• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terjadinya sengketa akibat adanya perbedaan pandangan atau pendapat antara para pihak tertentu mengenai hal tertentu. Itulah pendapat orang pada umumnya jika ditanya akan apa yang dimaksud dengan sengketa. Sengketa akan timbul apabila salah satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain tidak merasa demikian.

       109

Pasal 41 Undang-Undang No. 7 tahun 1996 Tentang Pangan

110

 Pasal 43 Undang-Undang No. 7 tahun 1996 Tentang Pangan

111

 

Menurut AZ. Nasution,112

sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu. Sedangkan Shidarta113

menyatakan bahwa sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata negara.

Kata-kata “sengketa konsumen” dijumpai pada beberapa bagian dari Undang- Undang Perlindungan Konsumen, yaitu :114

1. Penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi administrasi negara yang mempunyai/menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, seperti tertulis pada Bab X sampai dengan Bab XI Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

2. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa konsumen secara konsisten, yaitu Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pemahaman pengertian sengketa konsumen dalam kerangka UUPK adalah :

Pertama, batasan konsumen dan pelaku usaha menurut UUPK, berikut kutipan batasan

keduanya :

“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. (Pasal 1 angka 2 UUPK)”.115

“ Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan huukum yang didirikan dan berkedudukan atau

       112

AZ. Nasution, Op.cit., hlm. 221

113

 Shidarta , Op.cit., hlm 135 

114

 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

115

 

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi’. (Pasal 1 angka 3 UUPK)116

Kedua, batasan Badan Penyelesaian sengketa Konsumen (BPSK) Pasal 1 angka 11 UUPK

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “sengketa konsumen” yaitu sengketa pelaku usaha dengan konsumen. Pelaku usaha yang dimaksud adalah :

1. Setiap orang atau individu

2. Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum

Selengkapnya Pasal 1 angka 11 berbunyi :117

“ Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”.

Jadi sengketa sesama pelaku usaha adalah bukan sengketa konsumen, karena itu ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPK tidak dapat digunakan untuk menyelesaikannya. Menurut UUPK, penyelesaian sengketa konsumen memiliki kekhasan, karena sejak awal para pihak yang berselisih, khususnya dari pihak konsumen, dimungkinkan menyelesaikan sengketa itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum dan konsumen dapat memilih penyelesaian di luar pengadilan.

Hal mana dipertegas oleh Pasal 45 ayat (2) UUPK tentang penyelesaian sengketa, yang mengatakan:118

penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) UUPK dihubungkan dengan

       116

 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 

117

 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 

118

 

penjelasannya, maka dapat disimpulkan penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut :119

a. Penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melibatkan pengadilan atau pihak ketiga yang netral. Penyelesaian sengketa konsumen melalui cara-cara damai tanpa mengacu pada ketentuan Pasal 1851 sampai pasal 1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang pengertian, syarat-syarat dan kekuatan hukum dan mengikat perdamaian

(dading).

b. Penyelesaian melalui pengadilan.Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan-ketentuan peradilan umum yang berlaku.

c. Penyelesaian di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Sebagaimana sengketa hukum pada umumnya, sengketa konsumen harus diselesaikan. Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan menempuh salah satu dari ketiga cara penyelesaian yang ditawarkan oleh Pasal 45 Ayat (2) di atas, sesuai keinginan dan kesepakatan para pihak yang bersengketa sehingga dapat menciptakan hubungan baik antara perusahaan/pelaku usaha dengan konsumen.

1. Penyelesaian sengketa melalui peradilan umum

Pasal 45 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaiakan sengketa

       119

Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, cetakan pertama, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 224

 

antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum mengacu kepada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 di atas. Adapun yang berhak melakukan gugatan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha diatur dalam Pasal 46 Ayat (1) UUPK, yaitu :120

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama

c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan /atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Pengaturan yang diberikan oleh Pasal 46 ayat (1) UUPK maksudnya adalah:

1. Bahwa secara personal (gugatan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan) sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a Pasal 46 Ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana yang ditentukan dalam UUPK atau melalui peradilan di lingkungan peradilan umum.

2. Sedangkan gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana yang dimaksud huruf b, huruf c dan huruf d Pasal 46 Ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum. Penyelesaian melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku saat ini.

Mengenai gugatan sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama sebagaimana yang diatur huruf b Pasal 46 ayat (1) UUPK, dalam penjelasan Pasal 46 Ayat (1) huruf b UUPK, ditegaskan bahwa :

       120

 

“ Undang-Undang ini mengakui gugatan sekelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum”.

Penuntutan penyelesaian sengketa konsumen dengan mengajukan gugatan class

action melalui peradilan umum telah dibolehkan sejak keluarnya UUPK yang mengatur

class action ini di Indonesia.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan hanya memungkinkan apabila :121

a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan atau;

b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa konsumen dengan menggunakan hukum acara, baik secara perdata, pidana maupun melalui hukum administrasi negara, membawa keuntungan dan kerugian bagi konsumen dalam proses perkaranya. Antara lain tentang beban pembuktian dan biaya pada pihak yang menggugat. Keadaan ini sebenarnya lebih banyak membawa kesulitan bagi konsumen jika berperkara di peradilan umum. Adapun kendala yang dihadapi konsumen dan pelaku usaha dalam penyelesaian sengketa di pengadilan adalah :122

1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lamban 2. Biaya perkara mahal

3. Pengadilan pada umumnya tidak responsif 4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah

       121

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit., hlm. 234

122

 

5. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis.

Diantara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yang termasuk banyak dikeluhkan para pencari keadilan adalah lamanya penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak yang mengharapkan penyelesaian yang cepat terhadap perkara mereka. Usaha-usaha penyelesaian sengketa konsumen secara cepat terhadap gugatan atau tuntutan ganti kerugian oleh konsumen terhadap produsen/pelaku usaha telah diatur dalam UUPK yang memberikan kemungkinan setiap konsumen untuk mengajukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yang dalam undang-undang putusannya dinyatakan final dan mengikat, sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum banding dan kasasi dalam BPSK tersebut (Pasal 54 ayat (3) UUPK). 123

Namun ketentuan yang menyatakan bahwa putusan BPSK adalah bersifat final dan mengikat ternyata bertentangan dengan yang diatur dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK yang memberikan kesempatan pada para pihak yang bersengketa di BPSK untuk memberikan keberatan atas putusan BPSK yang telah diterima kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. 124

2. Penyelesaian sengketa di luar peradilan umum

Untuk mengatasi berlikunya proses pengadilan di peradilan umum, maka UUPK memberikan solusi untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan umum. Pasal 45 Ayat (1) UUPK menyebutkan, jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen

       123

Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

124

 

di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil, penyelesaian sengketa mereka di luar pengadilan.

Pasal 47 UUPK menyebutkan :125

“ Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau jasa mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen”.

Secara lengkap tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menurut Pasal 52 UUPK, adalah:126

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen ;

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana yang dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran perlindungan konsumen

m. Menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

       125

 Pasal 47 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 

126

 

Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa BPSK tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan, tetapi juga melakukan kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap pencantuman kalausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelanggaran yang diduga dilakukan oleh pelaku usaha. Adapun keanggotaan dari BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur, seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 49 Ayat (3) dan (4) UUPK yaitu :127

1. Unsur pemerintah (3-5 orang)

2. Unsur konsumen (3-5 orang) 3. Unsur pelaku usaha (3-5 orang)

Adapun tugas BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen adalah dengan cara-cara: mediasi, arbitrase dan konsoliasi.

1. Mediasi

Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan, ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, dimana Majelis BPSK bersifat aktif sebagai pemerantara dan atau penasehat. Dasarnya mediasi adalah suatu proses dimana pihak ke tiga ( a third party), suatu pihak luar yang netral (a neutral outsider) terhadap sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang telah disepakati.128

Sesuai batasan tersebut, mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak pada salah satu pihak.

Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakekatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi sehingga hasil

       127

 Pasal 49 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 

128

 

penyelesaian terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final, serta tidak pula mengikat secara mutlak tetapi tergantung pada itikad baik untuk mematuhinya.

Keuntungan yang didapat jika menggunakan mediasi sebagai jalan penyelesaian sengketa adalah ; karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerja sama untuk mencapai kompromi maka pembuktian tidak lagi menjadi beban yang memberatkan para pihak, menggunakan cara mediasi berarti penyelesaian sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia (tidak terbuka untuk umum seperti di pengadilan), tidak ada pihak yang menang atau kalah, serta tidak emosional. 129

2. Arbitrase

Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa.130

Dalam mencari penyelesaian sengketa, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena keputusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase memiliki kekuatan eksekutorial , sehingga apabila pihak yang dikalahkan tidak mematuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke pengadilan. Menurut Rachmadi Usman, lembaga arbitrase memiliki kelebihan, antara lain:131

a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak

       129

  Ahmadi Miru dan Sutarwan Yodo, Op.cit., hlm 257

130

 Ibid, mengutip pengertian Arbitrase berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

131

 

b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif. c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut mereka diyakini mempunyai

pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang relevan dengan masalah yang disengketakan, disamping jujur dan adil.

d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.

e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan.

Walaupun arbitrase memiliki kelebihan, namun akhir-akhir ini peran arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan digeser oleh alternatif penyelesaian sengketa yang lain karena: 132

a. Biaya mahal, karena terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan seperti biaya administrasi, honor arbiter, biaya transfortasi dan akomodasi arbiter, serta biaya saksi dan ahli;

b. Penyelesaian yang lambat, walau banyak sengketa yang dapat diselesaikan dalam waktu 60-90 hari, namun banyak juga sengketa yang memakan waktu yang panjang bahkan bertahun-tahun, apalagi jika ada perbedaan pendapat tentang penunjukan arbitrase serta hukum yang ditetapkan, maka penyelesaiannya akan bertambah rumit.

3. Konsiliasi

       132

 

Cara ini ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak dimana Majelis BPSK bertugas sebagai pemerantara antara para pihak yang bersengketa dan Majelis BPSK bersifat pasif.

Dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan masalah-masalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan (options) penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan para pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan yang saling mendekat dan selanjutnya dapat dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak.

Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan para pihak. Namun pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. Keterikatan para pihak terhadap pendapat dari konsiliator menyebabkan penyelesaian sengketa tergantung pada kesukarelaan para pihak. UUPK menyerahkan wewenang kepada BPSK untuk menyelesaikan setiap sengketa konsumen (di luar pengadilan).

UUPK tidak menentukan adanya pemisahan tugas anggota BPSK yang bertindak sebagai mediator, arbitrator ataupun konsiliator sehingga setiap anggota dapat bertindak baik sebagai mediator, arbitrator ataupun konsiliator. Oleh karena tidak adanya pemisahan keanggotaan BPSK tersebut, maka penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya diselesaikan secara berjenjang, dalam arti kata bahwa setiap sengketa diusahakan penyelesaiannya

 

melalui mediasi, jika gagal penyelesaian ditingkatkan melalui konsiliasi dan jika masih gagal juga barulah penyelesaian melalui cara arbitrase.

Masalah pengoplosan beras di Sumatera Utara, sampai dengan saat ini sesuai hasil penelitian penulis berdasarkan wawancara yang dilaksanakan terhadap pelaku usaha ataupun instansi yang berwenang dalam menangani tata niaga perdagangan beras seperti Kantor Perusahaan Umum BULOG dan Kanor Perdagangan dan Perindustrian, belum ada kasus yang sampai ke pengadilan.

  BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Terhadap tindakan pengoplosan beras, jika dilihat dari berbagai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha baik dari kacamata Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun dari peraturan perundang-undangan lainnya, maka beras yang dioplos dapat dikatakan melanggar ketentuan yang ada tentang standar kualitas beras jika beras hasil oplosan tersebut dijual tanpa memberikan informasi yang jelas serta pada proses pencampuran /pengoplosan beras tersebut menggunakan bahan kimia yang dilarang penggunaannya untuk bahan makanan.

2. Pemerintah menjamin adanya pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap perdagangan pangan beras harus lebih rutin, berkala dan berkesinambungan. Pengawasan yang sifatnya temporer seperti pada saat adanya kenaikan harga beras di pasaran, menjelang hari-hari besar keagamaan atau pada saat adanya issu pengoplosan beras, akan memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk melakukan pengoplosan beras.

 

3. Perlindungan hukum terhadap konsumen dari tindakan pengoplosan beras yang dilakukan oleh pelaku usaha, wujud ganti kerugiannya terdiri dari dua bentuk, yaitu penggantian dengan barang baru dengan jumlah dan jenis yang sama atau dengan penggantian sejumlah uang. Penggantian dengan barang yang baru adalah bentuk yang paling banyak dijumpai dan merupakan tindakan utama yang diambil oleh pihak pelaku usaha sedangkan penggantian dengan sejumlah uang yaitu pengembalian uang harga pembelian merupakan alternatif yang ditempuh oleh pihak pelaku usaha jika barang yang sejenis tidak sedang tersedia. Untuk dapat memperoleh ganti kerugian, disyaratkan konsumen supaya dapat menunjukkan kepada pihak pelaku usaha barang yang tidak sesuai dengan yang dinyatakan dalam label suatu produk. Pelaku usaha yang melakukan pengoplosan beras dengan mencampur bahan kimia yang dilarang penggunaannya dan/atau menjual beras hasil pengoplosan tanpa memberikan informasi yang jelas, jujur, akurat dan terpercaya, dapat diambil tindakan hukum yaitu berupa penjatuhan sanksi administratif sesuai Pasal 60 dan sanksi pidana sesuai Pasal 61 sampai dengan Pasal 62 serta sanksi tambahan sesuai dengan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

B. Saran

1. Sehubungan komoditi beras adalah komoditi utama pangan di Indonesia, diharapkan pada waktu mendatang untuk mencapai keberhasilan perlindungan konsumen dan pertumbuhan ekonomi dunia usaha yang sehat, pemerintah dapat merumuskan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengoplosan beras.

 

2. Selain persyaratan yang sudah ada saat ini dalam proses pendirian suatu industri kilang padi, disarankan kepada institusi yang berwenang mengeluarkan ijin pendirian industri kilang padi supaya dapat menambah persyaratan dengan diharuskannya pelaku usaha membuat suatu pakta integritas bahwa industri kilang padi yang dikelola tidak akan melakukan pengoplosan beras yang diikuti dengan berbagai konsekuensi hukum yang diterima pelaku usaha jika melanggar pakta integritas tersebut.

3. Bagi seluruh masyarakat diperlukan sosialisasi melalui penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran hak-hak konsumen sebagai bagian dari hak-hak keperdataannya khususnya mengenai produk pangan/beras yang tidak sesuai dengan ketentuan. Untuk mendukung perlindungan konsumen dalam pemenuhan kebutuhan pangan beras yang sehat, disarankan agar pemerintah memberikan penjelasan bagaimana tips/cara membeli beras yang baik.

4. Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha beras, dirasakan mempunyai kesulitan, hal ini dimungkinkan karena jumlah pedagang beras dan kilang padi tidaklah sedikit. Jika harus mengawasi satu persatu pelaku usaha beras tersebut, akan membutuhkan tenaga dan biaya yang sangat besar. Untuk menghindari pengoplosan beras disarankan supaya pengawas di setiap pasar-pasar tradisionil secara rutin dan periodik 1 (satu) kali dalam 2 (dua) minggu menyerukan kepada para pedagang supaya jangan sekali-kali melakukan pengoplosan beras serta memasang spanduk di areal perdagangan beras yang menyerukan pelarangan pengoplosan beras

 

dengan konsekuensi tindakan hukumnya. Demikian halnya pada pasar modern untuk meyakinkan konsumen bahwa beras yang dibeli bebas dari tindakan pengoplosan, pengelola pasar seyogianya memberikan garansi terhadap produk pangan beras tersebut dengan memasang iklan di lokasi penjualan bahwa beras yang dijual bebas dari beras oplosan.

5. Bagi setiap produsen/pelaku usaha supaya lebih meningkatkan mutu pelayanan disertai dengan pertanggungjawaban yuridis dan pertanggungjawaban moral terhadap suatu produk pangan yang dihasilkan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Dokumen terkait