• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Struktur Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu

4.3.2. Pelapisan Sosial

Dalam masyarakat nelayan, terjadinya diferensiasi peranan yang ditandai dengan semakin meningkatnya kebutuhan spesialisasi pekerjaan. Hal ini menurut pendapat Satria (2002), disebabkan akibat masuknya alat tangkap modern. Dengan adanya sistem pembagian kerja semacam ini berimplikasi pada pembentukan struktur pelapisan sosial pada masyarakat nelayan. Terjadinya diferensiasi peranan mengakibatkan munculnya perbedaan akses terhadap sumberdaya dan pembentukan pemilikan sumberdaya. Mengacu pada pernyataan ini, bahwa masyarakat nelayan Kota Bengkulu menunjukkan adanya pelapisan sosial.

Pelapisan yang ada pada masyarakat nelayan Kota Bengkulu akibat adanya stratifikasi ekonomi karena ketidaksetaraan ekonomi antar lapisan dan berdasarkan spesialisasi pekerjaan. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Soekanto (1999), menyatakan bahwa dengan mengamati pola-pola penguasaan aset produksi seperti modal, kapal, dan peralatan tangkap akan mempermudah untuk mengidentifikasi adanya pelapisan sosial dalam komunitas nelayan Kota Bengkulu. Sistem pelapisan sosial yang ditemukan digolongkan dalam tiga lapisan, yaitu :

1. Lapisan atas adalah mereka yang disebut juragan atau pemilik kapal maupun

alat tangkap dan toke (pedagang pengumpul ikan). Lapisan atas di masyarakat nelayan Kota Bengkulu adalah kalangan juragan yang memiliki modal, kapal dengan jenis alat tangkap yang berbeda dan dapat dipergunakan dalam aktivitas penangkapan sampai jarak yang lebih jauh ke laut dan bahkan tidak tergantung pada musim, gudang-gudang ikan, bangunan rumah bagus,

kepemilikan alat transportasi, barang-barang elektronik dan sebagainya. Di Teluk Sepang lapisan atas adalah mereka yang memiliki perahu motor yang jumlahnya >10 unit dengan alat tangkap, yakni jaring insang hanyut, jaring udang/lobster. Sementara di Sumberjaya lapisan atas datang dari pemilik kapal/juragan yang memiliki perahu motor dan kapal motor dengan ukuran bervariasi dengan jenis alat tangkap, yakni jaring pukat kantong, payang, jjaring insang hanyut, pancing, dan bagan perahu. Selain itu, lapisan atas juga datang dari juragan yang juga berprofesi sebagai toke. Ukuran kapal yang dimiliki juragan bervariasi dari < 5 GT sampai >20 GT. Pada tahun 2006, jumlah kapal/perahu perikanan di Sumberjaya mencapai 117 unit. Jumlah tersebut terdiri dari perahu motor ukuran <5 GT mencapai 16 unit, 5-10 GT 47 unit, 10-20 GT 21 unit, 20-30 GT 18 unit , >30 GT 15 unit. Karena identik dengan penguasaan ekonomi yang besar juragan/toke seringkali menjadi sandaran bagi masyarakat sekitar dan pekerjanya mengalami kesulitan ekonomi.

2. Lapisan menengah adalah nelayan-nelayan kecil. Lapisan menengah di Teluk

Sepang adalah nelayan yang menangkap ikan dilaut (tekong) dan cingkau. Cingkau adalah orang yang jual beli ikan dalam skala menengah.

3. Lapisan yang terbawah adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki alat

tangkap terutama pelacak. Di Teluk Sepang maupun Sumberjaya, lapisan ini bekerjapada juragan/pemilik kapal.

Dengan pelapisan seperti ini menciptakan hubungan sosial dan hubungan

ekonomi yang saling berkepentingan dan membutuhkan dalam kegiatan perikanan tangkap. Juragan ataupun toke sebagai pemilik modal dan alat produksi juga menguasai jaringan pemasaran ikan secara oligopolistik. Sementara buruh nelayan yang memiliki tenaga kerja dan hubungan permodalan dengan berbagai lapisan atas. Hal ini sesuai dengan pendapat Satria (2001) yang menyatakan cara produksi kapitalis mendominasi non kapitalis, dan menciptakan stratifikasi dalam masyarakat.

Dalam hubungan kerja terutama armada penangkapan berkekuatan >10 sampai dengan >30 GT menunjukkan klasifikasi lapisan masyarakat nelayan sebagai berikut :

1. Juragan/toke adalah orang yang menjadi penyandang dana dalam kegiatan melaut sekaligus sebagai pengumpul ikan hasil tangkapan dari nelayan lainnya.

2. Tekong adalah nelayan yang bertanggung jawab atas kegiatan operasional

perahu.

3. Apit adalah nelayan yang membantu tekong sebagai juru mudi

kapal/perahu yang bertugas mengatur arah perjalan perahu.

4. Kuanca adalah nelayan yang bertugas mengontak nelayan-nelayan lain

untuk bekerja.

5. Pejabat lampu adalah nelayan yang bertugas merawat, memompa tabung

lampu, serta menghidupkan dan meletakkannya di tempat yang tersedia.

6. Pejabat jaring adalah nelayan yang bertugas memelihara jaring,

menaburkan jaring dan menarik jaring dalam kegiatan penangkapan.

7. Pejabat dapur adalah nelayan yang bertanggung jawab atas perbekalan dan

konsumsi nelayan pada saat penangkapan.

8. Pejabat selam adalah nelayan yang bertugas membuang timah ketika

menaburkan jaring, mengatur posisi jaring pada saat di taburkan kelaut dan menata posisi jaring sebagaimana mestinya setelah dipakai.

9. Pelacak adalah nelayan yang menyediakan tenaga untuk membantu

pejabat lampu, pejabat jaring, pejabat dapur dan pejabat selam.

Stratifikasi diatas, tergambar jelas dalam kegiatan perikanan tangkap nelayan Sumberjaya dimana hubungan produksi perikanan tangkap di Kelurahan Sumberjaya mengalami perubahan formasi sosial yaitu hubungan produksi dan kekuatan produksi pada cara baru, yang ditunjukkan dengan adanya hubungan hirarkis, statusnya terdiri dari juragan, tekong, dan anak buah kapal (ABK) dengan berjenjang jenis pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Satria (2002) bahwa ciri-ciri perikanan tangkap yang menggunakan cara produksi baru terdiri dari pertama, jenis alat produksi diantaranya purse seine, sifat alat produksi modern, tenaga kerja permanen, unit produksi dalam kelompok besar beranggotakan 16-20 orang, mempuyai hubungan yang bersifat hirarkis, semi eksploitatif dan eksploitatif; kedua, jenis alat produksi perahu motor yang sifatnya semi permanen, mempuyai buruh semi permanen, terdiri dari kelompok kecil (4-6

orang) dengan struktur semi hirarkis serta sifatnya semi eksploitatif; dan ketiga, jenis alat produksinya perahu tempel yang memuyai buruh bebas, terdiri dari kelompok kecil (3-04 orang) dengan struktur egaliter yang sifatnya non eksploitatif.

Masyarakat petambak mempuyai pelapisan sosial yang berdasarkan pada kepemilikan luas lahan, sehingga dalam komunitas petambak terdapat empat lapisan sosial yaitu :

1. Lapisan pertama diduduki oleh para pemilik tambak dengan kriteria

mempuyai modal dan tambak yang cukup luas (memiliki lebih dari satu petak atau ± 5 ha), dan dalam pengelolaannya tidak dilakukan sendiri tetapi dengan memperkerjakan orang lain. Biasanya mereka tidak tinggal di kawasan pertambakan, namun tinggal di perkampungan daratan, dan hanya mnegontrol tambaknya seminggu sekali. Dalam istilah setempat disebut dengan toke

2. Lapisan kedua diduduki oleh para pemilik tambak dengan kriteria mempuyai

modal dengan kepemilikan lahan yang relatif tidak luas (hanya satu petak tang luasnya 1-4 ha) dan dala pengelolaannya dilakukan sendiri atau tidak memperkerjakan orang lain. Biasanya mereka tinggal di kawasan pertambakan berdampingan dengan tambaknya atau kawasan permukiman yang agak ramai di tepi jalan desa, namun relatif masih dekat dengan tambaknya.

3. Lapisan ketiga diduduki oleh para penggarap yang mempuyai modal namun

tidak mempuyai lahan sehingga bekerja mengelola tambak milik orang lain (toke) dengan sistem bagi hasil 1:1. Mereka biasanya tinggal dan menunggui tambak yang dikelolanya, tempat tinggal yang mereka tempati biasanya dibuatkan oleh toke namun ada juga yang tinggal dirumah milik sendiri. Dalam istilah setempat dikenal dengan sebutan petambak numpang.

4. Lapisan keempat diduduki oleh para penggarap tambak yang hanya

bermodalkan tenaga kerja dan tidak mempuyai lahan sehingga bekerja mengelola tambak milik orang lain (milik toke) denga sistem bagi hasil 1:6. saat panen sebagai tenaga penangkap udang atau bandeng. Mereka diharuskan tinggal dan menunggui tambak yang dikelolanya, tempat tinggal yang mereka tempati dibuatkan oleh toke. Biasanya mereka merangkap menjadi buruh

pada petambak lain saat pengolahan tambak sebelum tebar yaitu mengangkat lumpur dari dalam tambak dan pada

Selain itu, dalam masyarakat nelayan Kota Bengkulu terdapat juga stratifikasi berdasarkan pandangan masyarakat pesisir itu sendiri, seperti disajikan pada Tabel 40 berikut.

Tabel 40. Stratifikasi sosial masyarakat pesisir Kota Bengkulu dalam pandangan nelayan dan petambak

Lapisan Jenis pekerjaan Jumlah

Atas Juragan

Toke

18 orang 23 orang Menengah- Atas Petambak

Cingkau Tekong

25 orang 47 orang 139 orang Menengah - Bawah Bakulan/emberan

Apit Kuanca

68 orang 54 orang 15 orang Bawah- Atas Pejabat lampu

Pejabat jaring Pejabat dapur Pejabat selam Penjaga tambak 30 orang 43 orang 26 orang 32 orang 15 orang

Bawah-Bawah Pelacak 198 0rang

Sumber : dimodifikasi dari Satria (2002)

Berdasarkan uraian di atas, dominasi lapisan atas (juragan/toke) dalam

kepemilikan alat produksi dan modal menunjukkan adanya hubungan patron

client sebagai suatu kelembagaan yang mempengaruhi cara produksi nelayan Kota

Bengkulu. Hal ini sesuai dengan pendapat Masyhuri (1999) bahwa struktur ekonomi nelayan nampaknya lebih cenderung berpihak kepada kelompok nelayan yang menguasai sarana produksi, lebih mendorong terjadinya ketimpangan pendapatan dikalangan nelayan memungkin terjadinya eksploitasi terhadap nelayan oleh nelayan lain. Pendapat ini mendukung penjelasan dominasi kelas menurut Marx (Gidden,1989) dimana akan timbul apabila hubungan-hubungan produksi melibatkan suatu pembagian tenaga kerja yang beragam, yang memungkinkan terjadinya penumpukan surplus produksi sehingga merupakan pola hubungan memeras terhadap para perproduksi.

Dari kondisi ini juga terlihat adanya hubungan patron klien dalam komunitas nelayan dan petambak Kota Bengkulu banyak yang bersifat kekerabatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mappawata (1986) bahwa pola hubungan kerja yang telah mencapai suatu titik ketidak seimbangan yang maksimal, sehingga seseorang demikian unggul terhadap yang lainnya dalam kemampuannya memberikan barang-barang dan jasa, maka hubungan tersebut

mendekati titik kritis untuk selanjutnya menuju kearah hubungan patron-client.

4.4. Kelembagaan Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu

4.4.1. Kelembagaan Perikanan Tangkap

Dokumen terkait