• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas permainan pura-pura dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak pra sekolah - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Efektivitas permainan pura-pura dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak pra sekolah - USD Repository"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Meliana Adiningsih Wijaya

NIM : 029114036

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007

(2)
(3)
(4)

It is the source of power.

Take time to read;

It is the foundation of wisdom

.

Take time to play;

It is the secret of staying young.

Take time to be quiet;

It is the opportunity to seek GOD.

Take time to be aware;

It is the opportunity to help others.

Take time to love and to be loved;

It is God’s greatest gift.

Take time to laugh;

It is the music of the soul.

Take time to be friendly;

It is the road to happiness.

Take time to dreams;

It is what the future is made of.

Take time to pray;

It is the greatest power on earth

To my Lord Jesus Christ,

my dearest family,

my friends

And all children in the world

(5)
(6)

vi

Permainan pura-pura merupakan jenis permainan aktif yang dimainkan oleh anak usia pra sekolah bersama dengan anak lainnya. Permainan pura-pura melibatkan bahasa sebagai mediator untuk menjelaskan imajinasi dan khayalan anak. Permainan ini dapat melatih kemampuan berbahasa anak yang diyakini memiliki arti penting dalam proses tumbuh kembang anak. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melihat efek atau pengaruh permainan pura-pura dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak pra sekolah.

Desain eksperimen yang digunakan adalah eksperimen ulang (pretest-posttest control group design). Subyek penelitian adalah 24 siswa TK berusia 4 – 6 tahun, terbagi menjadi 14 anak dalam kelompok eksperimen atau yang diberi permainan pura-pura dan 10 anak kelompok kontrol yang diberi permainan soliter dan permainan pasif. Untuk mengukur kemampuan berbahasa digunakan tes Kemampuan Berbahasa Anak Pra Sekolah (KBAPS) yang diberikan kepada kedua kelompok saat pretest dan posttest.

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan independent sample t-test dinyatakan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan dari permainan pura-pura terhadap peningkatan kemampuan berbahasa anak pra sekolah (t =4,720; p = 0.000). Kemampuan berbahasa kelompok yang bermain pura-pura lebih tinggi/baik dibandingkan dengan kelompok yang bermain aktif dan bermain pasif. Dari kelima aspek kemampuan berbahasa, permainan pura-pura terbukti memiliki pengaruh terhadap perkembangan kemampuan artikulasi (t = 2,159; p = 0,042), perbendaharaan kata (t = 3,049; p = 0,006), kemampuan menyusun kalimat (t = 4,415; p = 0,000) serta percakapan (t = 3,612; p = 0,002). Permainan pura-pura tidak memiliki dampak terhadap tingkat pemahaman anak (t = -0,276; p = 0,785). Dapat kita simpulkan permainan pura-pura sebagai salah satu jenis permainan yang dapat mendorong perkembangan kemampuan berbahasa anak pra sekolah.

(7)

vii

Pretend play is an active game type played by children in pre school age, with their peers. In pretend play children interact with peers and use explicit language as medium to define in imagination and fantasy. Pretend play can improve children’s language competence that is believed to have an important role in the course of children’s development process. Pursuant to the mentioned, this research was aimed to see the effect or influence of pretend play in improving the language competence of preschool children.

The experimental design used was pretest-posttest control group design. Subjects of the research were 24 kindergarten students in the age of 4-6 year, divided to two groups, 14 children in experiment group or given the pretend play and 10 children in control group that given the solitary and passive play. To measure their competencies level Kemampuan Berbahasa Anak Pra Sekolah test were used, which is given in pretest and posttest session.

Based on the analysis result using independent sample and paired sample t-test showed that there was a positive influence and significant improvement of pretend play to language competence of preschool children (t =4,720; p = 0.000). The language competence of children in the group that played pretend play were higher, compared to the group of children that playing the solitary and passive play. Among five aspects of language competence, pretend play has proven to gives influence to pronunciation ability development (t = 2,159; p = 0,042), collection vocabulary (t = 3,049; p = 0,006), ability to combine words into sentences (t = 4,415; p = 0,000), and conversation skill (t = 3,612; p = 0,002). Pretend play has no effect to child comprehension (t = -0,276; p = 0,785). Thus, the conclusion of the experiment was that pretend play can push the growth of language competence.

(8)

viii

melimpahkan kasih karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis berhasil

menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas Permainan Pura-pura Dalam

Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak Pra Sekolah, sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar sarjana Psikologi pada Program Studi Psikologi Jurusan

Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Keberhasilan penulis dalam penulisan skripsi ini tidak bisa lepas dari

bantuan, kritik dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bpk. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

2. Bpk. Dr. A. Supratiknya selaku dosen pembimbing penulis yang selalu

memberikan masukan-masukan yang berarti bagi penulis serta

menjadikan penulis belajar akan banyak hal khususnya yang berkaitan

dengan penulisan skripsi ini.

3. Bpk. Agung Santoso, S.Psi yang bersedia meluangkan waktunya untuk

berdiskusi dengan penulis dan membekali pengetahuan yang bermanfaat

bagi penulis.

4. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. dan Pak V. Didik Suryo Hartoko,

S.Psi., M.Si. selaku dosen penguji. Terima kasih atas kesediaannya untuk

(9)

ix

6. Ibu Maria dan edukator TK Happy Holy Kids, Ms. Dyah, Ms. Anis dan

teman-teman TK dari TK Ceria di Demangan dan Timoho. Terima kasih

atas bantuan, dukungan dan partisipasi yang diberikan oleh penulis

selama melakukan penelitian, merupakan pengalaman yang luar biasa

bagi penulis.

7. Ibu A. Tanti Arini, S. Psi. dan Mas Mudji dari Laboratorium Psikologi

yang bersedia meminjamkan alat perekam guna penelitian penulis.

Terima kasih pula atas kesempatan menjadi asisten praktikum yang telah

diberikan kepada penulis.

8. Ibu Nanik, Mas Gandung, Pak Gi dan Mas Doni yang selalu membantu

penulis ketika penulis membutuhkan sesuatu yang berhubungan dengan

kesekretariatan dan ruang baca Fakultas Psikologi.

9. Atas doa dan cinta yang tak terhingga dari orangtua penulis. Terima kasih

atas didikan dan kesabaran mama dan papa hingga penulis mampu

menghasilkan yang terbaik bagi penulis sendiri maupun orang lain.

Kakak-kakakku, yang telah menginspirasiku untuk berpikir dan

berperilaku dewasa serta mandiri.

10.Elvin, Tisa, Hani, Uci, Yosi, Ica, Dewi yang bersedia membantu menjadi

asisten peneliti dan kepada adi, danang, wawan, suko, joe, ohaq, pandji,

(10)

x

kesempatan kepada penulis untuk mengaktualisasikan dan

mengekspresikan potensi diri, baik di dalam dan luar kampus serta secara

akademik maupun non akademik. Pengalaman yang sangat berharga bagi

penulis.

12.Lian, Jeanne, Ina, Nanda, Eka, Evi, Ely dan Gita. Terima kasih atas

kebersamaan dan kehangatan selama kita hidup bersama.

13.Ms. Memey. Terima kasih atas semangat dan perjuanganmu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kelemahan dan

kekurangan. Oleh sebab itu dengan rendah hati penulis mengharapkan saran dan

kritik yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga

skripsi ini berguna bagi pembaca dan semua pihak yang membutuhkan.

Yogyakarta, Juli 2007

Penulis

(11)

xi

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 8

C.Tujuan Penelitian ... . 9

D.Manfaat Penelitian ... 9

BAB II. LANDASAN TEORI ... 11

A. Anak Pra Sekolah ... 11

1. Definisi Anak Pra Sekolah ... 11

2. Beberapa Ciri Anak Pra Sekolah ... 12

(12)

xii

3. Kemampuan Berbahasa ... 19

C. Permainan ... 25

1. Pengertian Permainan ... 25

2. Jenis-jenis Permainan ... 27

3. Permainan Pura-pura ... 31

D. Kerangka Penelitian ... 36

E. Hipotesis Penelitian ... 39

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. Desain Penelitian ... 40

B. Variabel Penelitian ... 41

C. Definisi Operasional ... 42

D. Subyek Penelitian ... 45

E. Prosedur Penelitian ... 45

1. Tahap Persiapan ... 45

2. Tahap Perancangan Alat Ukur ... 46

3. Tahap Pelaksanaan ... 47

F. Alat Ukur ... 50

G. Analisis Data ... 62

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63

A. Pelaksanaan Penelitian ... 63

(13)

xiii

2. Hasil Uji Hipotesis ... 68

C. Pembahasan ... 71

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 76

2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 77

3. Bagi Para Pendidik dan Orang Tua ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(14)

xiv

2. Tabel 3.2. Tabel spesifikasi dan penskoran tes kemampuan

berbahasa anak pra sekolah (KBAPS) ... 59

3. Tabel 4.1. Hasil uji normalitas ... 67

4. Tabel 4.2. Rerata dan standar deviasi pada kelompok eksperimen

dan kelompok kontrol... 68

(15)

xv

meningkatkan kemampuan berbahasa anak pra sekolah ... 39

2. Gambar 3.1. Rancangan desain penelitian ... 40

(16)

xvi

2. Seleksi item ... 83

3. Foto aktivitas kelompok kontrol ... 89

4. Foto aktivitas kelompok eksperimen ... 90

5. Uji normalitas ... 93

6. Data kelompok eksperimen dan kontrol ... 96

7. Contoh verbatim aspek menyusun kalimat ... 98

8. Contoh verbatim aspek percakapan ... 100

9. Hasil Uji t ... 104

(17)

A. Latar Belakang Masalah

Sejak kecil individu pasti diajar untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sebelum berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, bayi hanya bisa menangis untuk menyampaikan sesuatu dan mulai mengeluarkan suara-suara tertentu ketika menginjak usia tiga bulan. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, kebiasaan ini akan dialihkan menjadi bentuk komunikasi yang lebih baik seperti berceloteh hingga kemampuan mengucapkan kata-kata dengan benar dan sesuai dengan bahasanya. Kemajuan ini dapat dilihat pada anak usia dua tahun yang biasanya mampu menyusun kalimat yang terdiri dari tiga atau empat kata sedangkan di usia tiga tahun, menjadi enam sampai delapan kata dalam sebuah kalimat (Hurlock, 1980).

Kini tidak sedikit orang tua yang memasukkan anaknya ke dalam kelompok bermain (play group) dan Taman Kanak-Kanak (TK) sebelum anak mereka menginjak bangku SD. Dalam UU RI nomor 26 tahun 2003 pasal 28 ayat 2, 3 dan 4 menyatakan bahwa pendidikan pra sekolah dapat diselenggarakan melalui jalur formal, non formal dan atau informal. Pendidikan pra sekolah jalur formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK) dan pada jalur non formal dapat berbentuk kelompok bermain (play group) dan Taman Penitipan Anak (TPA). Usia peserta didik atau siswa TK seperti yang diatur dalam Keputusan Mendiknas RI no. 051/U/2002 pasal 4 ayat 1 adalah anak yang berusia 4 – 6 tahun. Santrock (2002) menggolongkan rentang usia ini sebagai masa awal kanak-kanak (early

(18)

childhood) dimana anak mulai memperluas lingkup sosialnya dengan memasuki

kelompok bermain (play group) dan TK.

Ciri yang menonjol pada anak pra sekolah adalah perkembangan fisik-motorik, sosial dan kepribadian, fungsi kognitif (Mőnks, Knoers, dan Haditono, 1999) serta perkembangan kemampuan berbahasa (Papalia dan Olds, 1986). Anak-anak pada usia tersebut juga memiliki cara berpikir yang berbeda dalam rangka mengembangkan kemampuan memahami konsep-konsep intelektual yang sangat luas, serta mengekspresikan pikiran dan perasaan melalui bahasa yang sesuai dengan budaya sekitarnya. Disini anak memiliki kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan para guru dan teman-teman sebaya, sehingga lingkungan sosial mereka menjadi lebih luas. Anak dapat melakukan aktivitas bersama seperti belajar dan bermain bersama guru dan anak yang lain, dengan bahasa sebagai media komunikasinya.

(19)

ketika ibunya menyebut namanya sambil mengulurkan tangan. Ini menunjukkan adanya kemampuan untuk memaknai setiap bunyi atau gerakan tertentu. Dengan bertambahnya usia, anak memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain selain orang tuanya. Selama proses interaksi ini anak mampu mendengar dan memahami kata yang dipergunakan oleh orang lain sekaligus juga memproduksi kata-kata.

Bahasa memiliki tiga komponen, yakni sintaktik, fonologi dan semantik (Dardjowidjojo, 2003). Sintaktik merujuk pada pengertian tentang tata bahasa, atau cara yang digunakan untuk menghubungkan suatu suara dengan maknanya. Komponen ini berkaitan dengan kata, frasa dan kalimat. Fonologi merujuk pada bunyi yang terkandung di dalam sebuah kata ataupun kalimat. Semantik adalah makna yang terkandung dan disimbolisasikan oleh bahasa. Selanjutnya Dardjowidjojo (2003) menjelaskan bahwa berkomunikasi dengan tepat dan efektif melibatkan pragmatika bahasa. Pengertian pragmatika bahasa mencakup penggunaan bahasa dalam interaksi manusia. Individu tidak sekadar mengucapkan kata-kata dan kalimat, namun juga memahami informasi yang disampaikan antara pembicara dan pendengar ketika melakukan komunikasi.

(20)

memproduksi dua kata. Kata-kata yang dihasilkan sudah lebih banyak dan kalimat yang dihasilkan merupakan kombinasi dua kata tersebut. Tahap ketiga, mulai usia 2 – 5 tahun, disebut periode diferensiasi karena anak mulai mampu memproduksi 3 kata beserta bertambahnya diferensiasi pada kelompok kata dan kecakapan verbal.

Ingram, Christensen, Veach & Webster menyatakan bahwa kemampuan untuk mengucapkan kata-kata akan berkembang perlahan-lahan pada masa pra sekolah (dalam Liebert, Wicks-Nelson, dan Kail, 1986). Anak pra sekolah mulai sering mengajukan pertanyaan tentang segala hal serta bercerita tentang apa yang telah dilakukan dan dilihat, apa yang disukai dan tidak disukai, meminta sesuatu ataupun menuntut orang lain melakukan sesuatu. Meskipun pelafalan, kombinasi kata dan perbendaharaan kata yang digunakan oleh anak belum sama dengan apa yang digunakan oleh orang dewasa, namun situasi seperti ini tentu saja dapat memberikan landasan bagi pembentukan kemampuan berbahasa anak selanjutnya. Lindfors (1980) mengatakan bahwa kemampuan bahasa yang dimiliki oleh anak pra sekolah akan berkembang dengan baik dalam situasi pengalaman yang bermakna dan menarik bagi mereka. Anak tidak hanya berbicara namun mereka juga mendengarkan orang lain ketika berinteraksi, dan ini dapat memberikan pengalaman komunikasi yang berarti baginya.

(21)

persepsi anak terhadap sekolah. Dengan mendapat kesenangan dari aktivitas bermain di TK, anak akan merasa bahwa sekolah adalah hal yang menyenangkan.

Lima tahun pertama disadari oleh ahli psikologi sebagai tahap yang penting, terlebih karena periode ini banyak digunakan oleh anak untuk bermain (Sylva dan Lunt, 1988). Bermain adalah hal yang dekat dengan anak-anak. Setiap anak merasa senang dan gembira ketika bermain. Anak yang melakukan suatu permainan, baik itu dilakukan secara individual ataupun kelompok, dapat belajar berbagai ketrampilan dengan senang hati, tanpa merasa terpaksa. Setiap permainan baru yang dimainkan berarti tambahan ketrampilan baru yang dipelajari (Tedjasaputra, 2001). Ini menunjukkan bahwa ketika mempelajari suatu ketrampilan melalui permainan, anak menjadi lebih tertarik dan tanpa merasa terpaksa.

(22)

Tedjasaputra (2001) membedakan kegiatan bermain menjadi tiga kategori besar. Pertama, exploratory and manipulative play atau bermain menjelajah dan manipulatif yang dapat diamati sejak masa bayi. Rasa senang anak terlihat saat anak menjelajahi atau merasakan sesuatu pada bagian tubuhnya serta menyentuh benda-benda dengan jemarinya. Kedua, destructive play atau bermain merusak yang mulai tampak pada awal masa kanak-kanak (balita). Dengan merusak sendiri bangunan balok-balok yang telah disusun sebelumnya menimbulkan kesenangan tersendiri bagi anak. Ketiga, imaginative play atau make-believe play alias bermain khayal atau pura-pura yang dimulai sejak anak berusia 3 tahunan. Kegiatan ini melibatkan unsur imajinasi dan meniru perilaku orang dewasa dalam kehidupan sehari-hari, misalnya bermain ibu-ibuan, dokter-dokteran, sekolah-sekolahan dan sebagainya.

(23)

melakukan percakapan secara verbal dan berpura-pura menjadi dokter ataupun pasien.

Vygotsky (dalam Rubin, Fein, dan Vandenberg, 1983) menyatakan bahwa jenis permainan ini memungkinkan anak mengembangkan representasi mental yaitu anak mampu memikirkan dan menggunakan simbol untuk menggambarkan suatu peristiwa atau objek yang tidak terlihat. Pemberian simbol terhadap apa yang dilihat dan dimainkan akan disampaikan oleh anak melalui bahasa, maka di sini membutuhkan kemampuan berbahasa dari anak. Dengan pura-pura menjadi dokter yang memeriksa pasien atau pura-pura menjadi guru yang menerangkan di kelas, anak mendapatkan kesempatan untuk bereksplorasi dan berbicara tentang sesuatu yang tidak hadir secara fisik dalam suasana yang santai dan menyenangkan (Suprapti, 1999).

Dari uraian-uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa permainan pura-pura dapat mempengaruhi kemampuan berbahasa anak pra sekolah. Jenis permainan ini dilakukan anak pra sekolah bersama dengan teman-teman sebayanya. Anak berusaha menghadirkan objek atau perilaku yang secara fisik tidak ada, dengan berpura-pura memainkan suatu peran tertentu. Kemampuan menyimbolisasikan objek atau perilaku ini ditunjukkan melalui bahasa yang dipergunakan oleh anak ketika bermain bersama dengan teman sebayanya layaknya sebuah percakapan. Permainan ini membantu anak mengembangkan kemampuan berbahasa melalui situasi yang menyenangkan.

(24)

dapat membantu perkembangan bahasa dan kematangan sosial anak. Penelitian ini menggunakan metode observasi terhadap perkembangan bahasa anak, khususnya anak yang cenderung pendiam dan sulit berkomunikasi. Selain itu, Nurnindyah, Hartati dan Hidayati (2004) menjelaskan bahwa permainan ini dapat meningkatkan perbendaharaan kata serta mempermudah anak untuk memahami apa yang dikatakan dan menangkap maksud perkataan orang lain. Penelitian ini mengukur skor verbal anak dengan menggunakan tes Wechler Preschool Primary Scale Of Intelligence (WPPSI). Kedua penelitian terdahulu memperlihatkan

pengaruh permainan pura-pura terhadap perkembangan bahasa. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah peneliti akan meneliti pengaruh permainan jenis ini terhadap kemampuan berbahasa anak, khususnya usia pra sekolah. Dengan kemampuan berbahasa yang baik, anak tidak hanya dapat mengucapkan kata dan kalimat yang dimengerti oleh orang lain melainkan juga memahami arti dari apa yang dikatakan oleh orang lain, mempunyai perbendaharaan kata yang cukup memadai untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan keinginan serta menggabungkan kata-kata menjadi kalimat yang mempunyai makna. Kemampuan berbahasa dapat menyediakan dasar untuk belajar membaca dan menulis serta prestasi akademis lainnya.

B. Rumusan Masalah

(25)

kemampuan berbahasa anak pra sekolah yang mendapatkan permainan pura-pura dan tanpa permainan pura-pura.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh permainan pura-pura dalam meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak pra sekolah.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan dasar untuk penelitian-penelitian lain di bidang psikologi perkembangan anak, khususnya yang berkaitan dengan permainan pura-pura serta kemampuan berbahasa anak pra sekolah.

2. Manfaat Praktis a. Orang Tua

(26)

b. Para Pendidik/edukator

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Anak Pra Sekolah 1. Definisi Anak Pra Sekolah

Periode perkembangan individu selepas masa bayi akan dilanjutkan dengan masa awal kanak-kanak. Santrock (2002) menyatakan bahwa masa awal kanak-kanak atau early childhood adalah periode yang merentang dari akhir masa bayi hingga usia kira-kira 5 atau 6 tahun. Masa awal kanak-kanak juga disebut sebagai tahun pra sekolah. Pada rentang usia ini anak mulai meluangkan waktu untuk bermain dengan teman-teman sebaya, mengembangkan ketrampilan bersekolah serta memulai karir sekolahnya dengan memasuki Taman Kanak-kanak (TK). Dalam UU RI nomor 26 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (pasal 28 ayat 3) dikatakan bahwa TK merupakan salah satu bentuk pendidikan pra sekolah dengan jalur formal. Batasan usia peserta didik atau siswa TK di Indonesia seperti yang diatur dalam Keputusan Mendiknas RI no. 051/U/2002 tentang penerimaan siswa pada Taman Kanak-kanak (TK) dan sekolah (pasal 4 ayat 1) adalah 4 – 6 tahun.

Anak pra sekolah adalah anak yang berusia 2 – 6 tahun. Masa ini merupakan masa yang paling aktif dalam rentang kehidupan (Pikunas, 1976; McDevit dan Ormrod, 2002). Pada masa ini kreativitas, fantasi dan aktivitas bermain anak akan meningkat. Ketika berada dalam kelompok bermain (play group), TK ataupun di rumah, anak pra sekolah berusaha memahami dirinya dan

lingkungan melalui aktivitas bermain, baik yang dilakukan bersama individu,

(28)

objek ataupun situasi tertentu. Sawitri (2005) menyatakan bahwa anak pra sekolah memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, khususnya pada usia 3 – 5 tahun. Anak senang mempelajari berbagai hal dan lebih mudah untuk menyerap apa saja yang dipelajarinya.

Ahmadi dan Sholeh (2005) menjelaskan bahwa usia pra sekolah merentang dari lahir sampai kira-kira 6 tahun. Masa ini dapat terbagi menjadi dua, yakni masa vital dan masa estetik. Masa vital berlangsung sejak lahir hingga usia 2 tahun. Disini anak menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk belajar menemukan berbagai hal dalam dunianya. Masa estetik berlangsung dari usia 3 sampai 5 tahun. Pada masa ini anak menggunakan panca indra untuk mengeksplorasi dan belajar. Disini anak mulai mengembangkan kemampuan berbahasanya untuk menghadapi dunia. Anak menemukan dirinya sebagai subjek dan mampu mengadakan pemisahan secara mendasar antara dirinya sendiri sebagai subjek dan yang lain sebagai objek.

2. Beberapa ciri Anak Pra Sekolah

Mőnks, Knoers, dan Haditono (1999) menjelaskan bahwa kondisi fisik – motorik anak usia pra sekolah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Anak pra sekolah sudah tidak membutuhkan bantuan dari orang lain untuk berdiri maupun berjalan. Anak mampu melakukan aktivitas motorik baik ketrampilan motorik kasar ataupun halus. Pada usia ini, anak mulai dapat menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya.

(29)

sekitarnya (usia menjelajah), ingin mengetahui banyak hal mengenai sebab akibat dari suatu kejadian (usia bertanya), mulai meniru orang lain tentang berbagai hal (usia meniru) serta aktivitas bermain yang melibatkan kreativitas anak (usia kreatif).

Selain pertumbuhan fisik – motorik, sosial dan kepribadiannya anak pra sekolah mengalami perkembangan yang paling menonjol pada aspek bahasa (Papalia dan Olds, 1986; Siegler, 1991). Berkembangnya kemampuan berbahasa anak pra sekolah dilihat dari perbendaharaan kata serta penggunaan kata dan kalimat yang lebih kompleks. Di periode usia ini, anak sering mengajukan pertanyaan dan permintaan serta mampu menyusun dan merangkai kalimat sederhana untuk berkomunikasi dengan teman sebaya maupun orang dewasa di sekitarnya (Papalia dan Olds, 1986)

Pikunas (1976) menyatakan bahwa imajinasi anak akan meningkat pada usia pra sekolah. Anak pra sekolah menunjukkan ketertarikannya untuk melakukan aktivitas bermain yang melibatkan daya kreativitas dan imajinasi. Anak senang meniru perilaku orang dewasa, teman sebayanya atau karakter dalam televisi yang dimainkannya dalam situasi pura-pura. Anak pra sekolah senang menghabiskan waktu untuk bermain dan berfantasi yang dilakukan bersama dengan teman sebaya (McDevit dan Ormrod, 2002).

3. Perkembangan Kognitif Anak Pra Sekolah

(30)

operasional (the preoperational stage) dan berlangsung selama periode usia 2 sampai dengan 7 tahun. Pada tahap ini anak mengembangkan proses representasi mental, yang mencakup penguasaan bahasa, bermain pura-pura, cerita imajinatif serta menggambar.

Piaget (dalam Santrock, 2002) membagi tahap pra operasional menjadi dua. Pertama, symbolic function substage atau subtahap fungsi simbolis yang terjadi di usia 2 – 4 tahun. Pada subtahap ini, anak mampu memikirkan suatu obyek meskipun obyek itu tidak hadir di hadapannya. Anak mampu mengimitasi aktivitas yang pernah terjadi sebelumnya dengan menggunakan bayangan mental terhadap aktivitas asli. Proses representasi mental ini disebut imitasi tertunda atau defered imitation (Siegler, 1991).

Kedua, intuitive thought substage atau subtahap pemikiran intuitif yang berlangsung antara usia 4 – 7 tahun. Pada subtahap ini, anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin tahu jawaban atas semua bentuk pertanyaan. Piaget (dalam Santrock, 2002) menyebut intuitif karena anak begitu yakin tentang pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki namun mereka mengetahuinya tanpa menggunakan pemikiran rasional.

(31)

Pada tahap pra operasional, kemampuan anak untuk merepresentasikan objek dan peristiwa secara mental dapat dilihat dari kemampuan berbahasa serta keterlibatan anak dalam permainan pura-pura (McDevit dan Ormrod, 2002). Anak dapat menamai suatu objek atau peristiwa dengan menggunakan kata, meskipun objek atau peristiwa itu tidak hadir di depannya. Kata-kata yang dimiliki oleh anak mewakili pikiran simbolisnya. Selain itu, anak senang melakukan aktivitas bermain fantasi dan pura-pura. Dengan menggunakan benda dan situasi, anak memerankan perilaku orang lain yang berada di sekitarnya.

Berdasarkan uraian-uraian di atas maka yang dimaksud dengan anak pra sekolah adalah anak dengan rentang usia 2 – 6 tahun, dimana aspek perkembangan fisik-motorik, sosial, kepribadian dan fungsi kognitifnya kian meningkat. Pada periode ini biasanya anak memasuki suatu kelompok bermain (play group) dan Taman Kanak-kanak (TK). Ciri yang menonjol dari anak pra sekolah adalah berkembangnya kapasitas kognitif anak untuk merepresentasikan dunianya secara simbolis. Anak pra sekolah mulai mengembangkan kemampuan berbahasa dan menunjukkan keterlibatannya dalam permainan pura-pura. Pada masa ini anak senang memerankan peran tertentu yang dilakukan bersama dengan orang lain serta menggunakan bahasa sebagai pengantar.

(32)

kelompok kata. Anak juga mempunyai ketertarikan untuk meniru perilaku dan pengalaman orang lain yang dimunculkannya dalam aktivitas pura-pura. Peneliti merasa bahwa dengan kemampuan ini, anak pra sekolah mampu merangkai kalimat dalam percakapan bersama dengan temannya ketika memainkan permainan pura-pura.

B. Bahasa 1. Pengertian Bahasa

Salah satu aspek penting dalam perilaku manusia adalah kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Apabila seseorang berpikir tentang komunikasi secara umum maka aspek komunikasi yang pertama kali muncul adalah bahasa verbal (Matsumoto, 1996). Lebih lanjut Matsumoto (1996) menjelaskan bahwa bahasa dapat dianggap sebagai manifestasi dan produk dari lingkungan. Selain bahasa verbal, aspek komunikasi yang lain adalah bahasa non verbal yang dapat berupa ekspresi wajah, tekanan suara, postur tubuh, pakaian yang dikenakan dan sebagainya.

(33)

Dardjowidjojo (2003) mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lisan arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat untuk berkomunikasi dan

berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan lingkup budayanya. Arti sistem simbol lisan merujuk pada adanya elemen-elemen beserta hubungan satu sama lain, yang membentuk suatu konstituen dengan mengikuti aturan-aturan tertentu secara hirarkis. Simbol-simbol lisan bisa berupa bunyi-bunyi, suku kata, kata, frasa, dan sebagainya. Hubungan antara simbol-simbol dengan benda, perbuatan atau keadaan yang diwakilinya bersifat arbitrer. Tidak ada keterkaitan dan tidak ada alasan mengapa suatu benda dinamakan sendok dan suatu perbuatan dinamakan mencuci. Simbol-simbol ini semata-mata merupakan konvensi atau persetujuan di antara para pemakai bahasa yakni masyarakat yang memiliki bahasa itu.

Dari konsep-konsep diatas dapat dikatakan bahwa bahasa adalah salah satu aspek dari komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pikiran dan perasaan dan dimiliki oleh anggota masyarakat budaya tertentu. Bahasa dapat bersifat non verbal yang berupa ekspresi wajah, tekanan suara, postur tubuh, pakaian yang dikenakan dan sebagainya, maupun bersifat verbal atau berbicara dalam kata-kata dan kalimat yang mengandung makna. Penelitian ini lebih mengkhususkan pada bahasa verbal, sehingga pada penjelasan-penjelasan berikutnya, yang dimaksud dengan bahasa adalah bahasa verbal.

2. Komponen-Komponen Bahasa

(34)

pertama yang menggunakan bunyi tertentu, seperti mama, papa, dada dan sebagainya. Berk (2005) berpendapat bahwa proses perkembangan fonologi anak berlangsung selama usia 1 – 4 tahun dan berkembang lebih sempurna di usia 5 tahun. Selama belajar berbicara, anak bereksperimen dengan sistem dan pola bunyi-bunyi tertentu, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan pengucapan (mispronounciations). Anak pra sekolah mungkin mengalami kesulitan mengucapkan huruf tertentu, seperti r. Misal, kata kereta mungkin diucapkan keleta (Suprapti, 1999). Pada rentang usia 2 – 3 tahun anak sering dilatih untuk mengucapkan kata-kata dengan baik di dalam kehidupan sehari-hari hingga akhirnya mereka mampu mengucapkannya dengan tepat (Siegler, 1991; Berk, 2005).

(35)

yang dihadapi dalam situasi yang sama. Anak bisa memahami makna kata baru melalui pengulangan kata dalam konteks yang berbeda dan umpan balik yang langsung didapatkan ketika pengucapan anak keliru.

Sintaktik merujuk pada pengertian tentang tata bahasa, atau cara yang digunakan untuk menghubungkan suatu suara dengan maknanya. Komponen ini berkaitan dengan kata, frasa dan kalimat. McDevitt dan Ormrod (2002) menjelaskan bahwa pengetahuan sintaktik mengarah pada kemampuan individu untuk merangkai kata-kata menjadi kalimat yang bermakna sekaligus juga memperlihatkan hubungan kata yang satu dengan yang lainnya. Anak usia dini tanpa disadari mulai mengembangkan seperangkat aturan sintaktik sendiri melalui pengamatan terhadap pembicaraan orang lain dan pembetulan terhadap kesalahan kalimat yang dilakukannya (McDevitt dan Ormrod, 2002).

(36)

atau conversational skills (Berk, 2005). Anak bisa memulai percakapan verbal yang disertai kontak mata dan merespon penutur yang lain dengan tepat dalam suatu interaksi tatap muka secara bergantian.

3. Kemampuan Berbahasa

Pikunas (1976) dan Hadisubrata (2004) menguraikan beberapa hal yang hampir sama, yang dapat dijadikan tolok ukur kemampuan berbahasa anak, yakni: (1) artikulasi atau pengucapan kata; (2) perbendaharaan kata yang dimiliki anak; (3) kemampuan menggabungkan kata-kata dalam kalimat yang sesuai dan mengandung makna; (4) pemahaman makna/arti dari apa yang diucapkan orang lain; serta (5) kemampuan untuk membuat dan melangsungkan percakapan.

(37)

Menurut Hadisubrata (2004) perbendaharaan kata anak meningkat seiring dengan banyaknya produksi bunyi/suara yang diasosiasikan dengan kata, baik kata-kata baru maupun arti baru dari kata-kata lama yang diterapkan pada situasi dan konteks yang berbeda. Perbendaharaan kata yang dikuasai oleh anak dibedakan menjadi dua tipe, yakni referensial dan ekspresif. Tipe referensial mengacu pada kata-kata yang berkaitan dengan objek, orang serta gerakan-gerakan, seperti bola, permen, mama, kakak. Sedangkan tipe ekspresif mengarah pada kata-kata yang sering dipergunakan dalam pergaulan sosial, seperti terima kasih, aku sudah selesai, maaf (Berk, 2005). Hadisubrata (2004) menjelaskan

bahwa kata-kata yang digunakan oleh anak pertama kali sebagian besar berupa kata benda (nama orang dan objek-objek di sekitarnya). Setelah anak menguasai cukup banyak kata benda, anak mulai belajar kata kerja, kata sifat, kata keterangan hingga akhirnya mempelajari kata ganti.

(38)

digunakan untuk menstimulasi anak untuk mengekspresikan ide/gagasan dan pengetahuan serta memperluas penggunaan kosakata yang dimiliki dengan cara mengkombinasikan antara kata-kata/ucapan dengan perilaku.

Sebelum menginjak usia 1 tahun, anak menggunakan kalimat yang terdiri dari satu suku kata yang digabung dengan gerakan tubuh. Pada usia 2,5 tahun anak mulai dapat membentuk kalimat pendek dan membandingkan objek. Anak mulai melakukan diferensiasi pada kelompok kata serta mempergunakan anak kalimat, kata kerja, dan kata ganti ketika memasuki usia 4 tahun. Anak mulai menggunakan kalimat yang terdiri dari tiga hingga tujuh kata di dalamnya. Anak juga mampu menggunakan kausalitas atau sebab akibat. Misalnya, anak bertanya Mengapa? Apa sebabnya? dan lain sebagainya (Pikunas, 1976; Mőnks, Knoers, dan Haditono, 1999; Hadisubrata, 2004; Stern dan Stern dalam Ahmadi dan Sholeh, 2005).

(39)

Proses fast-mapping itu sendiri memungkinkan anak memperluas pemahaman terhadap objek atau peristiwa yang dialaminya dengan cara menggabungkan informasi yang sudah ada dengan ciri/karakteristik dan definisi yang baru saja diperoleh, yang kemudian diterapkan ke dalam konteks yang berbeda. Kemampuan ini kian berkembang ketika anak berada di usia 4 tahun ke atas (Lindfors, 1980; Curtis, 1998; Hadisubrata, 2004). Semakin banyak kosakata yang dapat dipahami maupun diucapkan oleh anak melalui aktivitas berbicara dan mendengarkan berarti semakin banyak pula perbendaharaan pengetahuannya. Anak memiliki perbendaharaan pengetahuan tentang diri sendiri, keluarga, sekolah, makhluk hidup dan sebagainya sehingga mendorong mereka untuk dapat menyatakan keinginan, kebutuhan, pikiran dan perasaan kepada orang lain secara lisan.

(40)

dilakukan bersama dengan dua atau lebih temannya, anak belajar untuk bergantian berbicara (turn-taking) dan saling mendengarkan satu sama lain (Curtis, 1998; Moeslichatoen, 2004).

(41)

bergantian dan mereka akan memberikan umpan balik baik berupa respon verbal maupun non verbal.

Perkembangan kemampuan berbahasa itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor. Nurgiyantoro (1995) menyatakan bahwa kemampuan kognitif seperti tingkat perhatian, pemahaman, ingatan, problem solving dan sebagainya dapat mempengaruhi berkembangnya kemampuan anak untuk mengungkapkan ide/gagasan. Newport, Gleitman dan Gleitman (dalam Liebert, Wicks-Nelson dan Kail, 1986) dan Brown & Moerk (dalam Jay, 2003) mengatakan bahwa ibu lebih banyak menghabiskan waktunya bersama dengan anaknya sehingga interaksi antara ibu dan anak dapat mempengaruhi kemampuan berbahasanya. Hurlock (1995) memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan berbahasa anak, yakni: (1) inteligensi, semakin cerdas anak menunjukkan tingkat penguasaan bahasanya lebih unggul; (2) besarnya keluarga, dalam keluarga kecil (anak tunggal atau dua bersaudara) orang tua memiliki lebih banyak waktu untuk berbicara dengan anaknya dibandingkan dengan keluarga besar; dan (3) status sosial ekonomi orang tua, dimana dalam keluarga menengah ke atas kegiatan keluarga cenderung terorganisir sehingga memberikan anak lebih banyak kesempatan untuk berbicara.

C. Permainan 1. Pengertian Permainan

(42)

sebagai aktivitas tubuh, pengulangan pengalaman, berfantasi, dan realisasi lingkungan. Coleman dan Skeen (dalam Landreth, 2001) menyatakan bahwa permainan merupakan kegiatan yang termotivasi secara intrinsik dan anak memperoleh kesenangan serta kegembiraan ketika melakukannya.

Permainan merupakan suatu media untuk mengaktifkan berbagai kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh anak. Bagi anak, dengan bermain bersama teman maupun orang dewasa lainnya, mereka dapat memahami diri dan sekitarnya serta menemukan hal-hal yang baru. Anak memperoleh kesempatan untuk bereksplorasi dan mengembangkan diri dengan cara yang lebih menyenangkan (Pikunas, 1976; Ismail dan Rizfyanti, 2002).

Piaget (dalam Pikunas, 1976; Tedjasaputra, 2001) menjelaskan bahwa permainan berperan penting dalam perkembangan kognisi anak. Melalui permainan, anak tidak hanya menggabungkan informasi baru yang ditemuinya dalam realitas melainkan juga mempraktekkan serta mengkonsolidasikan ketrampilan baru yang diperoleh.

(43)

besar; serta (6) mempunyai kualitas pura-pura dimana anak akan memiliki kerangka tertentu yang memisahkannya dari kehidupan nyata sehari-hari.

Moeslichatoen (2004) menyatakan bahwa manfaat permainan bagi anak umumnya adalah: (1) mengembangkan koordinasi otot kasar seperti berjalan, berlari, dan melompat; (2) dapat berlatih menggunakan kemampuan kognitif untuk memecahkan masalah, misalnya kemampuan membandingkan, mengukur isi dan berat; (3) meningkatkan kreativitas, anak akan mengembangkan imajinasi dan melibatkan pemecahan masalah; (5) melatih kemampuan berbahasa dengan cara mendengar beraneka ragam bunyi, mengucapkan suku kata, kata dan kalimat; (6) meningkatkan kepekaan emosinya dengan cara mempelajari bermacam-macam perasaan, mengenalkan perubahan perasaan; dan (7) dapat mengembangkan kemampuan sosialnya seperti membina hubungan dengan anak yang lain, bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat, menyesuaikan diri dengan teman sebaya, dapat memahami tingkah lakunya sendiri dan paham bahwa setiap perbuatan ada konsekuensinya.

(44)

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas peneliti menyimpulkan bahwa permainan adalah aktivitas tubuh yang didasari oleh motivasi intrinsik dan bertujuan untuk memperoleh kesenangan. Permainan juga merupakan bagian dari perkembangan diri anak. Selain kesenangan yang diperoleh, permainan juga dapat membentuk landasan bagi perkembangan motorik, emosi, kognitif dan sosial anak. Melalui permainan anak memperoleh pengalaman belajar mengendalikan diri sendiri dan memahami dunianya.

2. Jenis-jenis Permainan

(45)

yang dinikmati oleh anak ketika mereka memainkan alat musik ataupun dengan bernyanyi dan menari.

Menurut Tedjasaputra (2001) permainan pasif mengarah pada permainan yang tidak terlalu banyak melibatkan aktivitas fisik anak, serta kesenangan dan kepuasan yang diperolehnya bukan berdasarkan aktivitas yang dilakukannya sendiri. Permainan ini sering muncul pada akhir masa kanak-kanak, yaitu sekitar usia pra remaja. Contohnya, aktivitas menonton film dimana anak hanya tinggal duduk untuk menikmati film tersebut. Permainan pasif juga berperan sebagai pelengkap permainan aktif dan biasanya bersifat hiburan atau amusement. Beberapa kegiatan yang dapat digolongkan sebagai bentuk permainan pasif yaitu, membaca, melihat komik, menonton televisi, mendengarkan radio dan musik (Hurlock, 1995).

(46)

kembali menimbulkan kesenangan tersendiri bagi anak. Aktivitas ini mulai tampak pada awal masa kanak-kanak (balita). Ketiga, imaginative play atau make-believe play alias bermain khayal atau pura-pura merupakan permainan

yang melibatkan unsur imajinasi dan meniru perilaku orang dewasa dalam kehidupan sehari-hari, misalnya bermain ibu-ibuan, dokter-dokteran, sekolah-sekolahan dan sebagainya. Kegiatan bermain ini dimulai sejak anak berusia 3 tahunan.

Parten (dalam Tedjasaputra, 2001) membagi kegiatan bermain berdasarkan interaksi sosial anak, yaitu:

1) Unoccupied Play mengarah pada kegiatan yang sebenarnya belum dapat dikatakan sebagai kegiatan bermain, melainkan anak hanya melakukan gerakan-gerakan dan mengamati kejadian sekitar yang menarik perhatiannya ataupun menyibukkan diri dengan anggota tubuhnya. Misalnya, berkeliling, naik turun kursi, jalan-jalan serta mengikuti orang lain.

2) Solitary Play atau bermain sendiri, yakni anak bermain dan mencari kesibukan sendiri dengan mainannya, tanpa memperhatikan kehadiran temannya yang lain. Perilakunya bersifat egosentris dan tidak ada usaha untuk berinteraksi dengan anak yang lain. Aktivitas ini biasanya muncul pada anak usia dini.

(47)

dalam kegiatan bermain tersebut. Kegiatan ini umumnya tampak pada anak berusia 2 tahun.

4) Parallel Play atau bermain pararel adalah kegiatan bermain yang terjadi pada saat dua atau lebih anak yang bermain dengan jenis alat permainan yang sama dan melakukan kegiatan yang sama namun tidak ada interaksi di antara mereka. Anak melakukan kegiatan pararel bukan kerja sama. Contohnya dua anak masing-masing bermain bermain balok dan membangun kreasinya sendiri, tidak menunjukkan adanya kerjasama untuk membangun sesuatu.

5) Assosiative Play atau bermain asosiatif yaitu kegiatan bermain yang ditandai dengan adanya interaksi, saling tukar alat permainan namun belum melibatkan kerja sama dan tidak ada pemusatan terhadap suatu tujuan. Misalnya, anak sedang menggambar, mereka saling memberi komentar terhadap gambar, berbagi pensil warna namun kegiatan menggambar tetap dilakukan sendiri-sendiri.

6) Cooperative Play atau bermain bersama merupakan kegiatan bermain yang ditandai dengan adanya kerja sama, koordinasi, pembagian tugas dan peran di antara anak-anak yang terlibat dalam permainan. Misalnya, bermain dokter-dokteran, ada yang berperan sebagai dokter, sebagai suster serta pasiennya.

3. Permainan Pura-pura

(48)

bertingkah laku seperti dalam dunia nyata (Hurlock, 1995). Dalam permainan ini anak tidak hanya memerankan peran tertentu tapi juga melibatkan beberapa peralatan/benda yang menunjang permainan (Suminar, 1997). Permainan ini dapat menggambarkan keinginan, perasaan dan pandangan anak mengenai dunia sekelilingnya. Dalam permainan ini, anak kerap kali mengubah identitas, cara bicara dan berpakaian maupun melakukan tindakan yang sama sekali berbeda dengan perilakunya sehari-hari. Minat untuk memainkan permainan ini dimulai pada usia 1,5 – 2 tahun dan berlangsung hingga 6 – 7 tahun. Puncak permainan pura-pura terjadi di usia 4 tahunan karena anak makin senang bergaul dengan anak lain terutama yang usianya sebaya. Permainan pura-pura berkembang menjadi lebih sosial dan kooperatif seiring dengan meningkatnya minat anak untuk bermain bersama teman sebayanya (Rubin, Fein, dan Vandenberg, 1983; Tedjasaputra, 2001; Rusmawati, 2004).

Tema dalam permainan pura-pura biasanya berkaitan dengan (Moeslichatoen, 2004): (a) kehidupan keluarga, misalnya mengatur perabot rumah tangga, memasak, makan, menjadi ayah/ibu; (b) aktivitas jual beli di pasar maupun di toko; (c) transportasi, misalnya naik taksi, kereta api, jadi sopir, jadi masinis; (d) sebagai polisi yang mengatur lalu lintas; dan (e) sebagai tokoh dalam cerita/dongeng, seperti kancil dan buaya, putri malu dan lain-lain.

(49)

bermain dokter-dokteran ada yang berperan sebagai dokter yang membawa stetoskop, sebagai pasien yang sedang sakit perut. Pasien yang tadinya sakit perut menjadi sembuh setelah diperiksa dan diberi obat oleh dokter.

Ciri yang kedua, anak mempergunakan bahasa verbal sebagai media transformasi simboliknya. Untuk menjelaskan arti dari transformasi simboliknya terhadap subyek, obyek maupun situasi tertentu, anak melakukan komunikasi verbal berupa percakapan yang berlangsung di antara pemain. Anak juga berdiskusi dengan temannya untuk menentukan peran dan alat permainan yang digunakan serta membentuk skenario atau jalan cerita yang sesuai dengan tema permainan.

Ciri ketiga adalah interaksi sosial. Dalam permainan pura-pura anak bekerja sama dengan temannya serta saling mengklarifikasi maksud serta ide-ide tentang permainan yang akan dimainkan. Ketika bermain, anak menunjukkan pola perilaku verbal dan non verbal serta berinteraksi dengan peran dan aktivitas temannya dengan baik. Melalui interaksi sosial-verbal mereka satu sama lain berusaha memahami perspektif dan mengurangi konflik sehingga dapat melangsungkan permainan dengan baik.

Berdasarkan ucapan/kalimat dan urutan aksi yang dilakukan oleh anak, Sachs, Goldman dan Chaillé (1985) menemukan perbedaan antara anak usia 2

(50)

unsur pura-pura. Dengan kalimat ini anak mampu membedakan dengan jelas antara kenyataan atau pura-pura/fantasi. Kemampuan ini menjadikan perilaku bermain anak lebih terstruktur dan jalan cerita atau skenario yang dibuat sesuai dengan tema permainan.

Menurut Sachs, Goldman dan Chaillé (1985) anak usia 3 – 5 tahun

melakukan interaksi verbal untuk merancang alur/jalan cerita dalam permainan pura-pura. Pada rentang usia ini, mereka lebih fleksibel dan mau berkompromi guna mencapai persetujuan dan dapat melangsungkan permainan dengan baik. Dua hal yang dapat mempengaruhi kelangsungan jalan cerita dari permainan pura-pura, yaitu pengetahuan tentang skenario yang akan dimainkan dan kemampuan komunikasi (Sachs, Goldman dan Chaillé, 1985). Pengetahuan

tentang skenario yang akan dimainkan mengarah pada banyaknya perbendaharaan kata yang dikuasai oleh anak baik berupa benda/alat permainan dan fungsinya ataupun peristiwa, yang dapat diperolehnya melalui realitas hidup sehari-hari, buku cerita ataupun televisi. Mereka akan saling bertukar ide/gagasan, pengetahuan dan pengalaman sehingga mendukung terbentuknya ide-ide baru yang diwujudkan dalam skenario atau jalan cerita yang orisinil.

Kemampuan komunikasi yang dilakukan anak dalam permainan pura-pura mengarah pada kemampuannya untuk melangsungkan percakapan (Sachs, Goldman dan Chaillé, 1985). Bersama dengan temannya, anak dapat

(51)

dapat melangsungkan percakapan dengan cara memahami kalimat yang diucapkan oleh anak lain, dapat memastikan tema permainan berdasarkan beberapa kalimat yang diucapkan dan menyadari bahwa kalimat selanjutnya yang akan diucapkan harus berkaitan dengan tema yang dimainkan. Hal ini menunjukkan bahwa jalan cerita yang dilangsungkan tergantung pada kemampuan anak untuk mengungkapkan ide, pengetahuan dan pengalaman secara lisan.

Guttman dan Frederikson (1985) menjelaskan dua hal khusus yang mendasari percakapan dalam permainan pura-pura. Pertama, anak bernegosiasi dan mencapai kesepakatan bersama dengan teman bermainnya. Dalam proses negosiasi, anak dapat berperan sebagai pembicara sekaligus pendengar, baik untuk mengungkapkan ide/gagasannya maupun mendengarkan temannya. Disini membutuhkan kemampuan anak untuk menjelaskan ide/gagasannya secara lisan sekaligus kemampuan untuk memahami dan mengintepretasi apa yang dibicarakan oleh temannya. Anak secara kooperatif membangun percakapan yang koheren atau sesuai dengan tema permainan. Kedua, melalui interaksi tatap muka ini anak berperan sebagai pembicara sekaligus pendengar sehingga anak dituntut dapat melangsungkan percakapan secara bergantian (turn-taking). Prinsip bergantian ini dapat mengantisipasi terjadinya dominasi pembicaraan dan tidak tercapainya kesepakatan bersama.

(52)

mengembangkan kemampuan anak untuk memahami pikiran dan pandangan orang lain, mengendalikan emosi dan perilaku (Berk, 2005). Penelitian ini memfokuskan pada pengembangan kemampuan berbahasa anak melalui permainan pura-pura, dikarenakan bahasa merupakan elemen utama dari permainan pura-pura dan dapat digunakan sebagai mediator untuk menjelaskan perilaku bermain anak.

(53)

berinteraksi dan bekerja sama dengan peran dan aktivitas temannya dengan baik. Melalui interaksi sosial-verbal, mereka berusaha saling mengklarifikasi maksud serta ide-ide tentang permainan yang akan dimainkan, memahami perspektif dan mengurangi konflik sehingga dapat melangsungkan permainan dengan baik. Permainan ini lebih mengutamakan kemampuan anak untuk menjelaskan peran dan situasi yang sedang dimainkan, memperagakan dan menamai objek/benda serta mengungkapkan ide, keinginan dan pertanyaan secara lisan. Anak tidak sekadar menyampaikan ide, pendapat, dan perasaannya melainkan juga mendengar dan memahami maksud dari pembicaraan teman lainnya guna melangsungkan permainan dengan baik. Dalam permainan pura-pura, anak bersama dengan teman bermainnya terlibat dalam suatu percakapan yang bersifat timbal balik dan bergantian layaknya dalam kehidupan sehari-hari.

D. Kerangka Penelitian

(54)

Untuk menjelaskan transformasi simboliknya, anak mempergunakan bahasa terutama bahasa lisan.

Dalam permainan pura-pura, anak berusaha memunculkan kembali perbendaharaan pengetahuan yang pernah dialami dan dipelajari sebelumnya dari kehidupan sehari-hari. Dengan berbekal perbendaharaan pengetahuan baik berupa benda/alat permainan dan fungsinya maupun kejadian/peristiwa tertentu, menjadikan anak dapat menyusun skenario atau jalan cerita. Bersama dengan temannya, anak menamai objek/alat permainan, menentukan peran dan tema permainan. Untuk menceritakan ide/gagasan dan pengalamannya, artikulasi anak harus jelas dan penggunaan kosakata yang sesuai dengan apa yang hendak disampaikan agar dapat dipahami oleh teman yang lain. Mereka saling bertukar ide dan pendapat sehingga dapat memperkaya perbendaharaan kata, baik kosakata yang dapat diucapkan maupun dipahami. Disini anak dituntut untuk mampu menyusun kata-kata di dalam kalimat dengan lengkap dan bermakna sehingga terdapat kesesuaian antara apa yang diucapkan dengan apa yang dipikirkan. Hal ini mendukung terbentuknya skenario atau jalan cerita sesuai dengan kesepakatan bersama.

(55)

pernyataan orang lain menjadikan anak mampu memberikan respon/umpan balik yang sesuai. Dengan memberikan respon baik verbal maupun non verbal secara tepat dapat menjaga kelangsungan aktivitas bermain pura-pura.

Dalam permainan pura-pura anak melakukan interaksi sosial-verbal yang dapat diwujudkan dalam suatu percakapan yang bersifat timbal balik dan dilakukan secara bergantian (turn taking). Anak secara kooperatif membangun percakapan yang koheren atau sesuai dengan tema permainan. Dengan adanya situasi seperti ini, anak dapat memastikan bahwa permainan dapat dilangsungkan dengan baik dan tidak menyimpang dari jalan cerita atau tema permainan.

(56)

Gambar 2. 1. Skema Efektivitas Permainan Pura-pura Dalam Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak Pra Sekolah

E. Hipotesis Penelitian

Bertolak dari argumentasi di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah ada pengaruh positif atau konstruktif dari permainan pura-pura terhadap kemampuan berbahasa anak pra sekolah, sehingga ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan berbahasa anak pra sekolah yang mendapatkan permainan pura-pura dengan anak yang tidak mendapatkan permainan pura-pura. Anak pra sekolah yang diberi perlakuan berupa permainan pura-pura akan memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik atau tinggi daripada anak yang tidak diberi permainan pura-pura.

U

Permainan Pura-pura: • Dimainkan secara kooperatif

atau bersama dengan dua orang atau lebih teman sebaya

• Memerankan peran, peristiwa dan pengalaman tertentu yang berbeda dalam dunia nyata atau dalam konteks berpura-pura

• Adanya percakapan yang bersifat timbal balik dan dilakukan secara bergantian di antara partisipan

U

Kemampuan Berbahasa Anak Pra Sekolah:

• Artikulasi/pengucapan harus jelas guna menamai benda/alat, menentukan peran dan tema permainan

• Menggunakan dan mengembangkan kosakata yang sesuai untuk

mengungkapkan ide/gagasan dan pengetahuan

• Menyusun kata-kata dalam kalimat yang lengkap dan bermakna sehingga apa yang diucapkan sesuai dengan apa yang dipikirkan

• Memahami maksud/isi dari pembicaraan orang lain dan mampu memberikan respon dengan tepat

(57)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, yaitu suatu cara penelitian yang memberikan perlakuan/manipulasi tertentu kepada subyek penelitian. Tujuannya untuk menyelidiki ada tidaknya hubungan sebab akibat antara perlakuan serta pengaruhnya, dengan cara membandingkan kelompok subyek yang mendapat perlakuan dengan yang tidak mendapatkan perlakuan (Latipun, 2006). Desain eksperimen yang akan digunakan adalah eksperimen ulang (pretest-posttest control group design) yaitu dengan melakukan pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan

pada tiap-tiap kelompok subyek. Kelompok subyek dalam penelitian ini ada dua yakni kelompok eksperimen, yaitu kelompok subyek yang diberi perlakuan berupa permainan pura-pura dan kelompok kontrol atau kelompok pembanding dimana subyek tidak mendapatkan permainan pura-pura. Mengingat situasi atau pendekatan yang digunakan di TK adalah dengan bermain, maka dalam penelitian ini kelompok kontrol mendapatkan permainan lain selain permainan pura-pura, yakni permainan soliter dan permainan pasif. Hasil pengukuran ini nantinya akan dianalisa dan diuji ada tidaknya serta seberapa besar pengaruh permainan pura-pura terhadap kemampuan berbahasa subyek. Rancangan desain penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.1.

KE YBpreB X YBpostB KK YBpreB - X YBpostB Gambar 3. 1. Rancangan Desain Penelitian

(58)

Keterangan:

KE = Kelompok Eksperimen atau kelompok yang mendapatkan permainan pura-

pura

KK = Kelompok Kontrol atau kelompok yang bermain soliter atau bermain pasif

YBpreB = Pengukuran kemampuan berbahasa sebelum diberi perlakuan

YBpostB = Pengukuran kemampuan berbahasa sesudah diberi perlakuan

X = Perlakuan berupa permainan pura-pura

- X = Tidak mendapatkan permainan pura-pura (permainan soliter dan permainan

pasif)

B. Variabel Penelitian

Variabel bebas penelitian ini adalah permainan pura-pura (pretend play). Sedangkan variabel tergantungnya adalah kemampuan berbahasa subyek. Kemampuan ini dilihat dari artikulasi atau pengucapan subyek, perbendaharaan kata yang dikuasai, kemampuan subyek menyusun kata-kata di dalam kalimat, pemahaman subyek terhadap ucapan dan pernyataan dari orang lain serta kemampuan subyek untuk membuat dan melangsungkan percakapan.

Peneliti perlu mengantisipasi adanya variabel ekstra dalam penelitian ini yaitu kemampuan kognitif subyek, tingkat pendidikan ibu, besarnya keluarga dan status sosial ekonomi orang tua. Pengontrolan variabel ekstra bertujuan untuk menghindari terjadinya perbedaan individual sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Pengontrolan terhadap kemampuan kognitif subyek berdasarkan hasil raport TK untuk aspek kognitif dan kreativitas. Raport ini berbentuk narasi yang menceritakan kemampuan kognitif subyek seperti kemampuan mengidentifikasi gambar dan cerita, bentuk-bentuk geometris dan warna, kemampuan merangkum kesehariannya (program review) dan sebagainya. Berdasarkan penilaian subyektif

(59)

Pengontrolan terhadap interaksi antara ibu dan subyek dilakukan dengan mengontrol tingkat pendidikan formal ibu. Sejauh mana pendidikan formal yang telah ditempuh oleh ibu dari subyek penelitian dapat mempengaruhi kebiasaan berkomunikasi dan perilaku subyek ketika berada di rumah. Dalam penelitian ini, pendidikan terakhir ibu subyek adalah 22 orang tamatan Sarjana strata 1 (S1) dan dua orang tamatan Diploma (D3).

Pengontrolan terhadap bersarnya keluarga dilakukan dengan melibatkan subyek yang berasal dari keluarga kecil. Subyek adalah anak tunggal atau berjumlah dua bersaudara dalam keluarga. Sedangkan untuk status sosial ekonomi, peneliti melakukan penelitian ini di TK yang tergolong menengah ke atas. Sebagian besar pekerjaan orang tua subyek adalah wiraswasta (13 orang), dosen (6 orang), dokter (3 orang), programmer (1 orang) dan konsultan (1 orang).

C. Definisi Operasional

(60)

badan pasien, berpura-pura sakit dan sebagainya. Permainan penjual-pembeli dilakukan dengan menggunakan uang imitasi, sayuran dan buah-buahan imitasi dan tas belanja. Aktivitas penjual berupa menawarkan barang dagangan, memberikan uang kembalian dan sebagainya. Sedangkan pembeli berpura-pura menawar kepada penjual dan membayar dengan uang imitasi. Permainan ayah-ibu menggunakan meja dan kursi, tempat minum, dan koran/majalah. Aktivitas pura-pura yang dilakukan berupa minum teh sambil bercengkrama, membaca koran dan bersenda gurau. Berpura-pura menjadi sopir dan penumpang melibatkan peran sopir yang berpura-pura mengemudi dan penumpang yang memberhentikan bis dan membayar ongkos bis. Permainan ini dimainkan dalam waktu kurang lebih 15 – 20 menit untuk masing-masing tema permainan.

(61)

menggunakan kata-kata untuk menjelaskan arti kata dengan menyebutkan sinonim, penggolongan dan penggunaan yang umum, serta sifat utama dari kosakata yang disajikan. Bilamana subyek hanya mengulang kata ataupun memperlihatkan arti yang tidak terkait sama sekali dianggap kurang baik. Kemampuan menyusun kalimat yang baik dilihat dari kalimat bermakna yang terdiri dari 2 – 7 kata didalamnya serta memiliki koherensi antar kalimat keseluruhan. Misalnya, “Ada badut yang cewek dan cowok”. Kalimat ini terdiri dari 6 kata di dalamnya dan bermakna. Apabila subyek hanya menyebut salah satu obyek pada gambar dan tidak memiliki koherensi makna sama sekali maka dianggap kurang baik. Subyek memiliki pemahaman yang baik yang dilihat dari keberhasilannya menjawab pertanyaan seputar cerita dengan benar. Pemahaman subyek dianggap kurang baik apabila subyek tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan benar. Kemampuan melakukan percakapan yang baik diperlihatkan dengan adanya kemampuan subyek untuk membicarakan segala sesuatu yang diketahui, dimiliki dan yang dialami (ekspresi diri) melalui penggunaan bahasa yang lancar dan tidak terbata-bata, menjawab pertanyaan tanpa direpetisi dan mengikuti runtutan peristiwa yang diperbincangkan, serta mampu mengklarifikasi dan menanggapi maksud lawan bicara bilamana pesan yang diterima tidak jelas. Percakapan subyek kurang baik bilamana ekspresi diri subyek minim, tidak mampu mengikuti alur percakapan/menyimpang serta tidak mampu menanggapi atau memberikan respon balik kepada lawan bicara saat pesan yang ia terima belumlah jelas.

D. Subyek Penelitian

(62)

1. Subyek adalah peserta didik atau siswa Taman Kanak-kanak (TK) 2. Subyek berusia 4 – 6 tahun, baik laki-laki maupun perempuan 3. Subyek mempergunakan Bahasa Indonesia sebagai alat

komunikasi sehari-hari

4. Tidak mengalami gangguan pada fungsi organ bicara dan pendengaran

Berdasarkan hal tersebut subyek penelitian ini berasal dari dua Taman Kanak-kanak (TK) yang berada di Yogyakarta, yaitu TK CERIA Demangan dan TK CERIA Timoho. Kedua TK ini bernaung di yayasan yang sama sehingga acuan kurikulum yang dipergunakan juga sama. Subyek TK CERIA Demangan yang berjumlah 14 anak menjadi kelompok yang mendapatkan permainan pura-pura. Sedangkan kelompok kontrol atau kelompok yang diberi aktivitas lain berupa permainan soliter dan permainan pasif, diperoleh dari TK CERIA Timoho sebanyak 10 anak. Peneliti menggunakan teknik purposive sampling dalam menentukan sampel, yakni pemilihan sampel sesuai dengan yang dikehendaki.

E. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan

(63)

2. Tahap Perancangan Alat Ukur

Untuk mengukur kemampuan berbahasa subyek, peneliti merancang Tes Kemampuan Berbahasa Anak Pra Sekolah (KBAPS), yang dikembangkan berdasarkan landasan teoretis yang telah ada. Tes ini terdiri dari lima aspek, yaitu aspek artikulasi/pengucapan, perbendaharaan kata, kemampuan menyusun kata dalam kalimat, pemahaman serta kemampuan membuat dan melangsungkan percakapan. Untuk mengukur kemampuan artikulasi dan perbendaharaan kata subyek, peneliti memberikan stimulus berupa kosakata yang harus diucapkan dan dijelaskan artinya oleh subyek. Kemampuan subyek untuk merangkai kalimat dilihat dari cerita yang berhasil dibuat oleh subyek ketika disajikan stimulus berupa gambar. Untuk mengukur pemahaman subyek, penyaji tes membacakan cerita diikuti beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh subyek. Untuk aspek yang terakhir, subyek diminta untuk melakukan percakapan dengan penyaji tes dengan topik pembicaraan tertentu. Hasil pembicaraan tersebut akan direkam lalu ditranskrip.

Selanjutnya peneliti merancang kriteria dan prosedur penilaian. Tujuan dari kriteria dan prosedur penilaian adalah untuk menghindari variasi dan kesalahan dalam memberi nilai (kesalahan skoring). Batasan perilaku, kriteria dan prosedur penilaian untuk masing-masing aspek akan dibahas pada bagian alat ukur penelitian.

(64)

pilah-pilah, lembar jawaban dan recorder, susunan penyajian tes serta prosedur memberi nilai. Subyek adalah anak pra sekolah yang belum memiliki kemampuan menulis sehingga uji coba tes KBAPS disajikan secara individual yang melibatkan asisten peneliti sebagai administrator/penyaji tes dan direkam dengan menggunakan recorder. Susunan penyajian tes KBAPS adalah sebagai berikut: (1) Artikulasi; (2) Perbendaharaan Kata; (3) Merangkai Kalimat; (4) Pemahaman; lalu (5) Percakapan.

3. Tahap Pelaksanaan

Penelitian ini akan diawali dengan pengukuran kemampuan berbahasa subyek sebelum diberi perlakuan atau diadakan pretest dengan menggunakan Tes KBAPS yang dirancang oleh peneliti. Pretest akan dilakukan baik pada kelompok eksperimen atau kelompok yang memainkan permainan pura-pura maupun pada kelompok kontrol atau kelompok yang bermain soliter dan bermain pasif. Tujuan pretest adalah menguji kesetaraan kondisi awal (baseline) kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, berkenaan dengan kemampuan berbahasa subyek sebelum mendapatkan perlakuan apapun.

(65)

dipersilahkan menempati posisinya masing-masing dan mulai bermain. Setiap kelompok memainkan tema permainan yang sama dalam sesi freeplay yang berlangsung selama 20 menit. Eksperimenter akan mengamati perilaku bermain subyek ketika bermain pura-pura. Selesai bermain, subyek dipersilahkan melanjutkan kegiatannya yang lain. Urutan penyajian, peralatan dan aktivitas untuk masing-masing tema permainan adalah sebagai berikut:

a. Dokter-pasien

Permainan ini menggunakan steteskop, obat-obatan imitasi, masker hidung, termometer, tas dokter dan peralatannya. Subyek dapat berperan sebagai dokter dan pasien. Aktivitas yang dapat dilakukan subyek adalah memeriksa badan pasien, memberikan resep, mengambilkan obat, pura-pura sakit, menyampaikan keluhan/gejala sakit dan sebagainya.

b. Penjual-pembeli/pasar-pasaran

Dalam permainan ini subyek dapat berperan sebagai penjual dan pembeli. Penjual menjajakan makanan, sayuran tiruan, dan bermain uang imitasi. Pembeli menggunakan tas belanjaan kosong, melakukan aktivitas tawar menawar dengan penjual dan membayar dengan uang tiruan.

c. Ayah-ibu

(66)

d. Sopir-penumpang

Permainan ini meliputi setting kursi penumpang bis, miniatur bis, uang imitasi, peta, dan majalah. Aktivitas yang dapat dilakukan adalah pura-pura mengemudi, penumpang mendiskusikan tentang tempat yang akan dituju, penumpang memberhentikan bis dan membayar ongkos bis. Kelompok subyek yang tidak memainkan permainan pura-pura atau yang hanya bermain soliter dan bermain pasif juga bermain di sesi freeplay dengan durasi selama 20 menit. Aktivitas bermain yang dapat dilakukan oleh kelompok subyek ini berupa bermain ayunan atau mobil-mobilan, bermain puzzle, sepak bola, kolam pasir, bermain komputer dan sebagainya. Kelompok ini tetap memperoleh kesempatan yang sama untuk bermain, hanya yang ditekankan disini adalah tanpa permainan pura-pura.

Pengukuran kemampuan berbahasa setelah diberi perlakuan atau posttest akan diberikan baik kepada kelompok subyek yang memainkan permainan pura-pura maupun kelompok subyek yang bermain soliter dan bermain pasif. Hasil yang diperoleh dari posttest akan dibandingkan dengan hasil yang diperoleh subyek pada pretest. Perbedaan hasil pengukuran kemampuan berbahasa yang diperoleh subyek dari kelompok yang berbeda menunjukkan efek dari permainan pura-pura terhadap kemampuan berbahasa.

F. Alat Ukur

(67)

percakapan subyek yang diukur dan dianalisis secara terpisah. Pengukuran atau pengetesan ini memiliki beberapa prosedur umum seperti; rapport, instruksi/petunjuk tes, lembar jawaban dan recorder, susunan penyajian tes serta prosedur memberi nilai.

Untuk menciptakan suasana yang nyaman dengan kondisi pengetesan bagi subyek, penyaji tes perlu membina hubungan atau rapport yang baik dengan subyek. Untuk menghindari jawaban subyek yang tidak lengkap atau tidak jelas, instruksi atau petunjuk tes yang digunakan harus jelas dan pilah-pilah, dengan memperhatikan intonasi dan nada suara. Jawaban subyek akan dicatat pada lembar jawaban dan lebih lengkapnya akan direkam dengan menggunakan recorder dari awal hingga akhir pengetesan.

Selain prosedur umum pengetesan, peneliti juga mengurutkan susunan penyajian dan menyusun kriteria serta prosedur penskoran dalam tes KBAPS sebagai berikut:

1. Artikulasi

Aspek artikulasi mengarah pada kemampuan subyek untuk mengucapkan kata-kata dengan jelas dan benar. Subyek tidak mengalami kesulitan mengucapkan bunyi konsonan tertentu seperti r, s, dan t, maupun bunyi vokal seperti a, i, u, e, o. Dalam tes ini nantinya terdapat 9 kosakata yang harus diucapkan oleh subyek. Instruksi/petunjuk tes yang dapat digunakan adalah “Sekarang kita akan bermain dengan kata-kata. Permainan akan dimulai oleh saya.

Setelah saya mengucapkan suatu kata, maka tirukanlah saya” atau

(68)

dengan kriteria diatas akan mendapat skor 1 sedangkan pengucapan yang keliru tidak mendapatkan skor atau 0.

2. Perbendaharaan Kata

Di aspek ini, peneliti ingin menentukan apakah subyek mengetahui arti kata, bukan mengarah pada definisi yang logis dan sempurna. Aspek ini akan dilakukan bersamaan dengan aspek artikulasi sehingga subyek tidak hanya mengucapkan melainkan juga menjelaskan arti sebanyak 12 kosakata yang terdiri dari jenis kata benda, kata kerja dan kata sifat. Contohnya, untuk kata gemuk instruksinya adalah “Apa artinya gemuk? atau Apa yang kamu ketahui tentang gemuk?”. Kriteria jawaban subyek yang mendapat skor 1

adalah (1) sinonim yang baik; (2) penggolongan dan penggunaan yang umum; (3) salah satu atau beberapa sifat yang utama; dan (4) untuk kata kerja, memberi contoh tertentu dari perbuatan atau hubungan sebab akibat. Kriteria jawaban yang tidak mendapat skor atau 0 adalah (1) sinonim yang tidak tepat atau kabur; (2) pengulangan kata yang tidak diberi penjelasan lebih lanjut dan (3) memperlihatkan kelemahan dari arti yang sebenarnya atau tidak terkait sama sekali.

3. Menyusun Kalimat

(69)

akan direkam dengan menggunakan recorder. Instruksinya bisa berupa; “Saya mempunyai gambar yang menarik, kamu bisa melihat gambar

itu sekarang. Coba kamu ceritakan apa yang kamu lihat dari gambar

ini atau kalau gambar yang ini ceritanya bagaimana?”. Waktu yang tersedia adalah 4 menit untuk tiap gambar. Karakteristik gambar yang dipilih oleh peneliti disesuaikan aktivitas yang berhubungan dengan subyek. Kriteria memberi nilai dalam aspek ini adalah sebagai berikut: a. menyusun kalimat dengan 2 – 7 kata; skor 2 untuk kalimat yang

terdiri dari 5 – 7 kata; skor 1 untuk kalimat yang terdiri dari 2 – 4 kata dan skor 0 untuk kalimat dengan satu kata.

b. kebermaknaan kalimat; skor 2 untuk susunan 5 – 7 kata dengan tepat untuk menyatakan makna; skor 1 untuk susunan 2 – 4 kata untuk menyatakan makna dan diberikan skor 0 bilamana hanya menyebut salah satu obyek pada gambar.

c. koherensi; skor 2 diberikan bilamana ada koherensi yang bermakna antar seluruh kalimat; diberi skor 1 bilamana ada koherensi antar sebagian kalimat; dan skor 0 bilamana tidak ada koherensi makna sama sekali.

Skot total subyek untuk menyusun kalimat diperoleh dari penjumlahan ketiga kriteria diatas, yakni penjumlahan dari jumlah kata, kebermaknaan kalimat serta koherensi kalimat.

4. Pemahaman

(70)

akan disajikan 3 cerita lalu diminta untuk menjawab sebanyak 4 pertanyaan. Pola pertanyaan yang digunakan oleh peneliti adalah siapa, dimana, apa dan mengapa. Subyek diminta untuk menyimak dan

mendengar cerita yang dibacakan oleh penyaji tes lalu menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan cerita tersebut. Penyaji tes dapat mengatakan “Saya akan menceritakan suatu cerita, coba kamu dengarkan dengan baik. Setelah ceritanya selesai, ada

pertanyaan-pertanyaan yang harus kamu jawab. Pertanyaan itu berkaitan dengan

cerita tadi”. Keberhasilan subyek menjawab pertanyaan dengan benar

memperlihatkan pemahaman subyek terhadap cerita. Kriteria penilaiannya adalah skor 1 untuk setiap jawaban yang benar dan 0 untuk jawaban yang salah. Bilamana subyek membenarkan jawabannya secara spontan, nilai harus diberikan untuk jawaban yang dibenarkan. 5. Percakapan

Gambar

Gambar 2. 1. Skema Efektivitas Permainan Pura-pura Dalam Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak Pra Sekolah
Tabel 3.1. Komposisi tes KBAPS sesudah uji coba
Tabel 3.2. Tabel Spesifikasi dan Penskoran Tes Kemampuan Berbahasa Anak Pra Sekolah (KBAPS)
Gambar 3.2. Rancangan Analisa Data
+7

Referensi

Dokumen terkait