HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
D. Kekhawatiran terhadap Masa Depan Anak
50 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
Tiga orang responden menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap masa
depan anaknya jika ditanyakan tentang bagaimana harapan mereka terhadap
anaknya di masa yang akan datang.
Responden A :“Ga adalah apa-apa Dek…! Cuma sampai kapanlah aku sanggup kayak gini terus-terusan…, gitu aja! Tapi, kan harus kujalaninya… Ekonomi inilah yang kupikirkan. Tapi, ngutang pun gak pa-palah… Tapi, besarnya dia nanti kekmana ya…?”
Responden D:”Ya, nggak ada apa-apalah… Gimana juga dia mau sekolah kalau kek gitu sakitnya. Kakinya kecil juga, nggak bisa masih jalan.”
Responden F :”Sebenarnya, Kakak nggak terlalu memikirkan ke depannya gimana. Kakak ini tipikalnya enjoy ajalah jadi Ibu. Hadapilah semua sesuai alurnya. Bagaimana dia dewasanya, lihat nanti aja. Pasrahlah… Tapi, memang kadang sakit kepala juga.”
Responden C memang tidak khawatir akan masa depan anaknya karena
menurutnya anaknya tetap bisa hidup normal bila sedang tidak sakit. Namun Ia
menunjukkan kekhawatirannya teradap tindakan medis yang diterima anaknya
terus menerus dan tidak menaruh harapan besar kepada anaknya.
Responden C: “Mengikuti aja. Namanya juga anak, itu yang dikasih, itulah yang kita terima. Banyak berdoa ajalah. Mau maccam mana lagi kan? Kalau kulihat lagi tangannya sudah biru-biru bekas suntik sama infuse, dah kayak pecah lah pembuluh darahnya kutengok. Tapi, bisanya dia sekolah, sudah senang Ibu.”
Responden B tidak menunjujukkan kekhawatirannya secara verbal namun
ekspressi wajahnya menunjukkan adanya kekhawatiran.
Responden : (Diam…)
(Tersenyum)
Mau ndak mau, ya harus siap….!”
Berbeda dengan responden E, Ia tetap merasa optimis dan mengharapkan
kesembuhan bagi anaknya di masa yang akan datang.
51 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009 1.3 Pembahasasan
Anak-anak yang menderita penyakit kronis adalah anak-anak yang
memiliki kebutuhan khusus dalam mempertahankan kesehatan tubuhnya,
memerlukan perawatan rutin dan cenderung mengalami hospitalisasi atau
membutuhkan perhatian tenaga medis (Miller, 2004). Mereka akan tergantung
pada orang-orang di sekitar terutama keluarganya. Kondisi tersebut sangat
mempengaruhi tubuh kembang anak.
Keluarga dengan atau tanpa anak yang menderita penyakit kronis selalu
memiliki masalah yang biasanya muncul dalam keluarga. Oleh karena itu , ketika
anak menderita penyakit kronis , tugas dan tanggungjawab yang secara normal
dihadapi keluarga akan bertambah dan kemungkinan akan menyulitkan anggota
keluarga untuk menghadapinya dengan normal (NJH,2008).
Timbulnya suatu penyakit yang kronis dalam suatu keluarga memberikan
tekanan pada system keluarga tersebut dan menuntut adanya penyesuaian antara si
penderita sakit dan anggota keluarga yang lain (Widyawati, 2002). Menurut
Walsh (2008), keluarga akan menghadapi tantangan dalam menerima dan
menyesuaikan diri dengan anak-anak mereka seperti stress, perubahan pola hidup
keluarga dan tekanan finansial. Selain berusaha untuk beradaptasi dengan kondisi
anak, keluarga juga berjuang untuk mampu menghadapi tekanan dalam menjalani
pengobatan dan kebingungan dalam menghadapi masa depan untuk anaknya.
Berikut diuraikan pengalaman keluarga dengan anak yang menderita
penyakit kronis yang peneliti bagi dalam empat katagori, yaitu pengalaman awal
52 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
penyakit kronis terhadap keluarga dan kekhawatiran masa depan anak dengan
penyakit kronis.
a. Pengalaman Awal Mengasuh Anak dengan Penyakit Kronis
Melalui wawancara yang dilakukan peneliti diketahui bahwa seluruh
responden tidak bisa langsung menerima dan menyesuaikan diri terhadap penyakit
kronis yang diderita oleh anggota keluarga mereka. Dibutuhkan penyesuaian
bertahap pada awal mengasuh anak mereka sampai akhirnya mereka bisa
menerima dan terbiasa menghadapi kondisi anak mereka (Cohen, 1999).
1. Respon Emosional
Respon emosional berupa perasaan sedih, bingung dan cemas merupakan
hal pertama yang dirasakan oleh keluarga ketika mengetahui anak mereka
menderita penyakit kronis dan akan bergantung seumur hidupnya terhadap
pengobatan dan perawatan. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perasaan
tersebut baik dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungannya. Faktor-faktor
tersebut jugalah yang mempengaruhi penurunan tingkat emosi keluarga (Cohen,
1999).
Dari hasil penelitian ini pada umumnya perasaan sedih dialami oleh
seluruh partisipan. Hal ini disebabkan adanya ketidaksesuaian antara harapan dan
kenyataan yang dialami keluarga karena penyakit yang diderita anak mereka
(Kozier et al, 2004). Responden A sampai tidak mampu mengatakan apa-apa
53 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
terlihat dari raut mukanya dengan menunduk dan terdiam ketika ditanyakan
bagaimana perasaannya. Sedangkan Responden A mengungkapkan kesedihannya
karena dia tidak pernah menduga bahwa dua orang anaknya akan menderita
penyakit kronis, apalagi salah satu diantaranya telah meninggal.
Keluarga, khususnya orang tua selalu mengharapkan yang terbaik bagi
anak-anak mereka (Friedman, 1995). Perasaan itu sudah dimulai sejak Ibu
mengandung anaknya. Namun, kenyataan penyakit yang harus diderita anak
mereka dengan segala kondisi dan ketidakberdayaan yang mereka alami
menimbulkan kesedihan bagi keluarga. Menurut peneliti, kenyataan yang mereka
hadapi tidak seperti yang mereka inginkan selama ini. Sehingga menimbulkan
kekecewaan dan kesedihan.
Pernyataan peneliti sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Koblenzer
(2005), dalam penelitiannya tentang respon emotional Ibu ketika mengetahui
anaknya menderita penyakit kronis. Dimana harapan yang dimiliki individu
terhadap anak-anak mereka sangat memepengaruhi perasaan mereka. Ketika
harapan itu tidak sesuai bahkan jauh dari apa yang pernah dibayangkan, akan
menimbulkan kesedihan mendalam dalam diri keluarga.
Keluarga juga merasakan kebingungan ketika mengetahui anak mereka
mengidap penyakit kronis. Berdasarkan wawancara dengan responden C dan D,
perasaan bingung yang mereka alami dikarenakan mereka tidak mengerti tentang
penyakit yang anak mereka alami. Apalagi bagi Responden D, yang mengaku
54 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
anak-anak penderita thalasemia yang dirawat di rumah sakit, sehingga Ia takut
bila membayangkan hal itu terjadi pada anak-anaknya.
Menurut Peneliti, perasaan bingung yang dialami oleh responden
dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang penyakit yang diderita anak mereka.
Mereka belum pernah mendengar nama penyakit tersebut namun mereka langsung
berhadapan dengan keadaan penyakit itu setelah anak mereka didiagnosa
menderita penyakit kronis. Keluarga menjadi kebingungan untuk mengambil
keputusan pengobatan, bingung dalam hal perawatan dan bingung dengan
prosedur pemeriksaan maupun pelayanan medis yang mereka jalani.
Giboa (2000, dalam Giboa 2000), menemukan bahwa keluarga yang
tidak mengetahui kondisi sakit yang dialami oleh anggota keluarga akan merasa
kebingungan dalam menghadapi dan beradaptasi dengan anak mereka. Dalam
penelitiannya Giboa mengidentifikasi sikap bingung yang dialami oleh orangtua
dikarenakan mereka belum begitu akrab dengan jenis penyakit yang diderita oleh
anaknya dan tidak menyangka bahwa salah satu anggota keluarga mereka
mengidap penyakit kronis.
Rasa cemas yang ditunjukkan oleh responden E disebabkan oleh
ketidaktahuan tentang kondisi anaknya dan prosedur pemeriksaan yang harus
dilalui oleh anaknya. Kondisi anaknya yang masih kecil, lemah, ditambah lagi
prosedur pemeriksaan yang lama dan menimbulkan rasa sakit pada anaknya
membuat responden cemas. Selain itu karena pengetahuan tentang penyakit yang
55 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
Dalam penelitian Martin, dkk (2007), menunjukkan adanya hubungan
yang kuat antara rasa sakit dan ketakutan akan kehilangan yang diderita oleh anak
yang menderita penyakit kronis dengan perasaan cemas yang dialami oleh
orangtua. Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa orang tua cenderung
merasa bahwa tindakan medis yang dialui oleh anak mereka merupakan tindakan
yang membahayakan sehingga orang tua cenderung merasa cemas dan sensitif
terhadap tindakan medis.
Pendapat yang sama dinyatakan Madden dkk (2002, dalam Widyawati
2002) meneliti respon emosi ibu yang mempunyai anak hemofilia, dikatakan
bahwa respon ibu bervariasi dari sikap menerima sampai mengalami distres
psikologis yang berat. Rasa takut akan akibat pengobatan yang bakal diterima
anaknya, seperti kesakitan, handicap, bahkan kemungkinan meninggal, menjadi
masalah utama bagi para ibu ini. Sikap ibu yang bisa menerima kondisi anak
sepenuhnya akan dapat berpengaruh positif pada menyesuaian disi si anak
tersebut.
2. Membawa Anaknya ke Pengobatan di luar Medis
Membawa anggota keluarga yang sakit ke fasilitas kesehatan adalah
tugas dan tanggungjawab keluarga termasuk memilih fasilitas kesehatan yang
tepat (Friedman, 1999). Perasaan takut akan kehilangan anak dan kondisi
pengobatan yang tidak pasti serta tidak menjamin kesembuhan membuat keluarga
56 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
Hal tersebut ditunjukkan oleh dua orang responden yaitu Responden B
dan C yang mengaku membawa anak mereka ke pengobatan alternatif di luar
medis atau yang biasa disebut ke pengobatan tradisional. Mereka berharap dengan
membawa anak mereka ke berbagai pengobatan, anak mereka akan mendapatkan
kesembuhan. Terkadang responden mengunjungi lebih dari satu pengobatan
tradisional. Hal ini dianggap sebagai suatu bentuk usaha dari keluarga untuk
kesembuhan anaknya.
Ketidakpastian kesembuhan melalui jalan medis sering menimbulkan da
ketidakpuasan pada keluarga dalam mengupayakan kesehatan anaknya. Hal ini
akan menambah beban psikologis pada anak dan keluarga, menurunkan
kemampuan keluarga untuk meningkatkan kesehatan anak-anak, dan berdampak
dalam mencari dan pemanfaatan pelayanan medis secara berlebihan (Farmer,
2004).
Pengaruh lingkungan dan keluarga besar juga menjadi pendorong bagi
keluarga untuk membawa anaknya ke pengobatan tradisional. Hal ini sangat jelas
diungkapkan oleh responden C. Para orang tua dan keluarga yang dihormatinya
menyarankan agar anaknya diobati dengan pengobatan tradisional dan saran itu
sulit ditolaknya karena mereka adalah orang dihormati dan dituakan di
keluarganya. Sementara responden A, D, E pernah disarankan untuk menjalani
pengobatan di luar medis oleh keluarga dan lingkungannya, tetapi mereka meilih
untuk tidak memanfaatkannya.
Banyak orangtua yang berusaha mencari pengobatan alternatif di luar
57 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
juga dipengaruhi perasaan denial ( penolakan) terhadap diagnosa medis terhadap
kondisi anaknya. Terkadang orang tua mencari pengobatan yang berlebihan
dengan memanfaakan pelayanan kesehatan dan tradisional pada saat yang
bersamaan. Mereka tidak menyadari bahwa tindakan seperti itu malah membuat
kondisi kesehatan anaknya memburuk termasuk keluarga itu sendiri (Widyawati,
2002).
Prilaku mencari pengobatan alternatif di luar medis juga dipengaruhi oleh
budaya yang berlaku dan lingkungan. Bangsa Indonesia memang sangat dekat
dengan pengobatan tradisional. Bukan hal yang aneh jika masyarakat lebih
menyukai pengobatan tradisional karena pengaruh orang-orang di sekitar
terutama orang yang dianggap bijaksana atau dituakan yang menyarankan
keluarga untuk membawa anaknya ke pengobatan tradisional (Widyawati, 2002).
Namun, berbeda dengan empat responden lainnya yaitu responden A,D,E
dan F yang mengetahui adanya pengobatan alternatif atau tradisional namun tidak
memanfaatkannya. Mereka berpendapat pengobatan seperti itu tidak menjamin
kesembuhan anak mereka. Hal itu juga dipengaruhi oleh pengalaman orang di
sekitar mereka yang sering memanfaatkan pengobatan tradisional namun tetap
tidak mendapatkan perkembangan berarti bahkan terkadang malah memburuk.
Penjelasan dari medis dianggap lebih masuk akal dari pada harus mencari-cari
pengobatan lain.
Prilaku mencari pengobatan di luar medis dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan lingkungan (Friedman, 1995). Semakin tinggi tingkat pendidikan
58 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
kecenderungan pemanfaatan pengobatan tradisional (Widyawati, 2002).
Pengalaman dari orang di sekitar juga berpengaruh besar bagi keluarga untuk
memilih pengobatan yang tepat melaui pengobatan medis ketimbang pengobatan
alternatif (Cadman dkk, 1991).
3. Mencari Informasi
Berdasarkan wawancara dengan responden peneliti menemukan bahwa
seluruh responden berusaha mencari informasi tentang apa dan bagaimana kondisi
penyakit yang diderita oleh anak mereka. Hal ini dilakukan untuk memenuhi rasa
igin tahu mereka tentang perawatan dan pengobatan yang harus dijalani oleh
anaknya. Mereka khawatir bila ketidaktahuan mereka tentang kondisi kronis yang
dialami oleh anak mereka akan berdapampak buruk terhadap kesehatan.
Bertanya adalah salah satu cara orang tua untuk mencari informasi.
Mereka akan bertanya tentang jenis penyakit, prosedur pengobatan, cara
merawat, tanda-tanda kekambuhan, dan lain-lain. Para medis dan orang-orang
yang sudah berpengalaman dalam menghdapi anak yang sakit kronis merupakan
sumber informasi utama yang dicari keluarga. Berbagi pengalaman dan sharing
dengan orang lain adalah cara keluarga untuk memenuhi keingintahuan mereka.
Hal senada ditemukan Cohen (dalam Cohen, 1999) dalam penelitiannya
tentang respon keluarga dengan anak yang menderita penyakit kronis. Mencari
59 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
terhadap kondisi kronis yang dihadapi anaknya. Mereka akan berusaha
mengetahui dan memperlengkapi dirinya dengan pengetahuan yang luas. Mereka
takut akan lalai atau salah mengambil tindakan akibat kurangnya informasi yang
mereka miliki.
Menurut orang tua yang bergabung dalam JLS Foundation orang tua
memang harus memperlengkapi dirinya dengan pengetahuan dan informasi yang
cukup dan tepat untuk mencegah terjadinya kesalahan dan kelalaian orangtua
dalam merawat anaknya. Bertanya adalah respon yang positif. Dokter, perawat,
ahli terapi dan orang sudah berpengalaman merupakan sumber informasi yang
tepat. Kadang-kadang anak-anak akan bertanya tentang kondisi penyakit yang
dideritanya. Untuk itu, orang tua perlu mempelajari bagaimana teknik yang baik
dalam menjawab pertanyaan anak-anak agar tidak menimbulkan kekhawatiran
kepada anak-anaknya. Hal seperti akan diketahui bila orang tua mau bertanya dan
sharing dengan orang yang sudah berpengalaman (JLS, 2008).
4. Aspek Budaya
Banyak hal yang dilakukan orang tua pada tahap awal sakit kronis yang
dialami oleh anaknya baik itu melalui pendekatan medis,non medis, bahkan
adat-atau istiadat. Seperti halnya responden B yang bersuku Jawa, mengatakan bahwa
dalam sukunya ada suatu acara doa bersama yang fungsinya untuk memperoleh
kesembuhan apabila ada aggota keluarga yang sakit. Keluarga besarnya akan
datang membawa makanan khususnya makanan kesukaan penderita lalu
60 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
hanya saja Ia melakukannya di kampung halamannya saja. Sementara di tempat
tinggalnya, hal itu tidak dilakukannya.
Dua responden mengakui bahwa menurut suku atau budaya yang mereka,
memang mengenal acara-acara tersebut, namun memilih untuk tidak
memanfaatkannya dengan alasan bahwa kondisi lingkungan mereka tinggal terdiri
dari berbagai macam budaya. Tempat tinggal di daerah perkotaan juga merupakan
salah satu alasan mengapa hal itu tidak dilakukan karena orang-orang yang tinggal
di sekitar mereka tidak memandang hal tersebut menjadi suatu keharusan. Selain
itu, responden E menganggap hal itu sudah tidak perlu dilakukan karena doa tidak
perlu dengan acara khusus.
Budaya tidak pernah lepas dari kondisi sehat-sakit seseorang. Keyakinan
budaya memaknai pengalaman sehat dan sakit individu untuk menyesuaikan diri
secara kultural dengan penyebab penyakit yang rasional, aturan dalam
mengekspresikan gejala, norma interaksi, strategi mencari pertolongan, dan
menentukan hasil yang diinginkan (Kleinman ,1980 dalam C).
Menurut Arthur Kleinman dalam penelitiannya tentang sistem kesehatan
menurut berbagai budaya, adanya budaya yang berbeda-beda juga membuat
kesehatan memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, kita mengenali dan
mengukur perubahannya dengan berbeda (Anderson dan Mc.Farlane 2001). Oleh
karena itu cara-cara yang ditempuh juga berbeda untuk mempertahankan
kesehatan. Dalam keadaan sakit kronis, biasanya keluarga akan menghubungi
61 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
Pada keadaan tertentu faktor budaya jugalah yang mempengaruhi
responden C untuk mengambil keputusan dalam merawat anaknya. Orang-orang
yang dituakan di keluarganya untuk membawa ke pengobatan yang dianjurkan
oleh keluarga besarnya. Ia merasa harus melaksanakannya karena itu adalah
nasehat orang tua atau orang yang dihormati sehingga Ia tak kuasa menolaknya.
Dalam konteks sehat-sakit, kepercayaan, simbol dan kebiasaan kelompok
etnis menjadi referensi yang digunakan oleh anggotanya untuk menilai ketepatan
keputusan da tindakan mereka (Kleinman, 1978, dalam Anderson dan Mc.Farlane
2001). Kadang-kadang kompponen budaya dan etnisitas memegang peran yang
lebih besar dalam perawatan kesehatan dari pada pengalaman dan pengobatan
medis (Anderson dan Mc.Farlane).
b. Pengalaman Tanpa Akhir
Ketika anak menderita penyakit kronis , tugas dan tanggungjawab yang
secara normal dihadapi keluarga akan bertambah dan kemungkinan akan
menyulitkan anggota keluarga untuk menghadapinya dengan normal. Oleh karena
adanya perubahan kondisi, maka keluarga sebagai manusia, harus mampu
menyesuaikan diri dengan kehidupan yang berubah-ubah dalam keluarganya
sebagaimana interaksi antara jasmani, rohani dan lingkungannya (Sunaryo, 2004).
Pada umumnya, keluarga dengan anak yang menderita penyakit kronis
akan membutuhkan perhatian yang lebih dari anak normal seusianya bahkan bisa
62 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
dari berbagai perubahan yang dialami oleh responden baik dari segi kehidupan
sosial, psikologi dan ekonominya.
Menurut peneliti, banyak hal memerlukan adaptasi dari keluarga dengan
anak yang menderita penyakit kronis. Keluarga dituntut untuk mampu
membiasakan diri untuk meluangkan waktu untuk pemeriksaan dan perawatan
anak, meluangkan waktu lebih banyak, memberi perhatian yang konsisten,
siap-sedia menghadapi kekambuhan bahkan memenuhi kebutuhan materi yang lebih
besar dari sebelumnya. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan stres, tekanan
ekonomi, gangguan fisiologis dan fisik, kepasrahan akhirnya menunjukkan
penerimaan dan mencari bantuan dari keluarga, lingkungan maupun lembaga
yang terkait. Hal ini akan dialami keluarga terus-menerus sepanjang hidup
penderita.
Timbulnya suatu penyakit yang kronis dalam suatu keluarga memberikan
tekanan pada system keluarga tersebut dan menuntut adanya penyesuaian antara si
penderita sakit dan anggota keluarga yang lain (Widyawati, 2002). Oleh
karenanya tekanan ekonomi. Psikologi dan sosial akan terus dihadapi oleh
keluarga, hal ini sering disebut sebagai pengalaman tanpa akhir karena memang
hal tersebut akan berlangsung seumur hidup penderita (Hamid, 2004).
Berikut hasil penelitian tentang pengalaman tanpa akhir yang dialami
oleh keluarga dengan anak yang menderita penyakit kronis.
1. Stress
Banyak stressor yang mempengaruhi peningkatan resiko stress dan
63 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
perasaan bingung karena ketidakpastian kondisi sakit dan hasil pengobatan,
konflik sehari-hari dengan peraturan medis, isolasi sosial, aturan-aturan yang
membatasi, dan tekanan finansial adalah stressor yang selalu dijumpai (King,
2001). Oleh karena itu keluarga sangat rentan dengan stress dalam berbagai
kondisi.
Seperti yang dirasakan responden A, yang mengalami stress karena
merasa jenuh dan bosan di rumah sakit untuk menjaga anaknya. Apabila terjadi
kekambuhan ataupun dalam masa kontrol, anak harus mengalami perawatan di
rumah sakit dengan masa perawatan yang tidak bisa ditentukan lamanya.
Ketidakpastian ini membuatnya merasa tidak betah dan bosan harus berada di
rumah sakit terus-menerus. Rasa kasih dan sayanglah yang membuatnya mampu
bertahan dalam kondisi seperti itu.
Mussato (dalam mussatto 2002) dalam penelitiannya tentang adaptasi
keluarga dengan anak yang menderita penyakit kronis menyebutkan bahwa proses
perawatan yang lama menuntut perhatian dan penjagaan yang lama dari orangtua.
Hal ini menimbulkan rasa jenuh, bosan dan tekanan mental dalam diri keluarga.
Namun rasa tanggungjawab terhadap keadaan anak membuat orang tua harus
menerima konsekuensi kondisi kronis anaknya. Kondisi seperti ini sangat
potensial menimbulkan stress.
Tingkat stress yang dihadapi oleh responden D dan F cenderung menurun
dibandingkan pada awal anaknya menderita penyakit kronis. Hal ini dikarenakan
tingkat kecemasannya sudah lebih redah dibandingkan pengalaman awalnya.
64 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.
USU Repository © 2009
mereka lalui ke depannya. Mereka merasa terjebak dengan rutinitas pengobatan
yang sama setiap anaknya kambuh. Meskipun Responden F merasa pasrah dan
lebih mengikuti alur hidupnya, namun tekanan emosionalnya meningkat bila
mengingat perawatan yang terus-menerus dijalaninya bersama anaknya sampai
anaknya dewasa. Hal itu ditandai dengan pernyatannya yang mengatakan bahwa
rambutnya sampai rontok bila mengingat hal tersebut.
Rutinitas pengobatan dan tindakan medis menimbulkan rasa sakit pada
anak-anak yang menderita penyakit kronis. Keluarga, khususnya Ibu sering
merasa takut dan tidak tega setiap kali penyakit anaknya kambuh dan harus segera
dirawat. Rasa sedih yang mendalam selalu mengikuti setiap tindakan keluarga