• Tidak ada hasil yang ditemukan

LOKASI PENELITIAN

4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.5. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan 1 Kelompok Non-Gantangan ( Nyambungan )

5.5.2. Kelompok Gantangan Umum (Gintingan)

Menurut penuturan Pak Rusdi (50 tahun), salah seorang Kepala Dusun di Desa Jayamukti, adanya Telitian ini bermanfaat dan merupakan wujud dari sikap “saling mendukung” antar warga desa. Pendapatnya ini muncul karena keluarga Pak Rusdi pernah mengenyam manisnya hasil atau keuntungan dari telitian ini, yaitu ia mampu membeli sebidang tanah dan membangun rumah dari bilik bambu diatasnya. Keluarga pak Rusdi adalah contoh profil rumah tangga ekonomi lemah (bawah) di Desa Jayamukti, Subang Utara. Ia tidak memiliki pekerjaan tetap, selain sebagai pak wakil (kepala dusun). Sehingga

dalam kesehariannya ia lebih banyak melayani warga, membantu urusan atau pekerjaan administrasi untuk desa, pertemuan-pertemuan dengan warga hingga terlibat dalam proyek-proyek pembangunan seperti PNPM mandiri dan sebagainya. Posisinya sebagai pak wakil inilah yang membuatnya cukup disegani warga meskipun secara ekonomi ia berada dibawah rata-rata warga masyarakat yang diwakilinya.

“…tahun 2004 Saya hajatan dengan modal Rp. 7.000.000,- saya dapet hasil telitian Rp. 9.000.000. Keuntungannya ini (sambil menginjakkan kaki ke lantai tanah rumahnya), Saya belikan tanah dan bangun rumah. Itu pun tahun 2004, saat ini hasil telitian bisa lebih besar. Misalnya keluarga yang kelas menengah bawah, dengan modal hajat Rp. 15.000.000,- ia bisa mendapat rata-rata Rp. 20.000.000 s.d. Rp. 30.000.000, sedangkan keluarga menengah ke atas, dengan modal Rp. 25.000.000,- ia bisa mendapat rata-rata Rp. 50.000.000,- s.d. Rp. 70.000.000,- …”

Di dusun wilayah dusun Pak Rusdi ini, urusan hajatan cenderung sangat mudah. Bahkan setiap RT sudah memiliki masing-masing 20 kursi plastik yang dapat dipakai secara gratis oleh warganya yang hajatan. Terdapat 4 RT di dusun ini, sehingga sudah terdapat 80 kursi hasil swadaya dusun.

“…Dalam satu musim hajat (6 bulan) biasanya ada 6-7 panggung (hajatan), kalau ramai ya bisa sampai 15 panggung…”

Menurut Pak Rusdi, masyarakat dusun Tegaltangkil ini sudah terbiasa

dengan swadaya, termasuk dulu pernah ada Perelek dan juga swadaya dalam

pembangunan masjid di dusun mereka. Perelek adalah Sumbangan atau iuran

berupa beras yang diberikan oleh warga dan secara teknis dikumpulkan oleh pak RT untuk digunakan sebagai iuran ronda malam. Jumlah sumbangan

perelek adalah beras sejumlah ½ s.d. 1 gelas air minum dalam kemasan. Namun perelek ini kemudian dihilangkan atau dialihkan sejak terbentuk panitia pembangunan masjid.

Dimulainya pembangunan masjid, melahirkan tradisi “swadaya” lainnya, yaitu meminta sumbangan di jalan raya atau yang disebut dengan Kencrengan. Kencrengan ini adalah cara meminta sumbangan dari warga yang kebetulan melintas di jalan raya. Jumlah sumbangan sukarela dan biasanya digunakan untuk pembangunan masjid atau perbaikan jalan. Kencrengan biasanya melibatkan 5 – 10 orang. Pak RT dan RW adalah orang yang kemudian menyusun jadwal “bergiliran” warganya tersebut. Peralatan untuk menjalankan kencrengan biasanya adalah : jaring ikan, tong bekas/batang pisang (untuk pembatas/pembagi jalan), tenda/ terpal, pengeras suara (untuk orasi), bendera merah (untuk tanda pelan-pelan). Terkadang panitia dan petugas kencrengan juga memiliki seragam, memakai topi dan masker untuk menghindari debu. Di jalanan yang sepi, menurut pak Rusdi, bisanya mereka bisa mendapat Rp. 200.000/hari untuk jalan desa. Untuk jalanan yang ramai atau jalan raya besar, biasanya bisa diperoleh hingga lebih dari Rp. 400.000/hari.

Terlepas dari kebiasaan swadaya masyarakat dusun Tegaltangkil itu, keikutsertaan keluarga Pak Rusdi dalam Gantangan atau Telitian ini didorong oleh norma sosial dan kebutuhan ekonomi sekaligus. Posisinya sebagai Pak Wakil menunjukkan kedekatannya dengan masyarakat, baik secara vertikal maupun horizontal. Ia harus selalu hadir dalam setiap aktivitas publik warganya, termasuk ketika hajatan. Berkaca dari pengalaman warga desa di Karawang yang diuntungkan dengan Telitian, pak Rusdi berniat untuk memperoleh hasil yang sama. Namun, ajakan pertama kali sebenarnya bukan dari dirinya, melainkan dari sang istri, Ai (40 tahun) yang sering bergaul dan mengikuti kumpulan dan arisan dengan ibu-ibu lainnya. Dari berbagai kumpulan tersebut informasi tentang Telitian mereka peroleh dan tertarik

untuk ikut serta. Sebab, bagi Pak Rusdi dan bu Ai, “pinjaman” dari tetangga atau warga desa itulah salah satu yang paling bisa diandalkan jika mereka membutuhkan uang sewaktu-waktu.

Senada dengan keluarga Pak Rusdi, keluarga Pak Adul juga profil rumah tangga yang terlibat dan melibatkan diri dalam pertukaran sosial Gantangan. Meskipun secara ekonomi keluarga pak Adul (52 tahun) dan bu Asmi (50 tahun) termasuk dalam kelompok menengah ke bawah, namun secara status sosial Pak Adul merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan. Ketokohan Pak Adul tumbuh dan diperkuat oleh posisinya sebagai Satgas (kepala hansip) di desa Jayamukti. Posisi yang dijabatnya sejak enam tahun yang lalu (2006) ini memungkinkan pak Adul untuk bertemu dan berkomunikasi dengan hampir seluruh lapisan masyarakat, khususnya di desa Jayamukti. Posisi sebagai Satgas ini pun cukup strategis karena fungsi dan tugasnya sebagai penjaga keamanan Desa, mediator konflik, dan yang membuatnya paling sering berhubungan dengan masyarakat adalah sebagai petugas yang mengurus perijinan ketika ada warga

yang akan melakukan hajatan rame-rame.

Menurut beberapa warga dan aparat desa lainnya, keluarga Pak Adul ini juga tercatat sebagai salah satu pelopor dari pertukaran sosial Gantangan di desa Jayamukti. Bapak dua anak yang beristrikan seorang buruh tani ini adalah salah satu warga yang paling bersemangat mengadopsi Gantangan, khususnya setelah melihat kasus keberhasilan Gantangan dalam mengangkat ekonomi rumah tangga di Kabupaten Karawang. Meskipun pada waktu itu pak Adul belum menjadi Satgas, namun melalui hajatan keluarga dekat dan kerabat-kerabatnya, pertukaran Gantangan ini disosialisasikan dan dijalankan hingga eksis sampai sekarang.

“…yang dilakukan sekarang ini, dalam hajatan/kondangan ini sepertinya telitihan. Jika kita ada keperluan, boleh kita

menanyakan. Misalnya, mereka kondangan 1 gantang (10 liter), uangnya 50 ribu, lha nanti waktu kondangan bisa ditarik. Ya, itu hutang piutang. Jadi kalau pada waktu hajat itu mereka tidak membayar bisa ditanyakan…”

Ketika pertukaran sosial Gantangan atau yang lebih dikenal sebagai Telitian ini diadopsi oleh sebagian besar warga Desa dan menjadi tradisi baru, kesibukan Pak Adul sebagai Satgas otomatis juga bertambah. Terlebih ketika prinsip “jangan sampai rugi” dan “mencari untung” dalam Telitian ini semakin menguat. Prinsip mencari untung ini mendorong warga untuk melakukan berbagai cara agar hajatan mereka ramai didatangi oleh tamu undangan. Dengan semakin ramai tamu yang datang, diharapkan semakin banyak beras dan uang yang dapat dikumpulkan. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menggelar hiburan yang meriah, sehingga menarik orang untuk hadir ke dalam pesta hajatan. Dengan hadirnya hiburan ini, maka fungsi dan peran pak Adul sebagai Satgas desa menjadi sangat diperlukan.

“…namanya hajatan, kadang-kadang bisa bareng-bareng sampai tiga kali, lima kali dan seterusnya. Tidak semua hajatan dilaporkan ke desa, hanya yang rame-rame saja. Menurut aturan memang harus dilaporkan ke kapolsek, tapi besar biayanya bervariasi. Kalau hiburannya hanya “karedok” (karaokean bari dodok/karaoke sambil duduk) itu tidak perlu dilaporkan. Tapi kalau wayang, jaipong, organ tunggal, tarling itu harus dilaporkan kepada tiga instansi. Pertama, diurus oleh Satgas, lalu Kepala Desa, Kecamatan, Danramil dan yang mengeluarkan ijin Kapolsek…”

Dengan pendapatannya sebagai Satgas yang tidak seberapa dari desa, istri yang hanya menjadi buruh tani, dua anak yang harus dihidupi, serta tidak

memiliki sawah ataupun empang (tambak) untuk digarap, kehidupan ekonomi

dalam mencari nafkah tambahan. Baik melalui iuran-iuran keamanan maupun kerja-kerja serabutan yang diberikan oleh warga desa lainnya. Oleh karena itu, jaringan dan pelayanan pak Adul kepada warga desa lainnya juga akan menentukan rejeki atau nafkah yang akan ia terima. Oleh karena itu, ia sangat menerapkan toleransi dan fleksibilitas yang tinggi dalam menarik iuran perijinan atau hajatan dari warga desa. Tidak lain agar warga tidak merasa terbebani dan puas dengan pelayanan pak Adul.

“…Menurut APPKD, (hiburan dengan) organ tunggal itu biayanya 500 ribu. Tapi namanya kita manusia, nggak semua membayar segitu, kebanyakan kurang. Bahkan ada yang membayar hanya 250 ribu. Tekor, tapi ya gapapa, ini khan bukan sekedar mengambil keuntungan. Dibandingkan kelurahan lain, daerah saya ini yang paling murah. Jadi, kalau kurang, kita nunggu yang lain lalu kita gabungkan. Daerah lain organ tunggal 700rb-1 juta tuh. Saya mah bukan tidak butuh pak, tapi sebagai pelayan masyarakat walau bagaimana kita harus melayani masyarakat…Kadang-kadang ada hajatan bareng tiga atau empat, jadi agar tidak bolak-balik saya mengurusnya sekalian. Hajatan tidak menentu juga soalnya…”

Diluar hajatan yang mengundang hiburan rame-rame ini, sebagian warga juga banyak yang mengadakan hajatan tanpa hiburan atau dengan hiburan bernuansa agamis dan lebih sederhana. Biasanya mereka yang memilih model hajatan ini, menurut Pak Adul, adalah keluarga yang menengah ke bawah atau keluarga santri (Haji) yang lebih suka hiburan bernuansa Islami. Pesta hajatan dengan model semacam ini cenderung kurang memerlukan pengamanan yang penuh, sebab hampir dapat dipastikan sumber-sumber keributan seperti minuman keras, musik keras dan kerumunan massa tidak ada di lokasi hajatan.

“…lalu untuk hajatan yang tanpa hiburan atau yang berbau agama seperti marawisan, ketimplingan, itu hanya

mengetahui/tidak perlu ijin, kalau tidak ada hiburan ya hanya lapor ke RT lalu kepala dusun, sudah. Selama ini, kalau kita hitung satu tahun, kebanyakan ya yang ada hiburannya. Yang punya modal mah hiburannya yang besar, organ tunggalnya juga yang mahal…”

Pemahaman pak Adul tentang seluk beluk hiburan yang disukai oleh warga desanya ini juga tidak diragukan lagi. Bahkan ia hafal diluar kepala tentang jenis hiburan, tarif atau biaya sewa hingga asal hiburan dan berapa jumlah orang yang terlibat di dalam kelompok hiburan tersebut.

“…Harga hiburan itu relatif, kalau dari wetan itu wayang 7 juta (paling mahal) 5 juta paling murah. Kalau sandiwara itu paling murah 11 juta, ada juga yang 12 juta. Kebanyakan organ tunggal, klasifikasinya, yang model “asrolani” itu sampai 12 juta, “nunung alvis” itu 14 juta, semua dari daerah Indramayu. Memang grup dari sana lebih bagus dari yang disini. Setiap grup itu ada 30 orang lebih, bagian peralatan, sound system dan sebagainya. Ya kalau yang punya hajat nyimpen banyak ke orang lain yang bisa nutup modal itu semua. Kalau organ tunggal jumlah penyanyinya 4-5 orang, biayanya 3,5 juta. Karedok itu sama seperti organ, tapi nggak pake panggung, paling-paling 1,5 juta, penyanyi 2 orang. Kalau odong-odong itu khusus arak- arakan pengantin sunat, 5,5 juta, biasanya hanya berisi 8 singa/gotongan. Kalau ada 10, 15, 25 bisa mencapai 9 juta. Terkadang begini, saya pesen untuk keluarga sendiri satu set, maka tetangga yang anaknya ingin ikut bayar 300 ribu/gotongan. Kalau orang di luar desa mah gak tau berapa.

Odong-odong itu keliling, misalnya 500 meter ke barat, dan 500 meter ke timur, total waktunya 4 jam sudah termasuk atraksi dan sebagainya. Kalau qosidah itu ada rombongan khusus desa jayamukti (al badar), itu bisa dipakai apa saja, biasanya yang memakai orang yang haji atau islam yang tekun. Nanti membayarnya dengan semen 10 sak/500 ribuan, nanti itu untuk membangun masjid. Kalau pemutaran film sekarang sudah nggak ada. Dulu, layar tancep itu tarifnya 2,5 juta dari sukamandi dan cilamaya. Tapi sudah 3 tahun ini nggak ada lagi. Kalau Tarling atau lalakon itu sekitar 6 jutaan, ini juga dari Indramayu, karena

disini tidak ada (40an orang). Dangdut atau orkes melayu disini nggak ada, 6 tahun ini saya nggak pernah lihat.

Selain gambaran umum tentang peran dan posisi pak Adul dalam dinamika pesta hajatan di desa Jayamukti, hal lain yang menarik untuk kita dalami adalah sejauh mana keterlibatan pak Adul dan keluarganya dalam pertukaran sosial gantangan itu sendiri. Sebagai keluarga yang memiliki status sosial cukup berpengaruh dan dikenal secara luas namun menengah ke bawah secara ekonomi, keterlibatan pak Adul di dalam pertukaran Gantangan merupakan potret kasus yang menarik. Di satu sisi ia memiliki peluang untuk selalu mendapatkan hasil Gantangan yang besar karena jumlah tamu undangan yang banyak, namun disisi lain ia juga terbatas dalam segi ekonomi.

“Saya bulan 3 tahun kemarin hajat (rasulan), habis (modal) 17,8 juta, mendapat uang 34 juta, masih ada lebihannya. Jika rata- rata 20.000, itu hampir 2000 orang yang datang. Tokoh masyarakat seperti saya ya, pembantu keamanan, ada kelebihannya karena dikenal satu desa. Mereka seolah melihat ya. Apalagi kalau keluarga besar begitu. Sekarang kondangan 20 ribu aja sudah malu pak, makannya berapa? Ke saya aja ada yang 200 rb, 300 rb, 500 ribu, dan 50 ribu itu hampir 30%. Tapi ya itu, kalau mereka hajat kita harus mengembalikannya hahaha…nah itu beratnya…Hari ini saja saya telitian pada pak haji di Blanakan sana habis 100 ribu, berasnya 1 gantang, itungannya 60 ribu, berarti udah 160 ribu sehari, belum keponakan (yang hari itu juga sedang hajatan-pen)…

Dari pengalaman hajatan keluarga Pak Adul diatas, menunjukkan bagaimana ia dan keluarganya meskipun bukan termasuk golongan ekonomi atas, tetapi memiliki jejaring dan status sosial yang berpengaruh ditengah masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan jumlah tamu undangan dan simpanan gantangan yang diberikan. Besarnya jumlah sumbangan merupakan simbol bahwa pak Adul dipercaya mampu mengembalikan simpanan

Gantangan itu. Banyaknya jumlah tamu undangan yang datang menandakan luasnya pergaulan pak Adul khususnya. Jumlah simpanan Gantangan yang berbanding lurus dengan jumlah tamu undangan mengindikasikan bahwa setiap tamu yang datang memang berniat menyimpan beras atau uang kepada keluarga pak Adul. Sebab, ada juga hajatan yang dihadiri banyak tamu, namun hasilnya sedikit. Artinya, tidak semua tamu berniat menyimpan atau menyimpan tetapi dalam jumlah yang kecil.

“…Kemaren setelah hajat saya bereskan hutang-hutang semuanya. Sekarang ini semua orang di dapur dibayar, tukang cuci piring, tukang masak, tukang air, semuanya dibayar. Tukang masak 250 ribu/orang, cuci piring 100 ribu/orang, tukang pendaringan (tukang nunggu beras, kue, dsbnya) dibayar 200 ribu, ditotal-total bisa lebih dari 1 juta itu. Kalau kebayan (panitia-pen) tidak dibayar. Belum tenda, piring, prasmanan, dan dekorasinya aja sampai 7 juta itu…”

Namun, meskipun hasil hajatan yang merupakan hutang Gantangan tersebut cukup besar, namun pengeluaran yang harus dibayar oleh bapak hajat, dalam hal ini Pak Adul, juga besar. Sebab, hampir tidak ada lagi istilah membantu sukarela seperti jaman dahulu. Setiap bantuan dari tetangga, mau tidak mau harus “dinilai” dan diberikan kompensasi berupa uang atau upah. Pola semacam ini semakin umum di tengah masyarakat desa Jayamukti. Bahkan, upah-upah tersebut cenderung menuju pada standarisasi, bukan sekedar sukarela atau semampu dari bapak hajatnya. Intinya, semua harus dibayar, sehingga bapak hajat harus benar-benar berhitung agar tidak merugi. Termasuk dalam perhitungan utama adalah soal apakah akan menggunakan hiburan atau tidak? Jika ya, maka hiburan apa yang akan disewa? Jika salah memilih, bisa-bisa modal hajatan tidak tertutup oleh hasil Gantangannya.

“Jadi cerita hajat mah, tergantung hiburannya. Kalau hiburannya mahal ya modal lebih gedhe. Disini juga ada yang pake jaipong, 3,5 juta yang termurah dan termahalnya 5 juta. Saya tiga kali hajat pakenya jaipong wae, seneng jaipong sih hehe…sekarang jaipong pake kaos seragam, dan penarinya paling banyak 15 orang…”

Pengalaman pak Adul dan keluarga dalam menyelenggarakan hajat Gantangan menunjukkan bahwa hasil Gantangan dalam setiap hajatan tidak sama (fluktuatif), yaitu tergantung pada jarak antara satu hajatan dengan hajatan lainnya dan jumlah simpanan Gantangan sebelum hajat. Hal ini ditunjukkan dengan 3 kali hajatan keluarga Pak Adul mengusung “judul” yang sama, yaitu khitanan (baik anak maupun cucu), menyewa hiburan yang sama, yaitu jaipongan, namun hasil Gantangannya (selisih antara modal dan hasil) berbeda-beda. Tetapi, meskipun berbeda tetapi tidak pernah sekalipun rugi.

“… Hajat pertama (khitanan) saya dapet 9,4 juta dengan modal 5,7 juta. Lagi murah itu sebelum krismon. Hajat kedua (khitanan cucu) habis 17,5 juta dapetnya 28 juta (tahun 1985, ini padi juga masih 80 ribu), karena sering hajat jadi sebenarnya makin lama makin menurun….Saya enggak pernah mengalami rugi, bahkan, saya sendiri setiap hajat itu yang olok beras pak, pernah kebayannya saya yang hajat 2011 itu sampai 140 orang kebayan. Habisnya, dari hari pertama bikin tarub sampai besoknya 5,4 kuintal habis, total dengan kondangan ya 1 ton beras habis untuk makan semua…”

Kunci kesuksesan hajat menurut pak Adul adalah rajin tidaknya seseorang menghadiri undangan hajat orang lain. Pak Adul meyakini, semakin sering kita menyimpan atau menghadiri undangan hajat orang lain, maka ketika kita hajat pasti akan mendapatkan hasil lebih atau minimal tidak rugi. Solidaritas dalam hajatan ini memang diikat dan diperkuat dalam kontrak tertulis yang tertera dalam buku catatan Gantangan. Maka, jika kita

semakin sering mencatatkan nama ke dalam buku Gantangan orang lain, maka orang lain akan membalas dengan menghadiri undangan kita.

“Seperti saya (ketika) hajat ke 2, saya naruh ke 1400 orang, bayar-naruh, hasilnya khan jadi kena. Jadi, makin banyak kita naruh ke orang, hasilnya juga akan lebih banyak. Ya itu catatannya semua orangnya bener. Kalau orang yang jarang kondangan ya alhamdulillah kalau dia kondangan ya nggak ada yang datang. Ada tetangga saya hajatan, cuman dapat beras 3 karung, uang Cuma 8 juta…padahal (sewa) organ berapa? Itu katanya jebol sampai 20 juta. Kemarin itu barengan saya. Itu dia berlebihan, padahal enggak gaul”.

Pada beberapa rumah tangga menengah ke atas, solidaritas kontraktual semacam ini dikembangkan dengan lebih intensif dengan membentuk kelompok-kelompok Gantangan yang sifatnya terbatas (hanya bagi yang mampu) dan mengandalkan rasa saling percaya pada komitmen serta kemampuan para anggotanya. Bahkan, beberapa orang dengan pendapatan tidak menentu seperti pak Adul pun memberanikan diri untuk terikat di dalamnya.

“Disini juga ada telitian yang diketuai ketua, nanti dia dapetnya 10%, orangnya memang tidak datang, tapi berkatnya tetep dikasih dan diantar oleh ketua rombongannya. Jadi tetep sama saja. Masih jalan sampai sekarang. Saya ikut rombongan di sana di Purwadadi. Boleh ikut di tempat lain, misalnya istri kita orang sana. Disini namanya “golongan” itu”

Bagaimana Pak Adul menyiasatinya?

“Alhamdulillah, pada saat musim hajatan, saya dapet laporan/perijinan itu jadi bisa saya gunakan untuk 2-3 orang

yang hajat. Saya mah blank tidak punya apa-apa, tapi ya gitu kadang (dapat) dari desa dapet insentif dari Lurah, kalau proyek masuk ya adalah…saya mah belum pernah orang nagih ke saya sampai nggak ada untuk bayar. Malu saya pak kalau sampai gak bisa bayar ke masyarakat. Sawah, emapang juga gak punya saya pak…”

Maraknya pertukaran sosial Gantangan dalam pesta hajatan di desa Jayamukti selain melahirkan kelompok-kelompok mirip arisan yang disebut Golongan juga mengundang masuknya para Bandar, yaitu mereka yang menawarkan pinjaman modal hajatan kepada warga yang ingin menyelenggarakan hajatan. Proses pinjamn-meminjam ini dalam istilah lokal disebut “panjer”. Uang panjer inilah yang kemudian mengikat kesepakatan antara Bandar dan Bapak Hajat. Misalnya dalam soal jatuh tempo pengembalian, mekanisme pengembalian, dan bentuk pembayaran. Salah satu kesepakatan umum biasanya adalah Bandar memberikan sejumlah uang panjer, lalu Bandar meminta kepada Bapak hajat agar beras hasil hajatan nanti tida dijual kepada pihak lain, tetapi hanya kepada si Bandar tersebut. kemudian disepakati berapa harga beras hajat itu per kilogram atau per karungnya. Menurut penuturan dan pengalaman pak Adul, biasanya harga yang ditawarkan Bandar lebih murah Rp. 500/kg dari harga pasar pada umumnya. Alasan lebih murah adalah salah satunya karena kualitas beras yang tidak rata (campuran).

“…Jadi terkadang gini, sebelum hajatan saya minta panjer karena butuh uang khan, 4-5 juta lah. Yang memberi panjer itu ngelihat, ini yang pinjem kelas menengah ke bawah (3 juta) atau menengah ke atas. Tapi harganya memang lebih murah, misalnya di pasar beras Rp. 6.500, maka dengan bandar Rp. 6.000/kg. ini kita sudah ada perjanjian…”

Bandar ini merupakan salah satu aktor yang memiliki peran sangat penting saat ini. Kehadiran Bandar ini dianggap sebagai “penolong” oleh

sebagian masyarakat, khususnya mereka yang ingin menyelenggarakan hajatan tetapi tidak memiliki cukup modal. Bandar juga dianggap solusi paling cepat untuk menguangkan seluruh hasil hajatan, sehingga bapak hajat bisa dengan segera melunasi hutang-hutang keluarga lainnya.

Jadi gini, terkadang hiburan belum dibayar, taruhlah modal lain seperti daging itu bisa dibayar besok. Biasanya malam langsung dihitung dapet nariknya lalu untuk bayar hiburan, nah sisanya baru dihitung besok untuk bayar sisa modal lainnya. Kebanyakan orang sini kalau hajatan habis 15 juta pendapatannya 20-30 juta, walaupun mereka harus memberikan untuk nanti orang hajatan