BAB II TINJAUAN PUSTAKA
B. Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia
3. Pengadilan (Mahkamah Agung)
Tidak ada SOP khusus penanganan perkara Narkotika. Pemeriksaan perkara Narkotika sama dengan perkara pidana biasa. Batas waktu penyelesaian perkara terdapat batas waktu sebagaimana dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 dimana batas waktu penyelesaian perkara tingkat pertama maksimal 5 (lima) bulan, penyelesaian perkara pada tingkat Banding paling lama 3 (tiga) bulan.
54
Dalam hal penjatuhan putusan Narkotika, Hakim dapat mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 dimana dalam Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Pidana mengenai penanganan perkara Tindak Pidana Narkotika menjelaskan bahwa: 1) Dalam hal Penuntut Umum tidak mendakwakan Pasal 127 ayat (1) tetapi fakta hukum
yang terungkap terdakwa sebagai Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri, MA tetap konsisten pada Surat Edaran Mahkamah Agung 03 Tahun 2015 angka 1, bahwa Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara selain melihat pada fakta hukum di persidangan, juga wajib melakukan musyawarah dengan mendasarkan pada surat dakwaan sebagaimana dimaksud Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP.
2) Dalam hal terdakwa tidak tertangkap tangan sedang memakai Narkotika,sedangkan barang buktinya sedikit (mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung 04 Tahun 2010), dan hasil test urine positif, namun terdakwa tidak di dakwakan Pasal 127 ayat (1), maka terdakwa dapat dikategorikan sebagai Penyalah Guna sedangkan kualifikasi tindak pidananya tetap mengacu pada surat dakwaan.
Terkait dengan putusan perkara Narkotika, Hakim juga mempertimbangkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2015 dalam hal Jaksa Penuntut Umum dalam mendakwakan Pasal 111 atau Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika namun fakta hukum yang terungkap di persidangan terbukti Pasal 127, barang bukti jumlahnya sedikit (mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010), maka Hakim dalam memutus sesuai surat dakwaan namun dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan memuat pertimbangan yang cukup.
Upaya hukum yang dapat dilakukan bagi pelaku tindak pidana Narkotika berupa Grasi ke Presiden dengan mendapat pertimbangan dari MA. Grasi dapat diajukan kepada Narapidana yang merupakan seorang Penyalah Guna Narkotika bukan sebagai Pengedar ataupun Bandar, yang merasa tidak diperlakukan dengan adil.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana telah diubah oleh Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi berbunyi: “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.”
55
Grasi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh Presiden yang juga disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945): “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.”
Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Grasi, Pemberian grasi oleh Presiden itu dapat berupa:
1) peringanan atau perubahan jenis pidana; 2) pengurangan jumlah pidana; atau 3) penghapusan pelaksanaan pidana. Permohonan Grasi dapat diajukan oleh :
1) Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden. 2) Permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan
terpidana.
3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.
4) Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta keluarga terpidana untuk mengajukan permohonan grasi.
5) Menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi menyampaikan permohonan dimaksud kepada Presiden.
Pemeriksaan di Persidangan
Menurut KUHAP dikenal ada tiga (3) macam acara pemeriksaan di sidang pengadilan yaitu:
56 1) Acara Pemeriksaan Biasa
Perkara yang diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa adalah semua jenis perkara pidana yang sulit pembuktiannya dan penerapan hukumnya, juga perkara-perkara penting dan yang menarik perhatian masyarakat.
2) Acara Pemeriksaan Singkat
Perkara yang diperiksa dengan acara pemeriksaan singkat adalah perkara yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
3) Acara Pemeriksaan Cepat;
Acara pemeriksaan cepat terdiri dari dua macam : Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan (Tipiring).
Yaitu perkara kejahatan atau pelanggaran yang di ancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda yang tidak termasuk pelanggaran lalu lintas jalan dan penghinaan ringan (semua kejahatan ringan dan pelanggaran perda dll).
Acara Pemeriksaan Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
Yaitu semua perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan; dengan tidak mempersoalkan jenis dan berat ancaman pidananya (tidak termasuk kejahatan).
Putusan pengadilan harus diucapkan di sidang terbuka untuk umum dengan hadirnya terdakwa. Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa,dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang lain.
Segera setelah putusan diucapkan hakim ketua Sidang memberitahukan kepada penuntut umum dan terdakwa mengenai hak-haknya, yaitu :
1) segera manerima atau menolak putusan
2) mempelajari putusan dalam waktu tujuh hari setelah putusan di ucapkan 3) menangguhkan pelaksanaan putusan karena mengajukan grasi
57
5) mencabut pernyataan menerima atau menolak putusan dalam waktu tujuh hari setelah putusan di ucapkan
sehubungan dengan huruf e di atas maka jaksa tidak boleh mengeksekusi putusan sebelum lampau tujuh hari setelah putusan di ucapkan sekalipun terdakwa atau penuntut umum sebelumnya menerima putusan.
2) EKSEKUSI
Putusan pengadilan dapat dieksekusi apabila putusan telah berkuatan hukum tetap. Pengertian putusan yang telah berkekuatan tetap adalah:
1) apabila terdakwa maupun penuntut umum telah menerima putusan;
2) jika upaya hukum tidak digunakan oleh pihak yang berhak sehingga masa tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum terlewati;
3) upaya hukum telah diajukan oleh pihak berhak, tetapi kemudian upaya hukum yang telah diajukan kemudian dicabut;
4) putusan Mahkamah Agung dalam pemeriksaan untuk kasasi, proses penyelesaian perkara pidana dalam penegakan hukum pidana dianggap telah selesai secara tuntas, bila pelaksanaan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap telah dieksekusi oleh Jaksa dengan benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait dengan penanganan perkara Narkotika, sebagaimana Pasal 103 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyatakan bahwa Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat memilih alternatif hukuman:
1) memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika;
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi pecandu Narkotika yang bersangkutan.
2) menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
58
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa pecandu Narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan.