• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN PERMASALAHAN SOSIO-PSIKOLOGIS PADA KELUARGA PENDERITA GANGGUAN JIWA SKIZOFRENIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN PERMASALAHAN SOSIO-PSIKOLOGIS PADA KELUARGA PENDERITA GANGGUAN JIWA SKIZOFRENIA"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PERMASALAHAN SOSIO-PSIKOLOGIS PADA

KELUARGA PENDERITA GANGGUAN JIWA SKIZOFRENIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Rosalia Ika Sanata Ria

099114100

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016

(2)

GAMBARAN PERMASALAHAN

SOSIO-PSIKOLOGIS PADA

KELUARGA

PENDERITA GANGGUAN

JIWA

SKIZOFRENIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Me'nrperoleh Gelar Sarjana

Psikologi Program Studi Psikologi

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

GAMBARAN PERMASALAIIAN SOSIO.PSIKOLOGIS PADA

KELUARGA PENDERITA GANGGUAN JIWA SKIZOFRENIA

Dipersiapkan dan ditulis oleh : Rosalia Ika Sanata Ria

0991 14100

Telah dipertanggungiawabkan di depan Panitia Penguji tanggal tlI;,*t: /\o"t' ,.1"..f ,,\ Nama

Leng$ap

- "',., *

PenzuiiJ i''Dr.

rlido

su

f, g

tr

vrqK$*4

&'

"\ $, 1.:'":**.",

( Dr.T.Priyo Widiy M.Si.)

(4)

iv

HALAMAN MOTTO

Belajarlah dari kesalahan masa lalu, bekerja keras untuk masa ini, dan berharap hasil yang terbaik pada masa depan.

It always seems impossible until its done (Nelson Mandela)

Hargai apa yang kamu miliki saat ini!!

Karena kebahagiaan tidak pernah datang kepada mereka yang tidak menghargai apa yang telah dimiliki

Kita bahagia karena kasih sayang Kita matang karena masalah Kita lemah karena putus asa Kita maju karena usaha dan

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini aku persembahkan untuk semua orang yang telah mendukung, menemani dan mengisi hari-hariku selama ini.

Terutama untuk kedua orang tuaku yang selalu mendukungku dalam keadaan apapun, yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat yang tiada henti.

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN

KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis

ini

tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 04 Februari 2016 Penulis

Rosalia Ika Sanatana

(7)

vii

GAMBARAN PERMASALAHAN SOSIO-PSIKOLOGIS PADA KELUARGA PENDERITA GANGGUAN JIWA SKIZOFRENIA

Rosalia Ika Sanata Ria

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan permasalahan sosio-psikologis apa saja yang dialami oleh keluarga selama tinggal bersama anggota yang menderita skizofrenia.Responden dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak penderita skizofrenia. Responden ditentukan menggunakan Criterion Sampling, yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu dari peneliti yaitu yang anaknya telah menderita skizofrenia minimal selama 2 tahun dan telah merawat pasien skizofrenia di rumah selama minimal 1 tahun. Jumlah responden adalah dua orang. Data peneltian diperoleh dengan menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Validitas dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber, dimana hasil pengecekan yang dilakukan oleh partisipan terhadap hasil penelitian sesuai.Hasil penelitian ini adalah ketika merawat penderita gangguan jiwa skizofrenia, kedua subjek memiliki permasalahan secara sosial, psikologis dan finansial.

(8)

viii

DESCRIPTION OF SOCIO - PSYCHOLOGICAL PROBLEMS IN THE FAMILY MENTAL DISORDERS SCHIZOPHRENIA PATIENTS

Rosalia Ika Sanata Ria

ABSTRACT

This study aims to describe the socio - psychological problems experienced by family members of schizophrenia patients. Respondents in this study were parents who have children with schizophrenia. Respondents were determined using Sampling Criterion. The criteria are : parent with child diagnosed for schizophrenia for at least two years and had been treating patient with schizophrenia at home for at least one year. The number of respondents was two people. Data were obtained by using semi-structured interviews. Validity was checked using triangulation sources, where the result of checks carried out by the participants on the results of this research was appropriate. The results of this research showed that respondents had social, psychological and financial problems.

(9)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

ILMIAII

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswi Univeristas Sanata Dharma Nama

Nomor Mahasiswa

: Rosalia Ika Sanata Ria : 0991 14100

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Gambaran Permasalahan sosio-Psikologis pada Keruarga penderita

Gangguan Jiwa Skizofrenia

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan universitas Sanata Dharma

hak

untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta

ijin

dari

saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarla

Pada tanggal:04 Februari 2016

Yang menyatakan

ix

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas karunia berkat dan kasihnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran Permasalahan Sosio-Psikologis Pada Keluarga Penderita Gangguan Jiwa Skizofrenia” dengan baik. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dukungan, dan doa kepada penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. T Priyo Widiyanto, M.Si selaku dekan

2. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu memberikan arahan melalui saran dan pendapat yang sangat bermanfaat. Terimakasih atas kesabaran, ketelatenan dan diskusi yang menjadikan pemikiran dan penalaran saya terus berkembang.

3. Ibu bapak dosen penguji

4. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi

5. Mas Gandung dan Bu Nanik, terima kasih atas bantuan yang sudah diberikan selama ini. Mas Doni atas bantuannya dalam peminjaman buku dan jurnal di ruang baca dan Mas Muji atas bantuan dan dukungannya selama ini, terutama pada saat saya melakukan praktikum.

(11)

xi

6. Kedua orang tua saya yang sudah memberikan dukungan baik secara moral maupun materiil selama saya menempuh studi di Universitas Sanata Dharma. 7. Suami saya, terimakasih atas dukungannya selama saya mengerjakan skripsweet ini. Terimakasih atas semua bantuan dan dukungannya, boleh berbagi suka dan duka serta canda di saat saya merasa bosan.

8. Mbak Tutut dan mas Yonas, terima kasih atas diskusi pengalaman kalian yang menjadikan saya semakin bersemangat untuk segera menyelesaikan skripsweet ini.

9. Segenap keluarga yang senantiasa memberikan dukungan dan doa bagi keberhasilan saya.

10. Sahabat-sahabat saya: Evy Rosi, Moktaningrum, Grasinta Laras Choi, Beatrich Rani, Jane Ginza dan Realita, semuanya terima kasih atas semangat, diskusi, dan canda tawa selama kita belajar ilmu jiwa.

11. Teman-teman psikologi angkatan 2010, terutama ex-anak asisten: Rosari, Ius, Iwan, Desi, Sandra, Maya, Sheila, Ninda senang bisa mengenal dan berbagi ilmu dengan kalian semua. Terima kasih atas pengalaman baru yang saya terima setelah mengenal kalian.

12. Semua pihak yang senantiasa memberikan dukungan dan doa untuk kesuksesan saya dalam menyelesaikan tugas sebagai mahasiswa. Terima kasih.

Yogyakarta, Agustus 2016

(12)

xii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACK ...viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...ix

KATA PENGANTAR ...x

DAFTAR ISI...xii

DAFTAR LAMPIRAN ... ....xvii

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Skizofrenia ... 11

1. Definisi Skizofrenia ... 11

2. Ciri Utama Skizofrenia ... 13

B. Skizofrenia di Indonesia ... 15 C. Permasalahan Sosio-Psikologis Yang Dihadapi Keluarga Yang

(13)

xiii

a. Gangguan Hubungan dan Komunikasi Dalam Keluarga ... 19

b. Keterbatasan Dalam Melakukan Aktivitas Sosial ... 21

c. Stigmatizasi ... 23 2. Permasalahan Psikologis ... 26 a. Kesedihan ... 26 b. Kehilangan ... 27 c. Kecemasan ... 27 d. Malu ... 29

e. Stress Karena Gangguan Perilaku dan Kekambuhan ... 30

f. Frustasi Akibat Perubahan Pola Interaksi Dalam Keluarga ... 35

3. Permasalahan Finansial ... 36

D. Keluarga Penderita Skizofrenia di Indonesia ... 37

E. Review Penelitian Sebelumnya Tentang Skizofrenia ... 45

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 49

A. Jenis Penelitian... 49

B. Fokus Penelitian ... 50

C. Subjek Penelitian ... 50

D. Metode Pengumpulan Data ... 51

E. Prosedur Analisis Data ... 53

F. Kredibilitas dan Realibilitas Penelitian ... 55

1. Kredibilitas Penelitian ... 55

(14)

xiv

Penderita Skizofrenia ... 57

H. Pelaksanaan Penelitian ... 59

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Profil Responden ... 63

1. Data Diri dan Latar Belakang Responden Pertama ... 63

2. Data Diri dan Latar Belakang Responden Kedua ... 63

B. Hasil Penelitian ... 64

1. Deskripsi Informan Penelitian ... 64

a. Subjek 1 (Keluarga Y) ... 64

b. Subjek 2 (keluarga K) ... 64

2. Hasil Analisis Data Penelitian ... 66

a. Responden Pertama ... 66

i. Awal Mula Terjadinya Gangguan Jiwa skizofrenia ... 66

ii. Upaya Yang Dilakukan Keluarga Untuk kesembuhan Penderita Skizofrenia ... 68

iii. Permasalahan Sosial yang Dialami Keluarga penderita Gangguan Jiwa Skizofrenia ... 69

iv. Permasalahan psikologis yang dialami Keluarga Penderita gangguan Jiwa Skizofrenia ... 71

v. Permasalahan Ekonomi yang dialami Keluarga Penderita gangguan Jiwa Skizofrenia ... 74

vi. Beban Perawatan Yang Dihadapi Keluarga Penderita Skizofrenia ... 75

(15)

xv

ii. Upaya Yang Dilakukan Keluarga Untuk kesembuhan

Penderita Skizofrenia ... 77

iii. Permasalahan Sosial yang Dialami Keluarga penderita Gangguan Jiwa Skizofrenia ... 79

iv. Permasalahan psikologis yang dialami Keluarga Penderita gangguan Jiwa Skizofrenia ... 82

v. Permasalahan Ekonomi yang dialami Keluarga Penderita gangguan Jiwa Skizofrenia ... 85

vi. Beban Perawatan Yang Dihadapi Keluarga Penderita Skizofrenia ... 86

vii. Data Lain yang didapatkan dari Penelitian ... 87

3. Kesimpulan Hasil Analisis secara Keseluruhan ... 90

a. Permasalahan Sosial i. Gangguan hubungan dalam komunikasi dalam keluarga ... 91

ii. Keterbatasan dalam melakukan Aktivitas Sosial ... 92

iii. Stigmatizasi ... 94

b. Permasalahan Psikologis ... 96

c. Permasalahan Finansial yang dihadapi oleh Keluarga Penderita Gangguan Jiwa Skizofrenia ... 99

4. Pembahasan ... 101

a. Analisis Terhadap Permasalahan Sosial yang dihadapi oleh Keluarga penderita gangguan jiwa Skizofrenia ... 101

(16)

xvi

c. Analisis terhadap persoalan finansial yang dihadapi oleh

Keluarga penderita gangguan jiwa skizofrenia ... 106

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

A. Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 112

(17)

xvii

Lampiran 1. Informed Concent ...119

Lampiran 2. Lembar Persetujuan Partisipan ...121

Lampiran 3. Pedoman Wawancara ...122

Lampiran 4. Tabel Verbatim Responden I ...127

Lampiran 5. Tabel Verbatim Responden II ...136

Lampiran 6 Pengelompokan Kode Responden I ...155

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan yang terjadi di seluruh dunia (Kendall dan Hammen, 1998, h. 268). Pernyataan tersebut juga didukung oleh data dari World Health Organization (WHO), yang menyatakan bahwa masalah gangguan jiwa memang sudah menjadi masalah yang sangat serius di seluruh dunia. Data yang ditunjukkan oleh WHO, sekitar 26 juta orang penduduk Indonesia mengidap skizofrenia (Simanjuntak, 2008). Sementara itu, Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SMKRT) di 11 kotamadya jaringan epidemology psikiatri Indonesia menemukan bahwa 185 dari 1000 penduduk menunjukkan gejala gangguan kesehatan jiwa. Hasil tersebut menunjukkan bahwa paling tidak terdapat satu orang dalam setiap rumah tangga penduduk di Indonesia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa dan membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa (Siswono, 2011 dalam Kostiani, 2007).

Di kota Yogyakarta sendiri, penderita gangguan jiwa tergolong tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2010) menunjukkan bahwa 32.033 orang atau sekitar 8,25 persen dari 387.813 jumlah penduduk Yogyakarta mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan hasil pendataan dari RSJ Grhasia Yogyakarta (2012) ditemukan 568 orang atau 41,86 persen dari jumlah yang ada mengalami gangguan jiwa berat. Menurut Joep

(19)

Djojodibroto (Kasubbid Fasilitas Pelayanan Medik RSJ Ghrasia Yogyakarta) penderita gangguan jiwa lebih banyak berada pada kelompok usia paling produktif, yaitu di bawah 40 tahun. Hal ini kemudian berdampak pada ekonomi berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang merawat serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung oleh keluarga. Selain dampak ekonomi, terdapat pula dampak sosial yang sangat serius bagi para penderita gangguan jiwa dan keluarganya, yaitu penolakan, pengucilan dan diskriminasi dari lingkungan sekitar (Dr. Vijay Chandra, dalam Lanskap Hasrat dan Kekerasan, 2001).

Skizofrenia merupakan kondisi patologis yang serius karena penderita mengalami penurunan fungsi kehidupan sehingga dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti merawat diri sendiri, memenuhi kewajiban peran, mengatasi permasalahan, menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan dan membangun hubungan dekat dengan orang lain menjadi terhambat (American Assosoation dalam Jeste & Meuser, 2008). Defisit yang terjadi pada berbagai area kehidupan penderita skizofrenia yang demikian menyebabkan dampak gangguan skizofrenia tidak hanya dirasakan oleh penderita, namun dirasakan pula oleh orang lain yang berada disekitarnya, terutama keluarga yang tinggal bersama dalam satu rumah (Hatfield and Lefley, 1987; Tessler et al., 1987).

(20)

Selain itu, perilaku penderita gangguan jiwa terkadang juga susah dikendalikan sehingga bukan saja menjadi masalah bagi keluarga tapi juga membuat resah warga di sekitarnya. Seperti yang terjadi di Gandapura, Bireuen, masyarakat disana berharap agar dinas kesehatan setempat memantau, mencari dan membawa penderita gangguan jiwa ke rumah sakit jiwa agar tidak mengamuk di masyarakat. Warga melaporkan hal ini setelah mengetahui bahwa dua orang warga kecamatan tersebut tewas karena diparang oleh pria stres yang sedang mengamuk di pasar Gurugok, Gandapura (Bakri, 2012).

Ketika melakukan penanganan terhadap pasien gangguan jiwa, obat memang menjadi hal yang penting. Namun, peran keluarga juga merupakan salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan mutu kehidupan penderita gangguan jiwa. Keluarga merupakan sebuah sistem sosial, dimana setiap anggotanya saling terhubung satu sama lain (Klein, 1996, h.155). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Creer et.al. (1982) menunjukkan bahwa dalam perjalanan penyakitnya, 50% penderita skizofrenia tetap memiliki kontak dengan keluarga. Hal ini dapat dipahami karena keluarga memiliki kontak lebih sering dengan penderita sehingga mengetahui kondisi kejiwaan anggota keluarganya, kondisi mood, perasaan dan kebutuhan penderita daripada siapapun (Meuser & Gingerich, 2006). Keluarga memiliki peran penting dalam asuhan keperawatan yang diperlukan oleh penderita gangguan jiwa di rumah sehingga dapat

(21)

menurunkan angka kekambuhan (Nurdiana, dkk, 2007, h.2). Hasil penelitian tersebut dipertegas oleh Dinosetro (2008) yang menyatakan bahwa keluarga memiliki fungsi strategis dalam menurunkan angka kekambuhan, meningkatkan kemandirian dan taraf hidup penderita serta mengembalikan fungsi adaptasi penderita pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Keluarga juga berperan dalam meningkatkan keyakinan penderita akan kesembuhan dirinya dari skizofrenia sehingga memiliki motivasi dalam proses penyembuhan dan rehabilitasi diri.

Hasil konsekuensi dari tugas perawatan yang dilakukan oleh keluarga terhadap penderita skizofrenia telah diteliti selama beberapa tahun belakangan ini. Dalam melakukan perawatan terhadap penderita skizofrenia, keluarga seringkali memiliki pengalaman terhadap perasaan kehilangan dan sedih (Miller et al., 1990). Keadaan emosi keluarga juga menjadi tidak tentu terkadang keluarga merasa malu, merasa bersalah bahkan marah. Keberadaan penderita skizofrenia di tengah-tengah keluarga membuat hubungan timbal balik antar anggota keluarga menjadi tidak seimbang. Kondisi normal yang seharusnya setiap anggota keluarga dapat saling merawat satu sama lain berubah menjadi pemberian perawatan yang lebih intensif pada penderita skizofrenia. Hal ini menciptkan situasi stres pada keluarga baik secara psikologis maupun finansial (Clark, 1994; Schene et.al., 1996).

(22)

Secara umum, dampak yang dirasakan oleh keluarga dengan adanya penderita skizofrenia adalah beban ekonomi yang tinggi, beban emosi, stress terhadap perilaku penderita skizofrenia, gangguan dalam melaksanakan kegiatan rumah tangga sehari-hari dan keterbatasan melakukan aktivitas sosial. Pandangan negatif atau stigma yang diberikan oleh masyarakat bahwa gangguan jiwa dianggap sebagai aib dan akibat dosa dari keluarganya membuat keluarga memilih untuk menyembunyikan anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Beban sosial ekonomi yang dialami oleh keluarga antara lain adalah gangguan dalam hubungan keluarga, keterbatasan dalam melakukan aktivitas sosial, pekerjaan dan hobi dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik keluarga. Biaya perawatan berkala dan obat-obatan yang mahal membuat keluarga juga mengalami beban secara finansial. Keluarga harus membatasi pengeluaran-pengeluaran yang lain agar dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, beban psikologis menggambarkan reaksi psikologis seperti perasaan kehilangan, cemas, sedih dan malu terhadap masyarakat sekitar, stres dalam menghadapi perilaku penderita yang terkadang tidak terkontrol dan frustasi karena terjadinya perubahan pola interaksi dalam keluarga (WHO, 2003).

Penelitian tentang skizofrenia dan keluarga sendiri telah dilakukan oleh sejumlah orang. Penelitian tentang keluarga tersebut bervariasi, mulai dari meneliti keluarga sebagai faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa,

(23)

keluarga sebagai salah satu intervensi bagi penyembuhan gangguan jiwa dan juga dampak yang dialami oleh keluarga dengan keberadaan penderita gangguan jiwa di tengah-tengah mereka. Penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa keluarga merupakan salah satu faktor penyebab skizofrenia di antaranya dilakukan oleh Parker (1982). Beliau menyatakan bahwa peran orang tua, terutama ibu sangat berpengaruh terhadap perkembangan skizofrenia. Selain itu, keluarga yang dominan dan overprotektif juga ikut menyumbangkan perkembangan skizofrenia (Parker, 1986). Penelitian yang dilakukan oleh Kasanin et al. (dikutip dari Parker, 1986) menunjukkan bahwa dari penelitian sejarah masa kecil terhadap 45 penderita skizofrenia, ditemukan dua dari pasien mengalami penolakan dari ibu dan 33 pasien mendapatkan perlakuan overprotektif dari ibu.

Selain menjadi faktor penyebab, keluarga juga berfungsi dalam area intervensi penderita skizofrenia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya sejumlah penelitian yang mengkaji pentingnya intervensi keluarga dalam proses penyembuhan penderita skizofrenia. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dixon et.al (2010). Dalam penelitian tersebut, beliau melakukan intervensi keluarga pada penderita skizofrenia selama 6-9 bulan. Selama kurun waktu tersebut, berdasarkan hasil observasi, ditemukan bahwa pasien yang mendapatkan intervensi keluarga, secara signifikan mengalami penurunan angka kekambuhan dan tidak harus

(24)

kembali ke rumah sakit dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan intervensi keluarga.

Sementara itu, penelitian terdahulu tentang dampak adanya penderita skizofrenia bagi keluarga yang merawat, salah satunya dilakukan oleh Deborah et.al (2006). Penelitian ini menguji komponen dan korelasi dari beban pengasuh pada skizofrenia. Di dalam penelitian ini dilakukan enam buah pengukuran, yaitu pengukuran terhadap pasien, kualitas hidup, servis layanan, beban pengasuh dan sosiodemografi antara pasien dan pengasuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 34% beban keluarga berasal dari perilaku penderita skizofrenia yang mengganggu, tuntutan sumber daya, dan gangguan, 21% beban berasal dari penurunan aktifitas sehari-hari akibat merawat penderita skizofrenia dan 38% berasal dari kewajiban untuk menolong pasien. Berbeda dengan Deborah, Oldridge & I C Hughes (1992) memfokuskan penelitian pada kesejahteraan psikologis dan level stres yang dialami oleh keluarga penderita skizofrenia. Dari penelitian ini didapatkan bahwa beban objektif yang paling umum di alami oleh subjek adalah emosi. Kesulitan keuangan juga terlihat memiliki andil yang besar dalam beban yang dialami oleh keluarga pasien skizofrenia.

Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa keluarga memiliki pengaruh yang besar terhadap penderita skizofrenia, baik sebagai faktor penyebab maupun sebagai intervensi dalam proses penyembuhan penderita skizofrenia. Penelitian tentang dampak yang dialami oleh

(25)

keluarga dengan keberadaan penderita skizofrenia juga telah dilakukan oleh beberapa orang. Namun, belum ada penelitian yang secara khusus menggali permasalahan sosio-psikologis yang dihadapi oleh keluarga penderita skizofrenia secara lebih mendalam melalui penelitian kualitatif. Peneliti merasa penting untuk melakukan eksplorasi terhadap permasalahan sosio-psikologis yang dihadapi oleh keluarga karena dapat memunculkan hal-hal yang selama ini kurang mereka sadari. Melalui eksplorasi terhadap permasalahan yang dihadapi, keluarga diharapkan lebih mampu memahami kondisi fisik dan kejiwaan yang dialaminya terkait dengan keberadaan anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Kesehatan keluarga penting dijaga agar tetap dapat memberikan dukungan dan perawatan terhadap penderita skizofrenia. Apabila keluarga memiliki kesadaran terhadap permasalahan yang mereka hadapi, diharapkan keluarga nantinya juga dapat memiliki kesehatan jiwa yang memiliki karaterstik persepsi yang sesuai dengan realitas, dapat menerima diri sendiri dan orang lain secara alami, mampu fokus dalam memecahkan masalah, memiliki otonomi, mandiri, kreatif, puas dengan hubungan interpersonal, kaya pengalaman yang bermanfaat, menganggap hidup ini sebagai sesuatu yang indah (Maslow, 1970 dalam Townsend, 2005). Hal ini kemudian dapat digunakan peneliti untuk membantu keluarga dalam meningkatkan kualitas hidupnya dan mempertahankan potensi yang ada sehingga nantinya keluarga dapat memberikan dukungan, baik secara

(26)

sosial maupun spriritual kepada penderita skizofrenia. Selain itu, hasil penelitian ini juga bisa memperkaya data dalam area intervensi keluarga.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah permasalahan sosio-psikologis apa saja yang dialami oleh keluarga selama tinggal bersama anggota yang menderita skizofrenia.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan permasalahan sosio-psikologis apa saja yang dialami oleh keluarga selama tinggal bersama anggota yang menderita skizofrenia.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini dapat memberikan kontribusi pengetahuan di bidang psikologi, terutama psikologi klinis dan psikologi sosial karena dari penelitian ini dapat diketahui isu-isu sosiopsikologis apa saja yang dialami oleh keluarga ketika merawat penderita skizofrenia. Selain itu, hasil dari penelitian ini nantinya juga dapat memperkaya data dalam area intervensi keluarga.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan keluarga yang memiliki anggota penderita skizofrenia dan dapat dijadikan

(27)

sumber informasi untuk mengetahui isu apa yang mereka alami. Melalui kesadaran dari keluarga tentang isu yang mereka hadapi, kemudian mereka dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Meningkatnya kualitas hidup keluarga dengan penderita skizofrenia tersebut selanjutnya diharapkan dapat sejalan dengan meningkatnya penyesuaian diri penderita skizofrenia di lingkungan, kemampuan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan terbebas dari kekambuhan.

a. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada masyarakat luas di Indonesia pada umumnya dan Yogyakarta pada khususnya tentang kondisi sosial dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga yang memiliki anggota menderita skizofrenia.

b. Bagi Pemerintah

Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi pemerintah dalam memberdayakan keluarga yang memiliki anggota keluarga skizofrenia. Hal ini penting dilakukan karena skizofrenia memiliki dampak pada keluarga yang membuat keluarga tersebut tidak dapat mengatasi persoalan yang terjadi.

(28)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Skizofrenia

1. Definisi Skizofrenia

Secara etimologi skizofrenia berasal dari bahasa Yunani,

schizein” yang berarti “terpisah” atau “pecah”, dan “phren” yang

artinya “jiwa”. Skizofrenia menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Jadi, skizofrenia mengacu pada perpecahan ego-aspek rasional dalam jiwa sehingga penderitanya tidak lagi dapat membedakan antara alam khayal dan alam riil.

Konsep tentang skizofrenia telah dimulai sejak abad ke-19 oleh Emil Kraphelin (1856-1926) yang pertama kali membahas tentang gejala-gejala skizofrenia seperti waham, halusinasi, dan perilaku motorik yang aneh. Gejala-gejala tersebut menurut Kraphelin bermula sejak masa kanak-kanak dan memburuk seiring pertumbuhan seseorang (Nevid dkk., 2005). Kraphelin menggunakan istilah

dementia praecox untuk menyebut istilah-istilah tersebut. Dementia

praecox diambil dari bahasa latin yaitu dementis yang berarti „di luar

de (jiwa) mens (seseorang)‟ dan praecox yang diambil dari kata

precocious yang berarti „sebelum kematangan‟. Dementia praecox

(29)

seseorang sehingga mengalami kemunduran inteligensi sebelum waktunya (Nevid dkk., 2005).

Eugen Bleuer (1857-1939) adalah tokoh yang mengungkapkan istilah skziofrenia pertama kali pada tahun 1911. Skizofrenia diambil dari kata Yunani yaitu schizein yang berarti „terpotong‟ atau „terpecah‟ dan phren yang berarti „jiwa‟ (Nevid dkk., 2005). Hal ini bukan berarti individu dengan skizofrenia mengalami gangguan psikis lain yaitu kepribadian ganda, melainkan mengalami ketidaksesuaian antara pikiran dan emosi serta antara persepsi dan kenyataan yang sebenarnya (Nevid dkk., 2005).

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam tiga kelompok, yaitu gejala positif, gejala negatif dan gejala disorganisasi. Gejala positif mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi serta sebagian besar menjadi ciri episode akut skizofrenia. Gejala positif meliputi delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh, gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Sementara itu, gejala negatif mencakup berbagai defisit behavioral dan cenderung bertahan melampaui suatu episode akut serta memberikan efek parah pada kehidupan penderita skizofrenia. Gejala negatif ini merupakan prediktor kuat terhadap kualitas hidup yang rendah pada penderita skizofrenia. Gejala negatif meliputi alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan, kurangnya kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau

(30)

acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif (Davidson dkk., 2006). Gejala disorganisasi mencakup disorganisasi pembicaraan dan perilaku aneh. Disorganisasi pembicaraan merupakan masalah dalam mengorganisasikan ide dan pembicaraan sehingga pesan yang dimaksud dapat tersampaikan dan dimengerti oleh orang lain. Disorganisasi pembicaraan dapat meliputi inkoherensi dan asosiasi longgar. Sementara itu, perilaku aneh misalnya dapat ditemukan pada katanonia dimana pasien menampilkan perilaku tertentu secara berulang-ulang, menampilkan pose tubuh yang aneh atau waxy flexibillity, dimana seseorang dapat memutar atau membentuk posisi tubuh tertentu dalam jangka waktu yang lama (Davidson dkk., 2006).

2. Ciri Utama Skizofrenia

Menurut DSM-IV-TR, ciri-ciri skizofrenia adalah sebagai berikut (APA dalam Jeffrey S. Nevid dkk, 2005):

a. Terdapat dua atau lebih gejala yang harus muncul secara signifikan selama munculnya penyakit dalam waktu 1 bulan. Gejala tersebut meliputi: 1) waham/delusi; 2) halusinasi; 3) pembicaraan tidak koheren atau ditandai oleh asosiasi longgar; 4) perilaku tidak terorganisasi atau katatonik; 5) ciri-ciri negatif (misalnya ekspresi emosi datar)

b. Fungsi pada bidang-bidang seperti hubungan sosial, pekerjaan, atau perawatan diri selama perjalanan penyakit secara nyata

(31)

berada di bawah tingkatan yang dapat dicapai sebelum munculnya gangguan. Apabila gangguan muncul pada masa kanak-kanak atau remaja, terdapat suatu kegagalan untuk mencapai tingkat perkembangan sosial yang diharapkan.

c. Tanda-tanda gangguan terjadi secara menetap selama setidaknya enam bulan. Pada enam bulan ini harus mencakup fase aktif yang berlangsung setidaknya satu bulan, di mana gejala psikotik terjadi (memenuhi kriteria gejala point a).

d. Gangguan tidak dapat didistribusikan sebagai dampak zat-zat tertentu (misalnya penyalahgunaan zat atau obat yang diresepkan) atau pada kondisi medis umum.

Selain itu, meskipun sudah diberi pengobatan dan penyembuhan secara medik penderita skizofrenia umumnya masih mengalami kemunduran dalam fungsi psikososialnya. Tanggung jawab untuk berhadapan dengan kenyataan hidup menjadi berkurang. Penderita skizofrenia biasanya enggan untuk menghadapi realitas dan lebih mengandalkan dunia fantasinya sendiri, enggan untuk berkomunikasi dan menjalin relasi dengan orang-orang di sekitarnya. Selain itu, penderita skizofrenia juga enggan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena mereka lebih suka berdiam diri dan berkelana dengan dunia fantasinya. Bahkan tidak sedikit penderita skizofrenia yang mengalami kemunduran pada tingkat yang sederhana seperti hanya

(32)

mengetahui kebutuhan untuk makan dan minum dan tetap membutuhkan orang lain untuk melakukan pengawasan dan pengontrolan. Penderita skizofrenia juga akan kesulitan untuk menjaga kebersihan diri sendiri. Mereka tidak lagi memperhatikan kesehatan dirinya (Anonim, 2011).

B. Skizofrenia di Indonesia

Skizofrenia merupakan gangguan yang cukup banyak diderita oleh orang Indonesia. Angka prevalensi skizofrenia di seluruh dunia mencapai 4 sampai 14 dari setiap 1000 orang populasi di seluruh dunia (Lewis, 2011 dalam Riskesdas, 2013). Sementara itu, hasil riset kesehatan dasar Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi rata-rata orang Indonesia yang menderita skizofrenia mencapai 1,7 setiap 1000 orang. Dua provinsi yang memiliki angka prevalensi tertinggi adalah Yogyakarta dan Aceh yang memiliki angka prevalensi sebesar 2,7 setiap 1000 orang. Menurut hasil survey Kementrian sosial tahun 2008 jumlah penserita skizofrenia di Indonesia kurang lebih 650.000 orang (Kompas, 2011).

Penderita skizofrenia seringkali terabaikan oleh lingkungan disekitarnya termasuk keluarganya sendiri. Hal ini terkait dengan biaya yang harus dikeluarkan secara langsung untuk membeli obat-obatan dan biaya perawatan skizofrenia sangat besar. Selain itu, secara tidak langsung penderita skizofrenia juga akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan dan keluarga yang menjadi caregiver pun menjadi membutuhkan waktu ekstra untuk merawat pasien (Sinaga,

(33)

2007). Sekitar 80% penderita skizofrenia di Indonesia diketahui tidak mendapatkan pengobatan yang tepat. Penderita skizofrenia menjadi tidak produktif karena tidak mendapatkan perawatan yang tepat dan bahkan ada yang ditelantarkan di jalan (Kompas, 2011).

Saat ini, pengobatan di rumah sakit jiwa untuk penderita skizofrenia sebenarnya sudah lebih maju. Namun, masyarakat kurang dapat memanfaatkan fasilitas tersebut dengan optimal. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Raharjanti pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa pada pencarian pertolongan pasien skizofrenia, didapatkan hanya 10% yang langsung ke pelayanan kesehatan jiwa (Yankeswa). Jenis pertolongan pertama yang sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah pengobatan tradisional yaitu sebesar 38% dan yang melakukan konsultasi ke pemuka agama sebanyak 30%. Halangan terbesar keluarga untuk membawa penderita skizofrenia ke pelayanan kesehatan jiwa (Yankeswa) adalah perasaan negatif (62%) dan stigma terhadap penyakit gangguan jiwa (46%) (Inuwicaksana, 2011). C. Permasalahan Sosio-Psikologis yang dihadapi Keluarga yang

Memiliki Anak Penderita Gangguan Jiwa Skizofrenia

Setiap orang memiliki berbagai peristiwa dalam hidupnya. Peristiwa hidup satu orang dengan yang lainnya tentu saja berbeda. Begitu juga dengan sikap terhadap peristiwa yang dialaminya, setiap orang memiliki cara yang berbeda. Salah satu peristiwa yang dapat terjadi pada seseorang adalah memiliki anak yang menderita gangguan jiwa.

(34)

Bukan hal yang mudah bagi keluarga yang memiliki anak menderita gangguan jiwa karena banyak perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah anak menderita gangguan jiwa. Hal tersebut tentu saja juga berpengaruh terhadap kehidupan kedua orang tuanya. Keluarga sangat mungkin mengalami masalah maupun kesulitan di dalam merawat anak yang menderita gangguan jiwa skizofrenia. Bukan hanya karena kurangnya pengalaman yang dimiliki sebelumnya tetapi juga karena merawat penderita gangguan jiwa bukanlah hal yang mudah.

Salah satu masalah yang mungkin dialami oleh keluarga penderita gangguan jiwa adalah masalah sosio-psikologis. Masalah sosio-psikologis yang dimaksud disini adalah masalah-masalah yang dihadapi oleh keluarga meliputi beban ekonomi yang tinggi, beban emosi, beban psikologis seperti stres dan gangguan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari dan sosial. Selain itu, pandangan negatif atau stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap keluarga yang memiliki anak penderita gangguan jiwa juga termasuk dalam masalah yang dihadapi oleh keluarga penderita gangguan jiwa. Hal tersebut juga dijelaskan di dalam buku Kriminologi Psikososial (Gadd & Jefferson, 2013) bahwa istilah psikososial sering dirujuk pada hubungan penyesuaian sosial atau hubungan-hubungan interpersonal (Frosh, 2003). Selain itu dijelaskan pula bahwa psikososial sering digunakan untuk menggambarkan hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental atau emosinya.

(35)

WHO (2003) menjelaskan bahwa dampak yang dirasakan keluarga dengan adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa skizofrenia adalah beban ekonomi yang tinggi, beban emosi, stres dengan perilaku penderita skizofrenia yang kadang kambuh dan mengganggu, keterbatasan melakukan aktivitas sosial dan terganggunya kegiatan rumah sehari-hari. Terdapat stigma yang dimiliki masyarakat terhadap gangguan jiwa yaitu menganggap bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh dosa yang pernah dilakukan keluarganya dan menjadi aib bagi keluarga. Hal ini tentu saja membuat keluarga berusaha untuk menyembunyikan anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa karena merasa malu, kecewa dan putus asa. Permasalahan sosial meliputi gangguan hubungan dalam keluarga, memiliki batas dalam melakukan aktivitas sosial dan pekerjaan. Sementara itu masalah psikologis berkaitan dengan reaksi psikologis yang dialami oleh keluarga seperti perasaan sedih dan kehilangan, cemas, malu tyerhadap masyarakat sekitar, stres menghadapi gangguan perilaku dan kekambuhan serta frustasi akibat perubahan pola interaksi dalam keluarga.

Berikut merupakan permasalah sosio-psikologis yang dihadapi oleh keluarga yang memiliki anak penderita skizofrenia :

1. Permasalahan sosial, meliputi :

a. Gangguan hubungan dan komunikasi dalam keluarga

Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang tergabung karena suatu ikatan atau hubungan darah, ikatan

(36)

perkawinan dan mereka hidup dalam satu rumah tangga. Keluarga melakukan interaksi satu sama lain dan menciptakan pertahanan terhadap suatu kebudayaan (Salvion G Baylon, et.al, 1989). Keluarga adalah sekelompok individu yang saling berinteraksi, memberikan dukungan dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam melakukan berbagai fungsi dasar (Shives, 2005). Tugas utama keluarga adalah memelihara pertumbuhan psikososial anggota-anggotanya dan kesejahteraan selama hidupnya secara umum (Friedman, 1998).

Dari pengertian yang disampaikan di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung dalam ikatan tertentu, merasa memiliki satu sama lain, memberikan dukungan, melakukan berbagai fungsi dasar, memelihara pertumbuhan psikososial melalui pola interaksi, saling membagi pengalaman dan melakukan pendekatan emosional serta mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga.

Setiap keluarga akan memiliki perbedaan dalam memaknai suatu peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan mereka (Klein, 1996, h.88). Keluarga merupakan sebuah sistem sosial dimana anggotanya saling terhubung satu sama lain. Jika seorang anggota keluarga mengalami perubahan maka anggota yang lain juga akan terkena dampaknya (Klein, 1996). Oleh

(37)

karena itu, keluarga memerlukan keadaan yang selalu seimbang dalam menjalankan kehidupannya. Keadaan yang demikian dapat dicapai ketika setiap anggota keluarga dapat menjalankan perannya dengan baik dan terjalin hubungan komunikasi yang kuat dan hangat (Klein, 1996, h.159).

Ketika di dalam sebuah keluarga memiliki anak yang menderita skizofrenia, maka hal tersebut dapat mengganggu hubungan atau interaksi di dalamnya. Penderita gangguan jiwa yang sulit untuk diajak berkomunikasi menyebabkan keluarga mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsinya. Bahkan beberapa anggota keluarga tidak menyadari bahwa telah terjadi perubahan komunikasi (Barry, 1998).

Orang yang mengidap skizofrenia tidak akan mampu berkomunikasi secara normal dengan orang lain karena salah satunya mereka menganggap bahwa orang lain ingin mencelakakan dirinya (Sadock & Sadock, 2010). Pasien-pasien ini akan sangat mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan berada dalam lingkungan banyak orang. Selain itu mereka juga mengalami halusinasi dan ilusi sehingga seakan-akan melihat hal yang tak nyata (Amelia & Anwar, 2013). Penderita skizofrenia juga mengalami kesulitan dalam melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya menjaga kebersihan diri dan penampilan sehingga orang lain memandang penderita skizofrenia sebagai

(38)

individu yang apatis, menarik diri dan terisolasi dari lingkungan sekitarnya (Maramis, 1998). Hal ini menyebabkan penderita skizofrenia tidak dapat menjalankan fungsi dan peran yang dimiliki di dalam keluarga, sehingga akan terjadi ketidakseimbangan di dalam keluarga tersebut.

b. Keterbatasan dalam melakukan aktivitas sosial

Setiap orang memiliki keinginan untuk menjalin hubungan sosial dan terlibat aktif di dalamnya. Selain itu, juga karena manusia memiliki kebutuhan untuk bersosialisasi dengan orang lain demi keberlangsungan hidupnya. Manusia dalam hidup bermasyarakat, akan saling berhubungan dan saling membutuhkan satu sama lain. Kebutuhan itulah yang dapat menimbulkan suatu proses interaksi sosial. Maryati dan Suryawati (2003) menyatakan bahwa, “Interaksi sosial adalah kontak atau hubungan timbal balik atau interstimulasi dan respons antar individu, antar kelompok atau antar individu dan kelompok” (p. 22). Pendapat lain dikemukakan oleh Murdiyatmoko dan Handayani (2004), “Interaksi sosial adalah hubungan antar manusia yang menghasilkan suatu proses pengaruh mempengaruhi yang menghasilkan hubungan tetap dan pada akhirnya memungkinkan pembentukan struktur sosial” (p. 50).“Interaksi positif hanya mungkin terjadi apabila terdapat suasana saling mempercayai, menghargai, dan saling

(39)

mendukung” (Siagian, 2004, p. 216). Berdasarkan definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan antar sesama manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain baik itu dalam hubungan antar individu, antar kelompok maupun antar individu dan kelompok.

Pada dasarnya, dalam membina hubungan sosial, individu berada dalam rentang respon yang adaptif sampai maladaptif. Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang berlaku. Sementara respon maladaptif merupakan respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya. Respon sosial dan emosional yang maladaptif sering kali terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, termasuk salah satunya juga dialami oleh keluarga dengan penderita skizofrenia.

Ketika memiliki anak yang menderita gangguan jiwa skizofrenia, secara otomatis keluarga terbatas dalam melakukan aktivitas sosial yang biasa dilakukannya. Penyimpangan perilaku yang menyertai gejala skizofrenia seperti tersenyum lebar, menggerakkan bibir tanpa suara, berteriak, mengamuk dan sulit untuk menuruti perintah menyebabkan keluarga harus menyediakan waktu khusus karena penderita tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Oleh karena itu,

(40)

hal ini tentu saja akan membuat keluarga menjadi terbatas dalam melakukan aktivitas sosial di luar rumah.

c. Stigmatisasi

Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti (kawan). Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi sosial merupakan proses dasar dan pokok dalam setiap masyarakat, dan sifat-sifat manusia yang berlangsung di dalamnya akan sangat mempengaruhi proses interaksi sosial yang terjadi. Di dalam melakukan interaksi sosial, individu secara otomatis akan melibatkan berbagai reaksi emosional, sikap, kemauan, perhatian, motivasi, harga diri dan lain sebagainya. Reaksi emosional setiap individu berbeda, oleh sebab itu, di dalam melakukan interaksi sosial akan terjadi pertentangan, perselisihan bahkan diskriminasi sosial.

Di Indonesia, sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa gangguan jiwa berkaitan dengan hal-hal gaib atau mistis, seperti kerasukan setan, ilmu sihir atau santet, kutukan dan lain sebagainya. Masyarakat menganggap bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa mengancam kehidupan bermasyarakat sehingga kebanyakan dari mereka memilih untuk menghindar. Oleh karena itu, tidak jarang penderita gangguan

(41)

jiwa mendapatkan perlakuan yang keras dan tidak manusiawi dari orang-orang disekitarnya (Stuart dan Laraia, 2001).

Menurut Pfluf (ahli psikologi sosial), stigma yang diberikan kepada seseorang akan menyebabkan hilangnya kepercayaan diri kemudian merasa terdiskriminasi (dibedakan) sehingga akhirnya sulit mencari bantuan untuk keluar dari permasalahan yang dihadapinya (Pfluf, 1986).

Stigma sosial ini mempunyai unsur, sebagai berikut :

1) Menghindar (avoidance), pasien skizofrenia dihindari karena kondisi lingkungannya.

2) Penolakan (rejection), dalam hubungan interaksi sosial tertentu kecenderungan orang dengan riwayat skizofrenia tidak akan diterima termasuk saat mencari pengobatan.

3) Penghakiman moral (moral judgement), penderita skizofrenia dan keluarganya dianggap sebagai kutukan, oleh karena kesalahan mereka sendiri.

4) Berhubungan dengan label (stigma of association), pemberian tanda atau label yang diberikan oleh individu atau kelompok lain yang berhubungan dengan kondisi yang pernah dialaminya.

5) Keengganan atau ketidakadilan (unwillingless), seseorang akan memberikan kesenjangan dalam

(42)

berinteraksi atau social distance terhadap penderita skizofrenia.

6) Pembedaan (discrime), penderita skizofrenia sangat jelas akan dibedakan dalam kesempatan bekerja atau berinteraksi di lingkungannya.

7) Penganiayaan (abuse), situasi yang cukup ekstrim akan dialami pasien skizofrenia untuk mengalami tindakan penganiayaan baik verbal maupun fisik oleh komunitas yang tidak mengetahuinya. Stigma sosial ini juga merupakan alasan mengapa penderita skizofrenia harus dirawat kembali (Fleischacker, 2003).

Menurut survey yang dilakukan oleh Otto F Wahl (1999) menjelaskan bahwa masyarakat merupakan sumber stigma yang utama. Di dalam masyarakat, masih sering terdapat lelucon tentang rumah sakit jiwa dan penderita gangguan jiwa. Akan tetapi, keluarga dan penderita yang seharusnya terluka oleh lelucon tersebut kehilangan hak untuk marah dan akhirnya terbawa untuk ikut menikmatinya. Stigma jika dibiarkan akan mengukuhkan pelecehan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa. Jika hal tersbut terjadi makan masyarakat berhak menjauhi, mengucilkan, menganggap penderita skizofrenia sebagai lelucon yang dapat dipermainkan dan diolok-olok (Irmansyah, 2001).

(43)

2. Permasalahan Psikologis, meliputi :

Selain mengalami permasalahan dalam berhubungan sosial baik antar anggota keluarga maupun masyarakat disekitarnya, keluarga penderita skizofrenia juga mengalami permasalahan secara psikologis. Permasalahan psikologis yang dimaksud disini meliputi ungkapan emosi yang terjadi selama merawat anak yang menderita skizofrenia.

Emosi berasal dari kata latin, yaitu emovere yang berarti bergerak menjauh. Daniel Goleman (2002 : 114) mengatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu yang mencakup perubahan-perubahan yang disadari yang sifatnya mendalam dan perubahan perilaku yang disertai adanya ekspresi biologis.

Berikut merupakan reaksi psikologis yang dialami oleh keluarga penderita gangguan jiwa :

a. Kesedihan

Kesedihan merupakan salah satu emosi yang berlangsung lebih lama. Setelah sebuah periode penderitaan mendalam yang disertai dengan ungkapan protes, biasanya ada sebuah periode mengehentikan kesedihan yang di dalamnya orang merasa tidak berdaya dan kemudian, periode penderitaan yang disertai protes

(44)

itu muncul kembali dalam usaha untuk memulihkan rasa kehilangan tersebut, yang diikuti oleh kesedihan, kemudian penderitaan mendalam dan begitu seterusnya.(Paul Ekman).

Kesedihan (grief) merupakan reaksi normal ketika mengalami kehilangan sesuatu atau seseorang yang dicintai. (Davies, 1998). Kesedihan yang berkenaan kepada seluruh perasaan yang menyakitkan dihubungkan dengan kehilangan, termasuk perasaan sedih, marah, perasaan bersalah, malu dan kegelisahan (Zeanah, 1989).

b. Kehilangan

Kehilangan merupakan suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Potter&Perry, 2005).

Keluarga yang memiliki anak penderita gangguan jiwa merasa kehilangan karena menganggap kehidupan masa depan keluarga dan penderita telah berakhir (Willick, 1994 dalam Mohr, 2006).

c. Kecemasan

Kecemasan berhubungan dengan sesuatu yang dirasa mengancam. Menurut Nevid (2005), kecemasan dapat menjadi reaksi emosional yang normal dibeberapa situasi, tetapi tidak disituasi lain. Kecemasan merupakan suatu perasaan takut yang

(45)

tidak menyenangkan yang disertai dengan meningkatnya ketegangan fisiologis. Dalam teori pembelajaran, kecemasan dianggap sebagai suatu dorongan yang menjadi perantara antara suatu situasi yang mengancam dan perilaku menghindar (Davidson, dkk, 2006). Sumadinata (2004) mengatakan bahwa seseorang yang merasa khawatir karena menghadapi situasi yang tidak bisa memberikan jawaban yang jelas, tidak bisa mengharapkan suatu pertolongan, dan tidak ada harapan yang jelas akan menyebabkan orang mengalami rasa cemas.

Kecemasan merupakan sebuah fenomena kognitif, dimana seseorang nerasa sesuatu akan terjadi diluar kehendak dan tidak bisa diprediksi. Kecemasan akan menjadi lebih parah ketika seseorang merasa tidak sanggup menghadapinya karena meragukan kemampuan diri sendiri.

Ciri-ciri kecemasan (Nevid, 2003) meliputi :

1) Secara fisik meliputi kegelisahan, kegugupan, tangan dan anggota tubuh yang bergetar atau gemetar, banyak berkeringat, mulut atau kerongkrongan terasa kering, sulit berbicara, sulit bernapas, jantung berdebar keras atau berdetak kencang, pusing, merasa lemas atau mati rasa, sering buang air kecil, merasa sensitif atau mudah marah. 2) Secara perilaku, meliputi perilaku menghindar, perilaku

(46)

3) Secara kognitif, meliputi khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu atau ketakutan, keyakinan bahw2a akan terjadi sesuatu yang buruk tanpa ada penjelasan yang jelas, ketakutan akan kehilangan kontrol, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi maslaah, berpikir bahwa seuanya tidak bisa lagi dikendalikan, merasa sulit untuk memfokuskan pikiran atau konsentrasi.

Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang jelas. Terkadang seseorang mengalami kecemasan sebagai sebuah tantangan sehingga mempersiapkan untuk menghadapinya dan memberikan hal yang positif. Akan tetapi terkadang pula, kecemasan membuat seseorang tidak berdaya dan merasa tidak mampu menghadapi kecemasan tersebut sehingga ingin lari dari maslaahnya dengan mengembangkan defend mechanism (mekanisme pertahanan diri/ego).

Ketika memiliki anak yang menderita skizofrenia, keluarga memiliki kekhawatiran tersendiri tentang hal tersebut. Hal ini terjadi karena kebanyakan penderita skizofrenia tidak mampu melakukan penyesuaian diri.

d. Malu

Malu merupakan perasaan yang muncul ketika seseorang mengevaluasi tindakanm, perasaan dan perilakunya dan

(47)

menyimpulkan bahwa dirinya telah melakukan sesuatu yang keliru, kurang benar atau tidak sesuai (Lewis, 1993, dalam Strongman, 2003). Meskipun pada kondisi tertentu, malu merupakan hal yang wajar, namun ada kalanya malu menyebabkan orang merasa takut atau segan untuk terbuka kepada orang lain.

Penyebab rasa malu, meliputi 3 hal :

1) Merasa telah melakukan sesutau kekonyolan atau kebodohan 2) Melakukan sesuatu yang dinilai tidak sesuai dengan norma

sekitar

3) Gagal menyesuaikan tindakan dengan standart yang ditetapkan sendiri.

Perasaan malu bisa muncul melalui proses belajar. Selain itu, perasaan malu juga bisa terjadi melalui pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti dikritik oleh orang lain, dan dicemooh. Ketika rasa malu berada dalam tingkat yang tinggi, maka akan menghambat pergaulan sosial. Seseorang akan menarik diri secara sosial.

e. Stres karena gangguan perilaku dan kekambuhan

Stress adalah bentuk ketegangan dari fisik, psikis, emosi maupun mental. Bentuk ketegangan ini mempengaruhi kinerja keseharian seseorang. Bahkan dapat membuat produktivitas seseorang menurun, rasa sakit dan gangguan-gangguan mental.

(48)

Stres merupakan bentuk ketegangan baik fisik maupun mental. Sumber stress disebut dengan stressor dan ketegangan diakibatkan karena stress disebut strain.

Gejala stress meliputi :

1) Hilang minat terhadap kegiatan yang disenangi

2) Hilang selera makan yang berujung pada penurunan berat badan

3) Terlihat lelah, atau kurang energi

4) Memiliki perasaan tidak berharga dan tidak memiliki harapan 5) Rasa bersalah yang tidak pada tempatnya

6) Tidak mampu berkonsentrasi dan berpikir jernih

7) Melankolik yang biasanya disertai bangun pagi terlambat dua jam dari biasanya, rasa tidak berdaya dipagi hari dan bergerak lebih lamban

8) Pusing atau sakit perut

9) Mempunyai keinginan atau harapan untuk mati bahkan bunuh diri.

Sementara itu, faktor penyebab stress meliputi :

1) Faktor biologis yang terbagi dalam beberapa tipe : a) Gen

Keadaan individu pada masa konsepsi dipengaruhi oleh sikap dan perilaku ibu. Bagaimana ibu berperilakuketika hamil dan asupan gizi yang sudah terpenuhi atau mal;ah

(49)

defisiensi. Ketika seorang ibu stres, otomatis bayi yang dikandung akan ikut stres pula dan kebanyakan hal ini tidak disadari bahkan dapat menyebabkan cacat fisik atau mental pada bayi.

b) Penyakit

Memiliki penyakit langka, atau sulit disembuhkan dapat mengakibatkan seseorang memilih untuk mengakhiri hidupnya. Hal ini karena penyakit dapat membuat orang merasa tidak berguna. Penyakit yang tidak dapat sembuh atau tidak ada obatnya dapat menjadi sebuah stressor c) Tidur

Obat capek yang paling manjur adalah tidur. Ketika porsi tidur seseorang tidak dapat terpenuhi maka akan terjadi tekanan dalam diri orang tersebut. Hal ini ditandai dengan tingkat sensitivitas yang lebih tinggi dari biasanya, pusing, sulit beradaptasi dengan lingkungan dan belum menyadari dimana berada. Hal tersebut menimbulkan stres baik tingkat ringan maupun tinggi. d) Postur tubuh

Kebanyakan stressor ini terjadi pada perempuan yang menyebabkan ingin melakukan apa saja untuk mendapatkan postur tubuh yang diinginkan/ideal.

(50)

Faktor ini tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu penyebab stress yang paling utama. Ketika seseorang merasa kelelahan maka hal yang ingin segera dipenuhi adalah beristirahat.

2) Faktor psikologis :

a) Frustasi, sudah sangat jelas bahwa frustasi adalah penyebab seseorang mengalami stres.

b) Perasaan dan emosi : marah, mudah tersinggung, ,merasa tidak nyaman, merasa tidak aman, sedih, merasa bersalah, dll.

c) Pengalaman hidup, meliputi peristiwa-peristiwa hidup yang dialami oleh seseorang, misalnya kehilangan tempat tinggal karena bencana alam, kebakaran, kematian orang yang disayangi, kecelakaan yang menyebabkan cacat, memiliki keluarga yang menderita gangguan jiwa, dll. Akan tetapi perpisahan dengan orang yang dicintai merupakan stressor dari psikologis yang paling banyak mempengaruhi tingkat kesadaran seseorang.

d) Keputusan perilaku. Salah mengambil keputusan membuat orang merasa takut dan tidak mau lagi menjalani hidupnya.

(51)

e) Respon berlawanan. Ketika seseorang melawan hal yang terjadi namun dia tetap tidak merubah keadaan. Disaat itu orang akan merasa down dan tidak berguna.

3) Faktor sosial :

a) Keluarga. Misalnya terjadi kesalahan pola asuh, yang diberikan, broken home, keadaan sosial ekonomi.

b) Lingkungan. Peristiwa alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor secara langsung membuat orang memiliki ketegangan tinggi.

c) Dunia kerja. Tugas yang menumpuk atau tugas yang sedikit namun memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Gangguan perilaku yang dialami oleh penderita gangguan jiwa seperti suka tersenyum sendiri, tertawa tanpa sebab, suka berdiam diri, perilaku yang seperti dihantui atau diteror, dan terkadang suka mengamuk menyebabkan keluarga mengalami kesulitan dalam merawat penderita. Keluarga kurang dapat beristirahat secara maksimal, kelelahan fisik karena merawat penderita skizofrenia bukanlah hal yang mudah karena memerlukan perhatian yang ekstra.

Keluarga mengalami peningkatan konflik, sikap saling menyalahkan satu sama lain, kesulitan untuk mengerti dan menerima anggota keluarga yang sakit, meningkatnya emosi ketika berkumpul dan kehilangan energi untuk merawat anggota

(52)

keluarga yang sakit (Doornbos, 1997 dalam Stuart & Laraia, 2001). Selain itu gangguan yang tidak dapat disembuhkan secara total dan sering mengalami kekambuhan menambah beban yang dialami oleh keluarga.

f. Frustasi akibat perubahan pola interaksi dalam keluarga

Frustasi berasal dari bahasa latin yaitu frustasio yang artinya perasaan kecewa atau jengkel akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Frustasi merupaka suatu keadaan ketegangan yang tidak menyenangkan, dipenuhi perasaan dan aktivitas simpatetis yang semakin meninggi yang disebabkan oleh rintangan atau hambatan. Frustasi dapat berasal dari dalam (internal) dan dari luar diri(eksternal). Sumber yang berasal dari dalam salah satunya seperti kurangnya rasa percaya diri atau ketakutan pada situasi yang menghalangi pencapaian tujuan (Kesehatan Mental, 1968).

Terdapat tiga faktor penyebab frustasi yaitu :

1) Frustasi lingkungan, merupakan frustasi yang disebabkan oleh halangan atau rintangan yang terdapat dalam lingkungan dimana ia tinggal

2) Frustasi pribadi, merupakan frustasi yang tumbuh dari ketidakpuasan seseorang dalam mencapai tujuan dengan kata lain frustasi pribadi ini terjadi karena adanya perbedaan antara tingkatan aspirasi dengan tingkatan kemampuannya

(53)

3) Frustasi konflik, merupakan frustasi yang disebabkan oleh konflik dari berbagai motif dalam diri seseorang dengan adanya motif saling bertentangan, maka pemuasan dari salah satu motif yang menyebabkan frustasi bagi motif yang lain.

Penderita gangguan jiwa skizofrenia ketika mengalami kekambuhan seringkali tidak dapat berkomunikasi secara efektif sehingga tidak mampu menyampaikan perasaan, tidak mampu memahami pesan dari orang lain, menginterupsi percakapan, bahkan mengucapkan kata-kata kasar. Hal ini menyebabkan perubahan pola interaksi di dalam keluarga tersebut. Anggota keluarga menjadi kurang maksimal dalam berinteraksi sebab penderita kesulitan untuk menyampaikan pesan. Penderita juga tidak dapat menjadi pendengar yang baik, kurang dapat mengungkapkan diri dan fokus pada isi komunikasi. Oleh karena komunikasi merupakan kunci di dalam berinteraksi, ketika penderita dan anggota keluarga yang lain kurang dapat membangun komunikasi secara baik maka interaksi di dalam keluarga tersebut juga menjadi terhambat dan membuat keluarga menjadi frustasi.

3. Permasalahan Finansial

Keluarga memiliki fungsi ekonomi dimana keluarga harus mampu menyediakan sumber-sumber finansial dan mengalokasikan sumber-sumber finansial tersebut untuk memenuhi kebutuhan

(54)

pangan, sandang dan papan dan perawatan kesehatan keluarganya. Ketika memiliki anak yang menderita gangguan jiwa skizofrenia, keluarga harus menyediakan biaya untuk pengobatan dan perawatan. Pembiayaan obat dan perawatan untuk penderita skizofrenia tidaklah sedikit (Walton-Moss, 2005). Selain itu, keluarga memerlukan biaya untuk mengantar penderita berobat ke rumnah sakit.

Kondisi penderita gangguan jiwa yang membutuhkan perhatian ekstra menyebabkan salah satu anggota keluarga harus mengalami pengangguran. Beberapa dari mereka terpaksa meninggalkan pekerjaan untuk merawat anaknya yang menderita gangguan jiwa skizofrenia (WHO, 2001). Keluarga yang tidak hanya mengeluarkan biaya untuk pengobatan dan perawatan penderita, tetapi juga harus memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari seperti kebutuhan pangan dan sandang merasa semakin terbebani.

D. Keluarga Penderita Skizofrenia di Indonesia

Skizofrenia adalah terjadinya perpecahan atau ketidakserasian

antara afeksi, kognitif dan perilaku. Jadi, skizofrenia mengacu pada perpecahan ego-aspek rasional dalam jiwa sehingga penderitanya tidak lagi dapat membedakan antara alam khayal dan alam riil. Skizofrenia merupakan gangguan yang cukup sulit atau hampir tidak dapat disembuhkan sehingga terkadang menjadi beban bagi keluarga yang merawat.

(55)

Orang yang menderita skizofrenia semakin lama akan semakin terlepas dari masyarakat karena dianggap gagal berfungsi sesuai dengan peran yang diharapkan (Keith, Regier & Rae, 1991). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat stigma terhadap penderita skizofrenia dan memberikan konsekuensi yang negatif bagi keluarga maupun penderita sendiri (NAMI dalam Jo. C Phelan dkk., 1998; Willis, 1982; Corrigan, 2004). Stigma yang ada di dalam masyarakat tersebut membuat penderita skizofrenia dan keluarganya mengalami isolasi sosial dan diskriminasi (Fenton, 2005). Keluarga yang memiliki salah satu anggota menderita skizofrenia akan secara drastis terasing dari lingkungannya, diremehkan dan menjadi bahan pergunjingan di masyarakat. Hal ini akan berdampak pada status sosial ekonomi keluarga, sehingga terkadang penderita skizofrenia menjadi beban tersendiri bagi keluarga dan diasingkan karena dianggap sebagai pembawa malapetaka (Saseno, 2001). Selain itu, stigma juga berdampak pada kemauan keluarga untuk mengungkapkan masalah yang mereka hadapi terkait dengan keberadaan penderita skizofrenia dan juga dalam hal mencari bantuan. Keluarga yang sangat sensitif tentang dugaan pandangan kerabat atau tetangga tentang masalah gangguan jiwa akan lebih tertutup tentang keberadaan anggota keluarganya yang menderita skizofrenia. Berdasarkan penjelasan di atas, stigma merupakan masalah yang serius bagi penderita skizofrenia dan keluarganya, namun belum banyak penelitian yang bertujuan untuk mengungkapkan hal tersebut (NAMI dalam Jo. C. Phelan dkk., 1998; Willis, 1982).

(56)

Keberadaan penderita skizofrenia di tengah-tengah keluarga membuat keluarga juga memiliki stigma terhadap anggota keluarga tersebut dan penyakit yang dideritanya. Keluarga yang anggotanya menderita skizofrenia dan dirawat di rumah sakit, mereka akan lebih cenderung untuk menyembunyikan masalah tersebut (Jo. C. Phelan dkk, 1998).

Penelitian terdahulu telah banyak yang menunjukkan bahwa skizofrenia cenderung menurun dalam keluarga. Pada keluarga tingkat pertama akan mendapat sepuluh kali lipat resiko menderita skizofrenia (Davidson dkk., 2006). Meskipun skizofrenia bersifat menurun, faktor-faktor eksternal dari penderita skizofrenia seperti peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam keluarga juga dapat menyebabkan dan memperburuk keadaan penderita skizofrenia. Sebagai contoh, interaksi anak dan orang tua pada masa kanak-kanak awal yang terganggu dapat menyebabkan anak mencari perlindungan pada fantasi pribadinya sehingga membangun gejala yang akhirnya menjadi skizofrenia (Jeffrey S. Nevid dkk., 2005). Selain itu, gaya komunikasi yang menyimpang di dalam keluarga juga dapat menyebabkan stres bagi penderita sehingga frekuensi gejala kelainan orang dengan skizofrenia yang tinggal dengan keluarga akan meningkat (Jeffrey S. Nevid dkk., 2005; Mueser & Gingerich, 2006). Pola komunikasi yang dimiliki oleh keluarga yang dengan anggota skizofrenia cenderung kacau (Bateson dalam Klein, 1996, h. 170). Kondisi yang demikian membuat anak mengalami kesulitan dalam penyesuaian dengan

(57)

keluarganya sendiri sehingga mulai muncul gangguan psikis pada diri anak (Klein, 1996, h.171).

Ketika anggota keluarga yang menderita skizofrenia kembali ke rumah, keluarga memiliki tanggung jawab untuk merawat mereka. Jangka waktu perawatan yang lama membuat keluarga seringkali merasa frustrasi karena kurangnya kemajuan yang tampak dalam pengobatan. Apalagi ditambah dengan isolasi sosial dari masyarakat sekitar yang membuat keluarga tidak memiliki akses untuk meminta bantuan. Akhirnya dukungan emosional suatu keluarga menjadi berkurang dan beberapa keluarga memutuskan semua kontak dengan penderita skizofrenia. Hal tersebut semakin menghambat proses penyembuhan skizofrenia karena pada dasarnya orang yang menderita skizofrenia membutuhkan dukungan moral dan spiritual dari orang-orang terdekatnya (Fox, 1968; Hudson, 1978).

Keluhan yang paling umum di antara teman dan anggota keluarga dari orang dengan skizofrenia adalah tidak memahami bagaimana cara untuk membantu mereka, atau memberikan dukungan lanjutan, serta dukungan jangka panjang yang sebetulnya dapat membantu menghindari penderita skizofrena menjadi gelandangan, tunawisma atau menganggur. Namun, keluhan tersebut kurang mendapat perhatian dari para ahli karena kebanyakan dari mereka lebih memfokuskan penelitian pada penderita skizofrenia saja. Padahal, keberhasilan pelayanan pada pasien skizofrenia sangat kompleks, tergantung dari kerjasama tim kesehatan jiwa di

(58)

masyarakat yang meliputi dokter, perawat dan pekerja sosial dengan pasien dan keluarganya (Falloun, 1990).

Status sehat dan sakit para anggota keluarga saling mempengaruhi satu sama lain. Suatu penyakit dalam keluarga mempengaruhi seluruh keluarga dan sebaliknya mempengaruhi jalannya suatu penyakit dan status kesehatan anggota. Oleh karena itu, pengaruh dari status sehat dan sakit pada keluarga saling mempengaruhi atau sangat bergantung satu sama lain (Marilyn, 1998).

Skizofrenia merupakan gangguan yang parah dan mengakibatkan stres bagi penderita dan keluarganya (Stanley & Shwetha, 2006). Dalam merawat penderita skizofrenia, keluarga dituntut untuk memiliki kesabaran dan ketelatenan. Hal ini disebabkan karena penderita skizofrenia sangat rentan terhadap kekambuhan. Mengembalikan penderita skizofrenia pada masyarakat sering menimbulkan kesulitan-kesulitan pada keluarganya. Kesulitan keluarga pengasuh penderita skizofrenia antara lain adalah akses ke layanan spesialis, ketersediaan layanan tambahan seperti perawatan tangguh, kelayakan untuk bantuan keuangan (misalnya, pembayaran penjaga), dan dukungan terapi untuk diri mereka sendiri (Edwards, Higgins, Gray, Zmijewski , & Kingston 2008). Ada dua problem yang dihadapi keluarga penderita skizofrenia yaitu masalah yang berhubungan dengan penarikan sosial (social

withdrawl) karena penderita skizofrenia tidak dapat berinteraksi dengan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa : (1) Sikap keluarga secara kognitif terhadap penderita gangguan jiwa adalah sebagian besar baik, (2)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsekuensi psikologis yang dialami wanita karir yang tinggal terpisah dengan suami dan apa motivasi seorang wanita

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan sikap dan persepsi keluarga terhadap anggota keluarga yang menderita HIV/AIDS di Kabupaten Temanggung.. Metode

Tingkat Kecemasan Keluarga Pasien Skizofrenia berdasarkan pekerjaan Dari tabel 6 pada hasil penelitian diketahui bahwa ditemukan lebih banyak anggota keluarga

Berdasarkan hasil penelitian ini juga diketahui bahwa sebagian besar responden masih merasa puas dengan kemampuan untuk merawat anggota keluarga yang menderita skizofrenia,dan

Merawat anggota keluarga dengan penyakit mental dapat menyebabkan tekanan psikologis yang cukup besar dan mempengaruhi kesehatan mental anggota keluarga perempuan

Peneliti dalam penelitian ini pun tidak memiliki kontrol untuk mengatur komunikasi keluarga dalam membangun konsep diri dalam keluarga yang salah satu

Berdasarkan hasil kuesioner yang didapat bahwa dukungan informasi yang diberikan kepada anggota keluarga yang sakit gangguan jiwa seperti menjelaskan kepada anggota keluarga bagaimana