• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2.3 Kelimpahan dan Distribusi Burung Pemakan Buah

Secara keseluruhan, dari 94 spesies burung yang ditemukan di seluruh tipe vegetasi lokasi penelitian terdiri atas 1945 individu dari 63 spesies burung yang bisa dimasukan dalam perhitungan kelimpahan dan distribusi. Jumlah spesies burung tersebut tercakup dalam 23 familia (Lampiran 12). Berdasarkan hasil pengamatan, di semua tipe vegetasi diperoleh data yang menunjukkan bahwa Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) memiliki kelimpahan individu tertinggi dengan nilai kepadatan 103 ind./ha di KT5, 105 ind./ha di KT10, dan 45 ind./ha di hutan sekunder. Spesies burung lainnya yang tercatat sebagai spesies dengan jumlah individu terbanyak tiap hektarnya yaitu secara berturut-turut Tepus pipi- perak (Stachyris melanothorax) dan Cinenen jawa (Orthotomus sepium) dengan kepadatan berkisar 7-14 ind./ha, dan 5-13 ind./ha (Lampiran 14). Menurut Fleming (1992) kepadatan burung frugivora berkaitan dengan kelimpahan buah yang tinggi.

Selain ketiga spesies tadi, kelimpahan spesies burung tidak merata pada

tiap tipe vegetasinya. Sebagai contoh burung Merbah cerukcuk (Pycnonotus

goiavier) mencapai 14 ind./ha pada tipe vegetasi KT5, akan tetapi pada KT10 dan hutan sekunder tidak ditemukan. Demikian pula dengan burung Perenjak sayap- garis (Prinia familiaris) di hutan sekunder dan KT5 ditemukan 11-13 ind./ha, sedangkan di KT10 hanya 2 ind./ha (Lampiran 14). Hal berbeda yang terjadi pada

familia Dicaeidae, secara umum kelimpahan individu spesies dari familia Dicaeidae lebih banyak di KT10 (4-11 ind./ha) dibanding KT5 (3-7 ind./ha) dan hutan sekunder (0-4 ind./ha). Perubahan struktur vegetasi pada habitat yang sedang mengalami suksesi mempengaruhi struktur habitat dan ketersediaan makanan yang diperkirakan ditanggapi oleh burung (Karr 1976).

Tabel 5. Kelimpahan dan distribusi burung pemakan buah di tiga tipe vegetasi

No. Nama Ilmiah

Tipe vegetasi KT5 KT10 HS D Fr D Fr D Fr 1 Zosterops palpebrosus 103 100,00 105 100,00 45 86,67 2 Pycnonotus aurigaster 8 60,00 2 13,33 2 13,33 3 Dicaeum trochileum 7 66,67 4 40,00 4 33,33 4 Dicaeum sanguinolentum 4 33,33 12 80,00 4 26,67 5 Dicaeum trigonostigma 4 33,33 11 80,00 4 33,33 6 Dicaeum concolor 3 33,33 4 46,67 7 Pycnonotus goiavier 14 93,33 8 Macropygia emiliana V V 1 6,67 9 Macropygia unchal V V 1 20,00 10 Megalaima armillaris V V 3 26,67 11 Zosterops Montana V V 5 20,00 12 Megalaima corvina 7 66,67 13 Ptilinopus porphyreus 1 20,00 14 Megalaima haemacephala 5 46,67 15 Pycnonotus bimaculatus 5 40,00 16 Alophoixus bres 5 33,33 Total 8 sp 10 sp 13 sp

KT5: kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar ≥5 tahun, KT10:kebun teh yang di biarkan

menjadi semak belukar ≥10 tahun, HS: hutan sekunder, D: kepadatan burung per ha, FR: frekuensi relative, V: ditemukan spesies burung di habitat tetapi tidak tercatat di titik hitung

Beberapa spesies burung mempunyai kelimpahan yang kecil juga hanya

ditemukan di tempat tertentu saja, diantaranya Cucak kutilang (Pycnonotus

aurigaster), Cucak gunung (Pycnonotus bimaculatus), Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) dan familia Capitonidae (Tabel 5). Kondisi ini disebabkan karena spesies burung khususnya familia Capitonidae dan Cucak gunung (Pycnonotus bimaculatus) lebih menyukai tumbuhan yang tinggi untuk aktivitasnya. Oleh karena itu, di tipe vegetasi KT5 dan KT10 tidak nyaman digunakan burung tersebut disebabkan kurang tersedia pohon yang tinggi.

Selain itu, spesies Cucak gunung sangat sensitif terhadap kehadiran dan aktivitas manusia, sehingga sangat sulit ditemukan di KT5 dan KT10. Di kedua

tempat tersebut lebih banyak aktivitas manusia dibanding di hutan sekunder seperti mencari kayu bakar, menyabit rumput, mencari anggrek dan benalu dari pohon teh. Disamping itu, Cucak gunung lebih menyukai tempat tenggeran maupun tempat mencari makan di vegetasi yang lebih rapat dan tinggi. Ketersediaan sumberdaya tumbuhan yang sesuai dengan kebutuhan burung untuk aktivitasnya menunjukkan bahwa tempat tersebut relatif nyaman dan mendukung untuk kelangsungan hidupnya (Karr 1976, 1980). Krebs & Davis (1978) menyatakan bahwa bentuk tumbuhan suatu habitat menyediakan beraneka macam sumberdaya seperti makanan, tempat bersarang dan tempat berlindung.

Pycnonotus goiavier dan Pycnonotus aurigaster lebih menyukai tipe vegetasi yang lebih terbuka serta tidak terlalu sensitif terhadap kehadiran aktivitas manusia sehingga mempunyai kelimpahan lebih tinggi di KT5 dan KT10 (Tabel 5). Hal ini karena burung tersebut lebih adaptif dengan tipe vegetasi peralihan dari kondisi terbuka ke hutan sekunder. Pada vegetasi yang lebih rapat dengan pohon- pohon yang tinggi seperti hutan sekunder homogen, atau hutan sekunder campuran bahkan di hutan primer, kedua burung cucak tadi tidak ditemukan. Hal senada ditemukan oleh Hadiprayitno (1999), bahwa di hutan pinus usia 5 dan 10 tahun yang banyak semak belukarnya lebih mudah ditemukan kedua burung cucak tadi dibanding di hutan sekunder campuran di Gunung Tangkuban Perahu.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Kacamata biasa (Zosterops

palpebrosus) dan Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) merupakan spesies burung dengan frekuensi perjumpaan paling tinggi di KT5 (Lampiran 14). Hampir

sama dijumpai di KT10, burung Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus)

ditemukan di semua titik hitung, sedangkan Merbah cerukcuk (Pycnonotus

goiavier) tidak ditemukan. Menurut Karr et al. (1992) kelimpahan dan distribusi spesies burung di habitatnya dipengaruhi oleh kondisi struktur vegetasi. Ketersediaan stratifikasi vertikal vegetasi dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap keberadaan dan kepadatan spesies burung.

Perubahan penyebaran burung terjadi pula di hutan sekunder yang secara struktur dan komposisi vegetasinya lebih komplek. Penyebaran Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) dan Tepus pipi-perak (Stachyris melanothorax) mengalami penurunan yaitu hanya ditemukan masing-masing di 13 dan 7 titik

hitung (Lampiran14). Perubahan struktur dan komposisi vegetasi dari sederhana menjadi lebih kompleks dapat menurunkan kehadiran dan penyebaran spesies tertentu, akan tetapi memunculkan spesies yang lainnya (Hadiprayitno 1999). Demikian pula kerusakan struktur maupun komposisi vegetasi hutan akibat kebakaran mempengaruhi distribusi dan kelimpahan burung (Ding et al. 1997; Hadiprayitno 1999). Nilai frekuensi yang tinggi menunjukkan bahwa spesies burung tersebut dapat beradaptasi dengan baik, meskipun terdapat perbedaan kondisi vegetasi. Burung kelompok ini digolongkan kedalam spesies burung yang

sangat umum atau “common species” pada kondisi habitat yang sesuai

(MacKinnon et al. 2000).

5.3 Karakteristik Burung Pemakan Buah

5.3.1 Morfologi Eksternal Burung Pemakan Buah

Karakteristik morfometrik lebih ditujukan pada burung yang tertangkap jala kabut “mist net”, dan diduga mempunyai potensi sebagai burung pemakan buah (Lampiran 25). Parameter morfologi eksternal yang sangat menunjang

terhadap pengelompokan berdasarkan guild adalah bukaan paruh dan panjang

paruh, sedangkan parameter lain seperti panjang tarsus, panjang total dan panjang sayap kurang jelas berkaitan langsung dengan pengelompokan guild.

Burung granivora dapat dibedakan dari burung frugivora karena bentuk paruh yang lebih kokoh dan tebal. Akan tetapi secara morfometrik nisbah panjang paruh dengan panjang kepala tidak mencolok. Menurut Mackinnon (1995) dan

King et al. (1992) spesies dari familia Ploceidae sering dimasukan dalam

kelompok burung granivora, namun pada penelitian ini dimasukkan kedalam kelompok frugivora sebagai tambahan spesies burung pemakan buah pada Table 5 dengan harapan dapat menemukan nisbah yang jelas antara kedua kelompok burung berdasarkan jenis makanannya.

Burung Ploceidae (Tabel 6) seperti burung Bondol hijau dada-merah, Bondol jawa, dan Bodol peking sering memakan buah kering khusus dari tumbuhan familia Graminae, sehingga dianggap sebagai pemakan buah. Demikian pula burung Tepus pipi-perak (Tabel 6) dimasukan kedalam kelompok frugivora, karena beberapa peneliti menemukan bahwa burung tersebut sering mengkonsumsi buah-buahan (Corlett 1998b). Hal ini sering juga dijumpai saat

pengamatan burung Stachyris melanothorax mematuk matuk buah-buahan yang dekat di tempat tenggerannya.

Berdasarkan kebiasaan makannya, nisbah morfometrik panjang paruh dengan panjang kepala burung Dicaeidae (0,30), Pycnonotidae (0,33-0,45), Zosteropidae (0,28), Ploceidae (0,34-0,39) dan Timalidae (0,38) (Tabel 6). Hal tersebut jauh berbeda dengan burung pemakan nektar atau madu (burung pijantung) yaitu 0,52 (Partasasmita et al. 2004).

Tabel 6. Karakteristik panjang paruh, panjang kepala dan berat burung yang berpotensi sebagai pemakan buah

No Nama Spesies n Panjang

paruh (mm) Panjang kepala (mm) Berat burung (gr) Kategori feeding guild 1 Dicaeum trigonostigma 5 7,10±0,34 24,05±0,44 7,40±0,89 F 2 Erythrura hyperythra 5 10,11±0,55 25,96±0,83 15,60±0,64 G 3 Lonchura leucogastroides 16 8,08±0,60 23,47±0,25 10,00±1,69 G 4 Lonchura punctulata 10 8,17±0,95 22,25±0,98 10,88±1,73 G 5 Pycnonotus aurigaster 14 14,25±0,85 37,17±1,26 31,93±1,98 F 6 Pycnonotus bimaculatus 9 16,43±0,51 37,28±1,24 32,04±1,79 F 7 Pycnonotus goiavier 34 12,75±1,66 38,44±1,41 31,50±2,61 F 8 Stachyris melanothorax 44 12,21±1,50 32,15±1,18 12,97±0,92 I 9 Zosterops palpebrosus 128 7,14±0,98 25,66±1,23 8,11±1,00 F

F:frugivora, G:granivora, I:insektivora

Selain itu, panjang paruh sangat berperan dalam menjangkau makanan, seperti burung penghisap madu. Nisbah tinggi dan lebar bukaan paruh menunjukkan besaran, bentuk dan cara penanganan makanan yang dimakan. Menurut Moermond & Denslow (1985) variasi dalam penanganan makanan untuk burung frugivora sangat berkaitan erat dengan batasan secara ekologi dan perilaku. Dalam penelitian ini dipilih sebanyak 9 spesies dari 5 familia, karena pada feses burung tersebut ditemukan biji (Tabel 7).

Tabel 7. Komposisi biji utuh dan tidak utuh (butir) pada feses burung yang berpotensi sebagai pemakan buah

No Nama Spesies Tertangkap/

ada biji ∑ biji utuh ∑ biji tidak utuh Kategori 1 Dicaeum trigonostigma 5/5 363 0 ab 2 Erythrura hyperythra 5/1 1 6 c 3 Lonchura leucogastroides 16/1 3 32 c 4 Lonchura punctulata 10/2 4 17 c 5 Pycnonotus aurigaster 14/12 1519 3 ab 6 Pycnonotus bimaculatus 9/7 254 2 ab 7 Pycnonotus goiavier 34/28 6488 23 ab 8 Stachyris melanothorax 44/20 1267 43 b 9 Zosterops palpebrosus 128/107 4234 14 ab

a:pemakan buah ≥ 50% sampel burung terdapat biji dalam feses b:penyebar biji ≥50% terdapat biji utuh dalam feses

c:predator biji ≤ 50% ditemukan biji utuh di dalam feses

Beberapa spesies burung Ploceidae seperti burung Bondol hijau dada- merah, Bondol jawa, dan Bodol peking sering memakan buah kering khusus dari tumbuhan familia Graminae, sehingga dianggap sebagai pemakan buah. Dalam perilaku makan spesies burung dari familia Ploceidae cara menangani makanan digigit diantara paruh atas dan paruh bawah, kemudian cairan buah yang keluar dari bulir ditelan, jika bulir buah masih muda seperti buah padi-padian. Akan tetapi, jika burung diatas memakan bulir rumput yang tua, perilaku makannya tampak bulir rumput dipatuk kemudian ditelan langsung.

Hipotesa tersebut sebagai landasan memasukan beberapa spesies burung Ploceidae ke kelompok burung frugivora. Akan tetapi berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa burung Ploceidae bukan pemakan buah tetapi predator biji. Burung Tepus pipi-perak dimasukan kedalam kelompok frugivora, karena beberapa peneliti menemukan bahwa burung tersebut sering mengkonsumsi buah- buahan (Corlett 1998b). Hal ini sering juga dijumpai saat pengamatan burung

Stachyris melanothorax mematuk-matuk buah-buahan yang dekat di tempat tenggerannya dan ditemukan biji dalam fesesnya (Tabel 7).

Tabel 8. Ukuran besar bukaan paruh burung pemakan buah

No Familia Nama Spesies n TBP (mm) LBP(mm) Rbp 1 Dicaeidae Dicaeum trigonostigma 5 5,88±0,58 5,57±0,21 1,06 2 Ploceidae Erythrura hyperythra 5 3,59±0,26 8,00±0,92 0,45 3 Ploceidae Lonchura leucogastroides 16 5,55±0,53 6,85±0,58 0,74 4 Ploceidae Lonchura punctulata 10 5,13±0,68 7,02±0,89 0,73 5 Pycnonotidae Pycnonotus aurigaster 14 10,38±0,95 10,94±0,96 0,95 6 Pycnonotidae Pycnonotus bimaculatus 9 10,24±0,76 10,96±0,48 0,93 7 Pycnonotidae Pycnonotus goiavier 34 9,40±1,23 10,43±0,98 0,90 8 Sylviidae Stachyris melanothorax 44 6,00±0,90 6,91±0,86 0,87 9 Zosteropidae Zosterops palpebrosus 128 6,25±0,63 5,96±0,63 1,05 n:jumlah sampel burung, TBP:tinggi bukaan paruh, LBP: lebar bukaan paruh, Rbp: nisbah besar bukaan paruh (TBP/LBP)

Tabel 8 menunjukkan bahwa spesies burung familia Ploceidae memiliki nisbah tinggi dengan lebar bukaan paruh lebih kecil dibanding 4 familia yang lainnya. Ukuran bukaan paruh yang lebih sempit mengindikasikan makanan yang ditelan cenderung memiliki bentuk yang tidak bulat. Makanan yang tidak proporsional dengan besar bukaan paruh harus dipatuk dan ditekan kuat diantara paruh atas dan bawah sehingga menjadi gepeng. Perilaku menangani makanan demikian menyebabkan sebagian besar buah yang ditelan menjadi pecah bahkan bijinya pun menjadi hancur. Kelompok burung yang memakan buah tetapi tidak membantu penyebaran bijinya karena cenderung biji yang dikeluarkan bersama feses rusak disebut predator buah (Herrera 1984b). Dengan demikian

menunjukkan bahwa Ploceidae sebagai predator buah, sedangkan Stachyris

melanothorax sebagai penyebar biji tetapi bersifat fakultatif.

Pada burung yang memiliki ukuran bukaan paruh hampir sama antara

tinggi dan lebar bukaannya (nisbah ≥ 0,9) lebih mudah menelan buah yang

proporsional dengan bukaan paruhnya seperti pada burung Cabai bunga-api, Kacamata biasa, Cucak kutilang, Cucak gunung, dan Merbah cerukcuk (Tabel 10). Ukuran lebar bukaan paruh familia Pycnonotidae berkisar 10-11 mm di lokasi penelitian, ini menunjukkan ukuran lebih kecil dibanding familia yang sama di Hong Kong (Corlett 2002). Menurut Wheelwright (1988), kemampuan burung menangani dan menelan buah yang efisien tergantung pada ukuran buah, ukuran tubuh burung dan ukuran besar bukaan paruh. Kelompok burung frugivora memiliki ukuran lebar dan tinggi bukaan paruh yang hampir seimbang, sehingga mudah menelan buah, dan biji yang termakan berpeluang utuh (Herrera 1985).

Selain itu, variasi ukuran bukaan paruh, berhubungan dengan ukuran berat burung itu sendiri. Tabel 6, 7 dan 8 menunjukkan semakin besar berat badan burung maka semakin besar bukaan paruhnya, dengan korelasi yang sangat tinggi yaitu r=0,99. Demikian pula burung-burung pemakan buah di daerah Hato Raton Taman Nasional Donana Spanyol memiliki korelasi yang sangat signifikan antara berat badan dan lebar bukaan paruh (Jordano 1986). Berat tubuh burung pemakan buah merupakan faktor utama yang menentukan dari intensitas memakan buah. Kebutuhan jumlah makanan buah berhubungan erat dengan besar tubuh burung pemakan buah (Herrera, 1984b). Semakin besar dan berat tubuh burung pemakan buah maka semakin banyak buah yang dapat dimakan. Oleh karena itu, ukuran tubuh yang kecil memakan buah berukuran kecil pula seperti burung Cabai bunga-api (Dicaeum trigosnostigma) dan Kacamata biasa (Zosteroppalpebrosus). Hal yang hampir sama dijumpai Jordano (2000) burung besar seperti

Acrocephalus spp. memakan buah ukuran sedang dengan komposisi volume pakannya antara 30-70%.

Besar ukuran bukaan paruh sangat ditentukan oleh tinggi dibanding lebar bukaan paruh, sehingga semakin tinggi bukaan paruh, semakin luas kisaran ukuran buah yang dapat ditelan secara utuh (Tabel 7,8). Burung yang memiliki ukuran besar bukaan paruh kecil hanya memakan buah-buahan yang kecil, karena keterbatasan ukuran bukaan paruhnya (Wheelwright 1988; Herrera 1985). Oleh karena itu, buah yang dimakan oleh burung familia Dicaeidae, Zosteropidae, dan Pycnonotidae akan ditemukan bijinya dalam feses burung tersebut. Walaupun demikian, lolosnya biji dari proses ingesti di paruh burung tidak langsung akan ditemukan pada fesesnya, karena biji tersebut harus juga selamat dari proses digesti di oesophagus, ventrikulus dan di usus burung.

5.3.2 Morfologi Sistem Pencernaan Burung

Karakter morfologi sistem pencernaan burung pemakan buah menunjukkan bahwa ukuran besar tubuh berkaitan dengan panjang saluran

pencernaan. Burung Dicaeum trigonostigma dan Zosterops palpebrosus yang

mempunyai berat lebih kecil dibanding spesies burung Pycnonotidae memiliki karakteristik sistem morfologi lebih pendek dan ringan (Tabel 9).

Tabel 9. Karakter morfometri sistem pencernaan burung pemakan buah dan penyebar biji (n=5 individu sampel /spesies)

No Nama Spesies t-pv (cm) Panjang usus (cm) ventrikulus Panjang (mm) Tebal (mm) Berat (g) 1 Dicaeum trigonostigma 4,16±0,06 11,36±0,60 6,45±0,50 3,35±0,36 <0,10 2 Pycnonotus aurigaster 7,64±0,15 13,72±0,41 14,47±0,25 6,87±0,51 0,58±0,08 3 Pycnonotus bimaculatus 6,34±0,17 14,57±0.08 14,63±0,87 7,66±0,16 0,64±0,06 4 Pycnonotus goiavier 5,79±0,03 14,66±1.36 15,12±0,64 6,59±0,33 0,52±0.08 5 Zosterops palpebrosus 3,71±0,50 11,98±1.61 8,88±0,70 5,46±0,40 0,22±0,05 t:tenggorokan, pv: proventikulus

Ukuran panjang sistem saluran pencernaan dan tebal ventrikulus lebih menunjukkan efektivitas burung tersebut dalam menyebarkan biji. Sebagai

contoh, burung Zosterops palpebrosus mempunyai ukuran yang lebih pendek

sistem saluran pencernaan dan ventrikulus yang tipis (Tabel 9). Oleh karena itu,

pada fesesnya sering dijumpai banyak biji berukuran kecil seperti Melastoma affine dan Clidemia hirta, juga biji ukuran sedang seperti Lantana camara.

Ukuran yang pendek saluran pencernaan dan terutama tipis lapisan ventrikulus sangat memungkinkan buah yang ditelan, biji dapat keluar utuh bersama feses burung tersebut. Pada burung yang mempunyai saluran pencernaan lebih panjang dan ventrikulus berotot lebih tebal sangat dimungkinkan buah yang dimakan, bijinya dikeluarkan bersama feses dalam keadaan tidak utuh, kecuali jika

mempunyai exocarp biji yang tebal dan kuat. Hal ini tampak pada burung

Stachyris melanothorax, walaupun beberapa kali teramati memakan buah tetapi sangat jarang ditemukan biji dalam fesesnya (Tabel 7).

Selain itu, ukuran yang lebih pendek saluran pencernaan dan tipis ventrikulus burung pemakan buah adalah merupakan bentuk modifikasi dan adaptasi morfologi burung terhadap jenis makanan yang dimakannya (Jordano 1986, 2000). Dengan demikian, burung tersebut melakukan perubahan pola makan dengan mengkonsumsi buah lebih sering. Walaupun buah-buahan yang dikonsumsi memiliki kandungan nutrisi yang tinggi seperti lemak, protein, dan karbohidrat. Namun nutrisi tersebut tidak terserap banyak, karena sebagian besar dari nutrisi tersimpan dalam biji, dan burung hanya mencerna lebih banyak daging buahnya saja (Cipollini 2000; Corlett 1996; Ko et al.1998).

Pendeknya saluran pencernaan pada burung pemakan buah mempercepat waktu retensi dari pencernaannya, sehingga semakin pendek saluran pencernaan semakin cepat juga biji dikeluarkan bersama feses dari buah yang dimakannya. Panjang saluran pencernaan dan berat badan burung penyebar biji memiliki korelasi kuat yaitu koefisien determinasi R2=0,99 (Tabel 9, Lampiran 25), hal ini menunjukkan bahwa burung yang kecil selalu memiliki panjang saluran pencernaan yang lebih pendek. Dengan demikian burung frugivora kecil kemungkinan memiliki waktu retensi lebih cepat dibanding burung yang lebih besar. Oleh karena itu waktu retensi makanan dalam saluran pencernaan ditentukan oleh besar burung, tetapi juga panjang saluran pencernaan, ukuran biji dan jenis buah. Namun Jordano (1986) menjumpai 5 spesies dari genus Sylvia dengan berat tumbuh berkisar 11,1-19,0 gr, panjang intestine berkisar 12,2-15,6 cm memiliki waktu retensi rata selama 32,3-44,6 menit. Sedangkan Fukui (2003) menemukan rata lama waktu retensi lebih cepat (20,8 menit) pada burung

Hypsipetes amourotis (Pycnonotidae) dengan berat tubuh berkisar 29-32 gr. Tebal ventrikulus berhubungan erat dengan berat ventrikulus. Pada burung yang mempunyai ventrikulus kurang tebal cenderung memiliki berat yang lebih

ringan. Hal ini ditunjukkan pada burung Cabai bunga-api (Dicaeum

trigonostigma) dengan tebal ventrikulus 3,35±0,36 mm memiliki berat basah <0,10 gr (Tabel 11). Oleh karena itu, semakin tipis ventrikulus maka peluang biji utuh yang keluar bersama feses dari buah yang dimakan semakin besar. Jordano (1986) menyatakan pada burung pemakan buah terjadi modifikasi sistem pencernaan pada bagian proventikulus dan ventrikulus yang semakin tipis ototnya.

Dengan demikian, burung dapat dikategori sebagai pemakan buah (frugivora) berdasarkan karakteristik morfologinya adalah memiliki jumlah feses

yang mengandung biji lebih dari 50%, nisbah bukaan paruh ≥ 0,90, ukuran

saluran pencernaan yang pendek, serta otot ventrikulus yang tipis.

5.4 Ketersediaan Buah Pakan Burung Pemakan Buah

Dokumen terkait