• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Struktur Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu

4.4.1. Kelembagaan Perikanan Tangkap

Pola hubungan kerja komunitas Nelayan Teluk Sepang menjadikan kepercayaan sebagai dasar penting dalam kehidupan sosial. Dikarenakan mereka merupakan anggota kelompok nelayan, sehingga kebersamaan dan kepercayaan dominan dalam kehidupan sehari-hari Nelayan Teluk Sepang menjadi karakter sosial budaya masyarakat setempat. Setiap bentuk kegiatan sosial yang dilakukan merupakan hasil dari rembukan atau musyawarah atau kesepakatan bersama. Kegiatan untuk mempererat ikatan sosial mereka terletak di sebuah danau, sebutan untuk tempat mereka merapatkan lancang (tangkahan) sebagai media interaksi nelayan Teluk Sepang, disamping itu kegiatan melaut yang harian memungkinkan kegiatan sosial bisa diikuti terutama kegiatan malam hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Marx (Raharjo, 1987) bahwa cara-cara produksi dan hubungan- hubungan sosial dalam produksi membentuk mata rantai utama antara hubungan

kerja dan masyaraka. Hubungan kerja ini, sesuai dengan penjelasan Mubyarto et

al. (1998) bahwa diantara golongan penduduk baik menurut usia atau jenis

kelamin dan di berbagai lapisan masyarakat yang terlibat di kegiatan perikanan diibaratkan sebagai suatu jaringan laba-laba yang saling berkaitan.

Sedangkan pola hubungan kerja Nelayan Sumberjaya ditandai dengan heterogenitas jenis penangkapan dan etnis, sehingga menciptakan pola tersendiri dalam kelompok-kelompok nelayan. Hubungan kerja tersebut memperlihatkan adanya hubungan produksi ketergantungan antara atasan dan bawahan (patron

klien), terutama dalam kegiatan penangkapan ikan dengan jenis mesin motor berkekuatan 10->30 GT. Hubungan ini sesuai dengan pendapat Satria (2002) bahwa ciri umum hubungan produksi masyarakat pesisir adalah patron klien. Hal yang berbeda ditemukan di Kelurahan Kandang, pola hubungan kerja tidak memperlihatkan adanya ketergantungan antara pemilik dan pekerja seperti Nelayan Sumberjaya. Hubungan kerja nelayan yang ditemukan di daerah penelitian seperti pada Tabel 41 berikut.

Tabel 41. Pola hubungan kerja nelayan di daerah penelitian

Bentuk Hubungan Lokasi Penelitian

Pola I Pola II

Teluk Sepang Semi patron klien :

• Struktur atas : nelayan pemilik sekaligus tekong

Struktur bawah: 3-4 ABK Modal : bahan bakar di penuhi oleh nelayan pemilik

Pembagian kerja : tidak ada

• Struktur atas : nelayan

Struktur bawah : tekong dan 3-4 ABK

Modal : bahan bakar dipenuhi oleh nelayan pemilik

Pembagian kerja : tidak ada

Non patron klien :

• Nelayan 1 punya perahu motor dan jaring, nelayan 2 punya jaring, nelayan 3 dan 4 hanya menumpang kerja dengan tenaga saja

Modal disepakati bersama Pembagian kerja : tidak ada

• Nelayan 1 hanya punya perahu, nelayan 2 punya jaring, nelayan 3 punya jaring dan nelayan 4 punya tenaga

Modal disepakati bersama Pembagian Kerja : tidak ada

Sumberjaya Juragan/toke dan nelayan

• Struktur atas :

Di darat yaitu juragan/toke Di laut yaitu tekong

• Struktur menengah :

Lapisan pertama yaitu apit, kuanca Lapisan kedua yaitu pejabat lampu, pejabat jaring, pejabat dapur, pejabat selam

Lapisan ketiga : pelacak

• Modal dipenuhi oleh juragan/toke

• Ada pembagian kerja :

Juragan/toke bertanggung jawab penuh dengan urusan di darat

Tekong bertanggung jawab penuh dengan urusan di laut

Apit dan kuanca bertanggung jawab dengan mesin dan pembagian kerja terhadap pejabat lampu, pejabat selam, pejabat dapur, pejabat jaring dan pelacak

Tekong dan anak buah kapal (ABK)

• Struktur atas : tekong

• Struktur bawah : pelacak

Kandang • Nelayan sekaligus pemilik sampan

• Beranggotakan 3 orang

• Tidak pakai modal karena

menggunakan sampan tampa motor

• Juragan/toke dan buruh nelayan

• Juragan : pemilik

• Buruh nelayan : 1-4 ABK

• Modal : bahan bakar dipenuhi juragan

• Ada pembagian kerja

Berdasarkan Tabel 41 ditemukan bahwa pola hubungan kerja nelayan

Teluk Sepang tidak terjadi hubungan patron-clients yang ketatseperti yang terjadi

di daerah Jawa. Juragan/toke tidak memposisikan dirinya menjadi patron yang

memberikan modal pada nelayan sebagai client sehingga terikat padanya serta

memberikan hasil menangkap ikan di laut. Selanjutnya gejala yang muncul, adalah nelayan pemilik (lancang) mengeluarkan modal bahan bakar (solar) saja. Bagi pemilik lancang yang merupakan anggota kelompok nelayan biasanya mengusahakan sendiri dengan cara membeli jika ada uang tunai yang memang telah disiapkan sebelum ke laut, bila tidak mempuyai uang tunai, mereka bisa pinjam ke bagian logistik kelompok bagi nelayan yang menjadi anggota kelompok. Dan bagi nelayan bukan anggota kelompok modal diusahakan sendiri, tanpa meminjam dengan menyisihkan hasil yang didapat sebelumnya, bila tidak ada simpanan mereka patungan bersama-sama sesuai kesepakatan. Disamping itu, gejala lain yang muncul adalah sistem menumpang yang tidak menunjukkan sama sekali hubungan atasan dan bawahan. Sistem ini dikarenakan keterbatasan alat produksi (armada dan jenis penangkapan) yang dimiliki. Pola hubungan yang ditemukan pada Nelayan Teluk Sepang dan Nelayan Kandang memperlihatkan adanya hubungan kerja yang longgar sebagai akibat sistem hubungan produksi yang egaliter dan tidak ada unsur eksploitatif. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Anggraini (2002) di Pulau Panggang, dimana hubungan tengkulak dan nelayan tidak terikat seperti hubungan patron klien pada umumnya. Kondisi ini ternyata tidak sesuai dengan pendapat Acciaioli (1989) bahwa hubungan seperti

pemimpin-pengikut (patron client) merupakan ikatan-ikatan yang ditujukan untuk

memastikan bahwa mereka yang hidup dibawahnya akan dipenuhi kebutuhan dasar dan ada unsur eksploitatif.

Meskipun demikian, pola hubungan kerja yang ada tidak selalu sama antara satu jenis usaha dengan jenis usaha yang lain, namun bisa dipastikan bahwa pola hubungan kerja nelayan Teluk Sepang menyerupai pola seperti bagan dibawah ini.

Nelayan Pemilik (juragan/toke) tidak memposisikan sebagai patron bagi ABK dikarenakan Modal yang dikeluarkan oleh juragan/toke hanya bahan bakar sedangkan bekal makanan di bawa oleh masing-masing ABK dan ABK tidak terikat penuh dengan satu tekong.

Sumber : Diolah dari data primer dan data pengamatan, 2006

Gambar 21. Pola I hubungan kerja Nelayan Teluk Sepang

Nelayan “menumpang” pun bebas menentukan kemana mereka akan menumpang, dan tidak ada keterikatan yang mengikat sama sekali. Disini kepercayaan dan kerjasama yang dipakai, dan biasanya yang menumpang masih punya ikatan kekerabatan.

Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatan lapangan, 2006

Gambar 22. Pola II hubungan kerja Nelayan Teluk Sepang

Hubungan kerja Nelayan Kandang mempuyai pola tidak jauh berbeda dengan Nelayan Teluk Sepang, seperti Gambar 21 berikut ini.

Nelayan 1, 2 dan 3 menumpang dengan pemilik sampan dengan menggunakan alat tangkap masing-masing. Sedangkan pemilik sampan juga mempuyai alat tangkap sendiri, modal tidak ada karena menggunakan dayung.

Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatan lapangan, 2006

Gambar 23. Pola I hubungan kerja nelayan sampan di Kandang

Nelayan Pemilik + Tekong Nelayan Pemilik

Tekong

ABK ABK ABK ABK ABK ABK

Nelayan 1

Nelayan 2 Nelayan 3 Nelayan 4

Nelayan 1 yg lain

Nelayan 2 Nelayan 3 Nelayan 4

Nelayan 1 + Pemilik sampan

ABK bebas menentukan kepada siapa mereka bekerja, tetapi pemilik lancang berhak menentukan siapa yang bekerja padanya karena modal sepenuhnya ditanggung pemilik kapal.

Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatan lapangan, 2006

Gambar 24. Pola II hubungan kerja Nelayan Kandang

Berbeda dengan pola yang ditemukan pada nelayan Sumberjaya, dimana memperlihatkan hubungan patron klien, terlihat pada jenis alat tangkap yang memperkerjakan ABK antara 15-25 orang, dengan spesialisasi pekerjaan dan dicirikan munculnya eksplotasi antara nelayan lapisan atas (juragan) dengan nelayan lapisan bawah (ABK). Hal ini sesuai dengan pendapat Satria (2002) bahwa hubungan patron klien nampak pada kelompok nelayan besar (17-25 orang), adanya eksploitasi dan semi eksploitasi, hubungan kerjanya bersifat hirarkis. Selain itu, sesuai dengan pendapat Satria (2001) bahwa pada kelompok besar ada differensiasi sosial yang dilihat semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial tidak bersifat harisontal, melainkan vertikal atau berjenjang. Pola hubungang kerja yang ditemukan pada nelayan Sumberjaya dapat dilihat pada Gambar 25 dibawah ini.

Pemilik Lancang 1

Tekong ABK ABK ABK

Pemilik Lancang 2

Keterangan :

Para pelacak ini tidak harus tergantung pada patron (tekong) meskipun patron telah banyak memberi pekerjaan, klien masih mempuyai keleluasaan sewaktu-waktu untuk tidak terikat dengan patron. Klien juga dapat memilih kapan benrhenti dan bekerja tidak hanya satu tekong. Pola hubungan dengan adanya banyak pilihan dan jaringan sesama nelayan pelacak untuk melakukan pekerjaan bersama membuat longgarnya hubungan patron client tersebut.

Sumber: di olah dari pengamatan lapangan, 2006

Gambar 25. Pola hubungan kerja tekong dan pelacak di Sumberjaya

Dari Gambar 25, terlihat bahwa hubungan kerja tekong dan pelacak

ternyata lebih mengarah pada pola hubungan patron client yang longgar, dimana

kedua belah pihak saling membutuhkan, dan keleluasan bagi klien untuk tetap

atau lepas hubungan dengan patron. Apabila salah satu merasa dirugikan, salah

satu pihak akan mundur atau keluar. Kendati seorang pelacak dalam struktur bagi hasil yang berlaku, secara sepintas menunjukkan ketimpangan dan ketidakadilan. Mengacu pada investasi masing-masing pihak, sebenarnya menunjukkan pola bagi hasil yang seimbang. Setidaknya beberapa faktor yang mempengaruhi longgarnya

hubungan patron client nelayan Sumberjaya, adalah :

a) Tidak adanya jaminan subsisten secara tegas dari sang patron, kendati

diberi kesempatan terlibat dalam kelompok kerja patron;

b) Ada banyak instrumen ekonomi yang mau membantu, bila terjadi

kesulitan ekonomi (paceklik), seperti koperasi keliling (rentenir), koperasi kelompok nelayan dan sebagainya;

Tekong 1 Tekong yg lain

Para pelacak

c) Tidak ada perlindungan secara pribadi, bila ada ancaman dari musuh, baik ancaman secara pribadi maupun secara umum;

d) Struktur bagi hasil yang dinilai paling rendah bagi mereka, sehingga

nelayan pelacak merasa tidak terikat secara ketat kepada salah satu tekong atau pihak-pihak tertentu;

e) Banyaknya kelompok kerja nelayan yang akan bersedia menerima mereka,

bila sewaktu-waktu mereka menginginkan; dan

f) Sumberdaya laut bersifat open accses, tidak dikuasai oleh seseorang atau

kelompok tertentu, sehingga selalu memberi peluang kepada siapapun untuk memanfaatkan secara bersama. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan masyarakat petani yang terikat dengan lahan, yang sifatnya dikuasai dan dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu

Beberapa faktor di atas menjadi faktor penting longgarnya hubungan tekong dan pelacak, hal ini sesuai pendapat Scott (1993), setidaknya ada empat

faktor terjadinya hubungan patron client secara ketat, yaitu bila arus dari patron

ke client berupa; a) jaminan subsisten, b) jaminan ketentraman, berupa

perlindungan dari berbagai ancaman dan gangguan, c) jaminan dari paceklik, berupa pinjaman uang atau barang, dan d) jaminan sosial seperti membantu sarana ibadah, sekolah dan sebagainya. Beberapa fasilitas sebagaimana yang direkomendasikan Scott tersebut, sulit dipenuhi oleh patron, terlebih lagi produktivitas ikan dilaut belakangan ini mengalami penurunan.

Pejabat selam

Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatani lapangan, 2006

Gambar 26. Pola hubungan kerja juragan/toke dan nelayan Sumberjaya

Pola hubungan juragan/toke dengan nelayan pada Gambar 26 memperlihatkan pola interaksi dalam kegiatan penangkapan yang dilakukan kelompok besar (10-25 orang). Setiap hubungan melihat pelaku sebagai bagian

dari kegiatan penangkapan, yaitu tekong, apit, kuanca dan pelacak dan pihak-

pihak lain yang terlibat di dalamnya. Pihak di darat, penyediaan barang-barang

bawaan, perantara penjual dan pembeli diatur oleh juragan/toke. Peran tekong sangat signifikan, yaitu mengendalikan jalannya kegiatan melaut. Tekong mempuyai andil, bertanggung jawab dan wewenang yang paling tinggi diantara para anggota lainnya. Penunjukkan tekong sendiri, disamping atas dasar penguasaan teknologi dan kemampuan menjalankan alat penangkapan juga dominan karena faktor keahlian mereka dalam mengendalikan kegiatan

penangkapan.

Bila status tekong karena faktor keahlian semata, umumnya di tunjuk

oleh pemilik aset terbesar dalam suatu kelompok kerja tidak ikut melaut, atau

Sistem pasar yang berlaku di wilayah setempat, dengan mengikuti mekanisme yang ada, terkait dengan koordinasi dengan pihak darat.

Tekong

Apit Kuanca

Para pelacak

Pejabat lampu Pejabat jaring Pejabat dapur

yang dikenal dengan istilah juragan/toke. Status juragan/toke semacam itu, dikelurahan Sumberjaya, terdiri dari berbagai bentuk, ada juragan/toke merangkap tekong, ada juga sebagai toke saja, serta ada juga pengusaha ikan juga sebagai juragan. Umumnya, toke berada di darat adalah mempuyai penguasaan aset dalam kelompok tersebut, mulai dari armada penangkapan, alat tangkap, modal, perbekalan, bahkan mempuyai tempat melabuhkan kapal sendiri (tangkahan),

serta mempuyai gundang penyimpanan ikan yang besar. Status toke seperti ini

dikategorikan sebagai juragan. Ada juga, disamping sebagai toke juga merangkap tekong yang hanya mempuyai aset armada penangkapan, alat tangkap saja. Ada yang hanya sebagai toke saja, mempuyai armada penangkapan, alat tangkap serta gudang penyimpanan ikan sebagai tempat pengumpulan hasil penangkapan. Karena berbagai faktor, seorang juragan/toke, menunjuk seseorang tekong yang dinilai mampu memimpin dan paling berpengalaman, umumnya masih ada hubungan keluarga. Biasanya juragan/toke darat tersebut hanya berperan mendistribusikan atau menjualkan hasil tangkapan, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan darat hingga menjadi uang. Sebaliknya pula pihak darat sepenuhnya mempercayakan segala kegiatan penangkapan di laut pada tekong, misalnya pembagian kerja para pelacak, penunjukkan tugas-tugas tertentu, wilayah penangkapan dan yang lainnya.

Penyebutan kata tekong umumnya dilekatkan dengan penguasaan aset teknologi dan kemampuan menggunakan teknologi dalam penangkapan ikan, serta keahlian dalam melihat tanda-tanda alam. Karena kemampuannya tekong dianggap sebagai seorang yang punya ekonomi yang kuat, baik dalam kegiatan melaut, maupun dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kesan yang muncul kemudian adalah kehidupan yang makmur dan pekerjaan yang lebih ringan dibanding status pekerjaan yang lainnya, namun selama penangkapan berlangsung, tidak menunjukkan status dan posisi yang melekat dalam diri masing-masing.

Seorang tekong, tidaklah kemudian pekerjaannya lebih ringan dari anggota

lainnya, seperti pelacak biasa. Tekong dan anggota lainnya secara bersama-sama tanpa mempertimbangkan posisi dan status dalam kelompok. Bahkan hampir tidak ada perbedaan signifikan pekerjaan yang dilakukan tekong dengan pekerjaan

yang dilakukan pelacak biasa. Beberapa pekerjaan tertentu saja yang secara spesifik harus dilakukan seseorang yang ahli, misalnya pelacak penyelam, yaitu seseorang pelacak yang sangat ahli dalam menyelam, atau kuanca (juru mesin) yang bertanggung jawab terhadap kamar mesin, karena keahlian tersebut mendapatkan bagian tersendiri dibanding yang lain.

Berdasarkan uraian di atas, pola patron klien antara juragan/toke dan nelayan sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1990), bahwa hubungan

patron-client dilihat sebagai principle of reciprocity, dimana adanya hubungan

timbal balik, seperti yang terlihat pada hubungan produksi antara tekong dan pelacak. Pendapat ini diperkuat lagi oleh penjelasan Mappawata (1986) bahwa pola hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan yang bersifat instrumental telah mencapai suatu titik ketidak seimbangan yang maksimal, sehingga seseorang demikian unggul terhadap yang lainnya dalam kemampuannya memberikan barang-barang dan jasa, maka hubungan tersebut mendekati titik kritis untuk

selanjutnya menuju kearah hubungan patron-client.

b. Kelembagaan Bagi Hasil

Salah satu ciri hubungan produksi pada usaha perikanan tangkap adalah adanya sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang ditemukan pada komunitas nelayan Teluk Sepang ditentukan oleh kepemilikan alat produksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Satria (2002) bahwa sistem bagi hasil sangat beragam seiring dengan perbedaan karakteristik alat produksi dan karakteristik sosial. Pola bagi hasil nelayan Teluk Sepang disajikan seperti Tabel 42 berikut.

Tabel 42. Pola bagi hasil Nelayan Teluk Sepang

Jenis Nelayan Uraian

Semi Patron Klien Non Patron Klien

Target penangkapan Ikan gebur, kembung, tenggiri, tongkol, kape-kape, gelamo, beledang, pinang- pinang, maco kedapang, maco turik, snangi, belanak, udang kelong, lobster Daerah penangkapan Perairan sebalik Utara, perairan linau

Trip operasional 1 hari 1 hari

Rata-rata trip/bulan 15-20 15-20

Armada penangkapan < 5 GT – 10 GT < 5 GT-10 GT

Jumlah ABK 1-3 orang 1-3 orang

Pola Bagi hasil • Penghasilan kotor dikurangi

biaya operasional kemudian dibagi antara pemilik kapal dan ABK

• Satu bagian untuk pemilik dan satu bagian untuk ABK

• Penghasilan kotor dikurangi biaya operasional kemudian dibagi antara pemilik kapal, pemilik alat tangkap dan penumpang

• Sepertiga bagian untuk pemilik kapal, sepertiga bagian untuk pemilik alat tangkap dan sepertiga bagian untuk penumpang

Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatan lapangan, 2006

Dari Tabel 42 terlihat ada beberapa pola bagi hasil dalam nelayan Teluk Sepang. Pola I, yaitu juragan sebagai pemilik kapal yang mempuyai alat produksi (lancang dan jaring) yaitu dari total penghasilan dikurangi dengan bekal melaut/bahan bakar adalah penghasilan kotor. Selanjutnya dari penghasilan kotor tersebut, sistem bagi hasilnya dibagi dua yaitu satu bagian untuk pemilik kapal dan satu bagian lagi untuk seluruh anak buah kapal (ABK) yang dibagikan secara proporsional sesuai dengan berat ringannya pekerjaan. Khusus untuk tekong akan mendapatkan tambahan komisi dari toke diluar sistem bagi hasil tersebut. Besarnya komisi tergantung dari kemurahan hati toke, biasanya dilihat dari pendapatan hari itu, semakin besar pendapatan, komisi yang terima juga besar, atau sebaliknya.

Selain pola bagi hasil diatas, karena keterbatasan akan perahu (lancang), alat tangkap (jaring) dan modal (biaya solar) telah menciptakan pola hubungan kerja lain pada komunitas nelayan Teluk Sepang. Bagi nelayan dengan keterbatasan tersebut menjadikan posisi mereka sebagai pengikut yang mempuyai perahu (lancang), istilah mereka menumpang, dengan kesepakatan diantara mereka hasil tangkapan tersebut berdasarkan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil dalam hubungan kerja tersebut biasanya perbekalan mereka bawa masing-masing,

setelah dikeluarkan untuk modal operasional melaut (solar), sisanya dibagi dengan ketentuan, yaitu satu per tiga bagian untuk pemilik lancang, satu per tiga bagian lagi dibagi sama rata dengan anggota perahu yang punya jaring dan satu pertiga sisanya dibagi rata keseluruhan anggota lancang. Sebagai contoh, sistem bagi hasil pola I, sebuah lancang (berpenumpang 3-4 orang) berpenghasilan Rp. 400.000. Hasil tersebut terlebih dahulu dikurangi biaya perbekalan sebesar Rp. 70.000,-. Sisanya Rp.330.000,- dibagi dua; satu bagian untuk pemilik lancang dan satu bagian untuk ABK. Hasilnya pemilik lancang mendapatkan Rp. 165.000,- dan setiap ABK mendapat Rp.41.250.

Berdasarkan pasal 3 undang-undang bagi hasil perikanan (UUBHP) yang mengelompokkan persentase bagi hasil perikanan laut berdasarkan jenis perahu layar atau kapal motor, untuk nelayan pandega perahu layar memberikan persentase pembagian minimum sebesar 75% dan perahu motor minimum 40% dari hasil bersih. Maka sistem bagi hasil nelayan Teluk Sepang pola semi patron klien jika dibandingkan dengan UUBHP sudah di atas standar yaitu nelayan buruh menerima sebesar 50%-50% dari keuntungan. Sementara, sistem bagi hasil yang berlaku untuk nelayan non patron klien menunjukkan tidak sesuai dengan UUBHP, yaitu nelayan buruh masih menerima pembagian dibawah 40%. Hal ini

sesuai dengan pendapat Taryoto et al. (1993) bahwa umumnya sistem bagi hasil

yang berlaku adalah pembagian hasil antara pemilik modal dengan nelayan yang kelaut selalu menguntungkan pemilik modal.

Tabel 43. Pola bagi hasil Nelayan Kandang

Nelayan Sampan Nelayan Lancang

Pola Bagi hasil Pendapatan seluruh

penumpang sampan disatukan kemudian dibagi rata seluruh penumpang

Pendapatan dipotong dengan modal merupakan hasil bersih. Hasil bersih dibagi 50% untuk pemilik dan 50% untuk seluruh ABK yang dibagi enam : dua untuk tekong dan empat untuk seluruh ABK

Sumber : Diolah dari wawancara, 2006

Berdasarkan Tabel 43 memperlihatkan pola bagi hasil Nelayan Kandang adalah sistem bagi dua untuk pemilik dan ABK dan sistem bagi enam untuk

tekong dan ABK. Pola ini menunjukkan bahwa bagi hasil memberikan bagian yang lebih besar bagi pemilik sehingga adanya ketidakmerataan distribusi pendapatan, yang mengakibatkan ketimpangan dan posisi nelayan buruh (ABK) yang lemah. Pada akhirnya menyebabkan kemiskinan di kalangan nelayan buruh. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwegono dan Pakpahan (1993) bahwa penyebab kemiskinan antara lain yaitu bagi hasil yang tidak adil. Pendapat ini diperkuat oleh Baswir (1999) bahwa kemiskinan dapat terjadi karena faktor struktural yaitu faktor buatan manusia seperti kebijakan perekonomian yang tidak adil.

Sementara itu, sistem bagi hasil Nelayan Sumberjaya berdasarkan jenis alat produksi, seperti terlihat pada Tabel 44 dibawah ini.

Tabel 44. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring pukat cincin

Perhitunngan hasil bersih

Pola Status Bagian Keterangan Pemilik kapal Dua bagian dari

hasil bersih

Memberikan premi asuransi sebesar 100/kg Biaya perawatan Satu bagian dari

hasil bersih Hasil penjualan dikurangi biaya perbekalan = penghasilan bersih Bagi empat ABK (15-25 orang) Tekong Apit/kuanca Pelacak

Satu bagian dari hasil bersih - Untuk tekong diberi gaji bulanan - bonus : >10 ton = Rp. 1 juta >5 ton = Rp. 200/kg, dibagi sesuai dengan jumlah pelacak Sumber : Diolah dari wawancara, 2006

Tabel 45. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring insang hanyut/udang

Perhitunngan hasil bersih Pola Status Bagian Keterangan

Bagi dua Pemilik

kapal

Dua bagian dari hasil bersih

Hasil penjualan dikurangi biaya perawatan, dikurangi biaya es balok, dikurangi biaya angsuran kredit jaring = penghasilan bersih Tekong ABK (4-7 orang) Satu bagian dari hasil bersih

Dibagi dua : satu bagian untuk tekong dan satu bagian untuk semua pelacak Sumber : Diolah dari wawancara, 2006

Tabel 46. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring payang

Perhitunngan hasil bersih

Pola Status Bagian Keterangan

Pemilik kapal 45% - 50% Hasil penjualan dikurangi biaya perbekalan = penghasilan kotor. Kemudian dari penghasilan kotor

Dokumen terkait