• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi

Menurut De Vries & Kohlberg: 1987, Mc Devitt: 1993, Son & Van Sickle: 1993 dalam King, dkk (2012: 8) kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) adalah memberikan peserta didik dengan keterampilan hidup yang relevan dan menawarkan mereka sebuat manfaat tambahan

untuk membantu mereka meningkatkan pengetahuan yang dimiliki dan keterampilan berpikir yang masih pada level tingkat rendah.

Definisi kemampuan berpikir tingkat tinggi oleh Haladyna (1997) dan Bloom (1956) dalam King (2012: 34) adalah memahami fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan prosedur atau langkah-langkah serta melakukan analisis, sintesis, dan evaluasi.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) merupakan suatu kemampuan berpikir pada level kognitif yang lebih tinggi, dimana peserta didik bukan hanya menguasai kemampuan untuk mengingat saja, akan tetapi memiliki kemampuan berpikir dalam menganalisis, berargumentasi, dan membuat keputusan yang tepat.

Tujuan utama dari HOTS adalah bagaimana meningkatkan kemampuan berpikir anak didik pada level yang lebih tinggi, terutama berkaitan dengan kemampuan untuk berpikir secara kritis dalam menerima berbagai jenis informasi yang datang kepadanya, berpikir kreatif dalam memecahkan masalah dengan pengetahuan yang dimilikinya serta membuat keputusan dalam situasi-situasi yang komplek. Yang diinginkan dari HOTS adalah peningkatan kemampuan pemahaman dan penguasaan anak didik atas materi pembelajaran agar ia dapat berpikir secara kritis, kreatif, mampu memecahkan masalah, dan mampu membuat keputusan dalam situasi-situasi yang sulit.

2. Indikator Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (Higher Order Thinking Skill)

Menurut Uno (2012), soal HOTS memiliki empat indikator, yaitu: a. Problem solving atau proses dalam menemukan masalah serta cara

memecahkan masalah berdasarkan informasi yang nyata, sehingga dapat ditarik kesimpulan.

b. Keterampilan pengambilan keputusan, yaitu keterampilan seseorang dalam memecahkan masalah melalui pengumpulan informasi untuk kemudian memilih keputusan terbaik dalam memecahkan masalah.

c. Keterampilan berpikir kritis, yaitu usaha untuk mencari informasi yang akurat yang digunakan sebagaimana mestinya pada suatu masalah.

d. Keterampilan berpikir kreatif, yaitu menghasilkan banyak ide sehingga menghasilkan inovasi baru untuk memecahkan masalah. 3. Karakteristik Soal Higher Order Thinking Skill (HOTS)

a. Mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi

Kemampuan berpikir tingkat tinggi termasuk kemampuan untuk memecahkan masalah, keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif, berargumen, dan kemampuan dalam mengambil keputusan. Soal-soal higher order thinking skill bukan berarti Soal-soal tersebut harus memiliki tingkat kesukaran yang tinggi.

Soal-soal HOTS merupakan assesment yang berbasis situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari, dimana peserta didik diharapkan dapat menerapkan konsep-konsep pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan masalah. Berikut ini diuraikan lima karakteristik assesment kontekstual, yang disingkat REACT.

1) Relating, penilaian yang berkaitan langsung dengan konteks pengalaman kehidupan nyata.

2) Experiencing, penilaian yang ditekankan kepada penggalian, penemuan, dan penciptaan.

3) Applying, penilaian yang menuntut kemampuan peserta didik untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh di dalam kelas untuk menyelesaikan masalah nyata.

4) Transfering, penilaian yang menuntut kemampuan peserta didik untuk mentransformasi konsep-konsep pengetahuan dalam kelas ke situasi atau konteks baru.

c. Menggunakan bentuk soal beragam

Bentuk-bentuk soal yang beragam dalam sebuah perangkat tes (soal-soal HOTS), bertujuan agar dapat memberikan informasi yang lebih rinci dan menyeluruh tentang kemampuan peserta didik. 4. Pengembangan Soal berbasis High Order Thinking Skills (HOTS)

Ada beberapa cara yang dapat dijadikan pedoman oleh para guru dalam membuat butir-butir soal yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, yakni materi yang ditanyakan di ukur dengan perilaku

sesuai dengan ranah kognitif Bloom pada level analisis, evaluasi, dan mengaplikasi. Ranah kognitif C-1 mengarah pada kata kerja cognitive level pertama yaitu mengingat, C-2 mengarah pada kata kerja cognitive level kedua yaitu memahami, dan C-3 mengarah pada kata kerja cognitive level ketiga. Dalam Taxonomi Bloom revised, ketiga ranah ini merupakan indikator LOTS (Narayanan & Adithan, 2015; Forehand, 2010; Yahya, dkk., 2012; Clark, 2010). Sedangkan indikator untuk HOTS adalah ranah kognitif C-4 mengarah pada kata kerja cognitive level keempat yaitu menganalisis, ranah kognitif C-5 mengarah pada kata kerja cognitive level ke lima yaitu mengevaluasi, dan ranah kognitig C-6 mengarah pada kata kerja cognitive level ke enam yaitu mengaplikasi (Narayanan & Adithan, 2015; Pappas, dkk., 2012; Yahya, dkk., 2012; Clark, 2010; Brookhart, 2010). Model pengembangan instrumen berbasis HOTS yang digunakan berdasarkan Bloom, menurut Djaali,(2004) dalam buku Pengembangan Instrumen Penelitian Pendidikan, maka terlebih dahulu para guru harus memperhatikan tahapan-tahapan berikut ini:

a. Menetapkan tujuan tes. Tes prestasi belajar dapat dibuat bermacam-macam tujuan, seperti: tes yang bertujuan untuk mengadakan ujian nasional atau ujian lainnya yang sejenis, tes yang bertujuan untuk mengadakan seleksi, misalnya SNMPTN, dan tes yang bertujuan untuk mendiagnosis kesulitan belajar siswa yang dikenal dengan tes diagnosis.

b. Analisis kurikulum. Tahapan ini bertujuan untuk menentukan bobot setiap pokok bahasan yang akan dijadikan dasar dalam menentukan jumlah item atau butir soal untuk setiap pokok bahasan soal objektif atau bobot soal untuk bentuk uraian, dalam membuat kisi-kisi tes.

c. Analisis buku pelajaran dan sumber materi belajar lainnya. Analisis ini mempunyai tujuan yang sama dengan analisis kurikulum, yaitu menentukan bobot setiap pokok bahasan. Namun dalam analisis buku pelajaran menentukan bobot setiap pokok bahasan berdasarkan jumlah halaman materi yang termuat dalam buku pelajaran atau sumber materi belajar lainnya.

d. Membuat kisi-kisi. Manfaat kisi-kisi adalah untuk menjamin sampel soal yang baik, dalam arti mencakup semua pokok bahasan secara proporsional. Agar item-item atau butir-butir tes mencakup keseluruhan materi (pokok bahasan atau sub pokok bahasan) secara proporsional, maka sebelum menulis butir-butir tes terlebih dahulu, kita harus membuat kisi-kisi sebagai pedoman.

e. Menulis soal tes. Setelah kisi-kisi dalam bentuk tabel spesifikasi telah tersedia, maka kita akan membuat butir-butir soal. Beberapa petunjuk yang perlu diperhatikan dalam membuat butir-butir soal: 1) Soal yang dibuat harus valid (validitas konstruk) dalam arti

mampu mengukur tercapai tidaknya tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.

2) Soal yang dibuat harus dapat dikerjakan dengan menggunakan satu kemampuan spesifik, tanpa dipengaruhi kemampuan lain yang tidak relevan.

3) Soal yang dibuat harus terlebih dahulu dikerjakan atau diselesaikan dengan langkah-langkah lengkap sebelum digunakan pada tes yang sesungguhnya.

4) Menetapkan sejak awal aspek kemampuan yang hendak diukur untuk setiap soal matematika yang dibuat.

5) Dalam membuat soal, hindari sejauh mungkin kesalahan-kesalahan ketik betapapun kecilnya, karena hal itu akan mempengaruhi validitas soal

6) Memberi petunjuk mengerjakan soal secara lengkap dan jelas untuk setiap bentuk soal matematika dalam suatu tes.

f. Menelaah butir-butir soal. Soal-soal yang dibuat masih mungkin terjadi kekurangan atau kekeliruan yang menyangkut aspek kemampuan spesifik yang diukur, bahasa yang digunakan, kesalahan ketik, dan sebagainya. Untuk itu, sebelum diperbanyak maka soal terlebih dahulu harus ditelaah oleh teman sejawat yang memahami materi tes maupun teknik penulisan soal untuk meneliti validitas permukaan dari soal yang di buat.

g. Reproduksi tes terbatas. Tes yang sudah jadi diperbanyak dalam jumlah yang cukup menurut jumlah sampel uji coba atau jumlah

peserta yang akan mengerjakan tes tersebut dalam suatu kegiatan uji coba tes.

h. Menguji coba tes. Tes yang sudah diperbanyak itu akan di uji cobakan pada sejumlah sampel yang telah ditentukan. Sampel uji coba harus mempunyai karakteristik yang kurang lebih sama dengan karakteristik peserta tes yang sesungguhnya.

i. Menganalisis empiris kualitas instrumen. Berdasarkan data hasil uji coba, dilakukan analisis, terutama analisis butir soal yang meliputi validitas butir, tingkat kesukaran, dan fungsi pengecoh. Berdasarkan validitas butir soal tersebut di adakan seleksi soal dengan menggunakan kriteria validitas tertentu.

j. Merevisi tes. Soal-soal yang valid berdasarkan kriteria validitas empiris di konfirmasikan dengan kisi-kisi. Apabila soal-soal tersebut sudah memenuhi syarat dan telah mewakili semua materi yang akan diujikan, soal-soal tersebut selanjutnya dirakit menjadi sebuah tes, tetapi apabila soal-soal yang valid belum memenuhi syarat berdasarkan hasil konfirmasi dengan kisi-kisi, dapat dilakukan perbaikan terhadap soal yang diperlukan.

k. Merakit soal menjadi tes. Urutan soal dalam suatu tes dilakukan menurut tingkat kesukaran soal, yaitu dari soal yang mudah sampai soal yang sulit.

Dokumen terkait