• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keluarga Penderita Skizofrenia di Indonesia

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

D. Keluarga Penderita Skizofrenia di Indonesia

Skizofrenia adalah terjadinya perpecahan atau ketidakserasian

antara afeksi, kognitif dan perilaku. Jadi, skizofrenia mengacu pada perpecahan ego-aspek rasional dalam jiwa sehingga penderitanya tidak lagi dapat membedakan antara alam khayal dan alam riil. Skizofrenia merupakan gangguan yang cukup sulit atau hampir tidak dapat disembuhkan sehingga terkadang menjadi beban bagi keluarga yang merawat.

Orang yang menderita skizofrenia semakin lama akan semakin terlepas dari masyarakat karena dianggap gagal berfungsi sesuai dengan peran yang diharapkan (Keith, Regier & Rae, 1991). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat stigma terhadap penderita skizofrenia dan memberikan konsekuensi yang negatif bagi keluarga maupun penderita sendiri (NAMI dalam Jo. C Phelan dkk., 1998; Willis, 1982; Corrigan, 2004). Stigma yang ada di dalam masyarakat tersebut membuat penderita skizofrenia dan keluarganya mengalami isolasi sosial dan diskriminasi (Fenton, 2005). Keluarga yang memiliki salah satu anggota menderita skizofrenia akan secara drastis terasing dari lingkungannya, diremehkan dan menjadi bahan pergunjingan di masyarakat. Hal ini akan berdampak pada status sosial ekonomi keluarga, sehingga terkadang penderita skizofrenia menjadi beban tersendiri bagi keluarga dan diasingkan karena dianggap sebagai pembawa malapetaka (Saseno, 2001). Selain itu, stigma juga berdampak pada kemauan keluarga untuk mengungkapkan masalah yang mereka hadapi terkait dengan keberadaan penderita skizofrenia dan juga dalam hal mencari bantuan. Keluarga yang sangat sensitif tentang dugaan pandangan kerabat atau tetangga tentang masalah gangguan jiwa akan lebih tertutup tentang keberadaan anggota keluarganya yang menderita skizofrenia. Berdasarkan penjelasan di atas, stigma merupakan masalah yang serius bagi penderita skizofrenia dan keluarganya, namun belum banyak penelitian yang bertujuan untuk mengungkapkan hal tersebut (NAMI dalam Jo. C. Phelan dkk., 1998; Willis, 1982).

Keberadaan penderita skizofrenia di tengah-tengah keluarga membuat keluarga juga memiliki stigma terhadap anggota keluarga tersebut dan penyakit yang dideritanya. Keluarga yang anggotanya menderita skizofrenia dan dirawat di rumah sakit, mereka akan lebih cenderung untuk menyembunyikan masalah tersebut (Jo. C. Phelan dkk, 1998).

Penelitian terdahulu telah banyak yang menunjukkan bahwa skizofrenia cenderung menurun dalam keluarga. Pada keluarga tingkat pertama akan mendapat sepuluh kali lipat resiko menderita skizofrenia (Davidson dkk., 2006). Meskipun skizofrenia bersifat menurun, faktor-faktor eksternal dari penderita skizofrenia seperti peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam keluarga juga dapat menyebabkan dan memperburuk keadaan penderita skizofrenia. Sebagai contoh, interaksi anak dan orang tua pada masa kanak-kanak awal yang terganggu dapat menyebabkan anak mencari perlindungan pada fantasi pribadinya sehingga membangun gejala yang akhirnya menjadi skizofrenia (Jeffrey S. Nevid dkk., 2005). Selain itu, gaya komunikasi yang menyimpang di dalam keluarga juga dapat menyebabkan stres bagi penderita sehingga frekuensi gejala kelainan orang dengan skizofrenia yang tinggal dengan keluarga akan meningkat (Jeffrey S. Nevid dkk., 2005; Mueser & Gingerich, 2006). Pola komunikasi yang dimiliki oleh keluarga yang dengan anggota skizofrenia cenderung kacau (Bateson dalam Klein, 1996, h. 170). Kondisi yang demikian membuat anak mengalami kesulitan dalam penyesuaian dengan

keluarganya sendiri sehingga mulai muncul gangguan psikis pada diri anak (Klein, 1996, h.171).

Ketika anggota keluarga yang menderita skizofrenia kembali ke rumah, keluarga memiliki tanggung jawab untuk merawat mereka. Jangka waktu perawatan yang lama membuat keluarga seringkali merasa frustrasi karena kurangnya kemajuan yang tampak dalam pengobatan. Apalagi ditambah dengan isolasi sosial dari masyarakat sekitar yang membuat keluarga tidak memiliki akses untuk meminta bantuan. Akhirnya dukungan emosional suatu keluarga menjadi berkurang dan beberapa keluarga memutuskan semua kontak dengan penderita skizofrenia. Hal tersebut semakin menghambat proses penyembuhan skizofrenia karena pada dasarnya orang yang menderita skizofrenia membutuhkan dukungan moral dan spiritual dari orang-orang terdekatnya (Fox, 1968; Hudson, 1978).

Keluhan yang paling umum di antara teman dan anggota keluarga dari orang dengan skizofrenia adalah tidak memahami bagaimana cara untuk membantu mereka, atau memberikan dukungan lanjutan, serta dukungan jangka panjang yang sebetulnya dapat membantu menghindari penderita skizofrena menjadi gelandangan, tunawisma atau menganggur. Namun, keluhan tersebut kurang mendapat perhatian dari para ahli karena kebanyakan dari mereka lebih memfokuskan penelitian pada penderita skizofrenia saja. Padahal, keberhasilan pelayanan pada pasien skizofrenia sangat kompleks, tergantung dari kerjasama tim kesehatan jiwa di

masyarakat yang meliputi dokter, perawat dan pekerja sosial dengan pasien dan keluarganya (Falloun, 1990).

Status sehat dan sakit para anggota keluarga saling mempengaruhi satu sama lain. Suatu penyakit dalam keluarga mempengaruhi seluruh keluarga dan sebaliknya mempengaruhi jalannya suatu penyakit dan status kesehatan anggota. Oleh karena itu, pengaruh dari status sehat dan sakit pada keluarga saling mempengaruhi atau sangat bergantung satu sama lain (Marilyn, 1998).

Skizofrenia merupakan gangguan yang parah dan mengakibatkan stres bagi penderita dan keluarganya (Stanley & Shwetha, 2006). Dalam merawat penderita skizofrenia, keluarga dituntut untuk memiliki kesabaran dan ketelatenan. Hal ini disebabkan karena penderita skizofrenia sangat rentan terhadap kekambuhan. Mengembalikan penderita skizofrenia pada masyarakat sering menimbulkan kesulitan-kesulitan pada keluarganya. Kesulitan keluarga pengasuh penderita skizofrenia antara lain adalah akses ke layanan spesialis, ketersediaan layanan tambahan seperti perawatan tangguh, kelayakan untuk bantuan keuangan (misalnya, pembayaran penjaga), dan dukungan terapi untuk diri mereka sendiri (Edwards, Higgins, Gray, Zmijewski , & Kingston 2008). Ada dua problem yang dihadapi keluarga penderita skizofrenia yaitu masalah yang berhubungan dengan penarikan sosial (social

withdrawl) karena penderita skizofrenia tidak dapat berinteraksi dengan

dan perilaku sosial yang memalukan seperti tidak bisa istirahat, aneh, adanya ancaman kekerasan dan sebagainya (Gelde, et al., 1996).

Dalam menghadapi penderita skizofrenia, terdapat permasalahan sosio-psikologis pada keluarga yang terjadi selama melakukan perawatan terhadap penderita skizofrenia. Permasalahan sosial merupakan suatu fenomena atau gejala kehidupan yang mengandung beberapa hal yaitu: (1) sesuatu yang dilakukan seseorang itu telah melanggar atau tidak sesuai dengan nilai-norma yang dijunjung tinggi oleh kelompok; (2) sesuatu yang dilakukan individu atau kelompok itu telah menyebabkan terjadinya disintegrasi kehidupan dalam kelompok; dan (3) sesuatu yang dilakukan inidividu atau kelompok itu telah memunculkan kegelisahan,ketidakbahagiaan individu lain dalam kelompok (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984). Menurut Parrilo dalam Soetomo (1995), untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu diperhatikan empat hal, yaitu: (1) masalah itu bertahan untuk suatu periode waktu tertentu; (2) dirasakan dapat menyebabkan beragam kerugian secara fisik dan non fisik pada individu dan kelompok; (3) merupakan pelanggaran terhadap nilai atau standar sosial atau sendi-sendi kehidupan masyarakat; dan (4) menuntut adanya usaha untuk dicarai pemecahannya.

Menurut Anas Tamsuri, psikologis adalah masalah-masalah perilaku atau emosional yang dapat meningkatkan risiko gangguan cairan, elektrolit, dan asam-basa dalam diri seseorang. Menurut Bison Simamora, psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam individu

seseorang dan unsur-unsur psikologis ini meliputi motivasi, persepsi, pembelajaran, kepribadian, memori, emosi, kepercayaan, dan sikap. Sementara menurut Nursalam, psikologis merupakan hal yang merupakan kepribadian dan kemampuan individu dalam memanfaatkannya menghadapi stress yang disebabkan situasi dan lingkungan. Dari definisi yang diuraikan oleh beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa psikologis adalah masalah-masalah perilaku atau emosional dari dalam individu yang dapat meningkatkan resiko gangguan cairan, elektrolit dan asam basa sehingga mempengaruhi kemampuan individu dalam memanfaatkan stres yang disebabkan oleh situasi dan lingkungan. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan psikologis adalah masalah-masalah berkaitan dengan perilaku atau emosional yang mempengaruhi kemampuan individu dalam memanfaatkan stres yang disebabkan oleh situasi dan lingkungan.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dalam memberikan perawatan bagi penderita skizofrenia, keluarga mengalami beban yang sangat berat. Beban psikologis yang dialami oleh keluarga tercermin dalam beberapa istilah yang mereka gunakan untuk menggambarkan kondisi yang mereka alami. Misalnya menggambarkan bahwa pengalaman merawat penderita skizofrenia sebagai sebuah malapetaka yang besar, pengalaman yang menyakitkan, menghancurkan, penuh dengan kebingungan dan kesedihan yang berkepanjangan (Marsh, 1992; Pejlert, 2001). Keluarga mengalami perasaan kehilangan baik dalam arti

nyata (kehilangan orang yang dicintai) maupun kehilangan secraa simbolik (kehilangan harapan di masa depan karena penderita tidak dapat mencapai apa yang diharapkan)(Lefley, 1987; Marsh & Johnson, 1997).

Penderita skizofrenia pada umumnya memiliki kesulitan untuk berkomunikasi, tidak dapat merawat diri sendiri dan suka mengamuk. Selain itu, di masyarakat juga masih terdapat stigma yang kuat terhadap skizofrenia. Bagi masyarakat, penderita skizofrenia sering dianggap sebagai ancaman dan membahayakan karena perilakunya yang tidak terkontrol. Hal ini membuat keluarga memiliki beban tersendiri karena merasa malu dengan kondisi anaknya yang merupakan aib. Selain itu, keluarga juga mengalami isolasi sosial dan diskriminasi dari masyarakat sekitar sehingga seringkali tidak memiliki akses untuk meminta bantuan (McGorry, 1995; Fenton, 2005).

Sementara itu, keluarga perlu meningkatkan kualitas hidupnya sendiri agar dapat terus memberikan dukungan kepada penderita skizofrenia. Peningkatan hidup bisa dimulai dengan perawatan diri. Pemenuhan kebutuhan orang lain harus diseimbangkan dengan pemenuhan kebutuhan sendiri. Kenyamanan psikis dan sosial dapat dicapai melalui berbagai aktivitas yang memberikan suatu bentuk dekompresi. Keluarga harus mengenali dan menghadapi tanda awal distres atau ketidaktepatan koping.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam merawat anggota keluarga yang menderita skizofrenia dapat menimbulkan

perasaan terbebani dan ketegangan sehingga kualitas hidup orang tua menjadi berkurang (Sales dalam Stanley & Shwetha, 2006, h.4). Ivarsson et.al (2004) menyatakan bahwa beban orang tua yang merawat merupakan hal yang kompleks dan mencakup beberapa hal seperti kegiatan sehari-hari, kecemasan dan tekanan sosial (Stanley & Shwertha, 2006, h.4). Namun, keluarga biasanya diharapkan menjalankan peran untuk merawat penderita skizofrenia tanpa memperhatikan konsekuensi emosional, fisik dan keuangan yang mungkin terjadi (Kasuya, Polgar-Bailey & Takeuchi, 2000). Terlepas dari hal itu, penderita skizofrenia tetap membutuhkan support dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Keluarga terlebih dahulu perlu meningkatkan quality of life dirinya agar nantinya dapat terus memberikan dukungan kepada penderita skizofeenia agar dapat kembali berfungsi secara maksimal dalam menghadapi tuntutan kehidupan sehari-hari.

Dokumen terkait