• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pengalaman Tanpa Akhir 1. Stres

Semua responden menyatakan adanya stress selama mengasuh anak

mereka ketika merawat di rumah dan di rumah sakit.

Responden A :“Ya… Stresslah…, tapi kekmana lagi mau kubilang?”

“Yang kutau dia kanker darah katanya. Itu aja. Kalau anak kita sakit kayak gitukan, streslah…”

“Yah… Rewellah dia… Mau kadang-kadang dia nanya kapan kita pulang, mak… Gitulah katanya kalau pas lagi jenuh dia di rumah sakit.”

“Tapi, memang terkadang kalau pas di rmah sakit, suka tambah stress juga kita menunggu anak kita ditangani,lama kali dek… Kadang harusnya kita bisa cuma seminggu aja paling lama di sana, mau jadi dua minggu.”

Responden D : “Memang waktu 2 bulan pertama itu, waktu dia masuk rumah sakit dia selama sebulan, trus disuruh aku bawa kontrol setiap bulan, stress juganya. Tapi, sejak itulah Ibu sadar…, oh, mungkin kayak ginilah aku terus-terusan nanti. Gitulah pikiranku. Capek

41 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.

USU Repository © 2009

memang, sedih jugalah lihat anak awak kek gitu. Tapi, kek tadilah kan, akupun harus menerima…”

Responden F : ”Bagaimanalah perasaan seorang Ibu, ada cemas dan stresslah. Apalagi masih kecil seperti ini anakku.”

”Sebenarnya, Kakak nggak terlalu memikirkan ke depannya gimana. Kakak ini tipikalnya enjoy ajalah jadi Ibu. Hadapilah semua sesuai alurnya. Bagaimana dia dewasanya, lihat nanti aja. Pasrahlah… Tapi, memang kadang sakit kepala juga. Rontok juga rambutku karena mikirkan dia…“

Responden B tidak mengatakan stressnya secara langsung dengan komunkasi

verbal, tetapi terlihat melalui ekspresinya:

Responden B : (Tersenyum….)

“Ginilah…!”

(Diam dan menunduk…)

(Beginilah keadaanya…)

(Responden mengatakannya dengan muka yang menunduk)

Responden E mengatakan tidak begitu stress dengan kondisi anaknya karena dia

sudah menerimanya sebagai efek dari penyakit yang diderita namun

ketidakpuasan pelayanan rumah sakit yang dia terima setiap kali membawa

anaknya ke rumah sakitlah yang menyebabkan stress. Hal itu juga dialami oleh

responden F.

Responden E :”Saya memang kurang merasa puas dengan apa yang saya dapatkan di rumah sakit, tapi saya tidak menyalahkan siapapun, setiap orang bisa melakukan kesalahan. Mungkin, banyak hal yang perlu mendapat perhatian selain anak saya kalau di rumah sakit. Tapi, itu yang membuat saya agak nggak enak jadinya”

Responden F : ”Bukan mau menyalahkan siapa-siapa, tapi perawatan yang lama, lambat, trus perawat yang kurang bersahabat juga, bikin stress juga. Lama penanganannya kalau di rumah sakit…, itu kan bikin makin besar biaya… Kadang-kadang aku kasihan lihat mereka nggak pelan-pelan mengurus anakku.., apalagi kalau ngasih transfusi atau infus, trus disuntik.”

42 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.

USU Repository © 2009

Untuk Responden C, dia sudah lebih bisa menerima beban yang dirasakan selama

mengasuh anaknya karena sudah terbiasa dan berpengalaman, tapi Ia mengakui

bahwa fikiran dan perasaannya terganggu ketika tiga orang anaknya didiagnosa

haemophili dan anaknya yang ke sembilan meninggal karena ketidaktahuaannya

dalam perawatan.

Responden C :”Macemmanalah…! Orang anak awak ada tiga orang yang kena…!”

“Nggak ada. Karena sudah biasa, jadinya nggak repot lagi. Kan dulu waktu kakaknya yang ke 9 kakaknya Mayang kena itu meninggal. Karena waktu itu nggak taulah awak kayak gitu kan.”

(Bagaimanalah…! Anak saya ada tiga orang yang terkena hemophilia..! Karena sudah terbiasa, saya jadi tidak merasa repot lagi. Kalau dulu kakaknya meninggal, itu karena saya belum tahu tentang penyakit hemophilia)

2. Tekanan Ekonomi

Rata-rata responden merasakan tekanan ekonomi yang semakin berat

dalam mengasuh anak yang sakit kronis disebabkan oleh berbagai macam alasan.

Orang tua harus mengeluarkan dana untuk biaya perawatan rutin dan harus

memenuhi kebutuhan sehari-hari sekaligus memenuhi biaya pendidikan anaknya.

Responden A :“Kan, untungnya dia dapat Jamkesmas… Gratis obatnya, darah juga kalau mau ditransfusi…, walaupun agak lama-lama datang. Harus dibilang berkali-kali dulu. Tapi, uang makan kan kita biayai sendiri. Kek ginilah…, oppungnya dua-dua yang jaga…, kan kami belilah sendiri makanannya… Tapi, apa boleh buatlah…, demi anak…”

“Cuma lapan ratus ribunya… Tapi, udah itulah gaji suami kakak, hasil jual gorengnya…, itu juganya dipake untuk sekolah abangnya, uang makan, semualah… Untung adanya

43 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.

USU Repository © 2009

Oppungnya menjaga, biar bisa kakak kerja.., kalau nggak? Yah…, manalah bisa…”

Responden B :”Ya adalah Dek…, duitnya kan kurang”

“Iya, tapi kan kalau di rumah sakit ada biaya makan kita, belum lagi ongkos-ongkos sama bayar obat lagi yang lain. Ada perlu juga buat sekolahnya… Ya, harus dicukup-cukupkanlah”

Responden D : ”Semua mendukunglah…, membantu kalau bisa membantu. Tapi, seberapalah itu.”

”Ya, cuma kek gitulah Dek…, Bagaimana supaya Ibu bisa ikhlas, terus menjaga, bisa cari uang , itu ajanya yang berat Ibu rasa. Tapi, kalau soal penyakitnya ini, sudah bisa Ibu menerimanya.”

Responden E : ”Ya, memang sangat kuranglah ekonomi kami apalagi untuk biaya pengobatan dia. Jadi, untuk sementara ini, ada yang bantu. Adek kandung saya yang bantu untuk membeli darah dan biaya ongkos kami kalau kontrol. Kami memang diberi keringanan untuk membayar setengah saja harga darahnya. Tapi kayaknya sudah nggak bisa lagi dia membantu nanti. Udah dibilangnya sama saya untuk mencoba berusaha semampunya karena dia juga udah mulai kewalahan. Karena memang biaya makan selama menjaga di rumah sakit kemarin kan, dari dia dan biaya transfusi beberapa kali dengan obatnya.”

Responden F :”Ya, sekarang sudah mulai terasa. Sudah mulai kesulitan. Kami pun harus beli darah,cari biaya untuk ongkos pengobatan dan biaya transportasi. Sementara kebutuhan untuk anak-anak yang lain juga harus difikirkan. Sudah mulai terasalah tekanan ekonominya. Padahal, suami kakak cuma jual ikan.“

Berbeda halnya dengan Responden C karena tanggunggjawab biaya perawatan

ada pada anaknya yang sudah bekerja.

Responden C :“Ada Abangnya dan kakaknya. Kan abangnya banyak, ada yang sudah kerja. Dialah yang mengingatkan Ibu untuk membawa Anak Ibu ini ke rumah sakit kalau mau kontrol dan membiayai makanan dan ongkos Ibu. Kalau Ibu kan nggak kerja, Suami Ibu juga sakit stoke. Jadi, cuma bisa menjaga ajalah, nggak bisa cari uang lagi.”

44 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.

USU Repository © 2009

3.Gangguan Fisiologis dan fisik

Gangguan fisiologis dan fisik seperti ganggguan tidur dan kelelahan

adalah hal yang biasa dialami oleh responden selama merawat anak yang sakit

terutama ketika harus menjaga di rumah sakit.

Responden A : “Oh…, maulah aku kurang tidur memang… Apalagi kalau dia rewel…, trus, kalau jaga di rumah sakit… Maulah aku mual, muntah, masuk angin… Kan capek juga perjalanan dari rumah sampai ke rumah sakit. Sejamanlah kita di jalan. Itu aja… “ Responden B :”Cuma kadang sulit tidur, kalau barus selesai jaga di rumah

sakit.”

Responden C :”Ya, terganggulah sesekali, apalagi kalau dia di rumah sakit. Nggak bisa tidur, capek… Kalau di rumah kan, nggak susah… Hanya nggak bisa kemana-manalah…”

Responden D :”Memang kadang Ibu kurang tidurlah karena dia rewel, apalagi pas lemah. Kalau di rumah sakit, capeknya itulah. Si Zul ini kan belum bisa mandiri walaupun sudah 6 tahun, pipis di celanalah, berakpun gitu. Kalau masak Ibu, mestilah Ibu gendong terus, pas kerja juga, jadi capeklah, memang maunya kurang tidur. Sesekali maulah kepikiran, kok capek kalilah kek gini terus….”

Responden E : ”Itulah… Selama merawat Edi di rumah sakit kan, capek! Ternyata diperiksa, saya kena gula. Sampai luka kaki ini. Saya juga merasa kecapekan, stress, masuk angin,badan pegal-pegal, leher saya sakit. Kalau di rumah bisa bergantian menjaga atau ngurusnya. Kalau nanti ke rumah sakit, cuma saya juga yang bisa menjaga. Abang-abangnya tidak pintar menjaga di rumah sakit. Sering kurang tidur jugalah saya jadinya.”

Responden F : ”Sebenarnya, Kakak nggak terlalu memikirkan ke depannya gimana. Kakak ini tipikalnya enjoy ajalah jadi Ibu. Hadapilah semua sesuai alurnya. Bagaimana dia dewasanya, lihat nanti aja. Pasrahlah… Tapi, memang kadang sakit kepala juga. Rontok juga rambutku karena mikirkan dia…“

45 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.

USU Repository © 2009

Setelah menjalani dan mengikuti beberapa kali pengobatan terhadap

anaknya, stress responden mengalami penurunan. Keluarga menjadi pasrah dan

sudah menerima keaadaan anak mereka termasuk masa depannya maupun semua

prosedur perawatan yang akan mereka jalani untuk anaknya.

Responden A :“Ga adalah apa-apa Dek…! Cuma sampai kapanlah aku sanggup kayak gini terus-terusan…, gitu aja! Tapi, kan harus kujalaninya… ”

Responden B :“Nggak, biasa aja…!Ibu nggak pernah dan nggak mau mikir kayak gitu. Ibu mikirnya, ini kan sakit. Sakit ya diobati, gitu aja.”

“Sudah biasa! Sudah lima tahun bergini…”

Responden C :“Nggak ada. Karena sudah biasa, jadinya nggak repot lagi.”

”Gimanalah… Kan sakit. Tapi, semua mendukung dan membantunya… Sudah taunya orang itu, kalau sakit adeknya, harus berobat, harus dijaga dulu… Kalau kambuh ada yang antar, tapi kalau Mayang, karena masih kecil, harus ikutlah Ibu menjaga. Semuanya saling tolong menolong… Di bantulah biayanya, kalau Mayangnya sakit dan kambuh, ada yang kasih duitnya. Karena kan sudah tiga yang kena, jadi sudah terbiasa.”

”Habis gimanalah… Pernah memang Ibu stress, terkejut juga Ibu melihat nasib Ibu ini , kok kek ginilah penyakit anak awak ini, tiga orang lagi. Sudah meninggal satu. Jadi, Ibu cuma pasrahlah. Mengikuti aja. Namanya juga anak, itu yang dikasih, itulah yang kita terima. Banyak berdoa ajalah. Mau maccam mana lagi kan? Kalau kulihat lagi tangannya sudah biru-biru bekas suntik sama infus, dah kayak pecah lah pembuluh darahnya kutengok. Tapi, bisanya dia sekolah, sudah senang Ibu. Kakaknya kan nggak sering sakit. Jadi, nggak takut kali Ibu. Cuma, Mayang suka sakit, jadi Ibu nggak bisa kemana-mana. Yang penting dijagalah…”

Responden D :”Kek manalah mau dibilang, memang kek gitulah di kasih Tuhan. Kalau ada orang yang susah menerima keadaan seperti itu, yang nggak percaya nya itu sama Tuhan. Tapi, kalau awak, ikhlasnya menerima. Kek manapun itu pemberian Tuhan, titipan Tuhan, haruslah Ibu jaga. Orang-orangpun, keluargapun, nggaknya disalahkan Ibu. Malah didukung, dibantu kalau lagi bisa. Memang waktu 2 bulan pertama itu, waktu dia masuk

46 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.

USU Repository © 2009

rumah sakit dia selama sebulan, trus disuruh aku bawa kontrol setiap bulan, stress juganya. Tapi, sejak itulah Ibu sadar…, oh, mungkin kayak ginilah aku terus-terusan nanti. Gitulah pikiranku. Capek memang, sedih jugalah lihat anak awak kek gitu. Tapi, kek tadilah kan, akupun harus menerima…”

Responden E :”Biasa saja! Kami bisa menyesuaikan diri. Kami bisa menerima ini semua. Ini kan di luar kuasa kita sebagai manusia…”

”Tidak, kami kan sudah bisa menerima ini. Ini adalah ujian. Kita tidak tahu kapan bisa terjadi hal seperti ini. Kalau terganggu sekali, ya tidaklah. Anak saya belum ada yang menikah. Semua membantu bekerja di Ladang.”

Responden F :”Sebenarnya, Kakak nggak terlalu memikirkan ke depannya gimana. Kakak ini tipikalnya enjoy ajalah jadi Ibu. Hadapilah semua sesuai alurnya. Bagaimana dia dewasanya, lihat nanti aja. Pasrahlah… Tapi, memang kadang sakit kepala juga. Rontok juga rambutku karena mikirkan dia…“

5. Mencari Bantuan dari Keluarga, Lingkungan maupun Lembaga Terkait

Responden mengatakan membutuhkan bantuan dari keluarga mereka,

lingkungan maupun lembaga-lembaga yang behubungan dengan penyakit anak

mereka dalam bentuk dukungan, materi maupun informasi.

Responden A :“Untung adanya Oppungnya menjaga, biar bisa kakak kerja.., kalau nggak? Yah…, manalah bisa…”

“Akh.., untungnya ada Neneknya ini ma Atoknya yang jaga dua-dua… Kalau nggak, dari mana uang… Mesti kerjanya kami dua-dua.”

“Kan, untungnya dia dapat Jamkesmas… Gratis obatnya, darah juga kalau mau ditransfusi…,”

Responden B :“Nggak! Paling, adekku mau ngasih makanan sama dia dan Bapaknya. Kalau di rumah, Bapaknya sering jaga, tapi kalau rumah sakit, Ibu sendirian”

Responden C :“Ada Abangnya dan kakaknya. Kan abangnya banyak, Abangnya yang sudah kerja. Dialah yang mengingatkan Ibu untuk membawa Anak Ibu ini ke rumah sakit kalau mau kontrol

47 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008.

USU Repository © 2009

dan membiayai makanan dan ongkos Ibu. Kalau Ibu kan nggak kerja, Suami Ibu juga sakit stoke. Jadi, cuma bisa menjaga ajalah, nggak bisa cari uang lagi.”

“Abangnya kan sudah kerja… Dialah yang bantu. Memang kami pasien jamkesmas, jadi kalau soal darah, pemeriksaan dan obat sudah bisa diringankan. Apalagi ada yayasan yang membantu, yaitu yayasan haemophilia. Orang itu bantu Ibu mencarikan darah, obat dan mengajari Ibu bagaimana cara merawat anak Ibu. Jadi, nggak terlalu repot soal darah. Kalau sudah ada kartu itu, sudah gampang nagambil darahnya ke PMI”

Responden D :”Semua mendukunglah…, membantu kalau bisa membantu. Tapi, seberapalah itu. Kalau orang tua Ibu selalu mengingatkan supaya nggak lupa bawa anakku ke rumah sakit. Kek waktu lebaran kemarin kan, nggak pulanglah Ibu ke kampung, nggak bisa nengok orang tua Ibu karena kumat dia. Jadi, dibilang suami dan keluarga ku, lebih baik nggak usah pulang kampung, asalkan ada biaya ke rumah sakit. Biarpun lebaran, makanya trus cepat-cepat aku ke rumah sakit.”

Responden E :”Adek kandung saya yang bantu untuk membeli darah dan biaya ongkos kami kalau kontrol”.

”Dari orang-orang dirumah sakit itu, dikenalkan kawan-kawan yang ada di sana yayasan namanya Yayasan Buddha Tsu Chi, mereka mau membantu mencari donor darah dan membiayai darah dari PMI sama mengurus surat dan keperluannya. Tapi, belum saya hubungi rencananya seperti itulah… Karena saya tahu, tidak bisa lagi Adek saya itu membantu terus-menerus, sementara ekonomi saya juga kurang, jadi mungkin saya akan menghubungi yayasan itu. Saya sudah dikasih kartu namanya.” Responden F :“Kakak-kakak saya, ya paling membantu menjaga anak-anak

kalau yang paling kecil ini masuk rumah sakit, atau membantu jaga di sana. “

”Ada teman-teman yang kasih tahu yayasan yang bisa membantu. Tapi, tunggulah dia benar-benar positif anemia aplastik, karena sejauh ini menurut pemeriksaan terakhir sih anemia aplastik, tapi masih ada pemeriksaan lanjutan untuk kemungkinan penyakit yang lain, jadi masih sangkaan… Tapi udah ada yang kasih tahu alamatnya waktu di rumah sakit.“

Dokumen terkait