• Tidak ada hasil yang ditemukan

LOKASI PENELITIAN

4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.5. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan 1 Kelompok Non-Gantangan ( Nyambungan )

5.5.3. Kelompok Gantangan Khusus ( Golongan )

Bu Warsih (44 tahun) tinggal di dusun Awilarangan, Desa Pasirmuncang Kec. Cikaum (Subang Tengah). Ia merupakan pendatang dari Kadipaten, Majalengka dan masuk ke Subang sejak tahun 1983. perempuan lulusan SD ini adalah ketua rombol di Awilarangan sejak tahun 2005. Ia dan sepupunya (Ibu Manih Kadira) dari Dusun Waladin adalah inisiator sekaligus orang yang mengkoordinir para anggota kelompok rombol di dusunnya masing-masing dan melakukan pertukaran antara kedua dusun tersebut. Selain kelompok rombol bu Warsih, kemungkinan juga ada kelompok rombol lainnya.

Menurut Bu Warsih, di dusun Awilarangan ini terdapat beberapa “sistem pertukaran” barang dan uang yang mirip dalam penerapannya, tetapi

berbeda dalam sifat keanggotaan dan besar atau volume pertukarannya. Beberapa sistem pertukaran sosial tersebut antara lain gantangan, rombol dan talitihan. Pertama, Gantangan dalam terminologi dan pemahaman masyarakat setempat dipahami sebagai pertukaran beras dan uang yang dilakukan antar tetangga dan warga satu desa maupun luar desa ketika hajatan

dan dilakukan pencatatan, baik oleh penyimpan (kaondang) maupun

penerima (kahutangan). Gantangan ini mulai ramai sejak tahun 2000-an. Minimum simpanan gantangan adalah Rp. 10.000,- untuk uang dan 5 liter untuk beras. Jumlah warga yang terlibat dalam gantangan ini kurang lebih 300-an orang (satu dusun), karena memang spiritnya adalah gotong royong dan saling menolong. Gantangan ini biasanya dilakukan ketika hajatan pernikahan dan khitanan.

Kedua, Talitihan, yaitu pertukaran beras dan uang serta barang-barang lainnya seperti bumbu dapur, minyak, minuman dalam kemasan, rokok, dan lain-lain sebelum hari hajatan (H-3). Biasanya dilakukan oleh para saudara dan tetangga dekat. Terhadap berbagai barang yang disimpan juga dilakukan pencatatan oleh penerima/bapak hajat (yaitu menjadi hutang bagi mereka). Jumlah atau besar talitihan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Ketiga, Rombol, yaitu pertukaran beras dan uang yang dilakukan oleh sekelompok ibu-ibu dengan diketuai oleh seorang ketua panitia. Rombol ini “mirip” dengan arisan tetapi menggunakan sistem “gantangan”, sebab penarikan dan penyimpanan uang/beras dilakukan ketika hajatan. Namun, untuk rombol tidak terbatas pada hajatan pernikahan atau khitanan, melainkan juga dapat dilakukan ketika kebutuhan mendesak, seperti pembangunan rumah, menggali sumur, dan lain sebagainya.

Menurut penuturan Bu Warsih, kelompok rombol ini dimulai tahun 2005 dengan anggota awal 21 orang Ibu-Ibu. Saat ini, anggota rombol bertambah mencapai 50-an orang. Meskipun anggota dan hasilnya terlihat

“lebih kecil” dari gantangan, tetapi modal anggota rombol juga lebih sedikit, sebab ia tidak perlu memberi makan anggota lainnya, karena yang melakukan penarikan uang dan datang ke rumah cukup ketua panitia saja. Anggota rombol yang menyelenggarakan hajat cukup memberikan “uang sabun” seikhlasnya kepada ketua panitia. Sehingga hasil narik rombol tersebut relatif “utuh” dan menguntungkan. Minimum simpanan Rombol adalah Rp. 20.000 untuk uang dan 5 liter untuk beras.

Dengan adanya ketiga sistem pertukaran tersebut, maka setiap warga boleh ikut menyimpan di ketiga sistem itu dan bahkan boleh untuk tidak ikut sama sekali dalam tiga sistem pertukaran sosial tersebut. tidak ada paksaan untuk masuk, tetapi jika sudah masuk semua dipaksa untuk mematuhi aturan mainnya (membayar tepat waktu). Tugas seorang panitia seperti bu Warsih ini sangat sentral dalam kelangsungan kelompok Rombol. Sebab, seorang panitia adalah orang yang paling sibuk ketika ada anggotanya yang ingin menarik simpanannya. Tugas yang biasa dikerjakan oleh Bu Warsih ketika ada tetangganya yang hajatan antara lain : Menyebarkan undangan kepada seluruh anggota (bagi-bagi sabun), menarik dan mencatat simpanan setiap anggota, menagih kepada anggota yang tidak datang/belum membayar. Jika yang ditagih belum ada uang/beras, panitia biasanya yang menalangi lebih dulu sampai yang ditagih memiliki uang. Mengantarkan pamulang/berkat dari bapak hajat kepada anggota lainnya.

Sebagai kompensasi, Bu Warsih mendapatkan “uang sabun” dari bapak hajat. Besarnya bervariatif. Biasanya jika terkumpul hasil rombol Rp. 700.000 – Rp. 1.000.000, bu warsih mendapat Rp. 30.000, jika yang terkumpul lebih kecil, < Rp. 500.000, bu warsih biasanya hanya mendapat Rp. 15.000. di luar “uang sabun”, terkadang bapak hajat ada yang memberi “uang bensin/ojek” Rp. 20.000-Rp.40.000. Bu Warsih memiliki penilaian sendiri terhadap Gantangan dan Rombol ini, yakni :

“…mendingan gantangan (undangan) itu berhenti saja. Rugi, banyak modal kaluar, untungna saeutik. Tapi lamun Rombol, bagusnya diperbanyak jumlah anggotanya, biar dapetnya juga lebih banyak…”

Tentu saja Bu Warsih memberikan penilaian yang lebih positif terhadap rombol, sebab ia adalah ketua sekaligus pelopor dari rombol ini. bersama saudaranya dari dusun lain ia membuka jejaring pertukaran. Ia berperan sebagai perwakilan anggota kelompoknya jika diperlukan hadir pada hajatan warga dusun Awilarangan. Secara tidak langsung ia juga berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan anggota kelompoknya. Terlebih di dusun dan desa tempat ia tinggal, ada beberapa kelompok rombol lain yang menerapkan pola yang sama. Jika saja ia tidak jujur atau bertanggungjawab terhadap kelompoknya, besar kemungkinan anggotanya akan keluar atau beralih kepada kelompok lainnya. Namun, dengan terus meningkatnya jumlah anggota kelompoknya, dari 21 menjadi 50 orang, menunjukkan Bu Warsih cukup dipercaya untuk mengelola rombol. Menariknya lagi, rombol ini murni dikelola oleh kelompok perempuan (ibu-ibu), dimana selain rombol ini

mereka juga memiliki berbagai perkumpulan lainnya seperti pengajian (majlis

taklim), arisan, dan posyandu balita.

Pola pertukaran sosial Gantangan yang dikelola dalam kelompok mirip arisan yang lebih besar muncul dalam Golongan di Subang Utara. Salah seorang pelopornya adalah H. Abdul, yang membawa masuk pola Golongan (Gantangan khusus) ke dusunnya pada tahun 2009 lalu. Pada saat dimulai, anggota kelompok Golongan ini berjumlah 45 orang dan sampai saat ini

(pertengahan 2012), sudah terdapat 13 Anggota yang narik golongan.

Menurutnya, pola golongan ini sangat menguntungkan karena semuanya diatur sedemikian rupa tidak memberatkan anggota, terutama soal waktu hajat (frekuensi) tiap musim dan jumlah simpanannya.

“..Sampai sekarang ini yang keluar (hajat) sudah 12 orang. Anggotanya 45 orang. Iya ini kayak arisan. Cuma jangan sampai terbebani masyarakat ini, misalnya dikeluarkan 4-5 hajat pasti berat, makanya dibatasin satu musim 2 orang saja. Sementara ini masih bisa diatur. Masih sesuai dengan musyawarah pertama. Peraturannya disepakati, misalnya harus beras murni bukan beras dolog, lalu ada fee-nya buat panitia, agar bertanggung jawab. Saya juga nggak sendiri, dibantu satu orang…”

Lahirnya pola Golongan ini semula bertujuan untuk mengatasi berbagai kecurangan yang terjadi dalam telitian umumnya, misalnya terkait jumlah simpanan yang tidak sesuai dengan catatan, jenis beras yang dibawah standar, dan waktu pengembalian yang sering tertunda. Selain itu, H. Abdul sendiri sebagai pelopor juga sudah merasakan keuntungan dari menjadi anggota Golongan ini sebelumnya, yaitu di daerah Bayur, Karawang, tempat keluarga istrinya berada.

“..Sistem golongan ini pertamanya tahun 1998-an saya ikut orang Bayur, Karawang, tahun 2000 saya hajat. Nah baru tiga tahunan ini kita mencoba mengadakan sendiri. Maksudnya jangan sampai orang “dikibuli”. Misalnya ngasih beras bagus, kembalinya beras raskin. Nah gitu. Sekarang kalu beras nggak diterima sama bandar/bakul ya dikembaliin lagi… Supaya masyarakat yang kecil-kecil yang mau hajat itu bisa terbantu. Soalnya pengembaliannya khan diatur.

.

Dengan menjadi ketua kelompok Golongan ini, kedudukan H.Abdul di tengah masyarakat di desanya memang semakin tinggi. Kesuksesan sistem golongan ini membuat banyak warga lainnya ingin menjadi anggota, bahkan jika semua diikutkan bisa mencapai 100 orang. Akan tetapi, dengan pertimbangan kesepakatan yang telah dibuat di awal, H. Abdul justru menyarankan agar orang lain saja yang membuat kelompok baru, tapi dengan pola yang sama dan dengan jumlah beras atau barang yang dipertukarkan lebih kecil, agar lebih banyak orang yang merasakan manfaatnya.

Orang lain mah sukses, bahkan ada yang mengadakan gula pasir, daging, dan lainnya sesuai kemampuan lah. Kalau dikatakan orang sini hajatan itu nggak potol-lah (rugi-pen). Ya ada kelebihan, hiburan jangan mewah-mewah, hanya asal merayakan saja. Sekarang beras harga Rp. 7000, trus dia dapat beras 2 ton 2 kw, udah berapa itu? Belum dari yang lain-lain.

Tabel 14. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan (Contoh Kasus RT dari 3 Desa)

No Nama Pekerjaan Status

Ekonomi RT Status Sosial RT Keikutsertaan dalam Pertukaran Gantangan

Alasan Ikut/Tidak ikut Gantangan

Sikap terhadap Gantangan

Suami Istri Suami Istri Ya Tidak

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

1 Sholeh Ida PNS Pedagang Menengah Cukup

Berpengaruh

X Memberatkan, gantangan dianggap tidak lagi murni gotong royong, tidak ingin memiliki beban hutang.

Tidak ikut tetapi tidak melarang. Jika ekonomi masyarakat tidak beranjak tumbuh, maka hutang gantangan akan semakin memberatkan

2 Rusdi Ai Kadus IRT Bawah Berpengaruh,

jaringan luas

X Bentuk tolong menolong

dan saling mendukung sesama warga masyarakat, hitung-hitung dipinjami modal hajatan

Sangat menerima karena dianggap membantu golongan miskin, khususnya untuk mendapatkan pinjaman/modal.

3 Adul Asmi Hansip Buruh

Tani Bawah Berpengaruh, jaringan luas, memiliki anak yang berperan sebagai Bandar hajat

X Bentuk lain dari gotong

royong, untuk menghindari kerugian, untuk bergaul dengan masyarakat lain (mengikuti tradisi)

Mendukung, masyarakat harus rajin bergaul dan menyimpan, sehingga hasil gantangannya menguntungkan.

4 Abdul Lilis Petani IRT Atas Bepengaruh,

jaringan luas, ketua

Golongan

X Mendirikan Golongan

untuk menghindari kecurangan dalam telitian (gantangan), meniru sistem dari Karawang yang dianggap menguntungkan

Gantangan biasa (tanpa berkelompok) dianggap merugikan karena banyak kecurangan, lebih baik dengan sistem golongan yang dapat diatur frekuensi hajat dan jumlah simpanan

anggotanya (lebih pasti)

5 Nuridi Wacih Pedagang Pedagang Menegah

atas

Kurang berpengaruh

X Untuk investasi, hitung-

hitung tabungan untuk keperluan dimasa mendatang

Mendukung, sepanjang saling jujur dan

konsekuen

6 Darman Warsih Buruh

Tani Buruh Tani Menengah bawah Jaringan luas, ketua Rombol X Untuk memenuhi kebutuhan mendesak, bertanggung jawab sebagai Pelopor Rombol (gantangan dengan sistem mirip arisan)

Leih baik pola Gantangan atau kondangan yang tidak pasti kedatangan dan jumlah simpanannya itu dihilangkan saja, diganti sistem rombol (arisan) yang lebih terjadwal

7 Askim Nur Sekdes

(belum PNS)

IRT Menengah Berpengaruh,

calon Kades

X Memberatkan, tidak mau terlibat hutang piutang, melenceng dari asas sukarela

Kurang cocok untuk orang yang

pekerjaan/pendapatannya tidak pasti

8 Sarna Mimih Kadus Kantin

Pabrik

Menengah Bepengaruh X Menghitung kemampuan

ekonomi diri sendiri yang tidak pasti (merasa tidak mampu)

Tidak menolak atau melarang, hanya saja kasihan pada warga yang tidak bisa bayar hutang

9 Barjuk Eti Sekdes IRT Menengah Berpengaruh X Mengikuti tradisi atau

kebiasaan dalam masyarakat

Sepanjang tidak

memberatkan bisa tetap dilanjutkan/dipelihara agar masyarakat tetap guyub dan bersatu

10 Jujun Karyati Pedagang Menengah Kurang

berpengaruh

X Untuk simpanan, ajang

bergaul dan menolong sesama warga desa

Asalkan tidak terlalu sering, gantangan ini menguntungkan