• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kembalinya Moesso ke Indonesia

Dalam dokumen Sejarah Partai Komunis Indonesia PKI Oby (Halaman 35-41)

Atas ulahnya, Suripno diminta pulang oleh Hatta ke Yogyakarta untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pada 3 Agustus 1948 sebuah pesawat terbang yang membawa Suripno dan seorang yang diakui sekretarisnya dahulu di Praha,

mendarat di Bukit Tinggi. “Sekretarisnya” yang belakangan diketahui ternyata Musso, seorang Tokoh PKI, mengirim sepucuk surat kepada seorang teman yang ditahan oleh pemerintah, bahwa ia akan segera membentuk kabinet. Pada 11 Agustus, Suripno dan Musso terbang ke Yogyakarta. Suripno lalu menyerahkan teks perjanjian dan

menjelaskan perjanjian yang telah dilakukannya dengan Uni Soviet ihwal pertukaran konsul. Di Yogyakarta, Moesso dan Soeripno diterima oleh Soekarno. Dalam pertemuan itu, Soekarno meminta Moesso memperkuat negara dan melancarkan revolusi. “Itu memang kewadjiban saja. Ik kom hier om orde te scheppen!”(Saya datang di sini untuk menertibkan keadaan!),” kata Musso.[3]

Kemudian Moesso bertemu Hatta. Ia mengusulkan agar perjanjian Renville tidak usah dilaksanakan. Mendengar itu Hatta bilang, “Dalam melaksanakan

perjanjian Renville banyak sekali perbedaan pendapat antara delegasi pemerintah dengan delegasi Belanda. Ada kemungkinan Belanda menarik diri dan Belanda mengadakan aksi militer lagi. Dan dengan sendirinya, masalah itu kembali ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan itu kita makin dekat dengan penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada kita.”[4]

Kembalinya Musso bagi gerakan komunis di Indonesia mempunyai arti politis. Sebab ia membawa garis komunis internasional yang lazim disebut Garis Zhdanov. Garis ini menyatakan bahwa kerja sama dengan kaum imperialis tidak perlu dilanjutkan lagi dan partai-partai komunis harus mengambil garis keras dan memimpin perjuangannya di negara masing-masing. Kedatangan Musso disambut antusias oleh kalangan anggota dan pimpinan PKI. wajar karena golongan kiri saat itu sedang patah semangat karena

kehilangan kekuasaan dan mengalami tantangan berat melawan Hatta. Dengan demikian hadirnya Moesso dianggap sebagai kedatangan tokoh internasional yang sangat

dibutuhkan.[5]

Moesso kemudian mengkritik FDR atas berbagai kesalahan politik dan organisasi yang dibuatnya:

1. Para pemimpin FDR tidak menempuh jalan anti imperialis yang konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu revolusi Indonesia terdorong selalu pada kedudukan defensi (bertahan)

2. Pimpinan revolusi tidak terpegang oleh tangan-tangan kelas buruh

3. Partai yang berdasarkan Marxisme ada beberapa buah, yaitu PKI, PBI, dan Partai Sosialis. Ini memecah kekuatan. Karenanya ketiganya harus dipersatukan menjadi satu partai saja, dengan nama Partai Komunis Indonesia (PKI).[6]

Dalam konferensi partai tanggal 26-27 Agustus 1948, kecaman ini diterima dan disimpulkan dalam bentuk resolusi yang kemudian diberi nama Jalan Baru untuk Republik Indonesia.

“Jalan Baru” mengajukan tuntutan-tuntutan politik dan hubungan luar negeri yang tinggi. Kaum komunis menuntut kemerdekaan yang penuh, merdeka 100 %, dan untuk

memperjuangkan ini kepemimpinan revolusi nasional harus berada di tangan komunis, sebagai partai buruh yang terbesar, bukan pada kaum borjuis komprador yang tidak dapat dipercaya. Indonesia harus bersatu dengan Uni Soviet, karena Uni Soviet adalah pelopor dalam perjuangan melawan blok imperialis yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sudah cukup jelas bahwa Amerika Serikat menggunakan Belanda untuk memerangi Indonesia yang demokratis.

Pada tanggal 31 Agustus 1948, Moesso berhasil membuat perubahan-perubahan

organisasi PKI secara signifikan. Menindaklanjuti rencana PKI yang telah disepakati di dalam konferensi PKI tanggal 26-27 Agustus 1948, PKI mengumumkan bahwa Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis menyatukan diri dengan PKI, dan membubarkan FDR. Susunan Politbiro PKI lalu diumumkan tanggal 1 September 1948 dengan formasi sebagai berikut:

Sekretaris Jenderal: Moesso, Maruto Daroesman, Tan Ling Djie, dan Ngadiman Sekretaris Buruh: Adjidarmo Tjokronegoro, Aidit, Soetrisno

Sekretaris Pemuda: Wikana dan Soeripno

Sekretaris Wanita: sementara di bawah Sekretaris Jenderal Sekretaris Pertahanan: Amir Sjarifoeddin

Prop. Agitasi: Lukman, Alimin, dan Sardjono Sekretaris Organisasi: Soedisman

Sekretaris Hubungan Luar Negeri: Soeripno Sekretaris Urusan Perwakilan: Nyoto

Sekretaris Urusan Kader: sementara di bawah Sekretaris Jenderal Sekretaris Keuangan: Roeskak

PKI yang semula beranggotakan 3 ribu orang, mendadak menjadi Partai Besar dengan jumlah anggota 30 ribu orang, setelah Partai Sosialis dan Partai Buruh bergabung. Musso berhasil memecah belah FDR yang tidak solid dan mengubahnya menjadi organisasi komunis yang dapat dikendalikan secara sentral.

Moesso menekankan pentingnya dibentuk suatu Front Nasional. PKI berkeyakinan bahwa kelas buruh saja tidak dapat menyelesaikan revolusi nasional. Karena itu diperlukan kerja sama dengan kelompok-kelompok lain. PKI harus dapat meyakinkan anggota-anggota partai dan organisasi-organisasi lain akan kebenaran adanya Front Nasional. Keanggotaan Front Nasional juga terbuka untuk orang-orang yang tak berpartai. Front Nasional dipilih dari bawah, dan dalam situasi sekarang (September 1948), PKI harus berdaya menggantikan pemerintah sekarang (pemerintah Hatta), dengan pemerintahan Front Nasional.

Pemerintah semacam itulah yang akan berakar di kalangan rakyat dan sanggup mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam negeri serta meneruskan perlawanan anti imperialis secara konsekuesn. Ide Musso yang dinyatakan dalam Jalan Baru untuk mewujudkan suatu Front Nasional tidak terlepas dari tekadnya untuk mengosolidasikan kekuatan PKI. Pada awalnya transformasi FDR ke dalam PKI nampak berjalan lancar. Partai Sosialis menggabungkan diri pada tanggal 31 Agustus 1948, PBI masuk PKI tanggal 4 September 1948, Pada tanggal 3 September 1948, Pesindo melalui sidang pleno setuju bergabung

dengan PKI. Dan pada tanggal yang sama, SOBSI menyatakan kita harus berkiblat ke Rusia.

Tapi usaha Moesso untuk mengerahkan kekuatan PKI tidak selalu berjalan mulus. Ada rintangan-rintangan. Karena tidak semua organisasi yang berada di bawah naungan FDR bersedia bergabung dengannya. Barisan Tani Indonesia menolak bergabung dengan PKI. Beberapa perserikatan buruh yang tergabung di dalam SOBSI, antara lain Serikat Buruh Mobil Indonesia dan Serikat Buruh Djawatan Angkutan Motor RI, memprotes

pernyataan pemimpin-pemimpinnya yang terpengaruh PKI dan menuntut diadakan kongres SOBSI secepat mungkin untuk membicarakan perkembangan-perkembangan baru. Dalam lingkungan PKI sendiri, ada yang tidak menyetujui perkembangan PKI baru yang mempunyai jumlah anggota sangat banyak tanpa dilatih sebelumnya menjadi kader komunis, dan lebih memilih PKI yang jumlah anggotanya kecil tapi terlatih. Moesso sadar pada awal September, masih perlu waktu untuk mengidoktrinasi dan menata organisasinya agar PKI terkendali secara sentral dan dapat diunggulkan memimpin revolusi nasional Indonesia.

Dalam upaya mengindoktrinasi dan menjelaskan program perjuangan partainya, pada bulan September, Moesso dengan beberapa anggota Politbiro, antara lain Amir Sjarifoeddin, Setiadjit, dan Wikana, turun ke bawah (turba) ke daerah-daerah Jawa Tengah dan jawa Timur. Moesso berbicara di dalam rapat-rapat akbar di Solo tanggal 7, Madiun tanggal 8, Kediri tanggal 11, Jombang tanggal 13, Bojonegoro tanggal 14, Cepu tanggal 16, dan pada tanggal 17 September tiba di Purwodadi pada sore hari. Pidato- pidato Musso di tempat-tempat ini membakar semangat revolusioner.[7] Salah satu pidatonya di Madiun ia menekankan, “Pimpinan di negeri kita itu harus berada di tangan kaum buruh progressif sebagai juga tergabung dalam PKI sebagai anggauta. Hanja dengan demikian revolusi akan dapat diselesaikan dengan hasil baik. Aturan- aturan lama harus diganti. Sistim ningrat harus dilenjapkan karena pada waktu ini orang-orang seperti Widanata Kusumah masih memegang djabatan-djabatan tinggi. Hanja dengan pimpinan PKI baru akan terdapat keadaan-keadaan normal. Dalam keadaan demikian itu, orang-orang buruh akan dapat mendjadi direktur-direktur pabrik dan perusahaan… Dalam revolusi ini orang-orang Belanda adalah musuh kita dan djika di antara rakjat kita ada orang-orang jang menentang pendjelmaannja, maka kita akan mempersamakan orang-orang itu dengan orang-orang Belanda. Republik harus

berpihak pada Soviet. Kita tidak mengakui persetudjuan gentjatan sendjata,

Linggardjati, maupun Renville… Republik sebelumnja pertukaran konsol-konsol dengan Moskou sudah mendapat sokongan dari Sovjet-Unie. Sebaliknja sikap “mendjilat” dari Pemerintah Republik pada Amerika selama tiga tahun hanja menghasilkan bahwa orang-orang Amerika menjokong orang-orang Belanda… Siasat kita pertama-tama adalah untuk membunuh orang-orang Belanda sebanjak mungkin serta merampas sendjata-sendjatanja. Djuga di daerah-daerah pendudukan harus diadakan serangan- serangan. Kita menghormati agama dan mempergunakannja dalam perdjuangan melawan Belanda. Djika orang-orang Islam tidak hendak ditindas, maka kini tibalah waktunja untuk mengadakan perang sabil. Politik kita adalah suatu akibat mutlak dari revolusi kita.”[8]

Boleh jadi Sin Po benar mengungkap, “usaha mengadakan pertukaran konsul antara RI dengan Rusland yang ditandatangani oleh Suripno di Praag sebetulnya usaha Musso sendiri. Ini awal ulah Musso sebelum ke Indonesia.”[9] Menjelang pertengahan bulan September 1948, para pemimpin PKI mulai memperkuat organisasi mereka. Paling tidak selama enam bulan berikutnya, PKI masih ingin merebut kekuasaan lewat tekanan politik. Pimpinan teratas PKI tidak bermaksud memakai cara-cara revolusioner sebelum partainya melakukan usaha-usaha lebih jauh untuk merebut kekuasaan lewat politik. PKI harus mengatur kembali organisasi-organisasi yang menjadi unsur pokok FDR terlebih dahulu ke dalam suatu organisasi politik yang benar-benar disiplin dan solid agar menjadi gambaran PKI Moesso seperti yang telah direncanakan.[10]

Pemerintah Hatta memperkirakan Musso dengan Politbironya baru siap memakai cara- cara revolusioner pada permulaan bulan November 1948. [11]

Merespon lawan, Hatta menyatakan:

“Pada dasarnya pendirian kita ke luar itu adalah kuat, oleh karena kita senantiasa menunjukkan good will untuk melaksanakan dasar-dasar persetujuan Renville. Pendapat umum di luar negeri sebagian terbesar adalah pada pihak Republik Indonesia.

Perjuangan kemerdekaan kita dan usaha kita untuk mencapai cita-cita nasional kita dengan realis dengan mengemukakan konsepsi yang rasional, mendapat simpati luar negeri… Tetapi kedudukan kita yang keluar itu diperlemah oleh kekusutan di dalam, oleh pertentangan politik yang semakin lama semakin hebat, seolah-olah kawan seperjuangan yang berlainan paham dianggap musuh yang lebih besar dari pihak Belanda sendiri. Sentimen terlalu diperhebat sehingga lupa kepada kenyataan, bahwa kemerdekaan kita hanya bisa selamat apabila kita dapat menyiapkan suatu benteng persatuan yang kokoh. Keadaan-keadaan yang akhir ini menunjukkan bahwa kesulitan kita ke dalam sangat besar. Ditambah lagi karena perputaran pendirian dalam kalangan FDR: dari pembela politik “Linggarjati” dan “Renville” menjadi penentangnya. Dari kalangan FDR yang selama ini mati-matian membela politik Renville terdengar suara yang mengusulkan agar supaya Persetujuan Renville dibatalkan dan perundingan dengan Belanda diputuskan. Kalangan ini menganjurkan agar supaya Republik Indonesia yang perjuangannya adalah menentang imperialisme, terus terang memilih tempat pada front anti imperialis yang dipimpin oleh Soviet Rusia untuk menentang imperialisme.

….Situasi yang seperti ini sudah tentu melemahkan pendirian kita dalam menghadapi ancaman Belanda. Situasi ini timbul sebagai akibat pergolakan politik internasional yang dikuasai oleh pertentangan Amerika dan Rusia.

Tetapi mestikah kita bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro Rusia dan pro Amerika? Apakah tidak ada pendirian yang lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang kita ambil ialah supaya jangan menjadi obyek di dalam pertarungan politik internasional melainkan kita harus tetap menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya. Betapapun juga lemahnya kita sebagai bangsa baru merdeka dibanding dengan dua raksasa yang bertentangan, Amerika dan Rusia, menurut

anggapan pemerintah kita harus tetap mendasarkan perjuangan kita atas adagium: ‘….Percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan kita sendiri.’”[12]

Gambar 6. Tarik-menarik dengan Republik. Sumber karikatur: Koran Merdeka 4 Oktober 1948

Kepercayaan diri Hatta ini didukung oleh koran Merdeka. Tuntutan Musso kepada Hatta untuk berpihak kepada Soviet, menurut Merdeka, “masih terlalu pagi untuk diambil dan ditentukan. Karena pada waktu ini adalah lebih utama bagi pemerintah kita untuk memikirkan bagaimana usaha jang harus dikerdjakan bagi mempertahankan

kemerdekaan nasional kita, serta menjempurnakan roda organisasi pemerintahan kita, daripada terburu-buru memilih pihak di antara dua blok dunia jang telah bertentangan itu, jang pada hakekatnja belum tentu lagi apa untung, manfaatnja bagi negara kita ini. Sebaliknja kerugian daripada akibat memilih pihak itu, mudah dapat diramalkan, karena dengan demikian kita sudah mentjeburkan diri dalam kantjah pertentangan jang tak tentu udjung pangkalnja… Dan sungguh tepat utjapan Hatta jang mengatakan bahwa

‘kemerdekaan kita harus ditjapai dengan kepertjajaan terhadap diri sendiri dan tidak dengan spekulasi dalam keadaa internasional’”. [13]

Ormas Islam NU juga mendukung pemerintahan Hatta. Dalam konferensinya di Jepara antara lain memutuskan bahwa kabinet Hatta harus dipertahankan terus sampai diadakan pemilihan umum.[14]

Pada awal bulan September, kekuatan PKI secara jumlah di bawah pimpinan Musso telah cukup kuat. FDR pimpinan Amir telah bubar. Pesindo (milisi FDR), telah menjadi

pasukan bersenjata resmi komunis. Taktik stoomwals Moesso telah berhasil menempatkan 116 perwakilan di KNIP. Namun jumlah ini masih belum cukup

memenangkan suara mayoritas untuk mendapatkan kekuasaan melalui jalan parlementer. Sementara itu, beberapa pimpinaN PKI di Yogyakarta di antaranya Alimin, Sakiman, Tan Ling Djie, Abdoel Madjid, dan lain-lainnya masih berupaya mengajak Masyumi dan PNI untuk membentuk satu Front Nasional. Secara formal Masyumi menolak ajakan itu mengingat pengalamannya dan pengalaman seluruh rakyat dengan pendirian dan

tindakan FDR yang sekarang masuk PKI.[15] PNI juga menolak dua hari kemudian. Penolakan dua partai ini dilanjutkan dengan mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk mendukung pemerintahan Hatta dan mendesak segera menggunakan “tangan besi Hatta”.[16] Keseriusan ajakan PKI ini patut dipertanyakan. Sebab Moesso Musso pernah mengatakan sambil tertawa, “Buat pertama–tama masih dapat dipakai tenaga-tenaga dari segala aliran partai, tapi pada satu waktu, mereka itu akan disikat oleh Partai Komunis. Karena hanja PKI lah jang dapat menjelesaikan revolusi.”[17]

Dalam dokumen Sejarah Partai Komunis Indonesia PKI Oby (Halaman 35-41)