• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari uraian di atas tentang pembinaan dan pengawasan terhadap perdagangan pangan beras yang dilakukan oleh pemerintah maupun pembinaan dan pengawasan di luar pemerintah, masih terdapat kelemahan dari pembinaan dan pengawasan perdagangan beras ini yakni belum optimalnya pelaksanaan pembinaan dan pengawasan tersebut. Hal ini didasarkan sesuai hasil wawancara penulis dengan salah satu pemilik kilang padi, disebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan yang dilakukan terhadap kilang padi tidak

 

secara periodik/rutin dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang untuk itu, namun pengawasan lebih sering dilakukan menjelang adanya hari-hari besar keagamaan dan pada saat adanya laporan kenaikan harga beras di pasaran atau adanya issu pengoplosan beras.

Salah satu penyebab belum optimalnya pembinaan dan pengawasan perdagangan beras ini dimungkinkan karena banyaknya jumlah pedagang ataupun industri kilang padi, sehingga untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan secara rutin kepada setiap pedagang beras dan kilang padi akan memakan waktu, tenaga dan biaya yang sangat besar, seperti pedagang-pedagang beras dipasar tradisional ataupun pedagang beras yang berada di pasar modern (super market). Disamping itu untuk memastikan bahwa beras yang dipasarkan oleh pelaku usaha bebas dari dugaan pengoplosan berbagai jenis beras ataupun pengoplosan dengan menggunakan bahan kimia tidaklah mudah, secara visual konsumen sulit untuk membedakannya. Untuk memastikan ada tidaknya pengoplosan dengan menggunakan bahan kimia harus melalui uji laboratorium sedangkan untuk memastikan adanya pengoplosan dari berbagai jenis kualitas beras, harus didasarkan kepada standar mutu yang ditetapkan pemerintah. Untuk itu konsumen dihimbau untuk lebih berhati-hati dalam memilih beras yang akan dibeli.

Menyikapi kelemahan pembinaan dan pengawasan di atas, pemerintah seyogianya memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat yakni dengan memberikan suatu uraian atau keterangan tentang jenis dan kualitas beras sesuai dengan tingkatan kualitas beras yang terdapat dalam daftar SNI beras (lihat table 1) kepada seluruh kilang padi dan pedagang beras di pasar-pasar tradisional dan pasar-pasar modern, kemudian para pedagang dan pemilik kilang padi tersebut diwajibkan memperlihatkan dengan cara

 

menempelkan standar mutu beras tersebut pada lokasi penjualan berasnya sehingga konsumen yang hendak membeli beras dapat membandingkan kualitas beras dengan harga yang ditawarkan pelaku usaha.

Selain kurang optimalnya pembinaan dan pengawasan terhadap perdagangan beras, pengamatan penerapan mutu hasil beras di industri penggilingan juga belum secara maksimal dilaksanakan. Indonesia telah menerbitkan Standar Nasional Indonesia untuk mutu beras. Yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-6127-1999 (tabel 1 halaman 27). Adanya SNI beras yang telah ditetapkan pemerintah, seharusnya dijadikan acuan terhadap kualitas beras yang beredar di pasaran. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis ke Kantor Perindustrian Sumatera Utara, menyebutkan bahwa sampai dengan saat ini penerapan SNI beras belum maksimal dilakukan khusunya untuk produksi beras lokal atau produk dalam negeri, berbeda dengan produk beras impor, SNI beras sudah diwajibkan.

Belum diterapkannya SNI beras ini secara maksimal untuk produksi beras dalam negeri akan memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk dapat memanipulasi standar mutu beras yang diperdagangkan. Oleh karena itu untuk menghindari adanya pengoplosan beras, penerapan SNI beras yakni dengan pencantuman SNI pada setiap karung beras menjadi suatu keharusan bagi industri penggilingan padi sebelum beras dipasarkan, dengan demikian masyarakat sebagai konsumen dengan mudah dan tanpa ragu- ragu mengetahui dengan jelas bahwa beras yang dibeli adalah beras yang sudah sesuai dengan standar mutu yang ditentukan.

 

Pentingnya penerapan SNI beras memang sangat diperlukan, namun penerapan SNI mendapat kesulitan dalam penerapannya untuk produksi beras lokal/dalam negeri disebabkan beras yang diperjual belikan dipasaran tidak seluruhnya dihasilkan oleh industri-industri penggilingan besar yang mempunyai badan hukum, tetapi produksi beras dapat juga dihasilkan oleh penggilingan padi kecil yang tidak mempunyai badan hukum. Yang dimaksud tidak mempunyai badan hukum adalah tidak mempunyai SIUP, Ijin Gangguan, Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan Ijin Usaha Industri (IUI).

         

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DARI TINDAKAN PENGOPLOSAN BERAS DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Perlindungan Konsumen

Kata konsumen merupakan alih bahasa dari kata “consumer” (Inggris-America), atau consument/konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata consumer adalah setiap orang yang menggunakan barang. Pengertian konsumen secara harfiah berarti “seseorang yang membeli barang atau jasa”, atau “seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”. Dalam arti lain konsumen dikenal juga dengan pengertian “setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.71

Pengertian masyarakat umum saat ini, bahwa konsumen itu adalah pembeli, penyewa, nasabah (penerima kredit), lembaga jasa perbankan atau asuransi, penumpang angkutan umum, pada pokoknya langganan dari pengusaha. Pengertian ini tidaklah salah sebab secara yuridis, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat subjek-subjek hukum dalam hukum perikatan (buku ketiga) yang bernama pembeli, penyewa, peminjam

  71

 AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, (Jakarta: Diadit Media, 2002), Hlm. 3

         

pakai. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang juga ditemukan istilah penumpang yang pengertiannya juga dikelompokkan pada konsumen (pemakai jasa).

Dilihat dari kegunaannya, pengertian konsumen dapat terbagi dalam 3 (tiga) bagian yaitu: 72

1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk di produksi menjadi barang dan/atau jasa lain atau untuk memperdagangkannya. 3. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang/atau jasa

konsumen untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan.

Berdasarkan pembagian konsumen sebagaimana disebutkan di atas, pengertian konsumen yang terakhirlah yang dengan jelas diatur dalam undang-undang perlindungan konsumen. Undang-undang ini mendifinisikan konsumen sebagai berikut :73

“ setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”

Dalam berbagai perundang-undangan di negara-negara lain, secara tegas ditetapkan siapa yang dimaksud dengan konsumen yang harus dilindungi:74

1. Undang-Undang konsumen India, menentukan bahwa konsumen adalah “ setiap orang pembeli barang yang dispakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi

  72

AZ. Nasution, Perlindungan Konsumen; Tinjauan Pada UU No. 8 Tahun 1999, Op.cit.hlm.3

73

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

74

         

tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersil.

2. Dari Undang-Undang Jaminan Produk di Amerika Serikat menunjukkan bahwa konsumen itu adalah: “setiap pembeli produk produsen, yang tidak untuk dijual kembali, dan pada umumnya digunakan untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah tangga”.

3. Hukum Inggris, tidak secara tegas menentukan batasan dari konsumen itu tetapi dari berbagai peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan konsumen akhir diartikan sebagai pembeli pribadi

(private purchaser) yang pada saat membeli barang tertentu, tidak menjalankan bisnis dagang atau keuangan baik sebagian maupun seutuhnya, dari barang tertentu yang dibelinya itu.

Tinjauan pada perundang-undangan di Negara tersebut menunjukkan bahwa konsumen yang dirumuskan di dalam masing-masing perundang-undangan adalah sesuai dengan konsumen akhir atau end user sebagaimana yang diuraikan dalam literatur ekonomi. Berbagai studi dilakukan berkaitan dengan perlindungan konsumen dan telah berhasil membuat batasan tentang konsumen (akhir) antara lain:75

a. Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak untuk diperjual belikan.

b. Pemakai barang atau jasa yang tersedia atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

  75

         

c. Setiap orang atau keluarga yang mendapat barang untuk dipakai dan tidak diperdagangkan.

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu perlindungan hukum mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.76

Perlindungan Konsumen menurut Oxford Dictionary of Law adalah sebagai berikut: “ consumer protections are protection, especially bylegal means, of consumers (those who contract otherwise than in the course of a business to obtain goods of services from those who supply them in the course of a business). It is the policy of current legislation to protect consumers against unfair terms. In particular they are protected against term that attempt to exclude or restricy the seller’s implied undertaking that he has a right to sell the goods, that’s the goods confirm with either description or sample, and that they are merchantable quality and fit for their particular purpose (Unfair Contract Terms Act 1997). Theris also provision for the banning of unfair consumer trade practices (Fair Trade Act 1973). Consumer (including individual businessmen) are also protected when obtaining credit (Consumer Credit act 1974) and there is is provision for imposition of standard relating to the safety of goods unders the consumer protection Act 1987. For trot liability under the consumer protection act)77

Menurut Mochtar Kusumaatmaja, hukum konsumen adalah “ keseluruhan asas- asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah-masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup”.78

  76

Shidarta, Op.cit, hlm. 19

77

Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 8

78

         

Perlindungan konsumen merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen.79

Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut.

Perlindungan Konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1) yaitu :80

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Perlindungan konsumen yang dijamin undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, kepastian hukum meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankannya atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.

Hukum Konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang, maka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Sedangkan hukum perlindungan konsumen

  79

  Ibid, Hlm. 65

80

         

dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang mengadakan hubungan atau bermasalah dalam bermasyarakat itu tidak seimbang.81

Dokumen terkait