PENGOPLOSAN BERAS DALAM PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
TESIS
Oleh
PARLUHUTAN SILITONGA
087005106/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
PENGOPLOSAN BERAS DALAM PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
PARLUHUTAN SILITONGA
O87005106/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : PENGOPLOSAN BERAS DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Nama Mahasiswa : Parluhutan Silitonga
N I M : 087005106
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui: Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a
(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan
Telah diuji pada :
Tanggal : 18 Agustus 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota :1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, Mhum
2. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.Hum
ABSTRAK
Membicarakan tentang pengoplosan beras menjadi sangat penting disebabkan beras merupakan komoditas pangan yang sangat strategis, Fungsi strategis beras terletak pada posisinya yang menjadi pangan pokok (staple food) bagi sekitar 3(tiga) miliar orang atau separuh penduduk dunia. Beras di Indonesia tidak hanya menjadi persoalan ekonomi, tetapi juga bersentuhan dengan sosial politik. Tidak mengherankan apabila beras selalu menjadi masalah penting.
Dari sisi konsumen, pentingnya beras sebagai pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Asia disebabkan karena lebih dari 70% kebutuhan kalori dan protein sebagian penduduk Asia khususnya masyarakat yang berpendapatan rendah, dipenuhi dari beras. Untuk Indonesia, tingkat partisipasi konsumsi beras diperkotaan maupun di pedesaan baik di Jawa maupun di luar Jawa sangat tinggi yaitu 97% sampai dengan 100%.
Masalah pengoplosan beras harus diberikan pada proporsi yang sebenarnya sehingga diperoleh pemahaman dan tindakan yang sama di dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen. Di Indonesia, istilah oplos sering dikonotasikan dengan usaha mencampur dengan maksud untuk mengambil keuntungan tanpa mengindahkan
kualitas. Misalnya tindakan pengoplosan solar atau diesel dengan minyak tanah bersubsidi. Cara sedemikian ini dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar tetapi tindakan ini sudah jelas mengakibatkan kerusakan mesin dan membohongi serta merugikan konsumen. Cara mengoplos yang demikian dapat dikategorikan sebagai penipuan dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan dapat dipidanakan.
Tindakan pengoplosan atau mencampur beras antara suatu kualitas dengan kualitas lain yang berbeda misalnya beras kualitas satu dicampur dengan beras kualitas dua, tiga ataupun kualitas dibawahnya, perlu dikaji lebih mendalam lagi apakah tindakan yang salah dan merugikan masyarakat/konsumen atau melanggar undang-undang perlindungan konsumen.
Pada Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, telah diatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dan Pada Pasal 19 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa “pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan “.
Pasal tersebut di atas mengatur tentang tanggungjawab pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkannya. Dikatakan pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas; kerusakan, pencemaran dan kerugian konsumen.
Apabila pelaku usaha melakukan pelanggaran dalam menjalankan usahanya, akan diberikan sanksi sesuai pada Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya untuk menjamin diperolehnya hak-hak konsumen, dengan dijaminnya hak-hak-hak-hak konsumen tersebut akan memberikan
kepastian hukum bagi konsumen untuk memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhan serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Disamping itu dengan dijaminya hak-hak konsumen akan menciptakan iklim usaha yang sehat. Dalam rangka menciptakan iklim dunia usaha yang sehat perlu dilakukan koordinasi diantara sesama instansi teknis terkait untuk meluruskan dan mendudukkan suatu permasalahan, dalam hal ini masalah pengoplosan beras.
Kata Kunci :
1. Pengoplosan Beras 2. Perlindungan konsumen
ABSTRACT
Talking about “pengoplosan” rice becomes very important because rice is a strategic food commodities, rice strategic function lies in its position that became staple food for about 3 (three) billion people or half the world population. Rice in Indonesia is not only an economic problem, but also social contact with politics. Not surprisingly, when the rice has always been an important issue. From the consumer side, the importance of rice as a staple food for most people in Asia caused by more than 70% of calorie and protein needs some Asian population, particularly low-income communities, full of rice. For Indonesia, the participation rate of rice consumption in urban and rural areas both in Java and outside Java is as high as 97% to 100%.
Pengoplosan action or mix problem of rice should be given to the actual proportions in order to obtain the same understanding and actions in conducting consumer protection. In Indonesia, the term often “oplos” connotations with the business mix in order to take advantage without regard to quality. Eg diesel fuel or diesel pengoplosan action with subsidized kerosene. In such a way is intended to gain a huge advantage but this action was clearly result in damage to machinery and deceive and harm consumers. Such mixing mode can be categorized as fraudulent and contrary to the Law Number 8 Year 1999 concerning consumer protection and can punished
Pengoplosan action or rice mix between a quality different with other qualities such as a quality rice mixed with rice quality two, three or quality underneath, needs to be studied more in depth again whether the action is wrong and detrimental to the public / consumer or violating consumer protection laws.
In Article 8 of the Consumer Protection Act, has been arranged on the prohibited acts for businesses and in Article 19 digits (1) of Law Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection stated that "businessmen responsible for providing compensation for damage, pollution, and / or loss of consumers due to consumption of goods and or services produced or traded. "
Article mentioned above regulate the business responsibilities of the products. It said businesses are responsible to give compensation for; damage, pollution and loss of consumers. If the perpetrators of violations of business conduct in the operations, will be subject to sanctions according to Article 60 through Article 63 Consumer Protection Act.
The government is fully responsible for obtaining guarantees consumer rights, with guaranteed consumer rights would provide legal certainty for consumers to obtain or determine the choice of goods and / or service needs and maintain or defend their rights if harmed by the behavior of business actors provider of consumer needs. Besides, with guaranteed consumer rights will create a healthy business climate. In order to create a healthy business climate needs to be coordination among the relevant technical agencies to stretch and settles a problem, in this case the problem pengoplosan rice.
Key words: 1. Rice mix
2. Consumer Protection
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat dan rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tujuan penulisan tesis ini
adalah untuk melengkapi salah satu syarat menyelesaikan program studi Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Judul tesis adalah : “PENGOPLOSAN BERAS DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”. Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna dan masih banyak
kelemahan serta kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan dan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai
pihak demi kesempurnaan tesis ini.
Pada penulisan tesis ini, penulis telah banyak memperoleh masukan dan
menerima bantuan dari berbagai pihak. Atas saran, masukan dan bantuan baik moril
maupun materil, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari
lubuk hati yang paling dalam kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM). Sp.A(K), Rektor Universitas
Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister;
2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;
3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus pembimbing utama yang
telah memberi arahan dan membantu penulis dalam pennyempurnaan tesis ini;
4. Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum, dan Dr. T. Keizerina Devi A, SH., CN, M.Hum,
selaku komisi pembimbing dengan penuh perhatian memberi dorongan dan bimbingan
kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.
5. Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.Hum dan Dr. Agusmidah, SH, M.Hum, selaku komisi
penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya.
6. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan ilmu
pengetahuan kepada Penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi
Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;
7. Bapak Dirut Perum BULOG dan jajaran Direksi Perum BULOG yang telah
memberikan beasiswa kepada Penulis untuk mengikuti pendidikan Program Studi
Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, beserta
seluruh keluarga besar Perum BULOG Divisi Regional Sumatera Utara, Sub Divre
Kisaran dan Sub Divre Medan yang memberikan masukan dan dorongan semangat
kepada Penulis untuk tetap terus belajar.
8. Isteri dan anak ku tercinta yang telah memberikan dorongan dan dukungan moril dalam
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;
9. Rekan-rekan satu angkatan (XIII) dan staf pegawai dari Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberikan semangat dan dorongan serta
bantuan kepada Penulis untuk kelancaran menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara;
10. Semua pihak yang membantu Penulis yang tidak dapat disebutkan nama dan
jabatannya satu persatu.
Penulis berharap tesis ini dapat memberikan konstribusi bagi semua pihak yang
berkepentingan walaupun tidak luput dari kekurangan. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa
memberikan berkah, karunia dan kekuatan lahir batin kepada kita semua.
Medan, Agustus 2010
Penulis
PARLUHUTAN SILITONGA
RIWAYAT HIDUP
Nama : Parluhutan Silitonga
Tempat/Tgl lahir : Medan, 11 Nopember 1969
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Kristen Protestan
Riwayat Pendidikan : 1. SD. Negeri Sipahutar Tapanuli Utara, Lulus tahun 1982
2. SMP Negeri Sipahutar Tapanuli Utara Lulus Tahun 1985
3. SMA Swasta RK. Tri Sakti Medan, Lulus Tahun 1988
4. Fakultas Pertanian Universitas HKBP Nommensen Medan,
lulus Tahun 1993
5. Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun
2008-2010
D. Manfaat Penelitian ……….. E. Keaslian Penelitian ……….. F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……… ...
1. Kerangka Teori ……….. .. 2. Konsepsi ……… .. G. Metode Penelitian ………..
1. Tipe atau Jenis Penelitian……….
2. Sumber Data ……….
3. Teknik Pengumpulan Data ……… 4. Metode Analisis Data ………
1
BAB II TINDAKAN PENGOPLOSAN BERAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengoplosan Beras ……….
B. Perbuatan yang dilarang Dalam UU . No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen……… C. Pengoplosan Beras ditinjau dari UU No. 8 tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen……….
31
34
38
BAB III PEMBINAAN DAN PENGAWASAN TERHADAP PERDAGANGAN PANGAN
A. Pembinaan dan Pengawasan……….. 1. Departemen Perindustrian dan Perdagangan………… 2. Departemen Kesehatan dan BPOM……….. 3. Perusahaan Perum BULOG……….. 4. Pemerintah Kabupaten dan Kota……….. 5. Polisi Negara Republik Indonesia………..
6. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM) ………. B. Kelemahan Pembinaan dan Pengawasan perdagangan
Beras……….. …..
59
59
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KONSUMEN DARI TINDAKAN PENGOPLOSAN BERAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Perlindungan konsumen ……… B. Hubungan antara konsumen dan produsen……… C. Hak dan kewajiban konsumen……… D. Hak dan Kewajiban pelaku usaha……….. E. Tanggungjawab produsen atau pelaku usaha………… F. Perlindungan konsumen dari pengoplosan beras…….. G. Penyelesaian sengketa konsumen………
64
BAB IV KESIMPULAN
A. Kesimpulan ………
B. Saran………..
104 106
DAFTAR PUSTAKA ………. 109
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komponen fisik beras sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI)
No. 01-6127-1999...…... 27
Tabel 2. Harga Pembelian Pemerintah Terhadap gabah dan Beras
Sesuai Inpres RI No. 7 Tahun 2009 tanggal 29 desember 2009….. 57
ABSTRAK
Membicarakan tentang pengoplosan beras menjadi sangat penting disebabkan beras merupakan komoditas pangan yang sangat strategis, Fungsi strategis beras terletak pada posisinya yang menjadi pangan pokok (staple food) bagi sekitar 3(tiga) miliar orang atau separuh penduduk dunia. Beras di Indonesia tidak hanya menjadi persoalan ekonomi, tetapi juga bersentuhan dengan sosial politik. Tidak mengherankan apabila beras selalu menjadi masalah penting.
Dari sisi konsumen, pentingnya beras sebagai pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Asia disebabkan karena lebih dari 70% kebutuhan kalori dan protein sebagian penduduk Asia khususnya masyarakat yang berpendapatan rendah, dipenuhi dari beras. Untuk Indonesia, tingkat partisipasi konsumsi beras diperkotaan maupun di pedesaan baik di Jawa maupun di luar Jawa sangat tinggi yaitu 97% sampai dengan 100%.
Masalah pengoplosan beras harus diberikan pada proporsi yang sebenarnya sehingga diperoleh pemahaman dan tindakan yang sama di dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen. Di Indonesia, istilah oplos sering dikonotasikan dengan usaha mencampur dengan maksud untuk mengambil keuntungan tanpa mengindahkan
kualitas. Misalnya tindakan pengoplosan solar atau diesel dengan minyak tanah bersubsidi. Cara sedemikian ini dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar tetapi tindakan ini sudah jelas mengakibatkan kerusakan mesin dan membohongi serta merugikan konsumen. Cara mengoplos yang demikian dapat dikategorikan sebagai penipuan dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan dapat dipidanakan.
Tindakan pengoplosan atau mencampur beras antara suatu kualitas dengan kualitas lain yang berbeda misalnya beras kualitas satu dicampur dengan beras kualitas dua, tiga ataupun kualitas dibawahnya, perlu dikaji lebih mendalam lagi apakah tindakan yang salah dan merugikan masyarakat/konsumen atau melanggar undang-undang perlindungan konsumen.
Pada Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, telah diatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dan Pada Pasal 19 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa “pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan “.
Pasal tersebut di atas mengatur tentang tanggungjawab pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkannya. Dikatakan pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas; kerusakan, pencemaran dan kerugian konsumen.
Apabila pelaku usaha melakukan pelanggaran dalam menjalankan usahanya, akan diberikan sanksi sesuai pada Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya untuk menjamin diperolehnya hak-hak konsumen, dengan dijaminnya hak-hak-hak-hak konsumen tersebut akan memberikan
kepastian hukum bagi konsumen untuk memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhan serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Disamping itu dengan dijaminya hak-hak konsumen akan menciptakan iklim usaha yang sehat. Dalam rangka menciptakan iklim dunia usaha yang sehat perlu dilakukan koordinasi diantara sesama instansi teknis terkait untuk meluruskan dan mendudukkan suatu permasalahan, dalam hal ini masalah pengoplosan beras.
Kata Kunci :
1. Pengoplosan Beras 2. Perlindungan konsumen
ABSTRACT
Talking about “pengoplosan” rice becomes very important because rice is a strategic food commodities, rice strategic function lies in its position that became staple food for about 3 (three) billion people or half the world population. Rice in Indonesia is not only an economic problem, but also social contact with politics. Not surprisingly, when the rice has always been an important issue. From the consumer side, the importance of rice as a staple food for most people in Asia caused by more than 70% of calorie and protein needs some Asian population, particularly low-income communities, full of rice. For Indonesia, the participation rate of rice consumption in urban and rural areas both in Java and outside Java is as high as 97% to 100%.
Pengoplosan action or mix problem of rice should be given to the actual proportions in order to obtain the same understanding and actions in conducting consumer protection. In Indonesia, the term often “oplos” connotations with the business mix in order to take advantage without regard to quality. Eg diesel fuel or diesel pengoplosan action with subsidized kerosene. In such a way is intended to gain a huge advantage but this action was clearly result in damage to machinery and deceive and harm consumers. Such mixing mode can be categorized as fraudulent and contrary to the Law Number 8 Year 1999 concerning consumer protection and can punished
Pengoplosan action or rice mix between a quality different with other qualities such as a quality rice mixed with rice quality two, three or quality underneath, needs to be studied more in depth again whether the action is wrong and detrimental to the public / consumer or violating consumer protection laws.
In Article 8 of the Consumer Protection Act, has been arranged on the prohibited acts for businesses and in Article 19 digits (1) of Law Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection stated that "businessmen responsible for providing compensation for damage, pollution, and / or loss of consumers due to consumption of goods and or services produced or traded. "
Article mentioned above regulate the business responsibilities of the products. It said businesses are responsible to give compensation for; damage, pollution and loss of consumers. If the perpetrators of violations of business conduct in the operations, will be subject to sanctions according to Article 60 through Article 63 Consumer Protection Act.
The government is fully responsible for obtaining guarantees consumer rights, with guaranteed consumer rights would provide legal certainty for consumers to obtain or determine the choice of goods and / or service needs and maintain or defend their rights if harmed by the behavior of business actors provider of consumer needs. Besides, with guaranteed consumer rights will create a healthy business climate. In order to create a healthy business climate needs to be coordination among the relevant technical agencies to stretch and settles a problem, in this case the problem pengoplosan rice.
Key words: 1. Rice mix
2. Consumer Protection
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya
menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Tanggal 20
April 1999, Indonesia memiliki instrumen hukum yang integratif dan komprehensif yang
mengatur tentang perlindungan konsumen yaitu dengan diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.1
Pengaturan perlindungan
konsumen tersebut dilakukan dengan2
:
a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan
akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum
b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku
usaha
c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa
d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan
menyesatkan
e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen
dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen adalah adanya kepastian hukum terhadap
1
Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 195
2
segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya
berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan
pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhan serta mempertahankan atau membela
hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha sebagai penyedia kebutuhan
konsumen3
.
Perlindungan terhadap konsumen dipandang semakin penting, mengingat makin
pesat dan lajunya ilmu pengetahuan serta teknologi yang merupakan motor penggerak bagi
produktivitas dan efisiensi produsen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkannya dalam
rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut,
akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan
merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan
yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan
mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia mengingat sedemikian
kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen.
Pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya untuk menjamin diperolehnya hak
konsumen, dengan dijaminnya hak-hak konsumen tersebut akan menciptakan iklim usaha
yang sehat. Dalam rangka menciptakan iklim dunia usaha yang sehat perlu dilakukan koordinasi di antara sesama instansi teknis terkait untuk meluruskan dan mendudukkan
suatu permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, dalam hal ini permasalahan
yang akan dikaji adalah pengoplosan beras.
3
Pengoplosan beras menjadi sangat penting untuk dikaji lebih mendalam lagi
disebabkan beras merupakan komoditas pangan yang sangat strategis, tidak hanya bagi
Indonesia tapi juga bagi negara-negara di dunia terutama di belahan Asia. Beras di
Indonesia tidak hanya menjadi persoalan ekonomi. Tidak mengherankan apabila beras
selalu menjadi masalah penting, tidak saja bagi petani, tetapi juga bagi ekonom, politikus
dan para elite, karena itu kebijakan di bidang beras akan menjadi fokus perhatian semua
pihak.4
Dari sisi konsumen, peran penting beras melebihi kentang, jagung, gandum dan
serealia lainnya. Fungsi strategisnya terletak pada posisinya yang menjadi pangan pokok
(staple food) bagi sekitar 3(tiga) miliar orang atau separuh penduduk dunia. Di banyak
Negara Asia, beras menyediakan 30% - 80 % kebutuhan konsumsi kalori per kapita dan
menjadi gantungan hidup sebagian besar penduduk Asia khususnya masyarakat yang
berpendapatan rendah.5
Untuk masyarakat Indonesia, beras merupakan sumber utama
kalori dengan konsumsi kalori total mencapai 54,3 % artinya lebih dari setengah asupan
kalori bersumber dari beras, demikian pula dengan konsumsi protein, beras merupakan
sumber protein penting karena lebih dari 40 % pemasukan protein disumbang melalui
beras.6
Tingkat partisipasi konsumsi beras diperkotaan maupun di pedesaan, baik di Jawa
maupun di luar Jawa, sangat tinggi; 97-100%.7
4
Khudori, Ironi Negeri Beras (Yokjakarta: INSISTPress, 2008), hlm. v
5
Ibid. 6
Harianto. “Pendapatan, Harga dan Konsumsi Beras”, dalam Achmad Suryana dan Sudi Mardianto.
Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEM FE.UI, 2001
7
Suroso dan Sulastri. “Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Impor Beras Serta Kebijakan
Pemerintah Untuk Melindungi Petani”, Dalam Achman Suryana dan Sudi Mardianto. Bunga Rampai
Konsekuensi dari data-data ini menjelaskan bahwa seseorang yang mengkonsumsi
beras dalam jumlah yang cukup, sangat kecil kemungkinanya untuk kekurangan kalori dan
protein. Sebaliknya, seseorang yang kekurangan mengkonsumsi beras, sementara
kandungan kalori dan protein pangan substitusi tidak terlalu baik, besar kemungkinan akan
kekurangan kalori dan protein. Artinya beras menjadi andalan konsumen dalam
mempertahankan kehidupannya.
Pada umumnya kebijakan perberasan berhubungan dengan ketersediaaan atau
produksi beras serta harga beras yang beredar di pasaran. Untuk kebijakan harga produksi
berorientasi kepada perlindungan harga petani (floor price/harga dasar) dan perlindungan
terhadap konsumen (ceiling price/batas harga eceran tertinggi). Kedua harga produksi
tersebut merupakan petunjuk tentang turut campur tangan pemerintah terhadap sistem
pasar. 8
Masalah perberasan di Indonesia yang sering menjadi fenomena adalah
melonjaknya harga beras yang cukup tinggi disebabkan tingginya permintaan pada saat
menjelang hari-hari besar keagamaan seperti menjelang Ramadhan, Idul Fitri, Natal dan
Tahun Baru serta pada saat-saat adanya Pemilihan Umum. Selain itu beberapa faktor
utama penyebab naiknya harga beras (Tahun 2010) adalah karena :9
8
Khudori, Ironi Negeri Beras Op.cit, hlm. 90
9
a. Pengaruh psikologis dari kebijakan perberasan Indonesia
Yaitu adanya kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan setiap
tahunnya. Untuk tahun 2010, HPP naik 10 persen dibandingkan HPP Tahun 2009
(Instruksi Presiden-Nomor.7 Tahun 2009).10
b. Mundurnya masa tanam yang mengakibatkan mundurnya panen, sehingga masa
paceklik menjadi lebih panjang.
c. Beras bersubsidi (Rasdi) yang belum berjalan penuh atau optimal.
d. Ekspektasi pedagang dengan gencarnya berita tentang kenaikan harga beras dunia.
e. Spekulasi kenaikan harga pupuk yang diperkirakan berlaku mulai bulan April 2010.
f. Hambatan transportasi akibat gangguan cuaca.
g. Stok beras di tingkat petani dan di tingkat penggilingan/pedagang mulai menipis.
Apabila terjadi lonjakan harga beras di pasaran, pada umumnya akan
mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat terhadap komoditi pangan tersebut,
utamanya masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah, sementara di sisi lain para
pelaku usaha akan mengalami penurunan penjualan. Keadaan seperti ini tentu akan
mempengaruhi stabilitas nasional karena kenaikan harga beras berkonstribusi cukup
signifikan pada kenaikan harga umum atau inflasi. Oleh karena itu banyak kebijakan yang
10
diambil pemerintah untuk mengatasi lonjakan harga beras di pasar domestik, mulai dari
pelaksanaan impor beras sampai kepada pelaksanaan operasi pasar yang dilakukan oleh
Perum BULOG. Untuk tahun 2010, Operasi Pasar dilaksanakan sesuai dengan instruksi
Menteri Perdagangan kepada Perum BULOG melalui surat No. 56/M-DAG/SD/1/2010
tanggal 13 Januari 2010.
Masalah pengoplosan beras harus diberikan pada proporsi yang sebenarnya
sehingga diperoleh pemahaman dan tindakan yang sama di dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen. Di Indonesia, istilah oplos sering dikonotasikan dengan usaha
mencampur dengan maksud untuk mengambil keuntungan tanpa mengindahkan kualitas.
Misalnya tindakan pengoplosan solar atau diesel dengan minyak tanah bersubsidi. Cara
sedemikian ini dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar tetapi tindakan ini
sudah jelas mengakibatkan kerusakan mesin dan membohongi serta merugikan konsumen.
Cara mengoplos yang demikian dapat dikategorikan sebagai penipuan dan bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan dapat
dipidanakan.11
Tindakan mencampur beras antara suatu kualitas dengan kualitas lain yang
berbeda, misalnya beras kualitas satu dicampur dengan beras kualitas dua, tiga ataupun
kualitas dibawahnya, perlu dikaji lebih mendalam lagi apakah tindakan yang salah dan
merugikan masyarakat/konsumen atau melanggar undang-undang perlindungan konsumen.
11
B. Perumusan Masalah :
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tindakan pengoplosan beras ditinjau dari Undang-undang
Perlindungan konsumen.
2. Bagaimanakah pembinaan dan pengawasan terhadap perdagangan beras.
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dari tindakan pengoplosan beras
ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan konsumen.
C. Tujuan penelitian:
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui dan mengkaji pengoplosan beras apakah perbuatan yang melanggar
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
2. Untuk mengetahui pembinaan dan pengawasan terhadap perdagangan beras.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen dari tindakan
D. Manfaat Penelitian :
Manfaat dari penelitian ini dibedakan dalam manfaat teoritis dan manfaat praktis
yaitu :
1. Manfaat Teoritis :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut :
a. Memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu
hukum pada umumnya dan pada khususnya yang berhubungan dengan
perdagangan beras.
b.Masukan bagi penegak hukum yang ingin memperdalam, mengembangkan dan
menambah pengetahuan tentang pelaksanaan pengoplosan beras sesuai
undang-undang dan ketentuan yang berlaku.
c.Menambah kasanah perpustakaan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagi berikut :
a. Sebagai masukan bagi pemerintah dan penegak hukum dalam menangani masalah
pelaksanaan pengoplosan beras .
b. Memberikan informasi dan menambah wawasan pemikiran bagi masyarakat tentang
pelaksanaan pengoplosan beras yang benar sesuai ketentuan yang berlaku.
c. Sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan perundang-undangan nasional
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di
Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, maka Penelitian dengan judul “PENGOPLOSAN BERAS DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian, maka dari segi keilmuan penelitian ini dapat dikatakan asli,
sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif serta terbuka. Semua
ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga penelitian
ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah .
F. Kerangka Teori dan konsepsi 1. Kerangka Teori
No state shall make on enforce any law wich shall abridge the privileges or immunities of citizens…, nor shall any state deprive any person of life, liberty, or property without due process of law, nor deny any person within its jurisdiction the equal protection of the laws.
(Tidak satu Negara pun dapat membuat atau menjalankan hukum yang dapat mengurangi hak dan kekebalan dari warga negara…, juga tidak satu negara pun yang dapat menghilangkan kehidupan, kebebasan, atau hak milik dari seseorang tanpa melalui proses hukum yang adil, tidak ada satu negara pun yang dapat menolak perlakuan yang sama terhadap warga negaranya di depan hukum)
(Amandemen XIV dari Konstitusi Negara Amerika serikat)12
12
Keadilan dapat dibagi ke dalam tiga kategori yaitu ; 13
a. Keadilan Kumutatif,
b. Keadilan Distributif dan
c. Keadilan Hukum.
Keadilan kumutatif merupakan suatu keputusan yang konstan untuk memberikan
setiap orang haknya (to give each one his due) dengan tujuan untuk menyesuaikan atau
menyeimbangkan interaksi antar individu, sehingga masing-masing bisa memperoleh
haknya secara sama. Jadi keadilan kumutatif merupakan keadilan yang berasal dari suatu
kebajikan yang khusus dan pada prinsipnya memberlakukan asas “sama rata sama rasa”
tanpa melihat pada kualifikasi pencari keadilan tersebut, jadi keadilan kumutatif
memberlakukan orang secara sama (equal).
Keadilan distributif diartikan sebagai suatu keputusan yang konstan dari negara
sebagai otoritas kekuasaan untuk memberikan setiap orang akan haknya, dengan tujuan
untuk mendistribusikan barang-barang yang dapat dimiliki dalam jenis dan jumlah yang
masing-masing bervariasi, sesuai dengan jasa baik (merits), kecurangan/ketercelaan
(demerits), kemampuan dan kebutuhan dari setiap individu dalam suatu masyarakat.
Sehingga terhadap keadilan distributif ini ada yang menganggap sebagai bagian dari
“keadilan untuk memberi hasil ( remunerative justice) atau keadilan untuk
mempertahankan hak (vindicative justice). Dalam hal ini, keadilan distributif memberikan
setiap orang sesuai prestasinya, atau memberikan setiap orang sesuai tingkat kesalahannya,
karena itu berbeda dengan keadilan kumutatif yang menekankan kepada pengertian
13
“kesamaan”, sedangkan keadilan distributif lebih menekankan kepada pengertian
“proporsional”.
Keadilan hukum (legal justice) berarti keadilan telah dirumuskan oleh hukum
dalam bentuk hak dan kewajiban, dimana pelanggaran terhadap keadilan ini akan
ditegakkan lewat proses hukum, umumnya oleh pengadilan. Namun ada pengertian lain
dari keadilan hukum ini yang sebenarnya lebih merupakan keadilan sosial, yaitu suatu
keputusan yang konstan dari warga negara untuk memberikan kepada negara hak dari
negara tersebut, dengan tujuan untuk menyesuaikan setiap tindakan individu dengan
kepentingan bersama dalam negara.14
Seorang guru besar dalam bidang filosofis moral dari Glasgow University pada
tahun 1750, sekaligus pula sebagai ahli teori hukum, “Bapak ekonomi modern” yakni
Adam Smith mengatakan bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian
(the end of justice is to secure from injury).15
Teori Keadilan Adam Smith, hanya menerima satu konsep atau teori keadilan
yaitu keadilan kumutatif. Alasannya, yang disebut keadilan sesungguhnya hanya punya
satu arti yaitu keadilan kumutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan,
keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak lain.16
Prinsip keadilan kumutatif tersebut adalah sebagai berikut;
14
Ibid, hlm 118
15
R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, dalam Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai
Landasan Pembangunan Ekonmi. Hal. 5
16
1. Prinsip No Harm
Prinsip keadilan kumutatif menurut Adam Smith adalah no harm, yaitu tidak merugikan
dan melukai orang lain baik sebagai manusia, anggota keluarga atau anggota masyarakat
baik menyangkut pribadinya, miliknya atau reputasinya. Pertama, keadilan tidak hanya
menyangkut pemulihan kerugian, tetapi juga menyangkut pencegahan terhadap
pelanggaran hak dan kepentingan pihak lain. Kedua, pemerintah dan rakyat sama-sama
mempunyai hak sesuai dengan status sosialnya yang tidak boleh dilanggar oleh kedua
belah pihak. Pemerintah wajib menahan diri untuk tidak melanggar hak rakyat dan
rakyat sendiri wajib mentaati pemerintah selama pemerintah berlaku adil, maka hanya
dengan inilah dapat diharapkan akan tercipta dan terjamin suatu tatanan sosial yang
harmonis. Ketiga, keadilan berkaitan dengan prinsip ketidakberpihakan (impartiality),
yaitu prinsip perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat.
2. Prinsip Non-Intervention
Di samping prinsip no harm, juga terdapat prinsip no intervention atau tidak ikut campur
dan prinsip perdagangan yang adil dalam kehidupan ekonomi. Prinsip ini menuntut agar
demi jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak seorangpun
diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan kegiatan orang lain.
Campur tangan dalam bentuk apapun akan merupakan pelanggaran terhadap hak orang
tertentu yang merupakan suatu harm (kerugian) dan itu berarti telah terjadi
3. Prinsip Keadilan Tukar
Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan
terungkap dalam mekanisme harga dalam pasar. Dalam keadilan tukar ini, Adam Smith
membedakan antara harga alamiah dan harga pasar atau harga aktual. Harga alamiah
adalah harga yang mencerminkan biaya produksi yang telah dikeluarkan oleh produsen,
yaitu terdiri dari tiga komponen biaya produksi berupa; upah buruh, keuntungan untuk
pemilik modal, dan sewa. Sedangkan harga pasar atau harga aktual adalah harga yang
aktual ditawarkan dan dibayar dalam transaksi dagang di dalam pasar.
Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan. Pelaku
usaha perlu menjual barang dan jasanya kepada konsumen. Sebaliknya konsumen
memerlukan barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dijual oleh pelaku usaha guna
memenuhi keperluannya sehingga kedua belah pihak saling memperoleh manfaat atau
keuntungan.
Dalam prakteknya sering kali konsumen dirugikan oleh pelaku usaha yang tidak
jujur, nakal yang jika ditinjau dari aspek hukum merupakan tindak pelanggaran hukum.
Akibatnya konsumen menerima barang dan atau jasa tidak sesuai dengan kualitas, kuantitas
dan harganya. Di sisi lain karena ketidak tahuan dan kekurang sadaran konsumen akan
hak-haknya maka konsumen menjadi korban pelaku usaha17
.
Lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen juga disebabkan karena
mulai dari proses sampai hasil produksi barang dan atau jasa yang dihasilkan tanpa campur
17
tangan konsumen sedikitpun.18
Pada peristiwa semacam inilah dibutuhkan hukum untuk
memberikan perlindungan konsumen.
Sampai saat ini secara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang secara
universal pula harus dilindungi dan dihormati yaitu :19
a. Hak keamanan dan keselamatan
b. Hak atas informasi
c. Hak untuk memilih
d. Hak untuk di dengar
e. Hak atas lingkungan hidup
Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang
berlaku dalam bidang hukum. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang
tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat
yang terus meningkat. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan kosumen dalam
hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam
perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, termasuk dalam kelompok ini adalah:20
a. Let the buyer beware (caveat emptor)
b. The due care theory
c. The prifity of contract
d. Prinsip kontrak bukan merupakan syarat
18
Husni Syawali, op.cit., hlm. 37
19
Ibid, hlm. 39
20
1. Let the buyer beware (caveat emptor)
Doktrin inisebagai embrio dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas
ini berasumsi pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang
sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Tentu saja dalam
perkembangannya konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap
barang atau jasa yang dikonsumsinya, ketidakmampuan itu bisa karena keterbatasan
pengetahuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidak
terbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkan.
2. The due care theory
Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam
memasyarakatkan produk baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan
produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka
untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan pelaku
usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian. Ditinjau dari beban pembuktian, tampak si
penggugat (konsumen) harus membentangkan bukti-bukti. Si pelaku usaha (tergugat)
cukup bersikap menunggu. Berdasarkan bukti-bukti dari si penggugat barulah ia
membela dirinya, misalnya dengan memberikan bukti-bukti kontra yang menyatakan
dalam peristiwa tadi sama sekali tidak ada kelalaian (negligence). Dalam realita agak
sulit bagi konsumen untuk menghadirkan bukti-bukti guna memperkuat gugatannya,
psikologis, bahkan politis) relatif lebih mudah berkelit, menghindar dari gugatan
demikian, disinilah kelemahan teori ini.
3. The prifity of contract
Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi
konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu
hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang
diperjanjikan. Artinya konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi
(contractual liability). Di tengah minimnya peraturan perundang-undangan di bidamg
konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasar perbuatan melawan hukum (tortius
liability). Walaupun secara yuridis sering dinyatakan, antara pelaku usaha dan
konsumen berkedudukan sama, tetapi faktanya konsumen adalah pihak yang selalu
didikte menurut kemauan si pelaku usaha.
4. Prinsip kontrak bukan merupakan syarat
Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of
contract tidak mungkin lagi dipertahankan secara mutlak untuk mengatur hubungan
antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk
menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.
Dalam etika bisnis, dikenal adanya etika pengakuan yang melihat adanya asimetri
dalam tugas dan kewajiban manusia, disamping itu terdapat teori pemeliharaan hak yang
mengakui tanggung jawab produsen atau penjual atas produk sebagai hasil hubungan yang
(yang lebih kuat). Teori ini melindungi hak-hak pihak yang lemah dan mendukung gagasan
suatu masyarakat moral yang mempraktikkan keadilan.21
Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen,
merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan, sejalan dengan tujuan pembangunan
nasional kita yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Membahas keperluan
hukum untuk memberikan perlindungan bagi konsumen Indonesia, hendaknya terlebih
dahulu kita melihat situasi peraturan perundang-undangan Indonesia khususnya peraturan
atau keputusan yang memberikan perlindungan bagi masyarakat, sehingga bentuk hukum
perlindungan konsumen yang ditetapkan sesuai dengan yang diperlukan bagi konsumen
Indonesia dan keberadaannya tepat apabila diletakkan didalam kerangka sistem hukum
nasional Indonesia.22
Di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, tidak hanya mencantumkan
hak-hak dan kewajiban dari konsumen, melainkan juga hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pelaku usaha, namun kelihatan bahwa hak yang diberikan kepada konsumen
(yang diatur dalam Pasal 4 UUPK ), lebih banyak dibandingkan dengan hak pelaku usaha
(yang dimuat pada Pasal 6 UUPK ), dan kewajiban pelaku usaha (dalam Pasal 7 UUPK )
lebih banyak dari kewajiban konsumen (yang dimuat dalam Pasal 5 UUPK)23
.
21
Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004) hlm. 88
22
Husni Syawali, op.cit, hlm. 8
23
Sebagai konsekuensi dari hak konsumen, maka kepada pelaku usaha dibebankan
kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan
konsumen, diantaranya :24
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa pergantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Selain kewajiban pelaku usaha, di dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen
juga diatur berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai Pasal 8 UUPK 25
. Secara garis besar
larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut
dapat dibagi kedalam dua larangan pokok yaitu: 26
24
Lihat Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999
25
Lihat Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999
26
a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang
layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.
b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang
menyesatkan konsumen.
Berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai Pasal 8 Undang-Undang Konsumen
baik larangan mengenai kelayakan produk, berupa barang dan/atau jasa pada dasarnya
berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan. Kelayakan produk tersebut merupakan “standar minimum” yang harus
dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau
jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi masyarakat luas. 27
Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan undang-undang
tentang perlindungan konsumen dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku
usaha dan konsumen maka setiap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha yang
merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk
meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi
atas kerugian yang diderita oleh konsumen28
.
Tanggung jawab untuk mengganti rugi tidak saja karena dilakukannya perbuatan
melanggar hukum, tetapi juga karena kelalaian atau kurang hati-hati, bahkan tanggung
jawab itu tidak hanya karena perbuatan atau tidak berbuat pelaku sendiri, tetapi juga karena
27
Ibid hlm. 42
28
perbuatan atau tidak berbuat dari orang-orang yang menjadi atau termasuk tanggung
jawabnya (lihat Pasal 1366 dan Pasal 1367 KUHPerdata)29
Tanggung jawab dalam hukum dibagi ke dalam asas tanggung jawab berdasarkan
kesalahan (liability based on fauld) dan tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without fauld). Pada tanggung jawab berdasarkan kesalahan pihak yang menuntut ganti rugi
(penggugat) diharuskan untuk membuktikan bahwa kerugian yang dialaminya disebabkan
oleh perbuatan dan kesalahan dari pihak yang ia tuntut untuk membayar ganti rugi tersebut
(tergugat), sedang pada asas tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without fault)
seseorang bertanggung jawab begitu kerugian terjadi, terlepas dari ada tidaknya kesalahan
pada dirinya. 30
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability
based on fauld) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan
perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366 dan
1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahannya. Yang
dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum, tidak hanya
bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam
masyarakat.31
Harkristuti Harkrisnowo membedakan berbagai perilaku yang merugikan
konsumen yaitu merupakan perbuatan melawan hukum (sebagai kasus perdata) dan tindak
29
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: CV. Triarga Utama, 2002), hlm 77.
30
Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hlm. 82
pidana. Undang-undang Perlindungan konsumen telah memberikan akses dan kemudahan
bagi hak-hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi dan sejumlah tuntutan yang
menyangkut kepentingan konsumen dengan dirumuskan sistem pertanggungjawaban
produk oleh pelaku usaha (product liability).32
Tanggung jawab produk (product liability) adalah suatu tanggung jawab secara
hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture)
atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu
produk (prosessor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual dan
mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.33
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dicantumkan dalam Pasal 1365
KUH Perdata yang berisi “ Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”.
Pengertian perbuatan melawan hukum di Indonesia diterjemahkan dari bahasa
Belanda yaitu “Onrechtmatige daad”. Dalam istilah “melawan” melekat pada sifat aktif
dan pasif. Sifat aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang
menimbulkan kerugian orang lain, jadi sengaja melakukan gerakan sehingga nampak
dengan jelas sifat aktifnya dari istilah “melawan” tersebut. Sebaliknya apabila ia dengan
sengaja diam saja atau dengan perkataan lain apabila ia dengan sikap pasif saja sehingga
32
Harkristuti Harkrisnowo, “Perlindungan Konsumen Dalam Kerangka Sistem Peradilan di
Indonesia”.(Jakarta: Lokakarya Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan konsumen, Kerjasama
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan 1996), hlm. 6
33
Ansorulloh Najmuddin, Dilema Perundang-undangan di Indonesia,
menimbulkan kerugian pada orang lain maka ia telah “melawan” tanpa harus
menggerakkan badanya.34
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lazim dikenal sebagai
Pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur
pokok yaitu :
a) Adanya perbuatan
b) Adanya unsur kesalahan
c) Adanya kerugian yang diderita
d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian
1. Konsepsi
Peranan konsep dalam penelitian ini adalah untuk menghubungkan dunia teori dan
observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan
abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi
operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan
pengertian antara penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga
untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.
Dalam penelitian ini ada dua variable yang terkait yaitu : Pertama, Pengoplos
beras dalam hal ini diartikan sebagai pelaku usaha. Kedua, Perlindungan konsumen. Dari
uraian kerangka teori di atas, peneliti akan menjelaskan beberapa konsep dasar yang akan
digunakan dalam tesis ini antara lain :
34
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen.35
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan36
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi. 37
4. Beras adalah butir padi yang telah dibuang kulit luarnya (biasa disebut sekam atau
epicarp)38
, atau gabah yang telah dikupas dan telah terbebas dari bekatul.39
5. Produk adalah barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam
proses produksi dan menjadi hasil akhirnya dari proses produksi tersebut.40
6. Dari penelusuran literatur yang ada, kata Oplos berasal dari Bahasa Belanda41
. yaitu
“oplossen“ 42
artinya; melebur, larut dan meluluh. Di Indonesia kata oplos sering
dikonotasikan dengan usaha mencampur.
35
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
36
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
37
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
38
Khudori, op.cit., hlm v
39
Abdul Waris Patiwiri, Teknologi Penggilingan Padi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006) hlm. 19
40
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1996) hlm. 254
41
7. Mencampur adalah : menyatukan atau mengumpulkan (dua atau tiga macam benda
dsb) supaya bercampur43
atau memadupadankan satu benda dengan satu atau beberapa
benda lainnya kemudian diolah dan diproses menjadi benda dengan nama yang lain44
.
8. Perum BULOG adalah Perusahaan Umum BULOG yang selanjutnya disebut
Perusahaan adalah Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam
Undang-undang No. 9 Tahun 1969, dimana seluruh modalnya dimiliki Negara berupa kekayaan
Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.45
9. Standar mutu beras adalah persyaratan standar mutu beras berdasarkan Standar
Nasional Indonesia (SNI) No. 01-6127-1999 yang terdiri dari komponen umum dan
komponen fisik beras.
10.Yang dimaksud dengan komponen umum adalah :
a. bebas hama dan penyakit,
b. bebas bau apek, asam atau bau asing lainnya,
c. bebas dari campuran bekatul dan
d. bebas dari tanda-tanda adanya bahan kimia yang membahayakan,
Sedangkan komponen fisik beras ditunjukkan pada tabel di bawah ini :
42
Susi Moeimam, Hein Steinhauer, Kamus Belanda-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005)
43
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976) hlm. 182
44
http://albertusgoentoer, blogspot.com/2009/04/mencampur, diakses 10 Maret 2010. 45
Tabel.1. Komponen Fisik beras sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01- 6127-1999 .
No Komponen
Mutu
Satuan Mutu I
Mutu II
Mutu III
Mutu IV
Mutu V
1 Derajat sosoh (min) (%) 100 100 100 95 85
2 Kadar Air (mak) (%) 14 14 14 14 15
3 Beras Kepala (min) (%) 100 95 84 73 60
4 Butir utuh (min) (%) 60 50 40 35 35
5 Butir Patah (mak) (%) 0 5 15 25 35
6 Butir Menir (mak) (%) 0 0 1 2 5
7 Butir merah (mak) (%) 0 0 1 3 3
8 Butir kuning/rusak (mak) (%) 0 0 1 3 5
9 Butir mengapur (mak) (%) 0 0 1 3 5
10 Butir asing (mak) (%) 0 0 0,02 0.05 0,2
11 Butir gabah (mak) (%) 0 0 1 2 3
12 Campuran Varietas lain (mak) (%) 5 5 5 10 10
G. Metode Penelitian
1. Tipe atau jenis Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada
dalam tesis ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan cara
terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti dan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan dan pendapat ahli hukum maupun praktisi
hukum.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian
kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat
atau pemikiran konseptual yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang
dapat berupa perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.
Sumber data tersebut dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu dari data bahan hukum
primer, sekunder dan tertier.
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat, terdiri dari norma atau
kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, peraturan dasar yaitu batang
tubuh Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan seperti
Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang-Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
dikodifikasikan seperti hukum adat, yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman
penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Bahan Hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai badan hukum primer misalnya rancangan undang-undang, hasil penelitian
hukum, dan hasil karya ilmiah dari kalangan hukum.
Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus
(hukum), ensiklopedia dan lain-lain46
3. Teknik Pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara studi
dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan
identifikasi data. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya
akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang
kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan
disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan
penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif
kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah
dalam penelitian ini akan dapat dijawab.
46
4. Metode analisis data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan menurut permasalahan
yang selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif
dimaksudkan bahwa analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka
melainkan data yang dianalisis digambarkan dalam bentuk kalimat-kalimat. Pendekatan
yuridis normatif artinya data penelitian dianalisis menurut norma-norma hukum tertentu
dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan analisis terhadap pokok bahasan tersebut di atas, maka dapat
dilakukan penafsiran dengan metode interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum. Hasil
dari interpretasi yuridis ini, diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang
BAB II
TINDAKAN PENGOPLOSAN BERAS
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengoplosan Beras
Untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dibutuhkan
makanan yang aman, bermutu, bergizi dan tersedia secara cukup. Dengan demikian
pengadaan dan pendistribusian makanan tersebut harus dilakukan secara jujur dan
bertanggung jawab sehingga tersedia makanan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.382/Men.Kes/Per/IV/89 tentang
Pendaftaran Makanan, Makanan diartikan sebagai “barang yang dimasudkan untuk
dimakan dan diminum oleh manusia, serta semua bahan yang digunakan pada produksi
makanan dan minuman”.47
Pengertian pangan juga dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996
Tentang Pangan pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan:48
“ (1) Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari: sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumen manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain digunakan dalam proses penyiapan, pengelolaan, dan atau pembuatan makanan atau minuman”.
Berkaitan dengan pemenuhan makanan yang aman, bermutu, bergizi dan tersedia
secara cukup, utamanya dalam pemenuhan pangan pokok yaitu beras, tidak tertutup
kemungkinan terdapat upaya-upaya yang tidak jujur dari pelaku usaha dalam menghasilkan
47
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 382/men.Kes/Per/IV/89 Tentang Pendaftaran Makanan.
48
lain50
.
beras tersebut sehingga beras yang diterima oleh masyarakat tidak memenuhi syarat : aman,
bermutu dan bergizi, akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi konsumen. Sebagai
antisipasinya para konsumen dituntut untuk bersikap kritis dan cerdas dalam mencermati
pemilihan beras yang akan dikonsumsi.
Untuk menyatukan persepsi dalam pembahasan tentang pengoplosan beras, maka
perlu diberikan pembatasan pengertian tentang “oplos”. Dari berbagai literatur yang
ditelusuri, kata Oplos berasal dari Bahasa Belanda49
, yaitu : “oplossen” yang berarti
“larut”. Di Indonesia istilah “oplos ” sering dikonotasikan sebagai usaha mencampur
dengan maksud untuk mengambil keuntungan tanpa mengindahkan kualitas. Mencampur
adalah memadupadankan satu benda dengan satu atau beberapa benda lainnya kemudian
diolah dan diproses menjadi benda dengan nama yang
Rahardi Ramelan, menyatakan mencampur dalam arti kata “blending”, merupakan
usaha yang biasa dilakukan di dalam perdagangan, khusunya komoditi pertanian untuk
mendapatkan komposisi dan rasa khas maupun kualitas yang diinginkan konsumen,
penggilingan besar melakukan blending untuk mendapatkan kualitas dan harga yang tepat
dan memakai merek atau brand tertentu untuk memudahkan pemasarannya. Demikian juga
yang dilakukan pedagang besar yang menampung beras dari berbagai daerah, melakukan
blending untuk menghasilkan rasa, kualitas dan harga yang tepat bagi konsumen.51
Proses pelaksanaan pengoplosan beras dapat digambarkan sebagai berikut:
49
Susi Moeimam, Hein Steinhauer, Kamus Belanda-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005)
50
Goentoer Albertus, http://albertusgoentoer, blogspot.com/2009/04/mencampur, diakses tanggal 10 Maret 2010
51
Beras
Menteri Perdagangan dalam kunjungannya ke Pasar Induk Beras Cipinang, 21
Januari 2010, menyatakan apabila pedagang melakukan pencampuran beras, pelaku usaha
harus tetap berpatokan kepada undang-undang perlindungan konsumen. Apabila pedagang
mencampur beras berkualitas medium tiga dengan beras berkualitas medium satu,
pedagang harus menjual beras dengan beras kualitas medium dua, jangan lantas menjualnya
dengan harga medium satu sehingga kembali mengorbankan konsumen.52
Nurul Khumaida, menyebutkan pemberitaan di salah satu majalah Jepang, dimana
Polisi Jepang menangkap pedagang beras karena dituduh melakukan tindakan kriminal
yakni mencampur beras yang berbeda kualitas. Pengoplosan itu diduga dilakukan untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya yakni dengan cara mencampur beras
kualitas A dengan beras kualitas B, lantas hasil pencampuran tersebut dijual dengan beras
Kualitas A. Polisi Jepang dengan mudah menangkap pelaku usaha tersebut karena polisi
dengan gamblang dapat membedakan beras kualitas A dengan beras oplosan.53
B. Perbuatan yang dilarang Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen dan Perundang-undangan lainnya
Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, secara
umum hanya menyebut dan mengatur barang dan atau jasa yang diproduksi atau
diperdagangkan, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
52
http://anindityo@ mediaindonesia.com, diakses tanggal 07 Mei 2010
53