• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelembagaan Dalam Pemberantasan Perkara Narkotika

Dalam dokumen SAMBUTAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL (Halaman 31-43)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkembangan Pemberantasan Narkotika di Indonesia

2. Kelembagaan Dalam Pemberantasan Perkara Narkotika

Pembentukan Badan Narkotika Nasional mengalami beberapa perubahan kelembagaan sebagai berikut:

1) Bakolak Inpres Nomor 6 Tahun 1971

Sejarah penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai Tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional

22

(BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol, yaitu Pemberantasan Uang Palsu, Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba, Penanggulangan Penyelundupan, Penanggulangan Kenakalan Remaja, Penanggulangan Subversi, Pengawasan Orang Asing. Pada saat itu ketua bidang narkoba di pegang oleh Brigjen Pol. Drs. Soekarjdjo Subadi, SH. Yang selanjutnya digantikan oleh Kol. Pol Jeanne Mandagi, S.H. Selanjutnya digantikan oleh Brigjen Pol. Tony Sidharta dan terakhit dijabat oleh Kol. Pol. Drs. MD Tandjung.

Melalui Inpres Nomor 6 Tahun 1971, Presiden Soeharto saat itu menginstruksikan kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) yaitu Letjen TNI Soetopo Yuwono untuk mendirikan Badan Koordinasi Pelaksana Instruksi Presiden (Bakolak Inpres). Bakolak Inpres Tahun 1971 mempunyai salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi yang beranggotakan 25 instansi pemerintah yaitu wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di bawah komando dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari ABPN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN.

Pada masa itu, permasalahan narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkoba, sehingga pada saat permasalahan narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan Tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak Tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkoba.

23

2) Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN)

Menghadapi permasalahan narkoba yang cendrung terus meningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, Pemerintah (Presiden Habibie) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 1999 dan Ahwil Luthan sebagai kepala Pelaksana Harian BKNN dan menunjuk Jenderal Pol. Drs GPH. Roesdihardjo selaku Kapolri sebagai Ketua BKNN secara

ex-officio.

Pemilihan Kapolri sebagai ujung tombak lembaga ini dinilai paling ideal untuk menjalankan tugas sebagai koordinator penanganan Narkotika di Indonesia dengan pertimbangan berbagai aspek. Awal berdirinya BKNN muncul pertanyaan dari pihak lain yang mengkritisi kewenangan BKNN yang dimotori oleh Polri karena Polri tidak bisa mengkoordinir departemen lainnya mengingat Polri belum berpisah dari TNI dan masih dibawah koordinasi Departemen Pertehanan dan Keamanan.

Sampai Tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personel dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal.

3) Badan Narkotika Nasional (BNN)

BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 3 Tahun 2002 dan TAP MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI Tahun 2002 maka pada tanggal 22 Maret 2002 Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN diubah menjadi Badan Narkotika Nasional (BNN).

BNN memiliki 25 anggota dari departemen dan lembaga pemerintah terkait. Kapolri selaku Ex-Offico bertanggung jawab langsung kepada presiden. BNN,

24

sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi:

a) mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan

b) mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba. Mulai Tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. Dengan alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama dengan BNP dan BNK. Namun karena tanpa struktur kelembagaan yang memilki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja optimal dan tidak akan mampu menghadapi permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius. Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini segera menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK), yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan Anggota BNN terkait dalam satuan tugas, yang mana BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra kerja pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota) tidak mempunyai hubungan struktural-vertikal dengan BNN. Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan Penyidikan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Yang diperjuangkan BNN saat ini adalah cara untuk memiskinkan para bandar atau pengedar narkoba,

25

karena disinyalir dan terbukti pada beberapa perkara penjualan narkoba sudah digunakan untuk pendanaan teroris (Narco Terrorism) dan juga untuk menghindari kegiatan penjualan narkoba untuk biaya politik (Narco for Politic).

b. KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (POLRI)

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, memiliki tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dan bertugas salah satunya untuk melakukan penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dari penjelasan tersebut jelas bahwa peredaran Narkotika merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang mengancam keamanan, kesehatan dan ketertiban masyarakat serta ketahanan bangsa menjadi salah satu tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penanganan Narkotika oleh Polri secara khusus sudah dilakukan sejak:

1) Pada Tahun 1973, awal berdirinya Direktorat Reserse Narkotika, berdasarkan Skep Kapolri Nomor Pol: Skep/56/ VIII/1973 tanggal 17 Agustus 1973, berkedudukan /berkantor sebagian 1 (satu) ruangan di Mabes Polri, (menggunakan /menumpang di gedung Puslabfor Polri) dan sebagian lainnya berkantor di Jl. Sisingamangaraja, serta Jl. Kerinci Keb. Baru Jakarta Selatan, dengan status sewa kantor.

2) Pada Tahun 1975, Direktorat Reserse Narkotika, berkedudukan / berkantor seluruhnya di Mabes Polri, dengan menggunakan / menumpang sebagian di gedung Puslabfor Polri dan sebagian lagi menggunakan / menumpang di gedung Diskomlek Polri.

3) Pada Tahun 2003, berdasarkan Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol. : Skep/148/III/2003 tanggal 13 Maret 2003, Dit IV/TP. Narkoba dan KT. Bareskrim Polri kembali mengalami perpindahan kedudukan / kantor dari Mabes Polri ke GOR Eks Pamardisiwi BKNN Jl. MT. Haryono Nomor 11 Cawang – Jakarta Timur.

4) Pada Tahun 2004, kedudukan / kantor Dit IV/TP. Narkoba dan KT. kembali berpindah dari GOR Eks Pamardisiwi BKNN ke gedung kantor Pamardisiwi BKNN, karena lokasi lama (GOR Eks Pamardisiwi BKNN) akan digunakan / dibangun gedung BKNN.

26

5) Pada Tahun 2005, kedudukan / kantor Dit IV/TP. Narkoba dan KT. kembali mengalami perpindahan, dimana sebagian menempati lantai V gedung BNN dan sebagian lagi masih berkantor di gedung kantor Eks Pamardisiwi BNN.

6) Dengan kondisi ini maka Direktur IV/TP. Narkoba dan KT. melaporkan secara lisan / tertulis kepada Kabareskrim dan mengusulkan agar Dit IV /TP. Narkoba dan KT. dapat menempati gedung kantor eks Pamardisiwi yag saat itu sudah kosong dan panti Rehabilitasi BNN sudah dipindahkan ke Lido Sukabumi.

7) Selanjutnya Kabareskrim Polri dengan surat Nomor Pol.: B/1107/Dit IV/VII/2007/Bareskrim tanggal 13 Juli 2007 tentang pengajuan permohonan sarana perkantoran bagi Direktorat IV/TP. Narkoba dan KT. mengusulkan kepada Kapolri agar gedung eks Pamardisiwi dapat diperuntukan bagi perkantoran Dit IV/TP. Narkoba dan KT. sehingga terbitlah kemudian Skep Kapolri no. Pol.: Skep/497/IX/2007 tanggal 31 Oktober 2007, tentang Penetapan penempatan gedung dan ruang kerja Direktorat IV/TP. Narkoba dan KT. Bareskrim Polri di gedung Eks Pamardi Siwi Jl. MT. Haryono Nomor 11 Cawang Jakarta Timur

c. DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai disingkat DJBC atau bea dan cukai adalah nama dari sebuah instansi pemerintah yang melayani masyarakat di bidang kepabeanan dan cukai. Pada masa penjajahan Belanda, bea dan cukai sering disebut dengan istilah duane. Seiring dengan era globalisasi, bea dan cukai sering menggunakan istilah customs. Tugas dan fungsi Bea dan Cukai adalah berkaitan erat dengan pengelolaan keuanga negara, antara lain memungut bea masuk berikut pajak dalam rangka impor (PDRI) meliputi (PPN Impor, PPh Pasal 22, PPnBM) dan cukai.

Sebagaimana diketahui bahwa pemasukan terbesar (sering disebut sisi penerimaan) ke dalam kas negara adalah dari sektor pajak dan termasuk didalamnya adalah bea masuk dan cukai yang dikelola oleh DJBC. Selain itu, tugas dan fungsi bea dan cukai adalah mengawasi kegiatan ekspor dan impor, mengawasi peredaran minuman yang mengandung alkoholatauetil alkohol, dan peredaran rokok atau barang hasil pengolahan tembakau lainnya. Seiring perkembangan zaman, bea dan cukai

27

bertambah fungsi dan tugasnya sebagai fasilitator perdagangan, yang berwenang melakukan penundaan atau bahkan pembebasan pajak dengan syarat-syarat tertentu.

Tugas lain bea dan cukai adalah menjalankan peraturan terkait ekspor dan impor yang diterbitkan oleh departemen atau instansi pemerintahan yang lain, seperti dari Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Departemen Pertahanan dan peraturan lembaga lainya. Semua peraturan ini menjadi kewajiban bagi bea dan cukai untuk melaksanakannya karena bea dan cukai adalah instansi yang mengatur keluar masuknya barang di wilayah Indonesia. Esensi dari pelaksanaan peraturan-peraturan terkait tersebut adalah demi terwujudnya efisiensi dan efektivitas dalam pengawasan dan pelayanan, karena tidak mungkin jika setiap instansi yang berwenang tersebut melaksanakan sendiri setiap peraturan yang berkaitan dengan hal ekspor dan impor, tujuan utama dari pelaksanaan tersebut adalah untuk menghidari birokrasi panjang yang harus dilewati oleh setiap pengekspor dan pengimpor dalam beraktivitas.

Dalam kaitannya dengan memberantas penyelundupan, Direktorat Jendral Bea dan Cukai merupakan institusi yang berfungsi sebagai pintu gerbang lalu lintas arus barang dalam perdagangan internasional, oleh karena itu Direktorat Jendral Bea dan Cukai dituntut semaksimal mungkin dapat memberikan pengaruh positif dan memaksimalkan pengaruh negatif dalam perdagangan di Indonesia. Instansi kepabeanan menyadari bahwa upaya penyimpangan, pemalsuan (fraud) dan penyelundupan terjadi di belahan dunia manapun, termasuk Negara kita. Untuk itulah dalam meninkatkan efektifitas pengawasan dalam rangka mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu peraturan yang lebih jelas dalam pelaksanaaan kepabeanan.

Dalam rangka mengatasi hal tersebut ada tiga hal yang mendasari tugas dan peran kepabeanan, yaitu pertama kedisiplinan dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pelayanan terhadap masyarakat. Kedua, adanya dasar hukum yang kuat untuk melaksanakan otoritas dalam mengambil tindakan yang diperlukan terutama dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap instansi ini. Ketiga, mengantisipasi perubahan sesuai dengan tuntutan dunia perdagangan internasional. Berdasarkan hal-hal tersebut, pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat berupaya untuk mengadakan perubahan Terhadap Undang-Undang Kepabeanan Nomor 17 Tahun

28

2006 yang merupakan pengganti atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995. Perubahan ini meliputi unsur-unsur: a. Keadilan. b. Transparansi. c. Akuntabilitas. d. Pelayanan publik dan pembinaan pegawai yang diperlukan dalam mendukung upaya peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan perdagangan global.

Negara Indonesia sebagai negara hukum menghendaki terwujudnya sistem hukum fleksibel yang mantap dan mengabdi kepada kepentingan nasioanal, bersumber pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang didalamnya terkandung asas Keadilan, menjunjung tinggi hak setiap anggota masyarakat dan menempatkan kewajiban pabean sebagai kewajiban kewarganegaraan yang mencerminkan peran serta anggota masyarakat dalam menghimpun dana, maka Peraturan Perundang-undangan Kepabeanan ini sebagai hukum fiskal yang harus dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang dan dokumen yang optimal, dan menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional.

Dalam rangka mencapai tujuan yang dimaksud tersebut, aparatur Kepabeanan dituntut untuk memberikan pelayanan yang semakin baik, efektif dan efisien sesuai dengan lingkup tugas dan fungsinya. Undang-undang Kepabeanan telah memperhatikan aspek-aspek:

1) Keadilan, sehingga kewajiban pabean hanya dibebankan kepada anggota masyarakat yang melakukan kegiatan Kepabeanan dan terhadap merekadiperlakukan sama dalam hal dan kondisi yang sama;

2) Pemberian insentif yang akan memberikan manfaat bagi pertumbuhan perekonomian nasional yang antara lain berupa fasilitas tempat penimbunan berikat, serta pembebasan bea masuk atau impor barang sebelum pelunasan bea masuk dilakukan;

3) Netralisasi dalam pemungutan, sehingga distorsi yang mengganggu perekonomian nasional dapat dihindari;

4) Kelayakan administrasi, merupakan pelaksanaan administrasi Kepabeanan dapat dilaksanakan lebih tertib, terkendali sederhana dan mudah dipakai oleh anggota masyarakat sehingga tidak terjadi duplikasi. Oleh karena itu biaya administrasi dapat diberikan serendah mungkin;

29

5) Kepentingan penerimaan Negara, dalam arti ketentuan dalam undangundang ini memperhatikan segi-segi stabilitas, potensial, dan fleksibilitas dari suatu penerimaan, sehingga dapat menjamin peningkatan penerimaan dan dapat mengantisipasi semua kebutuhan peningkatan pembiayaan pembangunan nasional.

6) Penetapan pengawasan dan sanksi dalam upaya agar ketentuan diatur dalam undang-undang ini ditaati.

7) Wawasan Nusantara, sehingga ketentuan undang-undang ini diberlakukan di daerah Pabean meliputi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana Indonesia mempunyai kedaulatan dan hak berdaulat yaitu, perairan nusantara, laut wilayah, zona ekonomi eksekutif, landasan kontinen dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.

Undang-undang Kepabeanan ini juga mengatur hal-hal baru yang sebelumnya tidak diatur dalam ketiga peraturan perundang-undangan yang digantikannya, antara lain ketentuan tentang bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan, pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual, pembebanan semua administrasi, Penyidikan dan lembaga banding.

Selain itu untuk menempatkan pelayanan kelancaran arus barang, orang dan dokumen agar menjadi semakin baik, efektif, dan efisien, maka diatur pula antara lain:

1) Pelaksanaan pemeriksaan secara selektif.

2) Penyerahan pemberitahuan Pabean melalui media elektronik (hubungan antara komputer).

3) Pengawasan dan pengamanan impor atau ekspor yang pelaksanaannya dititik beratkan pada audit di bidang Kepabeanan terhadap pembukuan perusahaan. 4) Peran serta anggota masyarakat untuk bertanggung jawab atas bea masuk

dengan menghitung dan membayar sendiri bea masuk yang terutang (self

assessment), dengan tetap memperhatikan pelaksanaan ketentuan larangan atau

pembatasan yang berkaitan dengan impor atau ekspor barang seperti pornografi, Narkotika, uang palsu dan senjata api.

30

Peranan Bea dan Cukai Dalam Memberantas Penyelundupan Narkoba Berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006 yang merupakan pengganti atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, bea dan cukai mempunyai wewenang dalam memeriksa barang dalam perdagangan nasional dan internasional. Pemeriksaan barang meliputi kelengkapan surat dokumen tentang asal usul barang, pemilik asal barang dan tujuan pemilik baru atas barang. Bea dan cukai sebagai pengawas lalu lintas barang sangat erat kaitannya dengan pelaksana dalam memberantas penyelundupan baik barang yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006, bea dan cukai mempunyai wewenang untuk menangkap pelaku penyelundupan, menyita barang selundupan sebagai barang bukti untuk diserahkan kepada pihak yang berwajib seperti kepolisian untuk ditindaklanjuti sebagai tindak pidana.

Indonesia sebagai daerah yang sering dijadikan target dari penyelundupan dari pasar internasional menjadikan tugas bea dan cukai dalam memberantas penyelundupan begitu penting agar melindungi produksi dalam negeri dan juga sebagai penghasil devisa negara dari pemungutan bea masuk dan bea keluar. Bea dan cukai sebagai garda terdepan dalam mencegah terjadinya penyelundupan barang yang masuk dan keluar Indonesia mempunyai tugas yang vital. Oleh karena itu, bea dan cukai mempunyai landasan hukum yang jelas agar dapat melaksanakan tugasnya yaitu Undang-Undang Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006.

d. KOORDINASI DAN KERJASAMA ANTAR LEMBAGA

Bentuk Kerjasama Antar Negara Dalam Menanggulangi Perdagangan Gelap Narkoba Kerjasama-kerjasama antar negara yang sifatnya internasional tentunya akan membawa perubahan yang berarti dan lebih efektif apabila diletakkan dalam kerangka kerjasama pencegahan dan penanggulangan perdagangan gelap Narkotika dibawah koordinasi badan dunia seperti PBB misalnya, atau organ-organ PBB yang berkaitan dengan hal itu. Sebab yang terjadi selama ini pada umumnya cara-cara penanggulangan perdagangan gelap Narkotika dilakukan secara sendiri-sendiri atau semata-mata antara dua negara yang dianggap sebagai sumber dan sebagai sasaran perdagangan Narkotika tersebut. Kelemahan mendasar dari kerjasama semacam ini

31

adalah kurangnya koordinasi dengan negara-negara lain, misalnya yang menjadi tempat persinggahan dari perdagangan tersebut.

Kebijakan global penanggulangan kejahatan Narkotika pada awalnya dituangkan dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk:

1) Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan Narkotika yang terpisah-pisah di 8 (delapan) bentuk perjanjian internasional.

2) Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran Narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan;

3) Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran Narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas.

Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut, dan kemudian meratifikasinya melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya. Kemudian Pemerintah mengeluarkan Undang-undang untuk menanggulangi kejahatan Narkotika di dalam negeri yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika mencabut undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah kolonial Belanda, yaitu

Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Staadsblad. 1927 Nomor 278 yo Nomor 536)

yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius.

Pada bulan Pebruari 1990 diadakan sidang khusus ke-17 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan Tahun 1991-2000 sebagai The United Nations

Decade Againts Drug Abusedengan membentuk The United Nations Drug Control Programme (UNDCP). Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas

semua kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran Narkotika di negara-negara anggota PBB. Kemudian PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang

Prevention of Crime and the Treament of Offenderspada 27 Agustus - 7 September

32

bersifat transnasional. Resolusi ketiga-belas dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan Narkotika dilakukan antara lain dengan : (a) meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap bahaya Narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan pihak sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan bahaya Narkotika; (b) program pembinaan pelaku tindak pidana Narkotika dengan memilah antara pelaku pemakai/pengguna Narkotika (drug users) dan pelaku bukan pengguna (drug-dealers) melalui pendekatan medis, psikologis,psikiatris, maupun pendekatan hukum dalam rangka pencegahan.

Di tingkat regional Asia Tenggara, kebijakan penanggulangan penyalahgunaan Narkotika disepakati dalam ASEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and

Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Oktober 1972 di

Manila, tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to

Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar Negeri

negara-negara onggota ASEAN pada Tahun 1976. Isi dari deklarasi regional ASEAN ini meliputi kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan :

1) Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan Narkotika.

2) Keseragaman peraturan perundang-undangan di bidang Narkotika. 3) Membentuk badang koordinasi di tingkat nasional; dan

4) Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara bilateral, regional, dan internasional.

Kemudian dibentuk The ASEAN Senior Officials on Drugs (ASOD) dan satu Forum Kerja Sama Kepolisian antar negara-negara ASEAN (ASEANAPOL) yang antara lain bertugas untuk menangani tindak pidana Narkotika transnasional di wilayah ASEAN. Selain itu, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic

Board dengan membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan

pembinaan, edukasi preventif dan informasi, dan kelompok kerja di bidang penelitian. Di Tahun 2010 tepatnya pada tanggal 8-12 Maret, diselenggarakan Sidang Komisi Narkoba (Commission On Narcotic Drugs) sesi ke-53 yang berlangsung di Winna, Austria dan menghasilkan 16 Resolusi, yakni:

Dalam dokumen SAMBUTAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL (Halaman 31-43)

Dokumen terkait