangka peningkatan mutu

pelayanan di Klinik VCT sehingga cakuan pelayanan dapat meningkat.

1.5.3. Bagi tenaga kesehatan yang bekerja pada Klinik VCT Rutan Klas I Medan,

sebagai masukan dalam mengupayakan pelayanan kesehatan yang bermutu

(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS

2.1.1 Pengertian HIV/AIDS

AIDS adalah singkatan dari acquired immunedeficiency syndrome, merupakan

sekumpulan gejala-gejala yang menyertai infeksi HIV (Human Immunodeficiency

Virus) (Phair and Chadwick. 1997). Gejala-gejala tersebut tergantung dari infeksi

oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya

daya tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat

infeksi HIV (Yunihastuti, 2005).

HIV, termasuk familia retrovirus. Sel-sel darah putih yang diserang oleh HIV

pada penderita yang terinfeksi HIV adalah sel-sel limfosit T (CD4) yang berfungsi

dalam sistem imun (kekebalan) tubuh. HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit

yang diinfeksinya dan merusak sel-sel tersebut, sehingga mengakibatkan sistem imun

terganggu dan daya tahan tubuh berangsur-angsur menurun (De Cock et al, 2000).

2.1.2 Situasi Epidemi HIV/AIDS a. Status Epidemi Global

AIDS yang pertama kali ditemukan pada tahun 1981 telah berkembang

menjadi masalah kesehatan global. Sekitar 60 juta orang telah tertular HIV dan 25

juta telah meninggal akibat AIDS, sedangkan saat ini orang yang hidup dengan HIV

(32)

menit. Pada tahun 2007 terjadi 2,7 juta infeksi baru HIV dan 2 juta kematian akibat

AIDS (UNAIDS, 2008).

Di Asia terdapat 4,9 juta orang yang terinfeksi HIV, 440 ribu diantaranya

adalah infeksi baru dan telah menyebabkan kematian 300 ribu orang di tahun 2007.

Cara penularan di Asia sangat bervariasi, namun yang mendorong epidemi adalah

tiga perilaku yang berisiko tinggi: Seks komersial yang tidak terlindungi, berbagi alat

suntik di kalangan pengguna napza dan seks antar lelaki yang tidak terlindungi

(UNAIDS, 2008).

b. Status Epidemi di Indonesia

Di Indonesia, kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan pada turis asal

Belanda di Rumah Sakit Sanglah Bali pada tahun 1987. Jumlah orang yang terjangkit

HIV/HIV/AIDS yang sebenarnya di Indonesia sangat sulit diukur dan masih belum

diketahui keadaan sesungguhnya secara tepat. Perkiraan jumlah infeksi HIV dan

kecenderungannya dapat diamati melalui sistem surveilans HIV/HIV/AIDS yang

diselenggarakan secara nasional. Jumlah infeksi HIV dan kasus HIV/AIDS yang

dilaporkan oleh propinsi jauh lebih kecil dari keadaan sesungguhnya. Estimasi yang

dibuat pada tahun 2010 diperkirakan akan terdapat sekitar 90.000 – 130.000 penderita

HIV/AIDS atau sekitar 0,036 – 0,052% dari jumlah penduduk Indonesia (KPAN,

2010). Perkembangan epidemi yang meningkat di awal tahun 2000-an telah

ditanggapi dengan keluarnya Peraturan Presiden nomer 75 tahun 2006 yang

(33)

Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan epidemi yang berkembang

paling cepat (UNAIDS, 2008). Kementerian Kesehatan memperkirakan, Indonesia

pada tahun 2014 akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan

HIV dan AIDS dibandingkan pada tahun 2008 (dari 277.700 orang menjadi 813.720

orang). Ini dapat terjadi bila tidak ada upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang

bermakna dalam kurun waktu tersebut.

Peningkatan penanggulangan HIV dan AIDS yang efektif dan komprehensif

di Indonesia memerlukan pendekatan yang strategik, yang menangani faktor-faktor

struktural melibatkan peran aktif semua sektor. Tantangan yang dihadapi sungguh

besar dilihat secara geografi dan sosial ekonomi, Indonesia berpenduduk terbesar ke

empat di dunia dan terdiri lebih dari 17.000 pulau, dengan sistem pemerintahan

terdesentralisasi mencakup lebih dari 400 kabupaten dan kota dan 33 provinsi. Kasus

HIV telah dilaporkan oleh lebih dari 200 kabupaten dan kota di seluruh 33 provinsi

(KPAN, 2009).

Penyebaran infeksi HIV di Indonesia bervariasi antar wilayah. Kecuali di

Provinsi Papua dan Papua Barat, epidemi HIV pada sebagian besar provinsi di

Indonesia masih terkonsentrasi pada populasi kunci, dengan prevalensi >5%. Di

Provinsi Papua dan Papua Barat, epidemi sudah memasuki masyarakat dengan

prevalensi berkisar 1,36%-2,41% (Depkes RI, 2006).

Mengingat epidemi HIV merupakan suatu tantangan global dan salah satu

masalah yang paling rumit dewasa ini, maka keberhasilan penanggulangan HIV dan

(34)

penanggulangan AIDS secara global. Acuan pengembangan strategi dan rencana di

sektor, pemerintah daerah, swasta, para mitra kerja dan masyarakat dalam

penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Isi strategi dan rencana aksi ini telah

mengacu ke arah kebijakan yang terdapat dalam dokumen Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN); yang selanjutnya akan menjadi acuan

sektor-sektor pemerintah yang terkait untuk mengembangkan strateginya masing-masing.

Rencana aksi nasional ini bagi daerah juga menjadi acuan untuk penyusunan rencana

aksi masing-masing daerah sebagai dasar untuk penyusunan RAPBD. Selain itu di

tingkat nasional dokumen ini menjadi instrumen untuk mobilisasi dana ke tingkat

nasional maupun internasional (Nafsiah, 2009).

c. Kecenderungan Epidemi HIV/AIDS ke Depan di Indonesia

Kecenderungan epidemi HIV ke depan dengan pemodelan memberikan

gambaran yang lebih jelas tentang penularan HIV saat ini dan perubahannya ke

depan. Proses pemodelan tersebut menggunakan data demografi, perilaku dan

epidemiologi pada populasi kunci. Dari hasil proyeksi diperkirakan akan terjadi

hal-hal berikut: (a) peningkatan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun dari

0,21% pada tahun 2008 menjadi 0,4% di tahun 2014, (b) peningkatan jumlah infeksi

baru HIV pada perempuan, sehingga akan berdampak meningkatnya jumlah infeksi

HIV pada anak, (c) peningkatan infeksi baru yang signifi kan pada seluruh kelompok

risiko, (d) perlu adanya kewaspadaan terhadap potensi meningkatnya infeksi baru

(35)

(e) peningkatan jumlah ODHA dari sekitar 404.600 pada tahun 2010 menjadi 813.720

pada tahun 2014, (f) peningkatan kebutuhan ART dari 50.400 pada tahun 2010

menjadi 86.800 pada tahun 2014 (KPAN, 2010).

2.2 Penanggulangan HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan

Menekan angka kematian akibat HIV/AIDS, salah satunya adalah dengan

melakukan upaya pencegahan penularan penyakit yang ada di dalam Lembaga

Pemasyarakatan, serta memberikan pengobatan kepada yang sudah sakit. Meskipun

HIV/AIDS belum menjadi penyebab kematian utama di Lembaga Pemasyarakatan,

tetapi antisipasi terhadap hal tersebut perlu dilakukan. Terlebih lagi karena kasus

narkoba, memiliki kemungkinan sudah terinfeksi HIV sangat tinggi (Dirjen

Pemasyarakatan, 2009).

Hasil Survei Surveilans Perilaku (SSP) tahun 2005 pada Lapas Wanita dan

Rutan di Tanjung Gusta Medan, menunjukkan 90% dari WBP yang pernah menjadi

pengguna narkoba suntik, mengaku melakukan penyunt ikan ber sama teman. Hal

yang mengkhawatirkan adalah pengguna narkoba suntik wanita sebesar 29%

menggunakan jarum suntik secara bersama dengan pacarnya, sedangkan yang berbagi

jarum dengan teman juga cukup tinggi sekitar 55-60% (KPAND SU tahun 2005).

Sero survei yang dilakukan Dinas Kesehatan Sumatera Utara tahun 2005

terhadap 534 WBP dari 4 UPT sebagai sampel, menunjukkan 28 WBP terinfeksi

(36)

pemeriksaan terhadap 323 sampel, 14 orang terinfeksi HIV dan 1 orang IMS

(KPAND SU tahun 2005).

Mengingat masalah ketergantungan NAPZA serta penggunaan NAPZA tidak

lagi terbatas pada masyarakat namun sudah masuk ke dalam lingkungan Lembaga

Pemasyarakatan, serta peningkatan perilaku yang berisiko di dalam Lembaga

Pemasyarakatan termasuk dampak buruknya, maka Kanwil Departemen Hukum dan

HAM Sumatera Utara memandang perlu untuk melaksanakan program

penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan. Sebagai acuannya

adalah Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS dan Penyalahgunaan

Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia Tahun 2005–2009 yang

dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia (KPAND SU tahun 2005).

Guna pelaksanaan Strategi Nasional tersebut sangatlah diperlukan panduan

operasional pelaksanaan program di Lembaga Pemasyarakatan yang dapat dijadikan

acuan bagi para petugas di wilayah Sumatera Utara. Panduan operasional pelaksanaan

program ini menjadi pelengkap dari panduan yang berasal dari Dirjen

Pemasyarakatan, baik panduan tata laksana untuk penanganan narapidana (Napi)

secara umum maupun yang berkaitan dengan penanggulangan HIV dan AIDS Dirjen

Pemasyarakatan, 2009.

2.2.1 Tujuan Penanggulangan HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan

(37)

Lembaga Pemasyarakatan termasuk tahanan dan para petugas Lembaga

Pemasyarakatan. Secara khusus adalah; (a) sebagai pedoman penatalaksanaan

kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan, khususnya

bagi petugas maupun ins tans i yang terkai t dengan program penanggulangan HIV

dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan dan (b) menjaga mutu layanan program

sehingga upaya pencegahan penularan dan peningkatan kesehatan dapat tercapai

secara optimal (Dirjen Pemasyarakatan, 2009).

2.2.2 Pelaksana Penanggulangan HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan

Untuk mendukung pelaksanaan penanggulangan HIVAIDS di Lembaga

Pemasyarakatan perlu dibentuk: Tim Pokja AIDS di Lembaga Pemasyarakatan dan

Tim Pokja Lapas. Tim HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan mempunyai

peran dan fungsi untuk melaksanakan kegiatan pencegahan melalui pendidikan,

konseling dan testing (Voluntary Conseling and Testing) serta perawatan, dukungan

dan pengobatan (Care, Support and Treatment). Untuk melaksanakan peran dan

fungsi tersebut Tim HIV dan AIDS perlu melakukan kerjasama dengan lembaga lain

terutama untuk kegiatan pengobatan, perawatan, dan pemberian dukungan kepada

tahanan (Dirjen Pemasyarakatan, 2009).

Susunan Tim HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan ini sebaiknya

diketuai kepala Lembaga Pemasyarakatan karena akan memudahkan dalam

mengkoordinasikan tugas dari anggota tim serta staf lain dalam Lembaga

(38)

struktur organisasi perlu ada petugas yang bertanggung jawab pada pemberian

informasi dan edukasi, pelayanan medis, melakukan konseling, melayani VCT

(Voluntary Conseling and Testing), dan kegiatan pendampingan pada tahanan yang

terinfeksi (manajemen kasus). Oleh karenanya dalam keanggotaan tim ini perlu

disesuaikan dengan kelembagaan yang sudah ada, sehingga tidak akan terjadi

tumpang tindih kegiatan dan mekanisme kerja antara masing-masing bidang.

Pembentukan tim ini akan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing Lembaga

Pemasyarakatan (Dirjen Pemasyarakatan, 2009).

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) merupakan lembaga yang bertanggung

jawab mengkoodinir dan meng-integrasikan semua kegiatan penanggulangan HIV

dan AIDS yang dilaksanakan oleh berbagai sektor. Dengan belum berjalannya

program yang tertata dalam sistem maka KPA perlu membentuk Kelompok Kerja

(Pokja) untuk membantu sektor terkait dalam pelaksanaannya. Pokja bersifat adhoc

(sementara), apabila program tersebut sudah berjalan dengan optimal dan sistem

sudah terbentuk dan berfungsi maka kemungkinan Pokja tidak diperlukan lagi. Ada

beberapa Pokja berkaitan dengan berbagai program, misalnya Pokja untuk

penanggulangan dampak buruk NAPZA suntik (Harm Reduction) dan Pokja

penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja (Dirjen Pemasyarakatan, 2009).

Berkaitan dengan program penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga

Pemasyarakatan juga perlu dibentuk Tim Pokja Lapas untuk mendukung pelaksanaan

(39)

panduan dan regulasi, serta koordinasi. Sebagai contoh, koordinasi dalam hal

pelayanan dan pengobatan, kerjasama dengan lembaga lain dalam mendukung

pelayanan bagi warga binaan, advokasi pada penentu kebijakan sektoral untuk

mendukung pelaksanaan program di Lembaga Pemasyarakatan. Oleh Karenanya Tim

Pokja Lapas diharapkan melibatkan lintas sektor baik instansi pemerintah maupun

LSM. Tim Pokja Lapas akan sangat berperan dalam membantu kinerja dari Tim

AIDS di Lapas. Sebagai ketua tim Pokja Lapas sebaiknya dari Kepala Lembaga

Pemasyarakatan. Keanggotaan Tim Pokja Lapas melibatkan Dinas Kesehatan, rumah

sakit, pihak kepolisian, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan lembaga terkait

yang dirasa perlu. Dalam pembentukannya diharapkan berkoordinasi dengan Komisi

Penanggulangan AIDS kabupaten/kota setempat. Sebagai contoh, ditingkat provinsi

telah dibentuk Pokja Lapas (SK Gubernur tentang pembentukan pokja LAPAS).

2.2.3 Kebijakan Pelaksanaan Program Penanggulangan HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan

Sebagai acuan pelaksanaan program adalah Strategi Nasional Penanggulangan

HIV dan AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan tahun

2005–2009, dengan menitikberatkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Bahwa Lembaga Pemasyarakatan selain sebagai instansi yang melakukan

pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan, juga harus mampu

memberikan layanan kesehatan yang optimal bagi mereka yang membutuhkannya,

(40)

2. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis yang optimal bagi semua warga

binaan pemasyarakatan harus sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia

sebagaimana termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan

berbagai kebijakan hak asasi manusia internasional dan nasional yang terkait

dengan perlakuan terhadap narapidana dan tahanan.

3. Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi pembinaan harus menyediakan dan

memperluas akses program edukasi pencegahan HIV dan AIDS bagi seluruh warga

binaan pemasyarakatan.

4. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis yang optimal, para petugas

Lembaga Pemasyarakatan, baik medis dan non medis, harus mampu

memperkenalkan manfaat dan pentahapan konseling dan pengujian HIV secara

rinci dengan menggarisbawahi bahwa pengujian HIV dilakukan atas dasar sukarela

kepada warga binaan pemasyarakatan dan dijamin kerahasiaannya.

5. Bahwa pihak yang berwenang untuk memberikan rekomendasi atau inisiasi

konseling dan pengujian HIV adalah dokter Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan

indikasi medis dari warga binaan pemasyarakatan.

6. Bahwa berdasarkan unsur sukarela sebagaimana tersebut pada butir 3, warga

binaan pemasyarakatan memiliki hak untuk menolak pelaksaaan pengujian HIV

terhadapnya.

7. Bahwa untuk mendukung dilaksanakannya layanan klinis yang optimal pada unit

(41)

ditawarkan secara rutin kepada setiap warga binaan pemasyarakatan satu bulan

menjelang selesainya masa tahanan.

8. Bahwa sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, maka tidak akan ada

diskriminasi terhadap warga binaan pemasyarakatan yang terbukti secara klinis

mengidap HIV, baik dalam upaya pembinaan maupun penempatannya.

9. Bahwa bagi warga binaan pemasyarakatan yang terbukti secara klinis mengidap

HIV akan didampingi oleh petugas manajemen klinis dalam pendampingan

psikososial dan akan memperoleh akses pelayanan pengobatan dan perawatan

seoptimal mungkin yang terdiri dari:

− Perawatan dan pengobatan akut, meliputi pengobatan (Infeksi

Opportunistik) IO dan infeksi serta penyakit terkait HIV lainnya.

− Perawatan dan pengobatan kronis, termasuk ARV.

− Perawatan dan pengobatan paliatif, termasuk perawatan menjelang ajal.

10. Warga binaan pemasyarakatan yang telah mengidap AIDS stadium 3 atau 4 dapat

menjalani perawatan yang lebih intensif.

11. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis HIV yang optimal bagi Warga

Binaan Pemasyarakatan Di Lembaga Pemasyarakatan, Tim Medis Lembaga

Pemasyarakatan bekerja sama dengan dokter ahli dari Rumah Sakit Umum

Daerah terdekat.

12. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis HIV yang optimal bagi Warga

(42)

medis yang rumit dan kompleks Tim Medis Lembaga Pemasyarakatan dapat

merujuk RSUD terdekat.

2.2.4 Tatalaksana Penanganan Tahanan Berisiko Tinggi Tertular HIV di Lembaga Pemasyarakatan

Pelaksanaan program penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga

Pemasyarakatan adalah Strategi Nasional penanggulangan HIV dan AIDS tahun

2005-2009 yang menekankan pada pilar utama pendekatan yaitu: (i) Penegakan

hukum dan bimbingan hukum; (ii) Rehabilitasi dan pelayanan sosial; dan

(iii) Pencegahan dan Perawatan (Dirjen Pemasyarakatan, 2009).

Penegakan hukum dan bimbingan hukum dilakukan agar jumlah pengguna

narkoba baru di Lembaga Pemasyarakatan tidak bermunculan. Kegiatan rehabilitasi

dan pelayanan sosial bagi narapidana/tahanan dimaksudkan untuk membantu

pemulihan bagi pengguna narkoba, pengguna NAPZA suntik (penasun) atau yang

terinfeksi HIV. Selain kedua pilar tersebut, pilar ketiga yaitu pencegahan dan

perawatan bagi narapidana/tahanan pengidap HIV-AIDS dilakukanlah pencegahan

dan perawatan, dukungan dan pengobatan (CST). Ketiga pilar tersebut saling terkait

satu dengan yang lainnya dan harus dilaksanakan secara bersamaan agar tujuan dari

strategi penanggulangan HIV dan AIDS dan penyalahgunaan narkoba di Lembaga

Pemasyarakatan di Indonesia dapat tercapai secara efektif dan efisien (Dirjen

Pemasyarakatan, 2009).

Penjabaran operasional dari ketiga pendekatan khususnya upaya untuk

(43)

ke Lembaga Pemasyarakatan sampai mereka dibebaskan. Pola disain pelaksanaan

[image:43.612.139.487.179.453.2]

program dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:

Gambar 2.1 Pola Disain Pelaksanaan Program Penanganan HIV di Lembaga Pemasyarakatan

Sumber : Dirjen Pemasyarakatan (2009)

Kegiatan yang perlu dilakukan pada saat tahanan baru masuk di Lembaga

Pemasyarakatan adalah :

(a). Registrasi atau Pencatatan

Sesuai dengan prosedur yang ada, tahanan yang baru masuk ke Lembaga

Pemasyarakatan akan dilakukan registrasi. Di samping mencatat informasi yang

(44)

latar belakang tahanan seperti apakah mereka berisiko tertular HIV, apakah

tahanan tersebut sudah pernah tes HIV, apakah tahanan sedang menjalani masa

perawatan seperti penggunaan antiretroviral (ARV), atau metadon. Informasi ini

dibutuhkan untuk merencanakan pemberian edukasi, menghindari tes HIV ulang,

melanjutkan pengobatan yang sudah berjalan. Oleh karenanya pada saat registrasi

kepada setiap tahanan yang masuk perlu ditanyakan dan dicatat informasi

mengenai: apakah mereka pengguna narkoba, apakah mereka pernah memakai

narkoba melalui jarum suntik, apakah mereka sering melakukan hubungan seks

yang tidak aman (berganti-ganti pasangan dan tidak menggunakan kondom),

apakah pernah VCT, apakah mereka sedang mengikuti pengobatan (Metadon,

ARV) (Dirjen Pemasyarakatan, 2009)

Penggalian informasi ini dapat dilakukan oleh Tim AIDS Lembaga

Pemasyarakatan atau petugas registrasi yang dilatih. Hasil catatan ini selanjutnya

diserahkan ke Tim AIDS yang akan digunakan sebagai data untuk kegiatan tindak

lanjut seperti edukasi, VCT dan kelanjutan pengobatan (Dirjen Pemasyarakatan,

2009).

(b) Pemberian Informasi HIV dan AIDS

Ada dua kegiatan pemberian informasi HIV dan AIDS yaitu pemberian informasi

tahap awal dan tahap lanjutan. Pemberian informasi tahap awal tentang HIV dan

AIDS segera dilakukan pada semua tahanan, dan kegiatan ini dapat dilakukan

(45)

AIDS serta program yang akan dilakukan. Melalui masa pengenalan ini

diharapkan semua tahanan baru sudah mengetahui informasi dasar HIV dan

AIDS, dan sudah terjadi interaksi dan kedekatan komunikasi anatara tahanan

dengan Tim AIDS, yang akan memudahkan dalam kegiatan selanjutnya selama

tahanan berada di Lembaga Pemasyarakatan. Pemberian informasi pada waktu

Mapenaling sangat penting dan strategis untuk menumbuhkan rasa kepedulian

akan kesehatan diri dan lingkungan, rasa kebutuhan informasi, dan bagaimana

akses kepada Tim AIDS. Akan sangat membantu bila pada masa Mapenaling ini

bisa diidentifikasi tahanan yang sangat berisiko seperti pengguna narkoba suntik,

karena mereka sangat berpeluang terinfeksi HIV. Pemberian edukasi pada

kelompok ini perlu dilakukan secara intesif sampai pada kemauan untuk testing

(Dirjen Pemasyarakatan, 2009).

(c) Edukasi Lanjutan

Sebagai tindak lanjut dari pemberian informasi waktu Mapenaling, perlu ditindak

lanjuti dengan edukasi yang intensif. Pemberian informasi di kelompok Rutan

perlu dirancang dengan baik karena masa tahanan yang singkat. Oleh karenanya

perlu dipikirkan jenis informasi apa saja yang perlu diberikan bila masa tahanan

kurang dari 3 bulan dan yang lebih dari 3 bulan. Kondisi ini berbeda dengan di

Lapas karena tahanan sudah ada ketetapan hukum untuk berapa lama mereka akan

(46)

konseling, testing serta dukungan untuk pengobatan, dan perawatan (Dirjen

Pemasyarakatan, 2009).

2.2.5 Pemberian Perawatan Berkesinambungan (continue of care) di Lembaga Pemasyarakatan

Perawatan berkesinambungan adalah pendekatan penanggulangan HIV dan

AIDS berkesinambungan, terdiri dari pencegahan penularan HIV termasuk

pencegahan penularan dari ibu ke anak, konseling dan testing, perawatan, dukungan,

dan pengobatan. Pendekatan ini bertujuan untuk merespon secara komprehensif

kebutuhan layanan populasi maupun individu di tiap fase perjalanan penyakit dan

juga untuk menyediakan layanan, serta mencegah penyebaran IMS dan HIV (Depkes

RI, 2010b).

Selain upaya pencegahan, komponen perawatan yang berkesinambungan yang

lain adalah Konseling dan Tes HIV, Manajemen Kasus HIV dan AIDS, Perawatan

dan Pengobatan, PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) serta

Diagnosis dan Terapi IMS (infeksi menular seksual). Di dalam Lembaga

Pemasyarakatan tiap komponen dalam perawatan berkesinambungan ini dapat

disediakan oleh Lembaga Pemasyarakatan sendiri, atau melalui rujukan ke Unit

Pelayanan Kesehatan (UPK) di luar Lembaga Pemasyarakatan (Depkes RI, 2010b).

2.2.6 Konseling dan Tes HIV

Tes HIV bermanfaat untuk mengetahui status HIV seseorang sedini mungkin.

(47)

layanan kesehatan sedini mungkin untuk mendapatkan layanan yang dibutuhkan.

Pelayanan konseling diberikan oleh konselor di Lembaga Pemasyarakatan yaitu

petugas pembinaan yang sudah dilatih dan mempunyai sertifikat dari Departemen

Kesehatan (Depkes) Republik Indonesia. Pola pendekatan dalam pelaksanaan

konseling dan testing HIV meliputi: (Depkes RI, 2010b)

a. VCT/KTS (Voluntary Counseling and Testing/Konseling dan Testing Sukarela)

dilakukan secara sukarela oleh tahanan (klien). Melalui edukasi intensif diharapkan

klien secara sukarela meminta konseling dan testing karena ingin tahu status

HIVnya. Sebelum tahanan meminta untuk testing, konselor perlu menjelaskan

tentang manfaat dan tujuan VCT serta tindak lanjut dari tes seandainya hasilnya

nanti positip atau terinfeksi HIV. Konselor perlu melakukan pre dan post konseling

(konseling sebelum dan sesudah tes)

b. Konseling dan Testing HIV yang ditawarkan secara rutin (routine offer/penawaran

rutin). Routine offer diberikan kepada narapidana/tahanan sebulan menjelang masa

pidananya berakhir, agar ia setelah mengetahui status HIV-nya dapat membuat

perencanaan yang lebih lengkap untuk perilaku dan akses layanan kesehatan

setelah bebas. Dalam pendekatan ini, petugas medis menawarkan konseling dan

testing HIV secara rutin sebagai bagian dari paket layanan kesehatan yang

disediakan bagi klien. Namun demikian klien tetap perlu menyatakan diri secara

sukarela ikut serta, tidak boleh ada unsur pemaksaan, klien harus memberikan

(48)

c. Diagnostic HIV testing/PICT Testing), rekomendasi World Health Organization

(WHO) tahun 2006, adalah konseling dan testing yang direkomendasikan oleh

petugas medis atas dasar indikasi medis, namun tidak boleh ada unsur pemaksaan,

klien harus memberikan consent dan mempunyai hak untuk menolak tes HIV.

Prinsip dasar yang harus dilakukan yang berkaitan dengan pelaksanaan testing:

(a) setiap testing HIV harus didahului dengan konseling pre test dan ditindaklanjuti

dengan konseling pasca tes, (b) konselor tes HIV, dokter, dan petugas laboratorium

yang terlibat dalam proses harus menjamin kerahasiaan hasil tes HIV dan perilaku

narapidana/tahanan yang menjadi klien, (c) proses konseling dan testing HIV harus

menjamin privasi klien, (d) klien harus memberikan persetujuan (informed

consent) sebelum tes HIV, (e) hanya klien sendiri yang berhak membuka status

HIV-nya, baik negatif maupun positif, kepada pihak lain selain konselor dan

dokter.

Apabila di Lembaga Pemasyarakatan tidak menyediakan sarana untuk testing

maka perlu dilakukan kerjasama dengan lembaga seperti rumah sakit dan puskesmas

terdekat yang sudah melaksanakan tes HIV. Disarankan pelayanan testing dilakukan

di Lembaga Pemasyarakatan. Petugas kesehatan mengambil spesimen darah di dalam

ruang klinik dan selanjutnya darah diperiksa di laboratorium puskesmas atau rumah

sakit. Hasil tes akan diberikan ke konselor yang ada di Lapas atau Rutan dan

selanjutnya konselor akan memanggil tahanan yang telah diperiksa untuk membuka

(49)

Setelah tahanan mengetahui hasil tes, konselor langsung memberikan

konseling kembali (post counseling), untuk mendiskusikan bersama tindakan apa

yang perlu dilakukan oleh tahanan yang terinfeksi pada hari-hari berikutnya. Untuk

membantu kelancaran pelayanan tes, bahan habis pakai untuk pengambilan darah

sebaiknya juga disediakan di klinik Lembaga Pemasyarakatan, dengan pertimbangan

bahwa puskesmas atau rumah sakit terkait mempunyai keterbatasan sarana tersebut.

Hal ini perlu dibahas bersama antara pihak Lembaga Pemasyarakatan dengan pihak

yang akan melayani tes (Depkes RI, 2010b).

Apabila hasil tes adalah negatif atau menunjukkan belum terinfeksi HIV yang

perlu dilakukan adalah tetap memberikan konseling pasca tes dan yang bersangkutan

tetap mendapatkan program edukasi. Apabila hasil tes menunjukan HIV positif, yang

perlu dilakukan adalah: (a) memberikan konseling pasca tes, (b) tidak didiskriminasi

berdasarkan status HIV-nya, melainkan akan mendapatkan perlakuan yang sama

dengan narapidana/tahanan lain termasuk hak mengakses layanan kesehatan baik di

dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan, (c) tidak akan diisolasi kecuali ada

indikasi medis yang mengharuskan diisolasi, (d) akan didampingi oleh petugas

manajemen kasus kecuali ia menolak (Depkes RI, 2010b).

2.2.7 Pendampingan pada Tahanan yang Terinfeksi HIV

Setelah tahanan mengikuti testing segara akan diketahui hasilnya. Untuk

tahanan yang terinfeksi HIV perlu dilakukan pendampingan, dan hal ini akan

dilakukan oleh manajer kasus dari Tim AIDS Lembaga Pemasyarakatan.

(50)

membutuhkan perawatan dan pengobatan secara medis melainkan juga membutuhkan

dukungan psikologis, sosial, ekonomi, dan spiritual. Petugas manajemen kasus

berfungsi mendampingi dan memfasilitasi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA)

mengakses layanan dan dukungan yang ia butuhkan. Di samping itu, petugas

manajemen kasus juga memberikan dukungan psikologis dan sosial (Depkes RI,

2010b).

Karena itu ia harus mempunyai daftar dan berjejaring dengan berbagai

penyedia layanan yang mungkin dibutuhkan oleh ODHA. Karenanya ia perlu

berkoordinasi dengan dokter, perawat, petugas konseling, rohaniawan, dan staf

pengamanan Lembaga Pemasyarakatan agar kliennya dapat mengakses layanan dan

dukungan yang ia butuhkan, termasuk akses ARV dan dukungan adherence ARV

(Depkes RI, 2010b).

Manager kasus akan membantu klien untuk mengambil keputusan untuk

memenuhi kebutuhannya dan membantu mengkoordinasikan pada pihak terkait.

Misalnya apakah klien akan menggunakan ARV dan ke mana kebutuhan bisa

dipenuhi. Misalnya, bagaimana mendapatkan ARV, apakah perlu diambil ke rumah

sakit, siapa yang akan mengambil, apakah kliennya atau cukup diambil di klinik di

lapas (Depkes RI, 2010b).

2.2.8 Perawatan dan Pengobatan Tahanan yang Terinfeksi HIV

Untuk tahanan yang terinfeksi HIV dapat dilakukan perawatan dan

(51)

penyakit mematikan melainkan penyakit kronis. Ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam pemberian ARV dalam rangka pengobatan. Apabila status

kekebalan tubuh mulai menurun, sebelum memakai ARV atau karena kegagalan

ARV, timbul episode akut berupa infeksi oportunistik. Dalam fase kronis maupun

fase akut, dapat timbul gejala-gejala dan keluhan fisik yang mengganggu (Depkes RI,

2010b).

Keterlambatan memakai ARV, atau kegagalan ARV (karena tidak adherence

atau karena resisten) dapat mengakibatkan kematian ODHA. Memperhatikan

perjalanan penyakit HIV dan AIDS tersebut di atas, jenis perawatan dan pengobatan

yang perlu disediakan untuk ODHA, yang disepakati secara internasional WHO,

terdiri dari Perawatan Kronis, Perawatan Akut, dan Perawatan Paliatif (Depkes RI,

2010b).

Perawatan kronis meliputi antara lain: pengobatan dengan ARV (anti retro

viral), dukungan untuk adherence ARV, profilaksis (pencegahan) beberapa penyakit

infeksi, manajemen klinis masalah kronis (diare, vegetasi jamur, dan demam yang

kumat-kumatan, serta penurunan berat badan), serta pencegahan penularan HIV

(Depkes RI, 2010b).

Perawatan akut meliputi diagnosis, pengobatan serta pencegahan berbagai

macam infeksi oportunistik dan berbagai penyakit terkait HIV, misalnya radang paru,

TB, infeksi saluran pencernaan, infeksi otak, kemunduran fungsi otak, IMS (infeksi

(52)

Perawatan paliatif merupakan perawatan dan pengobatan gejala dan keluhan

yang timbul pada fase akut, kronis, dan menjelang ajal, terdiri dari antara lain

mengatasi nyeri, penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, gangguan buang

air, gangguan psikologis, gangguan tidur, masalah kulit, luka akibat terlalu lama

berbaring, demam, batuk, perawatan dan dukungan menjelang ajal, dan lain-lain

(Depkes RI, 2010b).

Ketiga jenis perawatan tersebut dapat disediakan di layanan kesehatan dasar

yang dapat dilakukan di klinik Rutan dan Lapas, namun bila belum mampu perlu

dilakukan rujukan dengan jejaring kerja sama dan rujukan dengan rumah sakit

setempat atau terdekat untuk layanan rujukan tingkat dua dan tiga sesuai kebutuhan.

Untuk stratum layanan kesehatan dasar, WHO merekomendasikan pendekatan IMAI

(Integrated Management of Adult and Adolescence Illnesses) yang mencakup ketiga

jenis perawatan tersebut disesuaikan dengan kapasitas yang ada (Depkes RI, 2010b).

PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) adalah pencegahan

penularan HIV dari Ibu ke bayinya, yang terdiri dari 4 prong/pilar pendekatan, yaitu:

(a) Prong I : Mencegah penularan HIV kepada wanita usia reproduksi, (b) Prong II :

Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita HIV positif, (c) Prong III

: Mencegah terjadinya penularan dari wanita hamil HIV positif ke bayi yang

dikandungnya, (d) Prong IV : Memberikan dukungan psikologis, sosial, dan

perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya Pencegahan

(53)

Program bagi tahanan pria yang dapat dilaksanakan edukasi dan konseling

bagi narapidana/tahanan pria yang HIV positif, terutama saat akan keluar dari

Lembaga Pemasyarakatan. Edukasi ini menjadi sangat penting dalam upaya

pencegahan penularan HIV kepada pasangannya setelah tahanan bebas. Di samping

edukasi cara mencegah, Tim HIV dan AIDS Lembaga Pemasyarakatan juga perlu

membantu tahanan untuk dapat mengakses lembaga-lembaga yang menyediakan

layanan lanjutan. Program bagi tahanan wanita yang dapat dilaksanakan meliputi:

(a) edukasi bagi semua tahanan wanita dalam upaya pencegahan penularan HIV,

(b) konseling bagi narapidana/tahanan wanita yang HIV positif agar dapat menjaga

kesehatannya dan tidak menularkan pada pasangannya, (c) perawatan bagi tahanan

yang HIV positif dan dalam keadaan hamil bekerja sama dengan RS terdekat untuk

pengobatan ARV profilaksis dan persalinan yang aman. Dukungan oleh

petugas/manajer kasus dan tim klinik Lembaga Pemasyarakatan sangat dibutuhkan

(Depkes RI, 2010b).

2.2.9 Proses Pengalihan Tahanan HIV+ dari Rutan ke Lapas

Proses pengalihan tahanan yang sudah diketahui terinfeksi dari Rutan ke

Lapas perlu ditata kembali dengan maksud untuk menghindari tumpang tindih

kegiatan seperti konseling dan testing serta menindak lanjuti pengobatan yang sudah

berjalan. Rumah Tahanan dimaksud adalah Rutan di kepolisian (Polsek, Polres,

(54)
[image:54.612.127.512.113.379.2]

Gambar 2.2 Proses Pengalihan Tahanan HIV+ dari Rutan ke Lapas Sumber : Dirjen Pemasyarakatan (2009)

Perlu ada kerjasama antar Tim AIDS yang ada di Rutan-Rutan tersebut.

Mekanisme pengaliha

Gambar

Gambar 2.1   Pola Disain Pelaksanaan Program Penanganan HIV di Lembaga Pemasyarakatan
Gambar 2.2 Proses Pengalihan Tahanan HIV+ dari Rutan ke Lapas
Gambar 2.3. Landasan Teori
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

hubungan dukungan suami dengan keberhasilan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan di Dusun II desa Bandar Setia Kecamatan Percut Sei Tuan Medan6. Kesimpulan: Dari

Pada hari ini, Rabu tanggal Tiga Puluh Satu bulan Oktober tahun Dua Ribu Dua Belas, dimulai pukul 09.30 WIB (10.30 WITA), sampai dengan pukul 14.30 WIB (15.30 WITA) telah

TC and LDL-C baseline levels were significantly different among the apo-E genotypes, yet there were no significant effects on lipid and lipoprotein dietary response..

Tahapan diagram alur secara umum dari aplikasi peramalan tingkat kunjungan wisatawan dengan menggunakan metode Average Based Fuzzy Time Series dan Markov Chain

4 Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Dewan Pimpinan Partai Politik atau Tim Kampanye dalam melaksanakan kampaye pemilihan umum bertanggung jawab terhadap

[r]

[r]

Dengan perkembangan fungsi komputer tersebut, penulis melihat bahwa suatu materi pelajaran dapat ditampilkan dalam bentuk animasi dan modul interaktif yang dapat meningkatkan