• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAMBUTAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SAMBUTAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL"

Copied!
259
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

SAMBUTAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL

Kejahatan Narkotika adalah kejahatan yang sudah lama terjadi sejak adanya peradaban manusia. Kejahatan Narkotika diawali dengan ditemukannya Opium atau Candu pada tahun 3.500 sebelum Masehi oleh bangsa Sumeria, kemudian berkembang pada tahun 1803 dengan terciptanya Morfin oleh Friedrich Sertuner dan dipasarkan secara komersial pada tahun 1827. Pada era kolonial Belanda tahun 1677 pasca terjadinya perjanjian antar VOC dengan Raja Amangkurat II, terjadi peningkatan perdagangan Opium secara signifikan, hal ini berpengaruh pada konsumsi opium yang tinggi khususnya dikalangan priyayi atau bangsawan, dan berdampak pada keleluasaan bagi para bandar Opium menjalankan bisnisnya hingga saat sekarang di era modern.

Sebelas tahun sudah UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjadi payung hukum pemberantasan Tindak Pidana Narkotika, namun masih banyak issue – issue negatif terhadap pemberantasan Tindak Pidana Narkotika, dimana masyarakat mempersepsikan bahwa faktanya peredaran Narkotika makin meluas dan korbannya tidak hanya meliputi orang berada, tetapi sudah menjangkau rakyat biasa, pejabat, mahasiswa dan pelajar hingga anak-anak.

Fenomena di atas, menjadi latar belakang bagi negara untuk membuat pembangunan hukum jangka panjang yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2020 – 2024 dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 6 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Badan Narkotika Nasional Tahun 2020-2024, yang mengamanatkan penguatan sistem hukum yang salah satunya adalah mendorong pengembangan peradilan khusus Narkotika sebagai wacana penanganan perkara Tindak Pidana Narkotika yang lebih efektif.

BNN telah mendedikasikan pengabdiannya dengan melakukan Kajian Hukum Sistem Peradilan Pidana Narkotika sebagai bahan rekomendasi bagi negara untuk membuat kebijakan dalam membentuk Sistem Peradilan Narkotika agar pelaksanaan penegakan hukum Tindak Pidana Narkotika dapat lebih efektif.

Apresiasi yang tinggi disampaikan kepada seluruh tim yang telah melakukan kajian hukum ini dan semoga hasilnya dapat bermanfaat bagi pembangunan hukum di Indonesia menjadi lebih baik.

Jakarta, Desember 2020 Kepala Badan Narkotika Nasional

Dr. Petrus Reinhard Golose ttd

(3)

ii

SAMBUTAN DEPUTI HUKUM DAN KERJA SAMA BNN

Pertama tama marilah kita panjatkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan karunia- Nya, sehingga Kajian Hukum Sistem Peradilan Narkotika dapat diselesaikan. Buku kajian ini merupakan hasil kajian pertama di bidang hukum yang dilakukan oleh Direktorat Hukum BNN bersama-sama dengan Puslitdatin BNN, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM dan peneliti serta akademisi Unika Atma Jaya Jakarta.

Sebagaimana diketahui bahwa upaya luar biasa oleh segenap Aparat Penegak Hukum dan masyarakat telah dilakukan untuk menanggulangi penyalahgunaan Narkotika. Berbagai strategi juga dilakukan mulai dari pencegahan, pemberantasan dan rehabilitasi yang diperlakukan sebagai suatu sistem yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Namun hal tersebut belum dapat menyelesaikan permasalah penyalahgunaan Narkotika di Indonesia. Semakin gencar Aparat Penegak Hukum melakukan penindakan dan semakin banyak putusan hakim yang telah dikeluarkan namun peredaran Narkotika juga semakin meningkat.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dibuat khusus untuk menangani Narkotika juga belum dapat meredakan penyalahgunaan Narkotika. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga menyebutkan:

1. Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya; 2. Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika pada

tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peratuan perundang-undangan. Sesaknya penghuni LAPAS yang didominasi oleh penyalahguna Narkotika mencerminkan kurang efektifnya Sistem Peradilan Pidana Umum dalam menangani tindak pidana narkotika. Seluruh komponen yang terlibat dan diperlukan dalam sistem peradilan pidana Narkotika seharusnya berjalan sinergi. Pelaksanaan suatu sistem akan berjalan sinergi apabila instrumen yang ada dalam sistem peradilan pidana yaitu regulasi, Aparat Penegak Hukum (APH), dan sarana/prasarana yang dibutuhkan telah tersedia dan berjalan dengan baik.

Oleh karena itu kajian hukum sistem peradilan Narkotika yang memotret kondisi masing-masing sub sistem yang terlibat dalam sistem peradilan pidana Narkotika, dan mengetahui pelaksanaan koordinasi dan kerja sama antara sub sistem peradilan pidana Narkotika sangat penting dilakukan sehingga dapat diketahui seberapa penting adanya Sistem Peradilan Pidana Narkotika di Indoenesia.

Saya berharap hasil kajian ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan rekomendasi kebijakan dalam menentukan sistem peradilan tindak pidana Narkotika di Indonesia dan menjadi bahan masukan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta terciptanya kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia.

Sekian dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, Desember 2020 Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN

Puji Sarwono ttd

(4)

iii

SAMBUTAN KEPALA PUSAT PENELITIAN, DATA, DAN INFORMASI BNN

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas tersusunnya “Kajian Hukum Sistem Peradilan Pidana Narkotika”. Bahwa dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirasakan masih belum mampu mengatasi permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor Narkotika. Hal ini terlihat dari:

1. regulasi yang ada belum mampu menjadi payung hukum untuk setiap tahapan dari penyidikan, penuntutan, pemidanaan, sampai dengan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan;

2. ketidaksamaan persepsi di antara aparat penegak hukum untuk menangani pelaku penyalahgunaan Narkotika dan pelaku peredaran gelap narkotika; atau

3. aparat penegak hukum belum memiliki sertifikasi dan standar kompetensi yang sama tentang penanggulangan permasalahan Narkotika.

Beberapa hal di atas menjadi gambaran dari Sistem Peradilan Pidana Narkotika saat ini yang menjadi kendala dan hambatan dalam mewujudkan efektifitas dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan prekursor Narkotika.

Pusat Penelitian Data dan Informasi sebagai salah satu satuan kerja pada Badan Narkotika Nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 155 Peraturan Badan Narkotika Nasional Nomor 5 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika Nasional, memiliki tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan, dan pengelolaan data dan informasi di bidang P4GN. Selain pada peraturan dimaksud penyelenggaraan penelitian yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional harus mengacu pada Peraturan Badan Narkotika Nasional Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penelitian. Hal ini dilakukan agar setiap penelitian yang dilakukan di BNN sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian yang ada.

Kajian ini dilakukan secara bersama-sama oleh Direktorat Hukum Deputi Bidang Hukum dan Kerja Sama BNN, Puslitdatin BNN, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM serta peneliti dari Unika Atma Jaya Jakarta. Diharapkan kajian ini dapat bermanfaat sebagai suatu karya hukum yang dapat membantu penyusun kebijakan dalam merumuskan sebuah peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan gambaran dan kondisi pada sistem peradilan tindak pidana Narkotika saat ini.

Akhirnya kepada semua pihak yang terlibat dalam “Kajian Hukum Sistem Peradilan Pidana Narkotika”, kami ucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya sehingga kajian dimaksud dapat diselesaikan dengan baik, dan Insya Allah dapat menjadi dasar pengambilan keputusan yang lebih tepat, efektif dan efisien.

Wabillahitaufiq walhidayah

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Jakarta, Desember 2020

Kepala Pusat Penelitian, Data, dan Informasi BNN

Drs. Agus Irianto, S.H., M.Si., M.H ttd

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya laporan kajian hukum ini. Laporan Kajian Hukum Sistem Peradilan Pidana Narkotika di Indonesia ini adalah hasil dari sebuah kajian yang diselenggarakan oleh Deputi Bidang Hukum dan Kerja Sama BNN pada tahun 2020 dan merupakan salah satu kegiatan Prioritas Nasional BNN dengan melibatkan unsur peneliti dari Pusat Penelitian, Data, dan Informasi BNN, Unika Atma Jaya Jakarta, serta Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM.

Pelaksanaan kajian hukum ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian ilmiah yang dilaksanakan dalam beberapa tahap penelitian yaitu penyusunan desain kajian, penyusunan instrumen kajian, pengumpulan data lapangan, pengolahan data, analisa data, dan penyajian data. Pengumpulan data lapangan yang telah selesai dilaksanakan oleh tim peneliti telah berhasil dilalui ditengah masa pandemi Covid-19 ini, namun walaupun adanya keterbatasan dalam pengumpulan data tim peneliti tetap berusaha melakukan analisa data berdasarkan informasi yang diperolah dari informan dengan sebaik-baiknya guna memperoleh hasil dan rekomendasi kebijakan yang dapat digunakan dalam upaya mengoptimalkan pelaksanaan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam kajian ini, terutama pada Aparat Penegak Hukum yang secara sukarela dan kooperatif memberikan informasi dan wawasan pada peneliti untuk dapat melihat kondisi sistem peradilan Narkotika di Indonesia saat ini. Kami juga sangat berharap Laporan Hasil Kajian Hukum ini dapat bermanfaat dan menjadi referensi bagi semua pihak yang membutuhkannya, terutama bagi Pimpinan Badan Narkotika Nasional, Aparat Penegak Hukum dan juga bagi Pemerintah guna mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Narkotika yang menjunjung tinggi asas keadilan bagi masyarakat.

(6)

v

TIM PENYUSUN LAPORAN

PENANGGUNG JAWAB: Drs. Puji Sarwono

KETUA: Susanto, S.H., M.H.

WAKIL KETUA:

Drs. Agus Irianto, S.H., M.Si., M.H. Djoko Pudjirahardjo, S.H., M.Hum.

Susilawati, S.H.

SEKRETARIS / ANGGOTA: Satrya Ika Putra, S.H., M.H.

Rachman Arief, S.H., M.H. Yogi Hartanto, S.H., S.Fil. Novita Sari, S.Sos., M.Si. Dwi Sulistyorini, S.Si., M.Si. Siti Nurlela Marliani, S.IP., S.H., M.Si.

Sri Lestari, S.Kom., M.Si. Plamularsih Swandari, S.P., M.Si.

Tongam R.Silaban, S.H., M.H. Febri Sugiharto, S.H. Diyan Istikomah, S.Sos. Sandi Budi Wirawan, S.H., M.H.

Mohamad Sodiqin, S.H. Erfina Yarly, A.Md.

Marhendro Tresno Wargo, A.Md.

Indra Hendrawan, S.H., M.H. Istining Wahyu Satiti Utami, S.H.

Andrian Erickatama, S.H. Rini Nanda Kurnia, S.H.

Tri Siwi Suhartini Rika Motota

Novaliana Purba, S.H., M.H. Setia Elfrida Meta, S.H.

Juni Susandini, S.Sos. Hendra Novriyandi, S.T. Nurina Wahyuana, A.Md. Lukman Haryono, S.H., M.H.

Derry Pratama, S.Kom. Andhika M. Yusuf, S.Sos.

(7)

v DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN KEPALA BNN ……… i

KATA SAMBUTAN DEPUTI HUKUM DAN KERJA SAMA BNN ………. ii

KATA SAMBUTAN KAPUSLITDATIN BNN ………. iii

KATA PENGANTAR ……… iv

TIM PENYUSUN LAPORAN ……….. v

DAFTAR ISI ……….. vi

DAFTAR TABEL ……….. vii

DAFTAR GAMBAR ……… viii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1 A. Latar Belakang ……….. 1 B. Rumusan Masalah ………. 4 C. Tujuan Penelitian ………... 5 D. Manfaat Penelitian ………. 5 E. Kerangka Teori ………... 5 F. Definisi Operasional ……….. 9

G. Variabel dan Sub Variabel ……… 12

H. Metode Penelitian ……….. 13

1) Pendekatan …………..……… 13

2) Teknik Pengumpulan Data ……… 14

3) Lokasi Penelitian ………. 15

4) Teknik Penarikan Sampel ……….. 17

5) Analisis Data ……… 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 19

A. Perkembangan Pemberantasan Narkotika di Indonesia ………. 19

1. Sejarah Peraturan Per-UU Narkotika di Indonesia ……… 20

(8)

vi

3. Jumlah Perkara (Data Statistik Perkara) ………. 33

4. Transformasi Narkotika ……….. 37

5. The Drug Court Judicial Bechbook Australia ……….. 39

B. Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia ………. 42

1. Penyidikan (Polri dan BNN) ………... 42

2. Penuntutan (Kejaksaan) ………. 47

3. Pengadilan (Mahkamah Agung) ………... 53

4. Pemasyarakatan (Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham) ………... 58

5. Koordinasi dan Kerja Sama ………... 65

C. Literatur Hasil Penelitian ……….. 65

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA ……….. 89

A. Penyajian Data ………... 89

I. Kondisi Sub Sistem Peradilan Pidana Narkotika di Indonesia ………. 90

II. Koordinasi dan Kerja Sama Sub Sistem Peradilan Pidana Narkotika di Indonesia ………... 142

B. Analisa Data ……… 165

I. Kondisi Sub Sistem Peradilan Pidana Narkotika di Indonesia ………. 167

II. Koordinasi dan Kerja Sama Sub Sistem Peradilan Pidana Narkotika di Indonesia ………... 224

BAB IV PENUTUP ……… 243

A. Kesimpulan ………. 243

B. Rekomendasi ……….. 245

(9)

vii DAFTAR TABEL

Tabel 1. Variabel dan Sub Variabel Kajian ………... 12

Tabel 2. Pemeringkatan Keberhasilan Pengungkapan Perkara Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Adiktif lainnya ……… 15

Tabel 3. Besaran sampel per provinsi ………... 17

Tabel 4. Survei Angka Prevalensi Nasional Tahun 2019 ………... 34

Tabel 5. Survei Angka Prevalensi Menurut Provinsi Tahun 2019 ………. 35

Tabel 6. Jumlah Kasus Narkoba ………. 37

Tabel 7. Jenis NPS Yang Teridentifikasi di Indonesia ……… 38

(10)

viii

DAFTAR GAMBAR

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka penyalahgunaan Narkotika di Indonesia saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, hal ini dapat dilihat dari angka prevalensi Penyalah Guna Narkotika di Indonesia Tahun 2019 sebesar 1,8% atau setara dengan 3.419.188 jumlah penduduk usia 15-64 Tahun menyalahgunakan Narkotika.1 Begitu pula berdasarkan informasi yang diperoleh dari data perkara penyalahgunaan

Narkotika di Indonesia. Jumlah perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia pada Tahun 2018 sebanyak 46.283 perkara dengan jumlah tersangka sebanyak 59.536 orang.2 Angka kejahatan

perkara Narkotika di Indonesia merupakan jenis tindak pidana yang paling besar dibandingkan jenis tindak pidana lainnya.

Perkara Narkotika merupakan perkara yang harus diprioritaskan karena penyalahgunaan Narkotika dapat membunuh satu generasi dan merupakan kejahatan lintas negara karena banyak Narkotika yang masuk ke Indonesia dengan cara diselundupkan. Oleh karena itu perkara penyalahgunaan Narkotika merupakan salah satu tindak pidana yang pemeriksaannya harus didahulukan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang tentang Peradilan Umum3 yang

berbunyi “Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus didahului berdasarkan nomor urut, kecuali terhadap tindak pidana yang pemeriksaannya harus didahulukan, yaitu:

a. Korupsi; b. Terorisme;

c. Narkotika/psikotropika d. Pencucian uang; atau

e. Perkara tindak pidana lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang dan perkara yang terdakwanya berada di dalam Rumah Tahanan Negara”

1 Pusat Penelitian Data dan Informasi Badan Narkotika Nasional, Survei Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba 2019 (Jakarta,

2020)

2 Pusat Penelitian Data dan Informasi Badan Narkotika Nasional, Indonesia Drugs Report (Jakarta, 2019)

3 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradian Umum, 2004. Pasal 57

(12)

2

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika4 yang merupakan bentuk

lex spesialis dalam penegakan hukum perkara Narkotika juga menyebutkan:

(1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya (vide Pasal 64);

(2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peratuan perundang-undangan.

Oleh karena adanya amanat dari undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa perkara Narkotika merupakan perkara yang pemeriksaannya dapat didahulukan dari perkara lainnya, sehingga penerapan Sistem Peradilan Pidana Narkotika harus optimal. Seluruh komponen yang terlibat dan diperlukan dalam Sistem Peradilan Pidana Narkotika harus bersinergi. Pelaksanaan suatu sistem akan bersinergi apabila instrumen yang ada dalam Sistem Peradilan Pidana yaitu regulasi, Aparat Penegak Hukum (APH), dan sarana/prasarana yang dibutuhkan telah tersedia dan berjalan dengan baik. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Soerjono Soekanto5 bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan/efektivitas hukum yaitu (1) kaidah hukum/peraturan itu sendiri, (2) petugas/penegak hukum, (3) sarana/fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum, dan (4) kesadaran masyarakat.

Efektivitas pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Narkotika dalam kaitannya dengan regulasi diantaranya dipengaruhi oleh:

1. Regulasi yang dapat memberikan kepastian hukum terhadap pengguna Narkotika untuk mendapatkan perawatan atau rehabilitasi;

2. Regulasi yang dapat membedakan hukum materiil untuk subyek Narkotika; 3. Regulasi yang dapat membedakan hukum acara untuk subyek Narkotika;

4. Regulasi yang dapat mewujudkan adanya restorative justice seperti penerapan rehabilitasi pecandu Narkotika dalam salah satu jenis hukuman.

4 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, 2009. Pasal 74 5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta, 2014)

(13)

3

5. Regulasi yang dapat memberikan kepastian hukum mengenai masa waktu yang harus diselesaikan dalam penyelesaian perkara Narkotika.

Sedangkan efektivitas pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Narkotika dalam kaitannya dengan APH (APH) diantaranya dipengaruhi oleh:

1. APH yang dapat membedakan antara pecandu Narkotika dan pengedar/bandar, karena hukum materiil dan hukum acara yang digunakan sama;

2. APH yang memiliki pengetahuan tentang penanggulangan permasalahan Narkotika dengan menggunakan pendekatan hukum dan pendekatan kesehatan. Penyidik harus memahami seluruh ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika khususnya penerapan rehabilitasi sebagai alternatif hukuman;

3. Persamaan persepsi dari APH dalam menangani pecandu Narkotika, penyalah guna Narkotika, dan korban penyalahgunaan Narkotika;

4. APH yang telah memiliki sertifikasi dan standar kompetensi yang sama tentang penanggulangan permasalahan Narkotika;

5. Jumlah APH yang memadai, seperti halnya jumlah Hakim di Pengadilan Negeri harus berbanding lurus dengan jumlah perkara tindak pidana Narkotika dengan kecenderungan yang semakin meningkat. Demikian pula dengan jumlah Penyidik perkara Narkotika harus berimbang dengan jumlah perkara Narkotika yang semakin banyak.6

Selain itu pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Narkotika akan efektif apabila didukung oleh sarana dan prasarana seperti:

1. Jumlah ruang sidang yang memadai, khususnya perkara-perkara yang didahulukan seperti perkara Anak, perkara Korupsi, perkara perusakan hutan dan perkara lainnya antara lain pemeriksaan perkara tindak pidana umum yang sifatnya tertutup;

2. Jumlah kapasitas Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang memadai. Melalui data yang diperoleh dari Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham bahwa jumlah kapasitas LAPAS sangat

6 Aidil, Mohamad. 2015. Efektefitas Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tentang Narkotika di Kota Palu. Jurnal Untad

(14)

4

terbatas sehingga terjadi kelebihan kapasitas. Sebagaimana data Tahun 2018 terjadi over kapasitas 100% (kapasitas: 124.591, total penghuni LAPAS: 248.806);7 dan

3. Jumlah ruangan untuk pelaksanaan rehabilitasi Narkotika di dalam LAPAS yang memadai dan tata ruang rehabilitasi dalam LAPAS yang sesuai dengan standar kebutuhan rehabilitasi. 8

Merujuk pada kriteria efektivitas Sistem Peradilan Pidana Narkotika tersebut apabila hal ini telah terlaksana maka akan tercipta pula kepastian dan keadilan hukum di masyarakat. Sistem Peradilan Pidana Narkotika yang bermuara pada putusan hakim hendaknya dapat melahirkan putusan yang sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa, dan putusan ini tidak serta merta lahir begitu saja tanpa keterlibatan dari komponen sistem peradilan lainnya seperti Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum, sehingga seluruh komponen yang ada harus dapat bersinergi. Namun adanya permasalahan over capacity blok LAPAS menunjukkan adanya permasalahan dalam menjatuhkan putusan pengadilan bagi pelaku Tindak Pidana Narkotika yang melibatkan seluruh komponen dalam Sistem Peradilan Pidana Narkotika. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bahwa dari total jumlah tahanan dan narapidana di Indonesia, jumlah penghuni Rutan/LAPAS pada perkara Narkotika sebanyak 46,63% dari total seluruh tahanan/narapidana di Indonesia yang berjumlah 248.806 orang.9 Jumlah prosentase ini sangat besar apabila dibandingkan

dengan seluruh jenis tindak pidana maupun perdata yang terjadi di Indonesia. Melihat besarnya jumlah tahanan/ narapidana perkara Narkotika ini maka perlu adanya kajian untuk melihat pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Narkotika di Indonesia agar pelaksanaannya dapat lebih optimal dan dapat merealisasikan kepastian hukum dan keadilan hukum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada maka pertanyaan penelitian untuk menjawab permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi Sub Sistem Peradilan yang menangani Tindak Pidana Narkotika di Indonesia saat ini?

7 Sri Puguh Budi Utami, Paparan “Arah Kebijakan Dijten Pas Dalam Penanganan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Dalam Proses Hukum” , hal.7, (Yogyakarta, 2018)

8 Pusat Penelitian Data dan Informasi Badan Narkotika Nasional, Potret Efektivitas Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkotika di LAPAS (Jakarta, 2020)

(15)

5

2. Bagaimana Koordinasi dan Kerjasama Sub Sistem Peradilan yang menangani Tindak Pidana Narkotika di Indonesia saat ini?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui kondisi Sub Sistem Peradilan yang menangani Tindak Pidana Narkotika di Indonesia saat ini.

2. Mengetahui pelaksanaan Koordinasi dan Kerjasama Sub Sistem Peradilan yang menangani Tindak Pidana Narkotika di Indonesia saat ini.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai:

1. Bahan rekomendasi kebijakan dalam menentukan sistem peradilan tindak pidana Narkotika di Indonesia.

2. Bahan masukan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

E. Kerangka Teori

Istilah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan yang menggunakan dasar pendekatan sistem. Pendekatan sistem adalah pendekatan yang menggunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi) dan saling mempengaruhi satu sama lain. Melalui pendekatan ini Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan LAPAS merupakan unsur penting dan berkaitan satu sama lain.

Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga – lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Permasyarakatan terpidana.10 Sedangkan Muladi berpendapat bahwa Sistem Peradilan Pidana

merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana

10 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas – Batas Toleransi) (Jakarta, 1993)

(16)

6

utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.11

Berdasarkan 2 pendapat tersebut Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) berarti satu kesatuan jaringan (network) yang saling berhubungan dalam pengendalian kejahatan yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.

Dari definisi tersebut maka dalam pelaksanaannya melibatkan APH yang berasal dari Lembaga-lembaga penegak hukum yaitu Polisi (Penyidik), Jaksa (Penuntut Umum), Hakim dan Petugas LAPAS. Penegak hukum merupakan seseorang yang diberikan wewenang oleh peraturan perundang-undangan untuk melakukan penyelidikan, Penyidikan, penuntutan, peradilan atau pembelaan”.12 Oleh

karena adanya kewenangan inilah, maka penegak hukum harus benar-benar memahami tugas dan fungsinya serta peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan bagi dirinya untuk bertindak guna mewujudkan penegakan hukum. Berkaitan dengan penegakan hukum pidana, Joseph Goldstein sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro13 mengemukakan bahwa penegakan hukum harus

diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu:

1. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali.

2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual.

3. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana, kualitas sumber daya manusianya, perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.

Dalam penanganan perkara Narkotika, komponen Sistem Peradilan Pidana yang terlibat harus memahami penanganan perkara Narkotika demi terwujudnya kepastian dan keadilan hukum. Permasalahan Narkotika dihadapkan pada 2 (dua) sisi yang berbeda, yaitu sisi Penyalah Guna dan

11 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana (Semarang, 1995)

12 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI, Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum tentang Peran Penegak Hukum Dalam Rangka Meningkatkan Kepercayaan Publik Kepala Lembaga Peradilan (Jakarta, 2015).

13 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, (Jakarta, 1993).

(17)

7

sisi pengedar. Berbicara mengenai Sistem Peradilan Pidana Narkotika berarti mengaitkan Sistem Peradilan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Tindak pidana Narkotika digolongkan kedalam tindak pidana khusus dengan alasan tidak disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pengaturannya bersifat khusus yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-undang tersebut merupakan undang-undang khusus sebagai (Lex Specialis Derogat Legi

Generali) yang merupakan asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat

khusus (Lex Specialis) mengenyampingkan hukum yang bersifat umum (Lex Generali). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur proses penyelidikan dan Penyidikan tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh Kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Kewenangan Badan Narkotika Nasional dalam proses penyelidikan dan Penyidikan tindak pidana Narkotika menjadi kekhususan dalam Sistem Peradilan Pidana Narkotika.

Selain Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat peraturan perundang-undangan lainnya yang juga harus dipahami oleh APH, diantaranya:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika; 6. Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika Tahun 2020-2024;

7. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional RI Nomor 01/PB/MA/III/2014, 03 Tahun 2014, 11 Tahun 2014, 03 Tahun 2014, PER-005/A/JA/03/2014, 1 Tahun 2014, PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi;

(18)

8

8. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalah Gunaan, Korban Penyalah Gunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial;

9. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban penyalahgunaan Narkotika di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial; dan 10. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-018/A/JA/08/2015 tentang Penanganan Terhadap Barang

Bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Upaya menciptakan efektivitas dan optimalisasi pada pelaksanaan Peradilan Pidana Narkotika perlu melibatkan beberapa unsur/elemen terkait dalam penanganannya, sehingga perlu adanya koordinasi dan kerja sama yang baik antara sub system. Menurut Handoko, koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen-departemen atau bidang-bidang fungsional) pada suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif14. Menurut Handoko, apabila dalam organisasi dilakukan

koordinasi secara efektif maka ada beberapa manfaat yang didapatkan, antara lain sebagai berikut: 1. Dengan koordinasi dapat dihindarkan perasaan terlepas satu sama lain, antara satuan-satuan

organisasi atau antara pejabat yang ada dalam organisasi.

2. Menghindari suatu pendapat atau perasaan bahwa satuan organisasi atau pejabat merupakan yang paling penting.

3. Menghindari kemungkinan timbulnya pertentangan antara bagian dalam organisasi. 4. Menghindari terjadinya kekosongan pekerjaan terhadap suatu aktivitas dalam organisasi. 5. Menimbulkan kesadaran diantara para pegawai untuk saling membantu.

Selain koordinasi yang baik dalam suatu sistem, maka perlu adanya kerja sama yang baik diantara sub sistem yang terlibat. Menurut Abdulsyani, kerja sama adalah suatu bentuk proses sosial, dimana didalamnya terdapat aktivitas tertentu yang ditunjukkan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami aktivitas masing-masing15. Komponen – komponen

yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari

14 Handoko, T.Hani, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia (Yogyakarta, 2003) 15 Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan (Jakarta, 1994)

(19)

9

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan LAPAS. Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk suatu “integrated criminal justice system”. Muladi menegaskan makna intergrated criminal

justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam:

1. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum;

2. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif; dan

3. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistim peradilan pidana.16

F. Definisi Operasional

Beberapa pengertian/definisi dari istilah yang sering digunakan dalam kajian ini sebagai berikut: 1. Narkotika : zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

2. Psikotropika : zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika.

3. Peradilan Narkotika : suatu proses memeriksa, memutus dan mengadili perkara Narkotika yang dijalankan di pengadilan khusus Narkotika. 4. Penyalah Guna : orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau

melawan hukum.

5. Pecandu : orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

(20)

10

6. Korban Penyalah Gunaan : seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.

7. Hukum Pidana Materiil : memuat aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan mengenai pidana yang dapat dijatuhkan.

8. Hukum Pidana Formil : seluruh garis hukum yang menjadi dasar atau pedoman bagi penegak hukum untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana materiil atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa hukum pidana formil mengatur tentang bagaimana negara dengan alat-alat perlengkapannya melakukan kewajiban untuk menyidik, menuntut, menjatuhkan dan melaksanakan pidana. 9. Sistem Peradilan Pidana : satu kesatuan jaringan (network) yang saling

berhubungan dalam pengendalian kejahatan yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. 10. Sistem Peradilan Pidana

Narkotika

: satu kesatuan jaringan (network) yang saling berhubungan dalam pengendalian kejahatan yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana dalam penanganan Tindak Pidana Narkotika.

11. Penyelidikan : serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari, dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak

(21)

11

pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan Penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

12. Penyidikan : serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

13. Penuntutan : tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

14. Pengadilan : badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang dan pengadilan dalam membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. 15. Pemasyarakatan : kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan

Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

16. Aparat Penegak Hukum : aparat yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melaksanakan proses peradilan mulai dari penyelidikan, Penyidikan sampai dengan penuntutan dalam upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan–hubungan hukum dalam

(22)

12

kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum.

17. Peraturan Perundang-undangan Narkotika

: peraturan tertulis yang memuat norma hukum Tindak Pidana Narkotika yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

G. Variabel dan Sub Variabel

Sistem peradilan digambarkan sebagai keseluruhan komponen peradilan yang saling berkait sedemikian rupa sehingga terwujud suatu keadilan hukum. Oleh karena itu untuk melihat model ideal suatu sistem peradilan, maka variabel yang digunakan (Tabel 1.) menurut Emerson memakai lima unsur manajemen (5M) yang saling terkait yaitu Man, Money, Materials, Machines, and Methods17.

Tabel 1. Variabel dan Sub Variabel Kajian

VARIABEL SUB VARIABEL KONDISI SAAT INI KONDISI YANG DIHARAPKAN SUMBER INFORMASI

APH (Man) • Kualitas APH • Kuantitas APH • Integritas APH Informasi yang digali dalam riset Informasi yang digali dalam riset • Seluruh komponen dalam sistem peradilan • Pakar / Ahli • Advokat Anggaran (Money) • Ketersediaan anggaran

• Kecukupan anggaran Informasi yang digali dalam riset Informasi yang digali dalam riset • Seluruh komponen dalam sistem peradilan • Pakar / Ahli • Advokat

(23)

13 Sarana dan

Prasarana (Materials)

• Jenis sarana prasarana • Kecukupan sarana prasarana Informasi yang digali dalam riset Informasi yang digali dalam riset • Seluruh komponen dalam sistem peradilan • Pakar / Ahli • Advokat Peraturan Perundang-undangan (Machines) • Peraturan perundang-undangan yang digunakan • Pasal yang biasa

digunakan

• Saran revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

• Peraturan perundang-undangan terkait yang perlu perbaikan • Peraturan terkait rehabilitasi/memperkecil pidana penjara Informasi yang digali dalam riset Informasi yang digali dalam riset • Seluruh komponen dalam sistem peradilan • Pakar / Ahli • Advokat Criminal Justice System (Methods) • Mekanisme penanganan perkara (Penyidikan, penuntutan, pemidanaan, pemasyarakatan) • Koordinasi dan

kerjasama antara sub sistem • Pembentukan Pengadilan Khusus Narkotika Informasi yang digali dalam riset Informasi yang digali dalam riset • Seluruh komponen dalam sistem peradilan • Pakar / Ahli • Advokat H. Metode Penelitian 1) Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan pada metode penelitian hukum yaitu metode normatif empiris. Menurut Soerjono Soekanto, jika dilihat dari sudut tujuan penelitian, penelitian hukum

(24)

14

dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu penelitian normatif dan penelitian empiris18. Adapun

penelitian hukum normatif mencakup: a. penelitian terhadap asas-asas hukum; b. penelitian terhadap sistematika hukum; c. penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum; d. penelitian sejarah hukum; dan

e. penelitian perbandingan hukum.

Sedangkan penelitian hukum empiris terdiri dari:

a. penelitian terhadap indentifikasi hukum (tidak tertulis); dan b. penelitian terhadap efektifitas hukum.

Dalam penelitian ini menggabungkan antara pendekatan normatif dan empiris guna memperkaya informasi yang akan diperoleh. Melalui pendekatan normatif, peneliti mencoba melihat pelaksanaan peran masing-masing sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana Narkotika berdasarkan pada peraturan perundang-undangan Narkotika yang berlaku di Indonesia. Sedangkan melalui pendekatan empiris, peneliti mencoba menggali informasi mengenai fakta yang terjadi di lapangan terkait pelaksaaan Sistem Peradilan Pidana Narkotika di Indonesia berdasarkan pengalaman dan pengetahuan informan dan informan.

2) Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah:

1. Data sekunder yang dikumpulkan berdasarkan penelusuran literatur (library research) atau kajian dokumen; dan

2. Data primer yang dikumpulkan berdasarkan penelitian lapangan (field research). Data primer dikumpulkan secara langsung dari setiap subjek data (unit/orang) yang dijadikan informan/informan melalui kegiatan wawancara mendalam dan Focuss Group Discussion (FGD).

Informan dalam penelitian ini merupakan orang-orang yang terlibat dalam Criminal Justice

System dan pakar/ahli, yaitu:

1. Penyidik Polisi/BNN; 2. Jaksa;

(25)

15 3. Hakim;

4. Petugas LAPAS;

5. Pakar Hukum Pidana; dan

6. Advokat / Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 3) Lokasi Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian dalam kajian ini menggunakan purposive sampling dan quota sampling. Lokasi yang dipilih merupakan provinsi dengan perkara Narkotika tertinggi di Indonesia dan mewakili pulau besar yang ada di Indonesia.

Tabel 2. Pemeringkatan Keberhasilan Pengungkapan Perkara Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Adiktif lainnya.

Nomor Wilayah Jumlah Perkara Jumlah Peringkat

Polri BNN

1. Sumatera Utara 6.610 89 6.699 I

2. DKI Jakarta 5.857 23 5.880 II

3. Jawa Timur 5.773 60 5.833 III

4. Jawa Barat 2.816 42 2.858 IV

5. Jawa Tengah 2.253 21 2.274 V

6. Kalimantan Selatan 1.973 37 2.010 VI

7. Sumatera Selatan 1.904 67 1.971 VII

8. Riau 1.906 36 1.942 VIII

9. Kalimantan Timur 1.796 76 1.872 IX

10. Lampung 1.758 9 1.767 X

11. Aceh 1.665 38 1.703 XI

12. Sulawesi Selatan 1.529 26 1.555 XII

13. Bali 1.012 51 1.063 XIII

14. Sumatera Barat 811 14 825 XIV

15. Kalimantan Tengah 793 30 823 XV

16. Kalimantan Barat 782 13 795 XVI

17. Nusa Tenggara Barat 746 11 757 XVII

18. Banten 653 10 663 XVIII

19. Jambi 622 26 648 XIX

20. DI. Yogyakarta 473 24 497 XX

21. Kepulauan Riau 439 42 481 XXI

22. Sulawesi Tengah 441 33 474 XXII

23. Papua 415 39 454 XXIII

24. Bangka Belitung 354 11 365 XXIV

25. Bengkulu 339 13 352 XXV

26. Sulawesi Tenggara 296 23 319 XXVI

(26)

16

28. Mabes Polri 185 - 185 XXVIII

29. Nusa Tenggara Timur 154 2 156 XXIX

30. Sulawesi Utara 147 6 153 XXX

31. Maluku Utara 139 8 147 XXXI

32. Kalimantan Utara 113 30 143 XXXII

33. Papua Barat 127 7 134 XXXIII

34. Maluku 111 13 124 XXXIV

35. Gorontalo 71 21 92 XXXV

36. BNN RI - 75 75 XXXVI

Jumlah 45.244 1.039 46.283

Sumber: Polri dan BNN – Maret 2019, Indonesia Drugs Report 201919

Berdasarkan data table diatas, 5 (lima) provinsi yang dijadikan lokus penelitian sebagai berikut: 1. DKI Jakarta;

2. Sumatera Utara; 3. Jawa Timur;

4. Kalimantan Selatan; dan 5. Sulawesi Selatan.

Dalam pelaksanaan pengumpulan data di lapangan sangat memerlukan kesiapan kondisi wilayah dari lokasi peneltian yang dijadikan sampel. Pada kondisi pandemi Covid-19 yang melanda hampir di seluruh negara di dunia pada Tahun 2020 juga menyebabkan beberapa kendala yang dihadapi peneliti dalam pelaksanaan pengumpulan data, diantaranya kesulitan menemui informan dan dapat membahayakan keselamatan peneliti. Oleh karena hal tersebut, maka pemilihan lokasi penelitian akhirnya disesuaikan dengan kondisi keterpaparan Covid-19 di masing-masing wilayah. Ketika peneliti menentukan jadwal pengumpulan data, kondisi di ibukota Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur dalam posisi zona merah dan beberapa instansi yang akan didatangi untuk wawancara sedang dilakukan lockdown karena beberapa pegawainya terpapar Covid-19, sehingga 2 (dua) provinsi tersebut harus diganti dengan provinsi lain yang dirasa lebih aman dan mudah dalam menjangkau informan. Adapun pengganti kedua provinsi tersebut diambil dari provinsi yang juga memiliki data perkara tinggi yaitu Provinsi Sumatera Selatan dan Jawa Tengah, sehingga ke 5 (lima) provinsi yang dijadikan lokasi penelitian ini sebagai berikut:

1. DKI Jakarta;

(27)

17 2. Sumatera Selatan;

3. Jawa Tengah;

4. Kalimantan Selatan; dan 5. Sulawesi Selatan. 4) Teknik Penarikan Sampel

Dalam penelitian ini menggunakan Teknik sampling Non Probability Sampling yaitu “Teknik penarikan sampling yang tidak memberi peluang/kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel”20. Teknik Non Probability Sampling yang digunakan

adalah Purposive Sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.21 Teknik

purposive sampling ini digunakan untuk dapat menggali informasi yang lebih dalam dari

informan-informan yang memiliki kualitas informasi lebih baik terkait pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Narkotika di Indonesia. Melalui pengalaman dan pengetahuan informan, maka informasi yang diperoleh dapat menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun besaran sampel ditentukan berdasarkan quota sampling yaitu teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan,22 dengan rincian

sebagai berikut di bawah ini (Tabel 3.)

Tabel 3. Besaran sampel per provinsi

LOKASI FGD WAWANCARA MENDALAM

PESERTA JUMLAH INFORMAN JUMLAH

DKI Jakarta BNN 1 BNNP / BNNK 4

BNNP 1 Polda 2

Polda 1 Polres 5

Polres 1 Kejaksaan Agung 1

Kejaksaan Tinggi 1 Kejaksaan Tinggi 1

Kejaksaan Negeri 2 Kejaksaan Negeri 5

Pengadilan Tinggi 1 Pengadilan Tinggi 1 Pengadilan Negeri 2 Pengadilan Negeri 4 Ditjenpas Kemenkumham 1 Advokat / YLBHI 1 Jumlah 10 25 Sumatera Selatan, Jawa BNNP 2 BNNP 2 Polda 1 Polda 2

20 Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods) (Bandung, 2015) 21 Ibid

(28)

18 Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan Polres 1 Polres 2

Kejaksaan Tinggi 1 Kejaksaan Tinggi 1

Kejaksaan Negeri 2 Kejaksaan Negeri 2

Pengadilan Tinggi 1 Pengadilan Tinggi 1 Pengadilan Negeri 2 Pengadilan Negeri 2 Kanwil Kemenkumham 1 LAPAS 2 Pakar/Ahli 2 Advokat / YLBHI 1 Jumlah / Provinsi 10 18 Jumlah Total 50 97 5) Analisis Data

Secara kualitatif data hasil penelitian ini dianalisis dengan analisis domain (domain analysis)23.

Analisis domain pada hakikatnya adalah upaya peneliti untuk memperoleh gambaran umum tentang data guna menjawab fokus penelitian. Hasilnya adalah gambaran umum dari obyek yang diteliti, yang sebelumnya belum pernah diketahui.

Data diperoleh dari grand tour dan minitour question. Peneliti membuat pedoman wawancara untuk dapat menggali informasi dari masing-masing variable sebagai grand tour question. Dari jawaban yang dikemukakan oleh informan, peneliti dapat menggali lebih dalam dengan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan jawaban tersebut (minitour question).

Dalam penelitian ini tim peneliti akan membaca dan mempelajari temuan data hasil penelitian secara rinci dan detail terkait kondisi masing-masing sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana Narkotika di Indonesia.

(29)

19 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERKEMBANGAN PEMBERANTASAN NARKOTIKA DI INDONESIA

Berdasarkan catatan sejarah, penggunaan Narkotika khususnya Opium (dikenal dengan Candu) sudah digunakan sejak Tahun 3.500 Sebelum Masehi yaitu bangsa Sumeria dekat Mesopotamia. Bangsa Sumeria menggunakan Candu untuk obat tidur dan penghilang rasa sakit. Dari aspek medis, candu digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri atau sebagai obat bius bagi seseorang yang mengalami luka serius dan sebagai obat tidur. Salah satu tokoh dalam manuskrip kuno yang ditulis oleh Eber Panyrus, Dioscorides, Galen dan Avicena (Ibnu Sina) menyebutkan bahwa opium merupakan salah satu obat yang penting. Salah satu dari tokoh tersebut menggunakan opium sebagai penahan nyeri saat melakukan tindakan pembedahan pada pasien.

Dalam perkembangannya, opium berhasil direkayasa oleh Friedrich Sertuner Tahun 1803 sehingga terciptalah sebuah obat yang dikenal dengan nama morfin. Efek yang ditimbulkan akibat penggunaan morfin selain menghilangkan rasa sakit juga akan menurunkan tingkat kesadaran, euphoria, rasa kantuk, lesu dan penglihatan kabur, mengurangi rasa lapar dan menyebabkan konstipasi. Morfin berasal dari kata Morpheus yaitu dewa mimpi dalam mitologi Yunani. Sejak penemuan Friedrich Sertuner tersebut perdagangan candu semakin marak dan pada Tahun 1827, morfin mulai di produksi serta dipasarkan secara komersial oleh perusahaan E. Merck & Company

of Darmstadt, Jerman.

Pada abad ke-17 VOC (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur mulai melirik opium sebagai komoditi dan membeli opium mentah di pantai Barat India. Sebelum VOC masuk ke Jawa, opium sudah masuk ke Jawa dan sudah menjadi komoditas bernilai tinggi sehingga VOC berusaha menguasai pasar opium di Jawa. Persebaran opium banyak terjadi di Jawa Tengah namun di Priangan dan Banten tidak tersedia banyak. Orang priangan dan Banten menganggap bahwa candu adalah barang yang tidak berguna dan tidak pantas menurut agama. Pada abad 19, Priangan dan Bantan menyatakan daerahnya bebas opium dan setelah perdebatan tentang opium terjadi di kalangan tokoh pemikir, misionaris dan petinggi Belanda maka Pemerinatah Kolonial Belanda mengambil tindakan. Pada Tahun 1902, bandar opium Tionghoa dibubarkan Belanda.

(30)

20

Mengingat Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor. Untuk menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada Tahun 1927 (State Gazette Nomor278 Juncto 536). Pembentukan peraturan ini disesuaikan berdasar asas konkordansi, dengan tujuan unifikasi hukum menyatukan seluruh peraturan dibidang Narkotika yang ada sebelumnya. Pada masa penjajahan Jepang, verdonvence middelen ordonante staatsblad no 278 Tahun 1927 (ordonansi obat bius) dihapuskan dan memberlakukan aturan baru yaitu Brisbande Ordinance yang intinya melarang penggunaan candu di wilayah koloninya.

1. SEJARAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NARKOTIKA

Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous

Drugs Ordinance) atau Sterk Werkende Middlelen Ordonantie staatsblad 1949 yang mengatur

tentang daftar obat O (Ongevaarlijk) dan obat G (Gevaarlijk), dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gazette Nomor419, 1949). Dua ordonansi itu hanya mengatur hukuman pidana maksimum 6 (enam) bulan kurungan. Tentunya hal tersebut menyebabkan sanksi yang akan diterima oleh pelaku kejahatan sangat ringan dan Penyidik kepolisian tidak dapat melakukan penahanan kepada para tersangka namun tidak dapat memberikan efek jera. Seiring dengan perkembangan jenis Narkotika yang diciptakan seperti halnya heroin yang digunakan untuk obat batuk produksi Bayern Tahun 1898 serta penggunaannya yang diresepkan oleh dokter untuk pasiennya maka penggunaan Narkotika jenis heroin semakin berkembang luas. Maraknya penyalahgunaan Narkotika di Indonesia sudah mengancam stabilitas ekonomi dan keamanan negeri sehingga pemerintah berusaha untuk melakukan pengendalian dengan mengeluarkan undang-undang.

Pada Tahun 1976 DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang secara lebih luas cakupannya, lebih lengkap dan lebih berat ancaman pidananya. Undang-undang tersebut setelah sebelumnya DPR meratifikasi United Nation Single

Convention on Narcotic Drugs 1961 dan diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 8

(31)

21

Mengubahnya. Melalui undang-undang tersebut, pelaku peredaran gelap Narkotika mendapat ancaman hukuman maksimal dengan pidana mati.

Melihat penyalahgunaan Narkotika yang semakin meresahkan masyarakat maka pada Tahun 1997, DPR melakukan amandemen terhadap Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 sehingga lahirlah Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial.

Permasalahan Narkotika yang semakin komplek dan serius selain melanda dunia juga melanda Indonesia yang tentunya menuntut upaya yang lebih agresif dalam mengambil langkah yang strategis. Faktanya Indonesia bukan hanya sebagai negara transit tetapi juga negara tujuan peredaran Narkotika. Setelah beberapa Tahun pembahasan Rancangan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika melalui panitia khusus maka pada tanggal 12 Oktober 2009, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika resmi diganti dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Walaupun Indonesia memiliki Undang Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun masalah tindak pidana kejahatan ini belum dapat diselesaikan dengan tuntas.

2. KELEMBAGAAN DALAM PEMBERANTASAN PERKARA NARKOTIKA a. BADAN NARKOTIKA NASIONAL

Pembentukan Badan Narkotika Nasional mengalami beberapa perubahan kelembagaan sebagai berikut:

1) Bakolak Inpres Nomor 6 Tahun 1971

Sejarah penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai Tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional

(32)

22

(BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol, yaitu Pemberantasan Uang Palsu, Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba, Penanggulangan Penyelundupan, Penanggulangan Kenakalan Remaja, Penanggulangan Subversi, Pengawasan Orang Asing. Pada saat itu ketua bidang narkoba di pegang oleh Brigjen Pol. Drs. Soekarjdjo Subadi, SH. Yang selanjutnya digantikan oleh Kol. Pol Jeanne Mandagi, S.H. Selanjutnya digantikan oleh Brigjen Pol. Tony Sidharta dan terakhit dijabat oleh Kol. Pol. Drs. MD Tandjung.

Melalui Inpres Nomor 6 Tahun 1971, Presiden Soeharto saat itu menginstruksikan kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) yaitu Letjen TNI Soetopo Yuwono untuk mendirikan Badan Koordinasi Pelaksana Instruksi Presiden (Bakolak Inpres). Bakolak Inpres Tahun 1971 mempunyai salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi yang beranggotakan 25 instansi pemerintah yaitu wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di bawah komando dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari ABPN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN.

Pada masa itu, permasalahan narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkoba, sehingga pada saat permasalahan narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan Tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak Tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkoba.

(33)

23

2) Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN)

Menghadapi permasalahan narkoba yang cendrung terus meningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, Pemerintah (Presiden Habibie) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 1999 dan Ahwil Luthan sebagai kepala Pelaksana Harian BKNN dan menunjuk Jenderal Pol. Drs GPH. Roesdihardjo selaku Kapolri sebagai Ketua BKNN secara

ex-officio.

Pemilihan Kapolri sebagai ujung tombak lembaga ini dinilai paling ideal untuk menjalankan tugas sebagai koordinator penanganan Narkotika di Indonesia dengan pertimbangan berbagai aspek. Awal berdirinya BKNN muncul pertanyaan dari pihak lain yang mengkritisi kewenangan BKNN yang dimotori oleh Polri karena Polri tidak bisa mengkoordinir departemen lainnya mengingat Polri belum berpisah dari TNI dan masih dibawah koordinasi Departemen Pertehanan dan Keamanan.

Sampai Tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personel dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal.

3) Badan Narkotika Nasional (BNN)

BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 3 Tahun 2002 dan TAP MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI Tahun 2002 maka pada tanggal 22 Maret 2002 Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN diubah menjadi Badan Narkotika Nasional (BNN).

BNN memiliki 25 anggota dari departemen dan lembaga pemerintah terkait. Kapolri selaku Ex-Offico bertanggung jawab langsung kepada presiden. BNN,

(34)

24

sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi:

a) mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan

b) mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba. Mulai Tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. Dengan alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama dengan BNP dan BNK. Namun karena tanpa struktur kelembagaan yang memilki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja optimal dan tidak akan mampu menghadapi permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius. Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini segera menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK), yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan Anggota BNN terkait dalam satuan tugas, yang mana BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra kerja pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota) tidak mempunyai hubungan struktural-vertikal dengan BNN. Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan Penyidikan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Yang diperjuangkan BNN saat ini adalah cara untuk memiskinkan para bandar atau pengedar narkoba,

(35)

25

karena disinyalir dan terbukti pada beberapa perkara penjualan narkoba sudah digunakan untuk pendanaan teroris (Narco Terrorism) dan juga untuk menghindari kegiatan penjualan narkoba untuk biaya politik (Narco for Politic).

b. KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (POLRI)

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, memiliki tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dan bertugas salah satunya untuk melakukan penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dari penjelasan tersebut jelas bahwa peredaran Narkotika merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang mengancam keamanan, kesehatan dan ketertiban masyarakat serta ketahanan bangsa menjadi salah satu tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penanganan Narkotika oleh Polri secara khusus sudah dilakukan sejak:

1) Pada Tahun 1973, awal berdirinya Direktorat Reserse Narkotika, berdasarkan Skep Kapolri Nomor Pol: Skep/56/ VIII/1973 tanggal 17 Agustus 1973, berkedudukan /berkantor sebagian 1 (satu) ruangan di Mabes Polri, (menggunakan /menumpang di gedung Puslabfor Polri) dan sebagian lainnya berkantor di Jl. Sisingamangaraja, serta Jl. Kerinci Keb. Baru Jakarta Selatan, dengan status sewa kantor.

2) Pada Tahun 1975, Direktorat Reserse Narkotika, berkedudukan / berkantor seluruhnya di Mabes Polri, dengan menggunakan / menumpang sebagian di gedung Puslabfor Polri dan sebagian lagi menggunakan / menumpang di gedung Diskomlek Polri.

3) Pada Tahun 2003, berdasarkan Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol. : Skep/148/III/2003 tanggal 13 Maret 2003, Dit IV/TP. Narkoba dan KT. Bareskrim Polri kembali mengalami perpindahan kedudukan / kantor dari Mabes Polri ke GOR Eks Pamardisiwi BKNN Jl. MT. Haryono Nomor 11 Cawang – Jakarta Timur.

4) Pada Tahun 2004, kedudukan / kantor Dit IV/TP. Narkoba dan KT. kembali berpindah dari GOR Eks Pamardisiwi BKNN ke gedung kantor Pamardisiwi BKNN, karena lokasi lama (GOR Eks Pamardisiwi BKNN) akan digunakan / dibangun gedung BKNN.

(36)

26

5) Pada Tahun 2005, kedudukan / kantor Dit IV/TP. Narkoba dan KT. kembali mengalami perpindahan, dimana sebagian menempati lantai V gedung BNN dan sebagian lagi masih berkantor di gedung kantor Eks Pamardisiwi BNN.

6) Dengan kondisi ini maka Direktur IV/TP. Narkoba dan KT. melaporkan secara lisan / tertulis kepada Kabareskrim dan mengusulkan agar Dit IV /TP. Narkoba dan KT. dapat menempati gedung kantor eks Pamardisiwi yag saat itu sudah kosong dan panti Rehabilitasi BNN sudah dipindahkan ke Lido Sukabumi.

7) Selanjutnya Kabareskrim Polri dengan surat Nomor Pol.: B/1107/Dit IV/VII/2007/Bareskrim tanggal 13 Juli 2007 tentang pengajuan permohonan sarana perkantoran bagi Direktorat IV/TP. Narkoba dan KT. mengusulkan kepada Kapolri agar gedung eks Pamardisiwi dapat diperuntukan bagi perkantoran Dit IV/TP. Narkoba dan KT. sehingga terbitlah kemudian Skep Kapolri no. Pol.: Skep/497/IX/2007 tanggal 31 Oktober 2007, tentang Penetapan penempatan gedung dan ruang kerja Direktorat IV/TP. Narkoba dan KT. Bareskrim Polri di gedung Eks Pamardi Siwi Jl. MT. Haryono Nomor 11 Cawang Jakarta Timur

c. DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai disingkat DJBC atau bea dan cukai adalah nama dari sebuah instansi pemerintah yang melayani masyarakat di bidang kepabeanan dan cukai. Pada masa penjajahan Belanda, bea dan cukai sering disebut dengan istilah duane. Seiring dengan era globalisasi, bea dan cukai sering menggunakan istilah customs. Tugas dan fungsi Bea dan Cukai adalah berkaitan erat dengan pengelolaan keuanga negara, antara lain memungut bea masuk berikut pajak dalam rangka impor (PDRI) meliputi (PPN Impor, PPh Pasal 22, PPnBM) dan cukai.

Sebagaimana diketahui bahwa pemasukan terbesar (sering disebut sisi penerimaan) ke dalam kas negara adalah dari sektor pajak dan termasuk didalamnya adalah bea masuk dan cukai yang dikelola oleh DJBC. Selain itu, tugas dan fungsi bea dan cukai adalah mengawasi kegiatan ekspor dan impor, mengawasi peredaran minuman yang mengandung alkoholatauetil alkohol, dan peredaran rokok atau barang hasil pengolahan tembakau lainnya. Seiring perkembangan zaman, bea dan cukai

(37)

27

bertambah fungsi dan tugasnya sebagai fasilitator perdagangan, yang berwenang melakukan penundaan atau bahkan pembebasan pajak dengan syarat-syarat tertentu.

Tugas lain bea dan cukai adalah menjalankan peraturan terkait ekspor dan impor yang diterbitkan oleh departemen atau instansi pemerintahan yang lain, seperti dari Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Departemen Pertahanan dan peraturan lembaga lainya. Semua peraturan ini menjadi kewajiban bagi bea dan cukai untuk melaksanakannya karena bea dan cukai adalah instansi yang mengatur keluar masuknya barang di wilayah Indonesia. Esensi dari pelaksanaan peraturan-peraturan terkait tersebut adalah demi terwujudnya efisiensi dan efektivitas dalam pengawasan dan pelayanan, karena tidak mungkin jika setiap instansi yang berwenang tersebut melaksanakan sendiri setiap peraturan yang berkaitan dengan hal ekspor dan impor, tujuan utama dari pelaksanaan tersebut adalah untuk menghidari birokrasi panjang yang harus dilewati oleh setiap pengekspor dan pengimpor dalam beraktivitas.

Dalam kaitannya dengan memberantas penyelundupan, Direktorat Jendral Bea dan Cukai merupakan institusi yang berfungsi sebagai pintu gerbang lalu lintas arus barang dalam perdagangan internasional, oleh karena itu Direktorat Jendral Bea dan Cukai dituntut semaksimal mungkin dapat memberikan pengaruh positif dan memaksimalkan pengaruh negatif dalam perdagangan di Indonesia. Instansi kepabeanan menyadari bahwa upaya penyimpangan, pemalsuan (fraud) dan penyelundupan terjadi di belahan dunia manapun, termasuk Negara kita. Untuk itulah dalam meninkatkan efektifitas pengawasan dalam rangka mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu peraturan yang lebih jelas dalam pelaksanaaan kepabeanan.

Dalam rangka mengatasi hal tersebut ada tiga hal yang mendasari tugas dan peran kepabeanan, yaitu pertama kedisiplinan dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pelayanan terhadap masyarakat. Kedua, adanya dasar hukum yang kuat untuk melaksanakan otoritas dalam mengambil tindakan yang diperlukan terutama dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap instansi ini. Ketiga, mengantisipasi perubahan sesuai dengan tuntutan dunia perdagangan internasional. Berdasarkan hal-hal tersebut, pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat berupaya untuk mengadakan perubahan Terhadap Undang-Undang Kepabeanan Nomor 17 Tahun

Gambar

Tabel 1.  Variabel dan Sub Variabel Kajian  VARIABEL  SUB VARIABEL  KONDISI
Tabel 2. Pemeringkatan Keberhasilan Pengungkapan Perkara Narkotika,   Psikotropika, dan Bahan Adiktif lainnya
Tabel 3.  Besaran sampel per provinsi
Tabel 4. Survei Angka Prevalensi Nasional Tahun 2019
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan berupa rehabilitasi terhadap pengguna narkotika yang telah dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika merupakan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ Upaya Rehabilitasi Bagi Pecandu Narkotika Oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP).. Yogyakarta ”

khusus badan nasional narkotika yang bekerjasama dengan kepolisian...

Bagi Pegawai ASN yang lulus uji kompetensi, Badan Narkotika Nasional sebagai Instansi Pembina menerbitkan Surat Rekomendasi dan Penetapan Angka Kredit Kumulatif

diancam untuk mengunakan narkotika”. a) Kewenangan Penyidik BNN Dalam Merehabiltasi Pecandu Narkotika Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35

Penelitian ini sangat diharapkan dapat menjadi informasi dalam hal pengembangan ilmu hukum pidana khusus yaitu narkotika serta dapat menjadi bahan serta masukan

Dari beberapa kasus yang terjadi pada pelajar pengguna narkotika, maka penulis tertarik dan memilih penelitian hukum yang kemudian penulis beri judul : UPAYA BADAN

Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 3 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota