• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

B. Bahasa 1. Pengertian Bahasa

3. Kemampuan Berbahasa

Pikunas (1976) dan Hadisubrata (2004) menguraikan beberapa hal yang hampir sama, yang dapat dijadikan tolok ukur kemampuan berbahasa anak, yakni: (1) artikulasi atau pengucapan kata; (2) perbendaharaan kata yang dimiliki anak; (3) kemampuan menggabungkan kata-kata dalam kalimat yang sesuai dan mengandung makna; (4) pemahaman makna/arti dari apa yang diucapkan orang lain; serta (5) kemampuan untuk membuat dan melangsungkan percakapan.

Bayi sering mengeluarkan bunyi atau ocehan yang tidak mempunyai arti sebagai kata. Baru pada usia 12 bulan, anak sudah siap menirukan apa yang diucapkan oleh orang lain dan berusaha untuk mengucapkan kata-kata yang belum pernah diucapkan sebelumnya. Banyaknya kata yang dapat diucapkan dan membaiknya cara pengucapan anak tergantung dari tingkat kesiapan mekanisme suara dan bimbingan yang diterima oleh anak dalam menggabungkan suara-suara menjadi kata yang berarti (Hadisubrata, 2004). Untuk memenuhi hal tersebut, anak dapat diikutsertakan dalam aktivitas mental yang beragam sehingga mereka mampu mengembangkan sistem persepsi-auditoris dengan baik (Siegler, 1991). Anak dapat mendengar dengan jelas dan meniru apa yang diucapkan orang lain sehingga dapat membantu mereka belajar mengucapkan kata dengan benar.

Menurut Hadisubrata (2004) perbendaharaan kata anak meningkat seiring dengan banyaknya produksi bunyi/suara yang diasosiasikan dengan kata, baik kata-kata baru maupun arti baru dari kata-kata lama yang diterapkan pada situasi dan konteks yang berbeda. Perbendaharaan kata yang dikuasai oleh anak dibedakan menjadi dua tipe, yakni referensial dan ekspresif. Tipe referensial mengacu pada kata-kata yang berkaitan dengan objek, orang serta gerakan-gerakan, seperti bola, permen, mama, kakak. Sedangkan tipe ekspresif mengarah pada kata-kata yang sering dipergunakan dalam pergaulan sosial, seperti terima kasih, aku sudah selesai, maaf (Berk, 2005). Hadisubrata (2004) menjelaskan bahwa kata-kata yang digunakan oleh anak pertama kali sebagian besar berupa kata benda (nama orang dan objek-objek di sekitarnya). Setelah anak menguasai cukup banyak kata benda, anak mulai belajar kata kerja, kata sifat, kata keterangan hingga akhirnya mempelajari kata ganti.

Anak dituntut untuk mengucapkan kata-kata yang dapat dipahami oleh orang lain dan memiliki perbendaharaan kata yang cukup memadai supaya dapat mengungkapkan pikiran, perasaan dan keinginannya dengan baik. Pengucapan dan pengembangan kosakata anak dapat diasah melalui kegiatan yang mempergunakan bahasa dan objek/benda yang kongkrit layaknya dalam kehidupan sehari-hari (Lindfors, 1980; Curtis, 1998). Kegiatan/pengalaman yang menarik dan mempergunakan objek yang kongkrit tersebut dapat mempermudah anak untuk memunculkan ide/gagasannya terhadap peristiwa yang terjadi, memperkaya perbendaharaan kata, serta meningkatkan kemampuan anak untuk menghubungkan antara arti dengan ekspresi dari suatu kata. Bruner (dalam Curtis, 1998) menyebutnya dengan teknik verbalisasi aktif. Teknik ini

digunakan untuk menstimulasi anak untuk mengekspresikan ide/gagasan dan pengetahuan serta memperluas penggunaan kosakata yang dimiliki dengan cara mengkombinasikan antara kata-kata/ucapan dengan perilaku.

Sebelum menginjak usia 1 tahun, anak menggunakan kalimat yang terdiri dari satu suku kata yang digabung dengan gerakan tubuh. Pada usia 2,5 tahun anak mulai dapat membentuk kalimat pendek dan membandingkan objek. Anak mulai melakukan diferensiasi pada kelompok kata serta mempergunakan anak kalimat, kata kerja, dan kata ganti ketika memasuki usia 4 tahun. Anak mulai menggunakan kalimat yang terdiri dari tiga hingga tujuh kata di dalamnya. Anak juga mampu menggunakan kausalitas atau sebab akibat. Misalnya, anak bertanya Mengapa? Apa sebabnya? dan lain sebagainya (Pikunas, 1976; Mőnks, Knoers, dan Haditono, 1999; Hadisubrata, 2004; Stern dan Stern dalam Ahmadi dan Sholeh, 2005).

Kemampuan berbahasa anak tidak hanya dilihat dari kemampuannya berbicara/berujar namun juga dari pemahaman anak terhadap pernyataan orang lain (Siegler, 1991; Hadisubrata, 2004). Hal ini berkaitan dengan pemahaman terhadap arti kata sehingga anak dapat memahami apa yang diucapkan oleh orang lain. Anak dapat memahami apa yang dikatakan oleh orang lain jauh sebelum ia dapat berbicara. Pemahaman ini biasanya diperoleh dari proses asosiasi arti kata dengan tindakan, intonasi suara, dan gerakan tubuh dari orang yang berbicara. Dengan kata lain, pemahaman anak berkaitan dengan indera pendengaran, tingkat perhatian (attention) dan kemampuan anak untuk memproses informasi secara auditoris. Seperti pada penjelasan sebelumnya, anak lebih mudah memaknai objek atau peristiwa dengan melakukan fast-mapping.

Proses fast-mapping itu sendiri memungkinkan anak memperluas pemahaman terhadap objek atau peristiwa yang dialaminya dengan cara menggabungkan informasi yang sudah ada dengan ciri/karakteristik dan definisi yang baru saja diperoleh, yang kemudian diterapkan ke dalam konteks yang berbeda. Kemampuan ini kian berkembang ketika anak berada di usia 4 tahun ke atas (Lindfors, 1980; Curtis, 1998; Hadisubrata, 2004). Semakin banyak kosakata yang dapat dipahami maupun diucapkan oleh anak melalui aktivitas berbicara dan mendengarkan berarti semakin banyak pula perbendaharaan pengetahuannya. Anak memiliki perbendaharaan pengetahuan tentang diri sendiri, keluarga, sekolah, makhluk hidup dan sebagainya sehingga mendorong mereka untuk dapat menyatakan keinginan, kebutuhan, pikiran dan perasaan kepada orang lain secara lisan.

Berkembangnya kemampuan berbahasa anak juga dapat dilihat dari kemampuannya untuk membuat dan mempertahankan percakapan. Menurut Bruner (dalam Curtis, 1998) percakapan yang berlangsung ketika anak berinteraksi dengan teman sebayanya lebih produktif dibandingkan dengan orang dewasa. Anak mampu menjadi guru bagi dirinya sendiri, terdorong untuk menciptakan dan mengekspresikan sesuatu yang benar-benar terjadi dalam dirinya secara lisan. Anak berbicara dan bertanya kepada temannya, saling berbagi informasi serta bertukar pendapat mengenai hal-hal yang terkait dengan keluarga, hewan peliharaan, kakak adik, olahraga, pakaian, acara televisi, alat permainan dan hal-hal lainnya yang menarik dan dekat dengan dirinya. Anak merasa lebih bebas membahas topik tersebut dengan teman sebaya ketimbang dengan orang dewasa. Dengan terlibat dalam suatu percakapan, baik yang

dilakukan bersama dengan dua atau lebih temannya, anak belajar untuk bergantian berbicara (turn-taking) dan saling mendengarkan satu sama lain (Curtis, 1998; Moeslichatoen, 2004).

Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat lima indikator dari kemampuan berbahasa anak pra sekolah. Pertama, menyangkut artikulasi/pengucapan yang jelas. Artikulasi yang jelas mengarah pada kemampuan anak untuk memproduksi bunyi-bunyi menjadi kata yang jelas dan berarti sesuai dengan apa yang hendak disampaikan. Kedua, kemampuan berbahasa juga dapat dilihat dari perbendaharaan kata yang dimiliki oleh anak. Perbendaharaan kata atau kosakata anak dapat dikembangkan dengan melibatkan anak dalam kegiatan atau pengalaman berbahasa layaknya dalam kehidupan sehari-hari. Anak tidak sekadar mengucapkan dan memahami kata melainkan juga mengekspresikannya lewat perilaku. Indikator ketiga mengarah pada kemampuan anak untuk merangkai kata-kata di dalam kalimat sehingga mengandung makna/arti. Kalimat yang berhasil dibuat oleh anak bukan hanya satu atau dua kata melainkan sudah lengkap serta terdapat kesesuaian antara apa yang diucapkan dengan yang dipikirkan. Indikator keempat adalah pemahaman arti kata atau pernyataan orang lain. Dengan mamahami apa yang diucapkan oleh orang lain, anak diharapkan mampu menanggapi atau memberikan respon yang tepat kepada orang lain sehingga perbendaharaan pengetahuannya pun meningkat. Indikator kelima merupakan aplikasi dari keempat indikator di atas, dimana anak mampu membuat dan melangsungkan percakapan dengan baik. Percakapan ini dapat dilakukan baik bersama dengan teman sebayanya maupun orang dewasa. Anak memiliki kesempatan untuk berbicara dan mendengarkan orang lain secara

bergantian dan mereka akan memberikan umpan balik baik berupa respon verbal maupun non verbal.

Perkembangan kemampuan berbahasa itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor. Nurgiyantoro (1995) menyatakan bahwa kemampuan kognitif seperti tingkat perhatian, pemahaman, ingatan, problem solving dan sebagainya dapat mempengaruhi berkembangnya kemampuan anak untuk mengungkapkan ide/gagasan. Newport, Gleitman dan Gleitman (dalam Liebert, Wicks-Nelson dan Kail, 1986) dan Brown & Moerk (dalam Jay, 2003) mengatakan bahwa ibu lebih banyak menghabiskan waktunya bersama dengan anaknya sehingga interaksi antara ibu dan anak dapat mempengaruhi kemampuan berbahasanya. Hurlock (1995) memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan berbahasa anak, yakni: (1) inteligensi, semakin cerdas anak menunjukkan tingkat penguasaan bahasanya lebih unggul; (2) besarnya keluarga, dalam keluarga kecil (anak tunggal atau dua bersaudara) orang tua memiliki lebih banyak waktu untuk berbicara dengan anaknya dibandingkan dengan keluarga besar; dan (3) status sosial ekonomi orang tua, dimana dalam keluarga menengah ke atas kegiatan keluarga cenderung terorganisir sehingga memberikan anak lebih banyak kesempatan untuk berbicara.

C. Permainan

Dokumen terkait