• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Partai Komunis Indonesia PKI Oby

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah Partai Komunis Indonesia PKI Oby"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

Sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI):

Obyektivitas atau Subyektivitas

Partai Komunis Indonesia

https://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia - diakses 24-09-2017

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah sebuah partai politik di Indonesia yang telah bubar. PKI adalah partai komunis non-penguasa terbesar di dunia

setelah Rusia dan Tiongkok sebelum akhirnya PKI dihancurkan pada tahun 1965 dan dinyatakan sebagai partai terlarang pada tahun berikutnya.[1][2]

Pendiri Henk Sneevliet

Didirikan Mei 1914

Dibubarkan 12 Maret 1966

Kantor pusat Jakarta

Surat kabar Soeara Rakjat Harian Rakjat

Sayap pelajar CGMI

(2)

Sayap perempuan Gerwani

Sayap buruh SOBSI

Sayap petani BTI

Keanggotaan (1960) 3 juta

Ideologi Komunisme,

Marxisme-Leninisme

Afiliasi internasional Komintern (sampai 1943)

Warna resmi Merah

Simbol pemilu

Palu arit

Pelopor

Henk Sneevliet dan kaum sosialis Hindia Belanda lainnya membentuk serikat tenaga kerja di pelabuhan pada tahun 1914, dengan nama Indies Social Democratic

Association (dalam bahasa Belanda: Indische Sociaal Democratische Vereeniging-, ISDV). ISDV pada dasarnya dibentuk oleh 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP dan Partai Sosialis Belanda yang kemudian menjadi SDP komunis, yang berada dalam kepemimpinan Hindia Belanda.[3] Para anggota Belanda dari ISDV

memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi orang-orang Indonesia mencari cara untuk menentang kekuasaan kolonial.

(3)

di Hindia Belanda sejak tahun 1900. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV dan menolak untuk bekerja sama dengan pemerintah karena menolak "berpura-pura" menjadi Dewan Masyarakat (Volksraad Volksraad (Hindia Belanda). Pada tahun 1917 kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri, dan membentuk partai sendiri dengan nama Partai Demokrat Sosial Hindia. Pada tahun 1917 ISDV meluncurkan sendiri publikasi pertama berbahasa Indonesia, Soeara Merdeka.

Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti di Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah 'Pengawal Merah' dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.[butuh rujukan]

Sementara itu, ISDV membentuk blok dengan organisasi anti-kolonialis Sarekat Islam. Banyak anggota SI seperti dari Surabaya, Semaun dan Darsono dari Solo tertarik dengan ide-ide Sneevliet. Sebagai hasil dari strategi Sneevliet akan "blok dalam", banyak

anggota SI dibujuk untuk mendirikan revolusioneris yang lebih dalam Marxis-didominasi Sarekat Rakjat.[4]

ISDV terus bekerja secara klandestin. Meluncurkan publikasi lain, Soeara Rakyat. Setelah kepergian paksa beberapa kader Belanda, dalam kombinasi dengan pekerjaan di dalam Sarekat Islam, keanggotaan telah berpindah dari mayoritas Belanda ke mayoritas Indonesia. Pada tahun 1919 hanya memiliki 25 anggota Belanda, dari total anggota yang kurang dari 400.[butuh rujukan]

Pembentukan dan Pertumbuhan

Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah

menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaun adalah ketua partai dan Darsono menjabat sebagai wakil ketua. Sekretaris, bendahara, dan tiga dari lima anggota komite adalah orang Belanda.[4] PKH adalah partai komunis Asia pertama yang menjadi

bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai pada kongres kedua Komunis Internasional 1921.

(4)

indonesia. Pada saat yang sama, pemerintah kolonial Belanda menyerukan tentang pembatasan kegiatan politik, dan Sarekat Islam memutuskan untuk lebih fokus pada urusan agama, meninggalkan komunis sebagai satu-satunya organisasi nasionalis yang aktif.[5]

Bersama Semaun yang berada jauh di Moskow untuk menghadiri Far Eastern Labor Conference pada awal 1922, Tan Malaka mencoba untuk mengubah pemogokan terhadap pekerja pegadaian pemerintah menjadi pemogokan nasional untuk mencakup semua serikat buruh Indonesia. Hal ini ternyata gagal, Tan Malaka ditangkap dan diberi pilihan antara pengasingan internal atau eksternal. Dia memilih yang terakhir dan berangkat ke Rusia.[5]

Pada Mei 1922, Semaun kembali setelah tujuh bulan di Rusia dan mulai mengatur semua serikat buruh dalam satu organisasi. Pada tanggal 22 September, Serikat Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Persatuan Vakbonded Hindia) dibentuk.[6]

Pada kongres Komintern kelima pada tahun 1924, ia menekankan bahwa "prioritas utama dari partai-partai komunis adalah untuk mendapatkan kontrol dari persatuan buruh" karena tidak mungkin ada revolusi yang sukses tanpa persatuan kelas buruh ini

Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).[7]

Pemberontakan 1926

Pada Mei 1925, Komite Exec dari Komintern dalam rapat pleno memerintahkan komunis di Indonesia untuk membentuk sebuah front anti-imperialis bersatu dengan organisasi nasionalis non-komunis, tetapi unsur-unsur ekstremis didominasi oleh Alimin

& Musso menyerukan revolusi untuk menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda.[8] Dalam sebuah konferensi di Prambanan, Jawa Tengah, serikat buruh perdagangan yang dikontrol komunis memutuskan revolusi akan dimulai dengan pemogokan oleh para pekerja buruh kereta api yang akan menjadi sinyal pemogokan yang lebih umum dan luas untuk kemudian revolusi akan bisa dimulai. Hal ini akan mengarah pada PKI yang akan menggantikan pemerintah kolonial.[8]

(5)

Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Tan Malaka memprediksi bahwa pemberontakan akan gagal, karena

menurutnya basis kaum proletar Indonesia adalah rakyat petani bukan buruh seperti di Uni Soviet. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi.

Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.

Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Musso kembali dari pengasingan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia.

Kemudian PKI bergerak di berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berpihak pada PKI [10].

Kebangkitan pasca-perang

PKI muncul kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, dan secara aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan dari Belanda. Banyak unit bersenjata berada di bawah kontrol atau pengaruh PKI. Meskipun milisi PKI memainkan peran penting dalam memerangi Belanda, Presiden Soekarno khawatir bahwa semakin kuatnya pengaruh PKI akhirnya akan mengancam posisinya. Selain itu, pertumbuhan PKI bermasalah sektor sayap kanan lebih dari pemerintahan Indonesia serta beberapa kekuatan asing, khususnya semangat penuh anti-komunis dari Amerika Serikat. Dengan demikian hubungan antara PKI dan kekuatan lain yang juga berjuang untuk kemerdekaan pada umumnya berjalan sengit.

Pada Februari 1948 PKI dan Partai Sosialis membentuk front bersama, yaitu Front Demokrasi Rakyat. Front ini tidak bertahan lama, namun Partai Sosialis kemudian bergabung dengan PKI. Pada saat itu milisi Pesindo berada di bawah kendali PKI. Pada tanggal 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Jakarta setelah dua belas tahun di Uni Soviet. Politibiro PKI direkonstruksi, termasuk D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Njoto. Pada 5 September 1948 dia memberikan pidato anjuran agar Indonesia merapat kepada Uni Soviet. Dan anjuran itu berujung pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur.

Peristiwa Madiun 1948

(6)

unit bersenjata dari Partai Republik kembali dari zona konflik. Hal ini memberikan beberapa keyakinan sayap kanan Indonesia bahwa mereka akan mampu menandingi PKI secara militer. Unit gerilya dan milisi di bawah pengaruh PKI diperintahkan untuk membubarkan diri. Di Madiun kelompok militer PKI menolak untuk pergi bersama dengan perlucutan senjata para anggota yang dibunuh pada bulan September tahun yang sama. Pembunuhan itu memicu pemberontakan kekerasan. Hal Ini memberikan alasan untuk menekan PKI. Hal ini diklaim oleh sumber-sumber militer bahwa PKI telah mengumumkan proklamasi 'Republik Soviet Indonesia' pada tanggal 18 September dengan menyebut Musso sebagai presiden dan Amir Syarifuddin sebagai perdana

menteri. Pada saat yang sama PKI mengecam pemberontakan dan meminta tenang. Pada 30 September Madiun diambil alih oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan 36 000 dipenjara. Di antara beberapa pemimpin yang dieksekusi termasuk Musso yang dibunuh pada 31 Oktober saat tertangkap di Desa Niten Kecamatan

Sumorejo, Ponorogo. Diduga ketika Musso mencoba melarikan diri dari penjara. Aidit dan Lukman pergi ke pengasingan di Republik Rakyat Tiongkok. Namun, PKI tidak dilarang dan terus berfungsi. Rekonstruksi partai dimulai pada tahun 1949.

Bangkit kembali

Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda

seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165.000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959 [11]

Oposisi lanjutan oleh Belanda terhadap Irian Jaya adalah masalah yang sering diangkat oleh PKI selama tahun 1950.

Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan-pemogokan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas oleh kubu yang menentang PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu. Pada Februari 1958 sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan pro-AS antara militer dan politik sayap kanan. Para pemberontak, yang berbasis

di Sumatera dan Sulawesi, memproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesiapada tanggal 15 Februari. Pemerintah Revolusioner yang terbentuk ini segera mulai menangkapi ribuan anggota PKI di daerah di bawah kendali mereka. PKI

mendukung upaya Soekarno untuk memadamkan pemberontakan, termasuk pemberlakuan hukum darurat militer. Pemberontakan itu akhirnya dikalahkan. Pada bulan Agustus 1959 terjadi upaya atas nama militer untuk mencegah

(7)

Sukarno sendiri. Pada tahun 1960 Sukarno meluncurkan slogan Nasakom, singkatan dari Nasionalisme, Agama, Komunisme. Dengan demikian peran PKI sebagai mitra junior dalam pemerintahan Sukarno resmi dilembagakan. PKI menyambut baik peluncuran konsep Nasakom, melihatnya dari segi front persatuan multikelas.

Pemilu 1955

Sebelum pemilihan 1955, PKI disukai Sukarno untuk rencana 'demokrasi terpimpin' dan merupakan pendukung aktif Sukarno.[12] Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.

Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada

September 1957, Masjumi yang merasa tersaingi oleh PKI secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang [13].

Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.

Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia(PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk

memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.

Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan

slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas dan multi-golongan.

1960

(8)

tanggal 8 Juli, Harian Rakyat menerbitkan sebuah artikel yang mengkritik kebijakan pemerintah. Pemimpin PKI sempat ditangkap oleh militer, namun kemudian dibebaskan atas perintah dari Sukarno.

Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya, dan baik PKI maupun Partai Komunis Malaya menganggap pembentukan Malaysia sebagai proyek neo-kolonialisme dan neo-imperialisme Inggris dan sekutunya.

Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani

Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.

Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI

menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang

dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil

mencapai Semenanjung Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba. Sebagian satuan tempur PKI aktif di wilayah perbatasan Kalimantan.

Salah satu hal yang dilakukan PKI setelah masuk kedalam pemerintahan Orde Lama adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, Pimpinan PKI bermaksud dengan dibentuknya angkatan kelima ini diharapkan dapat mendukung mobilisasi massa untuk menuntaskan Operasi Dwikora dalam menghadapi Malaysia. Namun, hal ini membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya

penyelewengan senjata yang dilakukan PKI.

Pada Januari 1964 PKI mulai menyita properti Inggris yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan Inggris di Indonesia.

(9)

Pembunuhan massal dan akhir dari PKI

Sukarno bertindak menyeimbangkan antara PKI, militer, faksi nasionalis, dan kelompok-kelompok Islam terancam oleh kepopuleran PKI. Pengaruh pertumbuhan PKI

menimbulkan keprihatinan bagi pihak Amerika Serikat dan kekuatan barat anti-komunis lainnya. Situasi politik dan ekonomi menjadi lebih tidak stabil; Inflasi tahunan mencapai lebih dari 600 persen dan kehidupan Indonesia memburuk.

PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin kuat. Sehingga para pesaing PKI mulai khawatir PKI akan memenangkan pemilu berikutnya. Gerakan-gerakan untuk menentang PKI mulai bermunculan, dan dipelopori oleh Angkatan Darat. Pada Desember 1964, Chaerul Saleh dari Partai Murba (dibentuk oleh mantan pemimpin PKI Tan Malaka) menyatakan bahwa PKI sedang mempersiapkan kudeta. PKI menuntut larangan Partai Murba, tuntutan itu dipaksakan kepada Soekarno pada awal 1965. Dalam konteks Konfrontasi dengan Malaysia, PKI menyerukan untuk 'mempersenjatai rakyat'. Sebagian besar pihak dari tentara Angkatan Darat melarang hal ini. Sikap Soekarno tetap secara resmi untuk tidak terlalu mengambil sikap atas hal tersebut karena Sukarno cenderung mendukung Konfrontasi dengan Malaysia seperti PKI. Pada bulan Juli sekitar 2000 anggota PKI mulai menggelar pelatihan militer di dekat pangkalan udara Halim. Terutama dalam konsep 'mempersenjatai rakyat' yang telah memenangkan banyak dukungan di antara kalangan militer Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Pada tanggal 8 September demonstran PKI memulai untuk pengepungan selama dua hari di Konsulat AS di Surabaya. Pada tanggal 14 September, Aidit

mengalamatkan kepada gerilyawan PKI untuk mendesak anggota agar waspada dari hal-hal yang akan datang. Pada 30 September Pemuda Rakyat dan Gerwani, kedua organisasi PKI terkait menggelar unjuk rasa massal di Jakarta terhadap krisis inflasi yang melanda.

Soeharto menghadiri pemakaman jenderal-jenderal yang dibunuh pada tanggal 5 Oktober 1965. (Gambar oleh Departemen Penerangan Indonesia)

(10)

Indonesia. Bukti yang mengaitkan PKI untuk pembunuhan para jenderal tidak

meyakinkan, yang mengarah ke spekulasi bahwa keterlibatan mereka sangat terbatas, atau bahwa Suharto mengorganisir peristiwa, secara keseluruhan atau sebagian, dan mengkambinghitamkan kepada komunis.[butuh rujukan] Dalam pembersihan anti-komunis

melalui kekerasan berikutnya, diperkirakan 500.000 komunis (atau dicurigai) dibunuh, dan PKI secara efektif dihilangkan (lihat Pembantaian di Indonesia 1965–1966). Jenderal Suharto kemudian mengalahkan Sukarno secara politik dan diangkat menjadi presiden pada tahun 1968, karena mengkonsolidasikan pengaruhnya atas militer dan pemerintah. Pada tanggal 2 Oktober basis di Halim berhasil ditangkap oleh pihak tentara. Harian Rakyat mengambil isu pada sebuah artikel yang berisi untuk mendukung kudeta G30S, tetapi spekulasi kemudian bangkit mengenai apakah itu benar-benar mewakili pendapat dari PKI.[siapa?] Sebaliknya pernyataan resmi PKI pada saat itu adalah bahwa upaya G30S

merupakan urusan internal di dalam angkatan bersenjata mereka. Pada tanggal 6 Oktober kabinet Sukarno mengadakan pertemuan pertama sejak 30 September. Menteri PKI hadir. Sebuah resolusi mengecam G30S disahkan. Njoto ditangkap langsung setelah pertemuan itu.

Presiden Soekarno berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang bertindak di luar kontrol dan terpancing oleh inisiasi Barat, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi terhadap kekejaman, melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu

dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.

Manifestasi besar diadakan di Jakarta dua hari kemudian, menuntut pelarangan PKI. Kantor utama milik PKI dibakar. Pada tanggal 13 Oktober organisasi Islam Ansor mengadakan aksi unjuk rasa anti-PKI di seluruh Jawa. Pada tanggal 18 Oktober sekitar seratus PKI dibunuh oleh pihak Ansor. Pemusnahan secara sistematis untuk partai telah dimulai.

Antara 300.000 sampai satu juta orang Indonesia dibunuh dalam pembunuhan massal yang digelar.[15] [4] Para korban termasuk juga non-komunis yang dibunuh karena

(11)

hal jumlah korban pembantaian oleh anti-PKI, Indonesia masuk dalam salah satu peringkat pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20 ...".[17]

Time menyajikan berita berikut pada tanggal 17 Desember 1966:

Komunis, simpatisan merah dan keluarga mereka dibantai yang mencapai ribuan. Unit tentara dilaporkan telah mengeksekusi ribuan komunis setelah diinterogasi di penjara-penjara terpencil. Berbekal pisau berbilah lebar yang disebut parang, kelompok Muslim merayap di malam hari ke rumah-rumah komunis, membunuh seluruh keluarga dan mengubur mayat mereka di kuburan dangkal.

Kampanye pembunuhan ini sangatlah kejam di beberapa daerah pedesaan di Jawa Timur, para milisi Islam menancapkan kepala korban pada tiang dan mereka mengarak melalui desa-desa. Pembunuhan telah ada pada skala tinggi sehingga pembuangan mayat menciptakan masalah sanitasi yang serius di Jawa Timur dan Sumatera Utara di mana udara lembab penuh bau busuk daging. Pengunjung dari daerah tersebut mengatakan sungai kecil dan besar yang telah benar-benar tersumbat dengan mayat tubuh.

Meskipun motif pembunuhan tampaknya bernuansa politik, beberapa ahli berpendapat bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh keadaan panik dan ketidakpastian politik. Bagian dari kekuatan anti-komunis yang bertanggung jawab atas pembantaian terdiri dari para pelaku tindak kriminal seperti para preman, yang telah diberi izin untuk terlibat dalam tindakan yang tidak masuk akal berupa kekerasan.[18] Motif lain yang terjadi juga telah dieksplorasi.

Di tingkat internasional, Kantor Berita RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Xinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.[April 2010]

Di antara daerah-daerah yang terkena dampak terburuk adalah pulau Bali, di mana PKI telah berkembang pesat sebelum tindakan kerasasan tersebut. Pada tanggal 11 November bentrokan meletus antara PKI dan PNI, yang berakhir dengan pembantaian terhadap anggota dan simpatisan yang dituduh PKI. Jika banyak dari pogrom anti-PKI di seluruh daerah lain itu dilakukan oleh organisasi-organisasi politik Islam, pembunuhan di Bali dilakukan atas nama Hindu. Bali berdiri sebagai satu-satunya tempat di Indonesia di mana tentara lokal dalam beberapa cara intervensi cenderung mengurangi praktik pembantaian tersebut.

Pada tanggal 22 November, Aidit ditangkap dan dibunuh.

Pada bulan Desember militer menyatakan bahwa Aceh telah dibersihkan dari komunis. Bersamaan, khusus Pengadilan Militer yang dibentuk untuk mengadili dan

memenjarakan para anggota PKI. Pada 12 Maret, partai PKI secara resmi dilarang oleh Suharto, dan serikat buruh pro-PKI SOBSI dilarang pada bulan April.

Penjara-penjara di Jakarta begitu penuh, hampir seluruh penjara digunakan untuk

(12)

orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik.[19]

Beberapa peristiwa yang menggemparkan itu dituangkan dalam novel fiksi populer dan difilmkan dengan judul yang sama yaitu The Year of Living Dangerously(1982).

Perkembangan pasca-1965

Meskipun mendapat perlawanan secara sporadis, PKI berdiri dengan lumpuh setelah pembunuhan 1965-1966. Sebagai hasil dari pembunuhan massal ini, kepemimpinan partai lumpuh di semua tingkat, meninggalkan banyak mantan pendukung dan kekecewaan simpatisan, tanpa pemimpin lagi, dan tidak terorganisir. Pada bulan September 1966, sisa-sisa partai politbiro mengeluarkan pernyataan kritik diri,

mengkritik kerja sama sebelumnya dengan rezim Sukarno. Setelah pembunuhan Aidit dan Njoto, Sudisman, pemimpin PKI di tingkat keempat sebelum Oktober 1963, mengambil alih kepemimpinan partai. Dia berusaha untuk membangun kembali partai atas dasar saling keterkaitan tiga kelompok anggota, namun hanya berdampak sedikit kemajuan sebelum akhirnya ia ditangkap pada Desember 1966 [20]. Pada tahun 1967 ia

dijatuhi hukuman mati.

Beberapa kader PKI telah mengungsi di sebuah wilayah terpencil di selatan Blitar, Jawa Timur menyusul tindakan kekerasan terhadap partai. Di antara para pemimpin yang hadir di Blitar adalah anggota Politbiro Rewang, teoretikus partai Oloan Hutapea, dan

pemimpin Jawa Timur Ruslan Widjajasastra. Blitar merupakan daerah tertinggal dengan PKI yang memiliki dukungan kuat di kalangan kaum tani. Pihak militer tidak menyadari bahwa PKI telah mampu mengkonsolidasikan dirinya di sana. Para pemimpin PKI ini bergabung dengan Letkol Pratomo, mantan komandan Distrik Militer Pandeglang di Jawa Barat, yang membantu memberikan pelatihan militer untuk Komunis lokal di Blitar. Namun pada Maret 1968 kekerasan meletus di Blitar, petani lokal menyerang para pemimpin dan kader Nahdatul Ulama, sebagai balasan atas Nahdatul Ulama yang telah memainkan peran dalam penganiayaan antikomunis. Sekitar 60 kader NU tewas. Namun ilmuwan politik Australia Harold Crouch berpendapat bahwa itu tidak mungkin bahwa pembunuhan kader NU di Blitar telah dilakukan atas perintah dari para pemimpin PKI di Blitar. Militer menyadari daerah kantong PKI di Blitar tersebut dan menghancurkannya pada pertengahan tahun 1968.[21]

Beberapa kader partai yang sementara di luar Indonesia pada saat peristiwa 30 September. Terutama delegasi yang cukup besar melakukan perjalanan ke Republik Rakyat Tiongkok untuk berpartisipasi dalam perayaan ulang tahun Revolusi Cina.

(13)

Sampai tahun 2004, mantan anggota PKI masih dilarang dan masuk daftar hitam dari banyak pekerjaan termasuk apabila ingin bekerja di pemerintahan, sebagaimana kebijakan rezim Soeharto yang telah dijalankan sejak pembersihan PKI tahun 1965. Selama masa presiden Abdurrahman Wahid, ia mengundang mantan buangan PKI untuk kembali ke Indonesia pada tahun 1999, dan mengusulkan menghilangkan pembatasan diskusi terbuka atas ideologi komunis. Dalam berdebat untuk penghapusan larangan itu, Wahid mengutip dari UUD 1945 Indonesia, yang tidak melarang atau bahkan secara khusus menyebutkan komunisme. Usulan Wahid itu ditentang oleh beberapa kelompok masyarakat Indonesia, khususnya kelompok Islam konservatif. Dalam sebuah protes pada April 2000, sebuah kelompok yang disebut Front Islam Indonesia berjumlah

sepuluh ribu orang datang ke Jakarta terkait usulan Wahid. Tentara tidak segera menolak proposal tersebut, namun menjanjikan "studi komprehensif dan teliti" terhadap ide tersebut.[22]

Wacana permintaan maaf

Presiden Joko Widodo berencana akan meminta maaf kepada keluarga korban PKI yang telah menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa pembangunan Orde Baru,[23] namun kabar itu dibantah langsung oleh presiden.[24][25] Menurut

Menkopolhukam Luhut Panjaitan upaya-upaya untuk rekonsiliasi pelanggaran HAM masa lampau diakui sedang dilakukan dan terus mencari format yang tepat.[26] Sedangkan

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang tengah mengupayakan langkah non yudisial atau rekonsiliasi yang berujung pada ungkapan penyesalan negara terhadap peristiwa itu dengan tetap menolak permintaan maaf oleh Presiden.[27]

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengharapkan presiden dapat mengambil inisiatif untuk meminta maaf atau menyatakan penyesalan kepada korban pelanggaran HAM pasca 1965 mengingat dampaknya begitu besar berkelanjutan ke anak, saudara dan keturunan terkait. Dengan tidak berdirinya proses peradilan pada peristiwa 1965, tidak semua korban baik yang sudah dibunuh, dibuang ke pulau pengasingan maupun dipenjara terlibat langsung dengan PKI.[28]

Kontra

Beberapa ormas dan elemen agama menolak wacana permintaan maaf tersebut dan menggelar aksi unjuk rasa.[29][30] Menhan Ryamizard Ryacudu menolak permintaan maaf terhadap PKI dengan alasan PKI yang melakukan pembunuhan terhadap 7

jenderal.[31] Permintaan maaf terhadap PKI juga ditolak oleh KSAD Jenderal Gatot Nurmantyo.[32]

Penolakan permintaan maaf terhadap PKI juga datang dari budayawan Taufiq

(14)

Lihat pula

 Komunisme  Sosialisme  Marhaenisme  Karl Marx  Friedrich Engels  Manifesto Komunis  Komunisme di Sumatra  Angkatan Kelima

 Badan Permusjawaratan Partai-Partai  Gerwani

 Lembaga Kebudajaan Rakjat  Pemuda Rakyat Bersatu

 Pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1926  Peristiwa Madiun 1948

 Gerakan 30 September 1965

 Pembantaian di Indonesia 1965–1966  Orde Baru

 Jejak Langkah Orde Baru  Sarwo Edhie Wibowo

 Resimen Para Komando Angkatan Darat  Sejarah Indonesia (1965-1966)

Referensi umum

 Crouch, Harold (1978). The Army and Politics in Indonesia. Ithaca, New York:

Cornell University Press. ISBN 0-8014-1155-6.

 Mortimer, Rex (1974). Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and

Politics, 1959-1965. Ithaca, New York: Cornell University Press. ISBN 0-8014-0825-3.

 Ricklefs, M.C. (1982). A History of Modern Indonesia. London: MacMillan. ISBN

0-333-24380-3.

 Sinaga, Edward Djanner (1960). Communism and the Communist Party in

Indonesia (MA Thesis). George Washington University School of Government.

 Roosa, John (2006). Pretext for Mass Murder, The September 30th Movement &

(15)

Catatan

1. ^ Mortimer (1974) p19 2. ^ Ricklefs(1982)p259 3. ^ marxist.com

4. ^ ab Sinaga (1960) p2

5. ^ ab Sinaga (1960) p7

6. ^ Sinaga (1960) p9

7. ^ George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Cornell University Press: Ithaca. New York, 1952) p. 77.

8. ^ ab Sinaga (1960) p10

9. ^ [1], Independent-Bangladesh.com, diakses 28 April 2008 10.^ [2], Marxists.org, diakses 28 April 2008

11.^ 'Communism and Stalinism in Indonesia', WorkersLiberty.org, diakses 28 April 2008

12.^ Indonesians Go to the Polls: The Parties and their Stand on Constitutional Issues by Harold F. Gosnell. In Midwest Journal of Political Science May, 1958. p. 189

13.^ 'The Sukarno years: 1950 to 1965', Gimonca.com, diakses 28 April 2008 14.^ Benjamin, Roger W.; Kautsky, John H.. Communism and Economic

Development, in The American Political Science Review, Vol. 62, No. 1. (Mar., 1968), pp. 122.

15.^ Robert Cribb, ed., The Indonesian killings of 1965-1966: studies from Java and Bali (Clayton, Vic.: Monash University Centre of Southeast Asian Studies, Monash Papers on Southeast Asia no 21, 1990).

16.^ Totten, Samuel (2004). Century of Genocide. New York: Routledge. p. 239.; Robert Cribb, "How many deaths? Problems in the statistics of massacre in Indonesia (1965-1966) and East Timor (1975-1980)" Violence in Indonesia. Ed. Ingrid Wessel and Georgia Wimhöfer. Hamburg: Abera, 2001. 82-98. [3] 17.^ Kahin, George McT. and Kahin, Audrey R. Subversion as Foreign Policy: The

Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia. New York: The New Press, 1995.

18.^ Totten, Samuel (2004). Century of Genocide. New York: Routledge. p. 238. 19.^ "Lembaran Hitam Komunis di Indonesia". plasa.msn.com. September 2013.

Diakses tanggal 12 April 2014. 20.^ Harold Crouch, 226-27. 21.^ Harold Crouch, 227.

22.^ Asian News Digest (2000) 1(18):279 and 1(19):295-296.

(16)

24.^ "G30S 1965, Jokowi Bicara Permintaan Maaf ke Keluarga PKI". tempo. Diakses tanggal 30 September 2015.

25. ^ "Istana Resah Presiden Jokowi Diisukan Minta Maaf ke PKI". tribunnews. Diakses tanggal 30 September 2015.

26.^ "Luhut: Tak Ada Permintaan Maaf Soal PKI, Tapi Pemerintah Akan Rekonsiliasi". news.detik. Diakses tanggal 30 September 2015.

27.^ "Jaksa Agung: Bukan Minta Maaf ke PKI, Tapi Penyesalan atas Peristiwa Itu". news.detik. Diakses tanggal 30 September 2015.

28.^ "Komnas HAM: Presiden minta maaf kepada korban, bukan kepada PKI". bbc.com. Diakses tanggal 30 September 2015.

29.^ "Ketum PBNU Ingatkan Jokowi Tidak Minta Maaf ke PKI". news.detik. Diakses tanggal 30 September 2015.

30.^ "Banser Jatim Tolak Presiden Jokowi Minta Maaf ke PKI". tribunnews. Diakses tanggal 30 September 2015.

31.^ http://news.okezone.com/read/2015/08/18/337/1198281/permohonan-maaf-jokowi-ke-pki-masih-terus-digodok

32.^ http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/07/12/nrcr1s-isu-pemerintah-minta-maaf-ke-korban-g-30-s-pki-ini-jawaban-gatot-nurmantyo 33.^

(17)

Peregolakan politik Indonesia 1965

Pihak terlibat

 Blok Barat (Dokumen Gilchrist) - Dewan Jenderal - Dewan Revolusi Indonesia (Resimen Tjakrabirawa - Untung Syamsuri) – Partai Komunis Indonesia (Angkatan Kelima - D.N. Aidit) - Presiden Indonesia (Soekarno) - Tentara Nasional Indonesia

(A.H. Nasution - Soeharto

Peristiwa utama  Gerakan 30 September - Tritura - Surat Perintah Sebelas Maret

Peristiwa lanjutan  Pembantaian terduga komunis 1965-1966 - Orde Baru

Artikel terkait  Cornell Paper - Daftar tokoh yang meninggal dalam pembersihan anti-komunis Indonesia - Nawaksara

(18)

)0(

Pemberontakan PKI 1948

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemberontakan_PKI_1948 - diakses 24-09-2017 Pemberontakan PKI 1948 atau yang juga disebut Peristiwa Madiun adalah

pemberontakan komunis yang terjadi pada tanggal 18 September 1948 di kota Madiun. Pemberontakan ini dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai-partai kiri lainnya yang tergabung dalam organisasi bernama "Front Demokrasi Rakyat" (FDR).

Latar Belakang

Pemberontakan ini diawali dengan jatuhnya kabinet RI yang pada waktu itu dipimpin oleh Amir Sjarifuddin karena kabinetnya tidak mendapat dukungan lagi sejak

disepakatinya Perjanjian Renville. Lalu dibentuklah kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri, namun Amir beserta kelompok-kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan pergantian kabinet tersebut.

Dalam sidang Politbiro PKI pada tanggal 13-14 Agustus 1948, Musso, seorang tokoh komunis Indonesia yang lama tinggal di Uni Soviet (sekarang Rusia) ini menjelasan tentang “pekerjaan dan kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik” dan menawarkan gagasan yang disebutnya “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Musso menghendaki satu partai kelas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi tiga partai yang beraliran Marxsisme-Leninisme: PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PKI hasil fusi ini akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut "Komite Front Nasional".

Selanjutnya, Musso menggelar rapat raksasa di Yogya. Di sini dia melontarkan pentingnya kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerjasama internasional, terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda. Untuk menyebarkan gagasannya, Musso beserta Amir dan kelompok-kelompok kiri lainnya berencana untuk menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Penguasaan itu dilakukan dengan agitasi, demonstrasi, dan aksi-aksi pengacauan lainnya.[1]

Rencana itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh di kota Surakarta, serta mengadudomba kesatuan-kesatuan TNI setempat, termasuk kesatuan Siliwangi yang ada di sana.

(19)

Pemberontakan

Sementara perhatian semua pihak pro-pemerintah terkonsentrasi pada pemulihan Surakarta, pada 18 September 1948, PKI/FDR menuju ke arah timur dan menguasai Kota Madiun, Jawa Timur, dan pada hari itu juga diproklamasikan berdirinya "Republik Soviet Indonesia". Hari berikutnya, PKI/FDR mengumumkan pembentukan

pemerintahan baru. Selain di Madiun, PKI juga mengumumkan hal yang sama pula di Pati, Jawa Tengah.[2] Pemberontakan ini menewaskan Gubernur Jawa Timur RM Suryo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, serta beberapa petugas polisi dan tokoh agama.

Akhir

Untuk memulihkan keamanan secara menyeluruh di Madiun, pemerintah bertindak cepat. Provinsi Jawa Timur dijadikan daerah istimewa, selanjutnya Kolonel Sungkono diangkat sebagai gubernur militer. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948 dipimpin oleh Kolonel A. H. Nasution.[3]

Sementara sebagian besar pasukan TNI di Jawa Timur berkonsentrasi menghadapi Belanda, namun dengan menggunakan 2 brigade dari cadangan Divisi 3 Siliwangi serta kesatuan-kesatuan lainnya yang mendukung Republik, semua kekuatan pembetontak akhirnya dapat dimusnahkan.[4]

Salah satu operasi penumpasan ini adalah pengejaran Musso yang melarikan diri ke Sumoroto, sebelah barat Ponorogo. Dalam peristiwa itu, Musso berhasil ditembak mati. Sedangkan Amir Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kiri lainnya berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Amir sendiri tertangkap di daerah Grobogan, Jawa Tengah. Sedangkan sisa-sisa pemberontak yang tidak tertangkap melarikan diri ke arah Kediri, Jawa Timur.[5]

Lihat juga

 Gerakan 30 September

 Pembantaian di Indonesia 1965–1966

Catatan kaki

1. ^ "Akhir Tragis Republik Komunis". historia.co.id. Diakses tanggal 30 September 2015.

(20)

Bacaan lebih lanjut

 Friend, T. (2003). Indonesian Destinies. Harvard University Press. ISBN

0-674-01137-6.

 Kahin, George (1970). Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornel University

Press. ISBN 0-8014-9108-8.

 Kreutzer, Rudi (1981). The Madiun Affair: Hatta's Betrayal of Indonesia's First

Revolution. James Cook University. ISBN 0-86443-027-2.

 Pinardi (1966). Peristiwa Coup Berdarah P.K.I. September 1948 di Madiun.

Inkopak-Hazera.

 Poeze, H. A. (2008). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. Yayasan

Obor Indonesia. ISBN 9789794616970.

 Poeze, Harry A. (2009). "The Cold War in Indonesia, 1948". Journal of Southeast

Asian Studies 40 (Special Issue 3: Asian Cold War Symposium): 497– 517. doi:10.1017/S002246340999004X.

 Soe, Hok Gie (1997). Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yayasan Bentang

Budaya.

 Sugiyama, Akiko (2011). "Remembering and forgetting Indonesia's Madiun Affair:

personal narratives, political transitions, and historiography, 1948– 2008". Indonesia 92: 19–42.

)0(

Pemberontakan PKI tahun 1926-1927, 1948 dan

1965

Penulis Toto Gutomo, pada 13 Okt 2011

http://iwaka91.blogspot.co.id/2011/10/pemberontakan-pki-tahun-1926-1927-1948.html - diakses 24-09-2017

Lokasi, Waktu, Latar Belakang, dan Sikap Pemerintah Oleh: Toto Gutomo[1]

A. Tahun 1926 – 1927

1. Sumatera Barat

Masuknya pengaruh PKI ke Sumatera Barat tidak lepas dari peran serta pemuka agama Islam, Haji Datuk Batuah yang membawa dan menyebarkan paham komunis di daerah tersebut. Pada tahun 1923 ia menanamkan ajaran komunis di kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru muda Sumatera Thawalib Padang Panjang[2]. Oleh masyarakat setempat ajaran komunis ini disebut “ilmu kominih” (Schrieke, 1960: 155), yakni

(21)

Desember 1925 di Prambanan, Yogyakarta diadakan pertemuan partai yang dipimpin oleh Alimin. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh PKI, diantaranya Budi Sucipto, Aliarcham, Sugono, Surat Hardjo, Martojo, jatim, Sukirno, Suwarno, Kusno dan lain-lainnya. Sedang Said Ali, pemimpin PKI cabang Sumatera Barat pada pertemuan ini hadir mewakili seluruh Sumatera. Kemudian diputuskan:

a. Sejalan dangan Surat Edaran Komite Pusat PKI No.221[3] maka PKI cabang Sumatera Barat berusaha mengumpulkan senjata.

b. Mengadakan aksi-aksi ilegal. Ini terutama dilakukan dalam bentuk membangun sel-sel PKI di derah-daerah pertanian dalam rangka memperkuat semangat perlawanan. c. Memperkuat propaganda di kalangan buruh-buruh tani.

Gelagat pemberontakan tercium Pemerintah kolonial Belanda kemudian segera melakukan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin PKI dengan tuduhan hendak memberontak. Sekalipun para pemimpin PKI Sumatera Barat telah banyak yang ditangkap dan dipenjarakan, akan tetapi pada akhirnya pemberontakan tetap meletus juga, pendukung PKI akhirnya mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Banten, yang meletuskan pemberontakan pada pertengahan November 1926. Mereka menyerang kedudukan pemerintah. Selanjutnya di Tanjung Ampulu, pada tanggal 1 Januari 1927 terjadi pembakaran rumah milik para pegawai pemerintah Kolonial Belanda dan kaki tangannya. Di Padang Siberuk para pemberontak membunuh kepala nagari dan beberapa penduduk yang dianggap kaki tangan Belanda. Di Silungkang, markas besar kaum pemberontak, terjadi pembunuhan terhadap opsir-opsir Belanda dan beberapa orang guru agama serta tukang emas yang dianggap bekerja sama dengan Belanda.

2. Jawa Barat (Kabupaten Lebak – Madiun)

Masuknya komunisme dikalangan masyarakat menggunakan Islam sebagai senjata propagandanya, pengertian komunis ditekankan sebagai usaha

menentang Belanda dan dipersamakan dengan perang sabil. Hal tersebut kemudian dipertegas oleh Alimin dan Musso yang datang ke Pandeglang sekitar tahun 1925. Di hadapan massa, kedua tokoh PKI ini menguraikan secara panjang lebar

soal-soal perjuangan bangsa menghadapi penjajahan Belanda. Dengan

demikian, dalam usahanya mendapatkan dukungan dari rakyat Banten, para proganda PKI menghilangkan pengertian komunisme, tetapi kemudian lebih mengedepankan persamaan perjuangan antara Islam dan PKI. Oleh karena itu, para ulama Banten tidak menentang kehadiran PKI di Banten bahkan di antara para ulama itu kemudian ada yang menjadi pengurus PKI Cabang Banten. Selain itu

dukungan juga datang dari golongan petani yang dijanjikan akan dibebaskan dari pajak kepal/perorangan (hoofdgeld).

Dengan meningkatnya aktivitas PKI Banten, bulan Juli – September 1926, pemerintah Hindia Belanda melakukan penangkapan terhadap

beberapa pemimpin PKI Banten.[4] Penahanan ini

mengakibatkan pimpinan PKI berada di bawah tangan para ulama dan jawara. Golongan inilah yang kemudian memimpin para petani melancarkan

(22)

dianggap mencemari

nama baik Banten. Sementara orang Cina tidak menjadi sasaran karena ada indikasi keterlibatan secara tidak langsung dalam pemberontakan tersebut[5].

Pada tanggal 6 November 1926, pecahlah pemberontakan PKI yang ditandai dengan penyerbuan kota Labuan pada tengah malam oleh ratusan orang bersenjata. Pemerintah Hindia Belanda segera melakukan tindakan terhadap para

pemberontak. Pada tanggal 13 November 1926, pemerintah kolonial telah melakukan penangkapan di berbagai tempat di Banten, di antaranya enam kali di Kabupaten Lebak. Sehari kemudian, pemberontakan PKI Banten berhasil dipadamkan oleh pemerintah kolonial dan sampai bulan Desember 1926, pemerintah kolonial masih melakukan penangkapan kepada para pelaku

pemberontakan. Para pemberontak yang berhasil ditangkap kemudian dibuang ke Boven Digul[6], dipenjaran dan atau dihukum mati.

Dengan dihancurkannya komunisme dan semakin tidak berdayanya Islam sebagai kekuatan politik, agaknya zaman bagi nasionalisme telah tiba dan lahirlah PNI pada 4 Juli 1927 dengan Sukarno sebagai Ketua.

B. Tahun 1948

Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dawali dengan ketidakpuasan terhadap hasil persetujuan Renville yang dianggap merugikan pihak Indonesia, kabinet Amir

Syarifuddin dijatuhkan pada 23 Januari 1948 dan menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta yang terkenal dengan Re-Ra[7]. Amir kemudian menjadi “golongan kiri” diluar pemerintahan republik memulai suatu usaha yang menimbulkan bencana untuk mendapatkan kembali kekuasaan. Februari 1948 berganti nama menjadi Front Demokrasi Rakyat dan mencela persetujuan Renville yang

sebetulnya dirundingkan sendiri oleh pemerintahan Amir.

11 Agustus 1948 Musso (pemimpin PKI tahun 1920-an) tiba di Yogyakarta dari Unisoviet memberi kekuatan tersendiri ditubuh PKI, ditambah lagi partai-partai dalam tubuh FDR menyatakan bersatu dengan PKI. Pertengahan September pertempuran terjadi antara yang Pro-PKI dan Pro-pemerintah yang pada 17 September dapat dipukul mundur hingga mereka mundur ke Madiun yang kemudian begabung dengan satuan-satuan yang Pro-PKI lainnya. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Tujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis.[8]

Tanggapan pemerintah yang cepat dapat dilihat melalui kecaman pemberontak melalui radio oleh Sukarno dan menghimbau bangsa Indonesia bergabung bersama dirinya dan Hatta daripada dengan Musso dan rencananya membentuk pemerintahan gaya Soviet. Dihadapkan pada dua pilihan, banyak satuan militer yang pada dasarnya bersimpati kepada pihak anti-pemerintah meilih menjauhkan diri, begitu juga FDR di Banten dan Sumatera mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan gerakan Madiun.[9]

(23)

tahanan.[10] Dalam aksi pemberontakan dan penumpasan ini banyak sekali berjatuhan korban jiwa, baik dari kubu PKI maupun dari pemerintah.

C. Tahun 1965

Doktrin Nasakom yang dikembangkan oleh Presiden Soekarno memberi keleluasaan PKI untuk memperluas pengaruh. Usaha PKI untuk mencari pengaruh didukung oleh kondisi ekonomi bangsa yang semakin memprihatinkan. Dengan adanya nasakomisasi tersebut, PKI menjadi salah satu kekuatan yang penting pada masa Demokrasi Terpimpin bersama Presiden Soekarno dan Angkatan Darat.[11]

Pada pertengahan tahun 1965, berita sakitnya Sukarno memanggil Aidit yang tengah melakukan perjalanan ke Cina untuk pulang sekaligus membawa ahli medis dari Cina. Melihat kondisi Sukarno, pada ahli menyimpulkan bahwa Sukarno akan segera meningggal atau mengalami kelumpuhan permanen. Disis lain terhembus bahwa ada “Dewan Jendral” yang hendak memberontak pemerintah berdasarkan bukti dari pernyataan-pernyataan Aidit dan dengan ditemukannya

Telegram Gilchrist.[12] Kaitannya dengan pihak Inggris adalah bersangkut paut dengan persoalan Malaysia.

Usulan pembentukan angkatan kelimapun dilontarkan oleh pihak PKI yang menghendaki masyarakat dipersenjatai, meski hal ini menimbulkan konflik antara PKI dan Angkatan Darat yang dengan terpaksa, Jenderal Achmad Yani menyatakan bahwa Presiden berhak mengambil keputusan semacam itu, selain itu adapula

serangan-serangan terbuka terhadap pada elite Angkatan Darat yang berkaitan dengan gaya hidup mereka yang penuh dengan kemewahan maupun dengan sikap-sikap reaksioner yang mereka tampilkan. Ditengah situasi yang demikian, tiba-tiba Sukarno jatuh sakit yang pada gilirannya memunculkan perkejolakan kekuasaan dan mendorong Aidit untuk lebih berjaga-jaga.

Angkatan Daratpun menyelenggarakan pertemuan-pertemuan secara teratur, meski isu tentang Dewan Jendral yang hendak menggulingkan pemerintah semaki merebak luas, hingga pada kritik PKI yang mencap mereka sebagai koruptor dan kapitalis birokrat.

Pada tanggal 30 September malam 1 Oktober 1965, ketegangan-ketegangan meletus karena terjadinya percobaan kudeta di Jakarta yang didalamnya terdapat skenario penculikan jenderal-jenderal yang berakhir dengan pembunuhan sadis. Tepat menjelang fajar Soeharto yang tidak masuk dalam daftar penculikan, pergi ke kostrad setelah mendengar berita tersebut dan langsung mengambil alih komando atas angkatan bersenjata dengan persetujuan jenderal-jenderal angkatan darat.

Paginya, pihak pemberontak mengumumkan melalui radio bahwa “Gerakan 30 September” adalah suatu kelompok militer yang telah bertindak untuk melindungi Sukarno dari kudeta yang telah direncanakan oleh dewan jenderal yang menjadi kaki tangan Amerika Serikat (CIA).

Referensi:

(24)

Edman, Peter. 2005. Komunisme Ala Aidit. Center for Information Analysis Falah, Miftahul. Tt. Pemberontakan Pki 1926 Di Kabupaten Lebak. Jurnal

Karso., Imran, A., dan Setiadi, Asep. Pelajaran Sejarah Untuk SMTA Kelas 3. Bandung: Penerbit Angkasa

Nurhabsyah. 2004. Pemberontakan PKI Di Silungkung Tahun 1927. Jurnal Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Sumatera Utara

Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1994. Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang Aksi, dan Penumpasannya. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia

Sudiyo. 2003. Arus Perjuangan Pemuda Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Rineka Cipta

Internet:

http://www.mitrafm.or.id/

http://www.sejarahkita.comoj.com/jenny17.html http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Madiun

http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia

[1] Mahasiswa Program S1 Pendidikan Sejarah pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

[2] Suatu lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kalangan pembaharu Islam di Sumatera Barat, dimana haji Batuah merupakan salah seorang pengajarnya (Nurhabsyah, 2004).

[3] berisi perintah kepada cabang Padang supaya mengumpulkan uang derma yang dimaksudkan untuk membeli persenjataan yang akan digunakan untuk melakukan aksi pemberontakan

[4] Di Rangkasbitung, empat orang tokoh utama

PKI, yakni Tjondroseputro, Atjim, Salihun, dan Thu Tong Hin ditahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada akhir bulan September 1926 (Falah, TT) [5] Sebagian masyarakat Cina di Labuan dan Menes telah menjual senjata dan

(25)

menjadi pemimpin terkemuka PKI Banten, salah satunya adalah Tju Tong Hin yang bergabung dengan PKI Rangkasbitung. (Ibid)

[6] Boven Digul adalah sebuah kamp tahanan di Papua (id.wikipedia.org)

[7] Kebijaksanaan reorganisasi dan rasionalisasi angkatan perang (Re-Ra) guna membersihkan anasir komunis dari tubuh angkatan perang.

[8] Pada 18 September diumumkan melalui radio bahwa suatu pemerintahan Front Nasional yang baru telah terbentuk. (Ricklefs, 2005)

[9] Semaun dan Tan Malaka menyayangkan pemberontakan karena beranggapan PKI masih lemah dan prematur. Sebaliknya Alimin, Darsono mendukung karena merasa massa(bangsa Indonesia) mendukung gerakan PKI (Sudiyo, 2003)

[10] Hal ini mengakhiri karirnya sebagai pemimpin PKI yang berlangsung hanya delapan puluh hari (Op cit)

[11] Kekuatan pemerintahan seakan-akan tebagi menjadi tiga kubu, yakni Sukarno, PKI, dan AD

[12] Telegram yang ditemukan dikantor keduataan Inggris yang diduga dikirim dari atasannya, didalam telegram terdapat kalimat yang menyatakan ada “orang dalam” yang mendukung Inggris, yang diterjemahkan oleh Aidit sebagai Angkatan Darat (SNRI, 1994)

Komentar:

nanang mengatakan...

Coret-coret memang perlu, tapi untuk mencorat-coret sejarah PKI, musti jeli dan kritis gan..Kolonial dan PKI itu induknya sama lho yaitu filsafat materialisme, sehingga tidak benar jika peristiwa 1926, 1948 adalah penyerangan PKI terhadap kantor-kantor pemerintah..Menurut bukunya M. As'ad Ali, di masa itu PKI membuat agitasi/propaganda luar biasa untuk menebar ketakutan dengan menghancurkan surau, merampok, membunuh dll...

Kamis, 19 Februari, 2015

Kang David Blitar mengatakan...

(26)

membahas lagi , hal itu adalah sebagai proses terjadinya NKRI , jadi tidak ada yang salah dan tidak ada dimaafkan dan meminta maaf. Dan kenyataan

sebenarnya kita sekarang sudah tidak melihat turunan PKI atau bukan. Benar juga partai PKI dan ajaran dilarang di NKRI karena berlawanan dengan dasar negara Pancasila. Tapi kalau dipaksakan perbedaan akan muncul kembali. Apa boleh buat aku adalah pendukung NKRI dengan Pancasila - nya. Ayo bareng bareng membuat NKRI ayem , makmur , tentrem.

Senin, 09 Mei, 2016

)0(

Pemberontakan PKI Madiun 1948: (1) Hatta

dan Oposisi

by JEJAKISLAM1 on Oct 3, 20167:46 am

http://jejakislam.net/pemberontakan-pki-madiun-1948-1-hatta-dan-oposisi/ - diakses 24-09-2017

Pasca Indonesia merdeka, politik di tanah air terus bergerak dinamis.Kabinet naik dan jatuh karena persoalan politik.Persoalan semakin rumit ketika Belanda melancarkan serangan militernya ke Indonesia.Upaya diplomasi dilakukan, termasuk melalui

perjanjian Renville yang ditandatangani Perdana Menteri Amir Syarifoedin dari sayap kiri. Namun sebuah peristiwa pemberontakan akan mengguncang republik yang baru lahir, yaitu pemberontakan di Madiun 1948.

Peristiwa Madiun 1948 boleh dibilang puncak konflik politik antara sayap kanan dan sayap kiri.Ini berawal dari perjanjian Renville. Kala itu, pemerintah Indonesia meminta Belanda menyetop agresi militernya yang pertama. Belandamenyetujui namun dengan syarat. Salah satunya tidak mengubah Garis Van Mook.Garis Van Mookadalah batas kekuasaan yang wilayahnya diklaim oleh mereka. Padahal ada wilayah Indonesia di sana. Belanda juga mengancam, jika dalam waktu tiga hari syarat-syaratnya tidak dipenuhi, maka perundingan dihentikan. Bahkan desas-desusnya bakal dilancarkan agresi yang lebih besar.

(27)

kemauan Belanda karena percaya dengan janji Amerika yang akan mendukung Indonesia di PBB, agar terlepas dari jerat Belanda, sehingga dalam benaknya masih ada harapan untuk merdeka lewat lajur ini, ketimbang harus berperang. Maka ditandatanganilah perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Yang menjadi pokok keberatan dari penandatangan ini, Amir telah menyerahkan kembali kedaulatan Indonesia yang

sebenarnya telah diakui oleh Belanda dan dunia internasional kepada Belanda, sehingga Belanda secara legal dan berdaulat dan berkekuasaan penuh kembali atas seluruh Indonesia. Bila sebelumnya perjanjian Linggarjati mengesahkan dan mengakui kedaulatan de facto Indonesia di Jawa, Sumatera dan Madura, kini dengan

ditandatanganinya perjanjian Renville, wilayah Indonesia tinggal beberapa di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Aceh di Sumatera.[1]

Gambar 1. Amir ketika perundingan Renville. Sumber foto: Majalah Prisma 8 Agustus 1977

Ditinggal pergi Masyumi dan PNI, membuat kabinet Amir dalam krisis. Tinggal partai sayap kiri yang menyokongnya. Namun hal ini tak bertahan lama, Amir akhirnya mundur juga. Kabinetnya pun bubar. Presiden Soekarno lalu menunjuk Hatta sebagai Perdana Menteri. Tugas Hatta sangat berat. Ia harus menanggung akibat tanda tangan Amir dan berunding lagi dengan Belanda untuk memperbaki keadaan. Segera Hatta menyusun kabinet.Iaberusaha membentuk “pemerintah nasional” dan memasukkan semua partai besar ke dalam kabinetnya. Kesempatan ini diincar sayap kiri. Kemudian Hatta didukung sebagai Perdana Menteri, agar mereka mendapatkan kursi. Mereka menuntut empat kursi kepada Hatta, dengan syarat Amir sebagai Menteri Pertahanan. Partai Masyumi dan PNI yang tahu akan hal ini, menolak masuk kabinet jika tuntutan itu dipenuhi Hatta.

Masyumi, khususnya, menolak Amir menjadi Menteri Pertahanan, karena dahulu, sewaktu Amir di posisi itu, ia menggunakan dana jabatannya untuk membangun kelompok pribadi dari kalangan militer. Akhirnya Hatta menyusun kabinetnya tanpa sayap kiri.[2]

(28)

Awalnya, satu-satunya dasar oposisi sayap kiri adalah tuntutan agar kabinet presidensial Hatta diganti dengan kabinet parlementer. Dalam kabinet parlementer, Partai Sosialis (partai pusat sayap kiri) berharap mendapatkan posisi yang kuat. Mereka tetap setuju dengan pelaksanaan perjanjian Renville. Pada rapat umum di Surakarta tanggal 26 Februari, koalisi sayap kiri berganti nama jadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Amir menjadi ketuanya. Ia lebih menekankan pada kepentingan buruh dan petani.Dua Minggu setelahnya, program FDR mengalami perubahan dasar. Para anggota dari FDR (Partai Sosialis, Partai Buruh, dan Pesindo) dan perkumpulan yang terkait erat dengan FDR, yakni Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), kini, menuntut

dibatalkannya perjanjian Renville, penghentian negosiasi dengan Belanda sebelum mereka mengundurkan diri dari Indonesia, dan nasionalisasi kepemilikan Belanda dan orang asing lainnya tanpa ganti rugi. [4] Hal ini menjadi kontradiktif, karena yang menandatangani perjanjian Renville adalah Amir sendiri. Kemudian ia mau membatalkannya.

Hubungan kabinet Hatta dengan FDR makin panas. Hatta mencoba berunding dengan Amir, menawarkan kursi kepada FDR tetapi menemui jalan buntu. Dalam Memoir-nya, Hatta, menjelaskan, “Waktu pertama kali aku menawarkan kursi kepada FDR, Amir Sjarifuddin meminta 10 kursi dengan alasan, bahwa partainya sudah berpengalaman melawan Belanda. Aku menjawab, paling banyak aku dapat menerima dua orang dalam pemerintahan koalisi. Amir Sjarifoeddin menjawab, bahwa paling sedikit ia hanya mau mendapat delapan kursi dalam kabinet koalisi dan dikehendakinya yang terutama pula. Bagi dia sendiri, dia meminta Kementerian Pertahanan dan bagi kawan-kawannya terutama Kementerian Perburuhan dan Sosial, Kementerian Kemakmuran, Kementerian Pembagian Makanan, Kementerian Penerangan, Kementerian Luar Negeri,

Kementerian Perhubungan, Kementerian P.D.K (Pendidikan dan Kebudayaan –red), Kementerian Kehakiman dan Kementerian Dalam Negeri. Kujawab, bahwa sementara aku tidak mau menawarkan lebih dari satu kursi.Mr. Amir Sjarifoeddin menolak dan perundingan kami gagal. Kuberi dia tempo dua hari untuk memikirkannya. Pada hari penghabisan, datang lima orang daripada kawan-kawannya menyampaikan jawaban, tetapi mereka tetap menuntut 9 atau 10 kursi. Aku menjawab satu kursi atau sama sekali tidak. Akhirnya kukatakan, kutunggu jawaban mereka yang penghabisan, paling lambat jam 11 tengah malam, sebab jam 12 tengah malam susunan kabinet harus selesai dan terus diumumkan. Jam 11 tengah malam mereka kembali dengan delapan orang dan terus meminta paling sedikit sembilan kursi kementerian. Jawabku tetap, atau tidak dan sekarang juga mereka jawab.Kalau tidak, pintu tertutup dan mereka puang saja.

Kusuruh pelayan dan pengawalku lima orang menutup pintu. Mereka melaksanakan perintahku dan pemimpin-pemimpin FDR mereka tarik keluar. Dari sikap FDR itu aku sudah merasa, bahwa mereka akan mengadakan sabotase. Pendapatku sudah bulat, aku akan menerima satu orang dari antara mereka dan yang seorang itu ialah Mr. Amir Sjarifuddin sendiri, tapi tidak untuk Kementerian Pertahanan. Menteri Pertahanan akan kurangkap sendiri, sebab Sultan Hamengkubuwono mengatakan, bahwa ia tidak

(29)

Gambar 2.Mohammad Hatta. Sumber foto: Koleksi online Tropen Museum

Hatta, seperti Amir sebelumnya, merangkap jabatan sebagai Menteri

Pertahanan.Keesokan harinya susunan kabinet diumumkan. Di Kabinet Hatta, kursi dominan diduduki Masyumi dan PNI. Selain itu ada juga partai Katolik dan Kristen. Empat butir program diumumkan Hatta ke kabinetnya. Pertama pelaksanaan perjanjian gencatan senjata Renville dan prinsip-prinsip politik serta kelanjutan negosiasi-negosiasi dengan Belanda melalui Komisi Jasa Baik Dewan Keamanan PBB (KTN). Kedua, mempercepat pembentukan Republik Indonesia Serikat yang demokratis dan berdaulat. Ketiga, rasionalisasi ekonomi dan angkatan darat Republik. Keempat, perbaikan

kerusakan yang ditimbulkan oleh perang dan pendudukan Jepang.

FDR yang harus pulang dengan tangan hampa, tak menyerah. Mereka terus menekan pemerintah. FDR bersikukuh meminta posisi penting atau bahkan kalau mungkin membubarkan kabinet Hatta. Demi itu, mereka sekarang siap menempuh jalan revolusioner. Mereka punya dua kekuatan besar: tentara dan buruh. Dahulu sewaktu Amir jadi Menteri Pertahanan, ia bangun kekuatan pribadi di TNI angkatan darat. Mayoritas perwira penting yang disponsorinya setia dengannya. Amir dan orang-orangnya tahu lokasi persembunyian senjata dan bahan peledak yang ditaruh di daerah-daerah pegunungan untuk menghadapi agresi Belanda. Jika mau melawan pemerintah, ia hanya perlu mengambilnya. Lebih dari itu, ia juga membangun organisasi TNI

(30)

terampil dibandingkan pekerjaan yang tersedia. Di samping itu, ada sekitar 200 ribu pasukan, yang senjata dan amunisinya tidak memadai. Mengatasi masalah-masalah ini, Hatta membuat program tak populer, yaitu rasionalisasi atau dikenal dengan ReRa (Rekonstruksi dan Rasionalisasi). ReRa ini bertujuan, “memperbaiki susunan dan alat negara dan mencapai sedikit keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran negara.”[7] Di depan Badan Pekerja Parlemen pada 16 Februari 1948, Hatta berpidato,

“Perihal pendapatan negara tidak dapat menutup pengeluaran bukanlah sesuatu yang pantas diherankan. Akan tetapi selisih itu dapat diperkecil dengan rasionalisasi yang bijaksana, yaitu dengan memindahkan buruh dari pekerjaan yang tidak produktif ke aktivitas yang produktif. Pemindahan buruh ini tidak akan langsung menunjukkan suatu penurunan dalam pengeluaran negara, bahkan pada permulaan kemungkinan yang terjadi adalah sebaliknya karena untuk menciptakan perusahaan-perusahaan yang produktif dibutuhkan persiapan dan penanaman modal untuk menjalankannya. Akan tetapi, begitu persiapan selesai, buruh produktif akan mulai menghasilkan keuntungan dan pendapatan negara akan meningkat….

Istimewa terhadap angkatan perang kita, rasionalisasi harus dilakukan dengan tegas dan njata, karena disinilah banjak terdapat pemakaian tenaga jang tidak lagi produktif untuk masa datang. Kalau tidak, kita akan mengalami inflasi jang sebesar-besarnja, jang memusnahkan hidup rakjat…

Bagi setiap pekerja yang harus diberhentikan karena kelebihan pegawai, sebuah pekerjaan baru harus disediakan untuknya demi menjamin kehidupan yang layak.”[8]

Hatta menyebut, yang disampaikannya tadi sifatnya menjabarkan mosi Baharudin dalam Badan Pekerja KNIP pada tanggal 20 Desember 1947. Dan mosi ini telah diterima oleh badan itu ketika Amir masih menjabat perdana menteri.[9]

ReRa di tubuh tentara menyebabkan jumlah anggotanya tinggal 160 ribu orang. Jumlah ini diharapkan bisa berkurang lagi sampai 57 ribu orang pasukan tetap. Bagaimana nasib tentara yang diberhentikan? Hatta menempuh tiga cara. Pertama, melepaskan mereka yang sukarela kembali ke pekerjaan lama. Ada yang kembali jadi guru, partikelir, dan lain-lain. Kedua, menyerahkan mereka ke Kementerian Pembangunan dan Pemuda untuk dilatih dan dipekerjakan di berbagai badan atau obyek usaha seperti penggergajian kayu dan pembuatan barang-barang kayu. Ketiga mengembalikan seratus ribu orang ke masyarakat desa untuk bertani.[10]

Bagi FDR, program rasionalisasi ini punya dua konsekuensi. Begitu dijalankan pada permulaan Maret 1948, program ini mengakibatkan pengikisan terhadap basis kekuatan FDR di dalam angkatan darat. Meskipun pada beberapa bulan pertama hanya tipis, pengikisan ini menjadi besar ketika program tersebut mendapatkan momentum. Dengan terselenggaranya pertahanan wilayah yang berbasis petani itu. TNI masyarakat

dibubarkan. Selain itu dengan penyusunan ulang angkatan darat tetap, tidak ada

kepastian bahwa kedudukan-kedudukan penting akan jatuh ke tangan para perwira yang dulu disponsori Amir.

(31)

mendapat pekerjaan yang sesuai keterampilan mereka. Sebuah kasus dimana pemerintah bergerak lamban, seperti yang sering terjadi dalam mencarikan pekerjaan bagi mereka, atau dimana pemerintah memberi mereka pekerjaan dengan lebih sedikit bayaran atau martabatnya daripada pekerjaan mereka sebelumnya. Dan dalam kasus ini FDR seringkali diuntungkan. Dengan meluasnya ketidakpuasan di kalangan buruh terhadap program rasionalisasi pemerintah, kedudukan FDR dan SOBSI di atas angin.

Dalam Angkatan Darat sendiri, pelaksanaan rasionalisasi ditentang sebagian kalangan. Bagi banyak perwira, program ini menyebabkan mereka kehilangan martabat dan kekuasaan yang sukar mereka dapatkan. Terlepas dari kepentingan-kepentingan pribadi, beberapa di antara mereka menganggap program ini salah dan betapa pun kurangnya perlengkapan, unit-unit militer tidak boleh dibubarkan, menurut mereka. Demikian pula, sulit untuk menjelaskan para prajurit dari satu unit bahwa mereka kurang terlatih baik bila dibandingkan unit lainnya, dan sebagai akibatnya, mereka harus dibubarkan serta menyerahkan senjata mereka kepada unit lain. Selain itu, banyak prajurit dan perwira yang diberhentikan merasa tidak yakin bahwa pemerintah akan memberi ganti pekerjaan yang mereka sukai.

Meski begitu, rasionalisasi jalan terus. Sekarang perhatian utama pemerintah

merasionalisasi Angkatan Darat sudah bulat. Daerah Solo yang sulit dikuasai mendapat perhatian paling besar. Di sini, tentara Divisi Senopati yang hanya berkekuatan lima ribu orang, menunda-nunda dan menolak diberhentikan, atas perintahnya sendiri. Kelak ini memicu konflik.[11]

Sementara itu, FDR terus memaksa kabinet Hatta mengundurkan diri, lalu digantikan dengan suatu kabinet parlementer di mana FDR dapat menguasai posisi-posisi penting. Sejak Mei, FDR memulai suatu program dua sisi untuk mencapai tujuan akhir ini. Pertama, melemahkan dan mencemarkan nama baik pemerintah melalui pemogokan-pemogokan yang meluas di kalangan buruh kota dan buruh perkebunan. Program ini berhasil mengadakan pemogokan serius yang melibatkan 20 ribu pekerja perkebunan di daerah penanaman kapas di Delanggu. Pemogokan berlangsung sejak pertengahan Mei hingga pertengahan Juni. Mereka menuntut agar buruh tetap dan buruh lepas diberikan gaji 3 meter kain dan 20 kilogram (maksimal 35 kilogram) beras sekeluarga per bulan, selain uang. Masalah ini begitu krusial sehingga Hatta sampai perlu turun langsung menyelesaikannya. Mengingat ladang kapas di situ sebagai sumber utama bahan mentah untuk industri tekstil Indonesia. Terlebih saat itu sedang dikepung Belanda. Tentu produksi tekstil dalam negeri jadi sangat penting.Di samping itu, ada keributan pula. SOBSI sempat mengeroyok petani-petani Sarikat Tani Islam Indonesia yang tidak ikut mogok. Pasukan Hizbullah juga melawan para pemogok. Akibatnya beberapa pemogok jadi korban.[12]

(32)

akan berada pada kekuatan kuat untuk menuntut “Pemerintahan Nasional” yang terdiri atas semua partai untuk melaksanakan Program Nasional macam itu. [13]

Gambar 3. Pertemuan perundingan penyelesaian pemogokan di Delanggu. Tampak Perdana Menteri Moh. Hatta dan Menteri Penerangan Moh Natsir dari Masyumi. Sumber foto: HarSin Po 22 Juli 1948

Sayangnya, kedua strategi mereka gagal. Pemerintah bersedia menerima tuntutan-tuntutan buruh. Dan pemogokan ditentang keras oleh golongan kiri di bawah pimpinan Tan Malaka. Mereka tergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Tanggal 18 Juli pemogokan Delanggu dihentikan.

Bersambung ke bagian 2: Kembalinya Moesso

Oleh: Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Artikel ini adalah kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

[1] Sin Po, 11 September 1948; Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu. 2013. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Depok:Komunitas Bambu;Soetanto,Himawan.2006. Madiun dari Republik ke Republik.Jakarta:Kata Hasta Pustaka

[2] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu.Ibid

[3] Ibid

(33)

[5] Hatta, Mohammad. 1979. Memoir. Jakarta: Tinta Mas Indonesia

[6] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu.Ibid

[7] Koran Merdeka, 9 September1948

[8] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu,Ibid dan Koran Merdeka, 9 September1948

[9] Noer,Deliar. 1990. Mohammad Hatta:Biografi Politik. Jakarta:LP3ES

[10] Koran Merdeka 10 September 1948, Hatta, Mohammad, Ibid.Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu,Ibid, dan Noer, Deliar.1990. Mohammad Hatta:Biografi Politik. Jakarta:LP3ES

[11] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu.Ibid

[12] Ibid,Soetanto,Himawan. Ibid, dan Gie, Soe Hok. 2005. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta:Bentang

[13] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu.Ibid

)0(

Pemberontakan PKI Madiun 1948: (2)

Kembalinya Moesso

by JEJAKISLAM1 on Oct 3, 20167:48 am

http://jejakislam.net/pemberontakan-pki-madiun-1948-2-kembalinya-moesso/ - diakses 24-09-2017

Kembalinya Musso ke tanah air membawa perubahan. Sayap kiri dipersatukan di bawah PKI/FDR dan menjadi oposisi terhadap pemerintahan Hatta. Di Solo suasana mulai memanas. Konflik antara tentara Republik Indonesia memakan korban. FDR segera bereaksi keras.

Pemerintah Hatta secara resmi juga menerima Program Nasional FDR, yang dalam banyak hal sebenarnya hampir tidak berbeda dengan program yang sudah dibuatnya. Dengan begitu, partai-partai besar lain kemudian menarik kesimpulan bahwa kabinet Hatta tidak perlu diganti susunannya.[1]

Meski gagal, FDR terus menyerang pemerintahan Hatta. Serangan mereka mendapat angin baru. Secara mengejutkan, pada 22 Mei 1948, Suripno, seorang anggota Central Comitee PKI, menukar nota dengan Silin, seorang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Soviet untuk Cekoslowakia. Nota itu berisi pembukaan hubungan diplomatik dan pertukaran konsul di antara Indonesia dan Soviet. Pemerintah Hatta seperti ditusuk dari belakang oleh Suripno lantaran hal itu bertentangan dengan perjanjian Renville. Di poin pertama perjanjian Renville dikatakan kedaulatan di seluruh wilayah kepulauan Indonesia berada dalam kekuasaan Kerajaan Negeri Belanda. Sehingga Indonesia dilarang

mengadakan hubungan luar negerinya sendiri.

Gambar

Gambar 1. Amir ketika perundingan Renville. Sumber foto: Majalah Prisma 8 Agustus 1977
Gambar 2.Mohammad Hatta. Sumber foto: Koleksi online Tropen Museum
Gambar 3. Pertemuan perundingan penyelesaian pemogokan di Delanggu. Tampak Perdana Menteri Moh
Gambar 4. Suripno. Sumber foto: Koran Sin Po 30 Agustus 1948
+7

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum dalam metode EVT terdapat dua cara untuk mengidentifikasi data ekstrim, yaitu Block Maxima (BM) dan Peaks Over Threshold (POT). Metode BM adalah metode

Posisi dalam pekerjaan mendapatkan hasil bahwa ketua tim memiliki ekspektasi terhadap penerapan jenjang karir lebih tinggi dari pe- rawat pelaksana Penelitian Han dan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang diasuh dengan pola asuh authoritative dan permisive akan menciptakan lebih banyak anak yang memiliki harga diri

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa demam Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi usus

kegiatan” dan “menyangkut jenis sumber daya tertentu” yang penentuanya akan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, maka penerapan asas strcit liability

Sebuah sistem database terdistribusi berisikan sekumpulan site, di mana tiap-tiap site dapat berpartisipasi dalam pengeksekusian transaksi-transaksi yang mengakses data pada satu

Perkembangan larva udang galah yang ditunjukkan dengan nilai Larva Stadia Index (LSI) setelah tiga hari pemeliharaan adalah 3,93; 3,93; dan 4,00 untuk perlakuan A, B, dan C,

a) Biaya pemakaian perlengkapan debet, perlengkapan kredit Rp. 30.000 b) Perlengkapan debet, biaya pemakaian perlengkapan kredit Rp. 30.000 c) Biaya pemakaian perlengkapan