• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberontakan PKI Madiun 1948: (3) Meletusnya Pemberontakan di Madiun

Dalam dokumen Sejarah Partai Komunis Indonesia PKI Oby (Halaman 45-52)

by JEJAKISLAM1 on Oct 3, 20168:37 am

http://jejakislam.net/pemberontakan-pki-madiun-1948-3-meletusnya-pemberontakan-di- madiun/ - diakses 24-09-2017

Pemberontakan Madiun dimulai. Para penyerang membawa emblem dengan palu arit serta huruf-huruf WFYD-IUS. Serangan mereka berhasil, kemudian disusul dengan penjarahan, kepanikan di kalangan penduduk, penangkapan sewenang-wenang, tembak- menembak, dan ‘penyerbuan secara fasis’. Bendera merah putih disobek dan diganti dengan bendera palu arit, dan potret Sukarno diganti potret Musso.

Pukul 2.30 dini hari, sementara para petani Rejo agung masih terlelap, ada beberapa lelaki di rumah Soemarsono yang berdindingkan kayu. Soemarsono adalah Letkol Laskar Tentara Masyarakat. Dengan penerangan lampu minyak, mereka tampak bersenjata dan sibuk. Lalu dar der dor! Sabtu 18 September 1948 itu, dari desa kecil di tepi Madiun, mereka membuka hari dengan tembakan pistol tiga kali. Dengan kekuatan seribu lima ratus orang, mereka mengejutkan kesatuan-kesatuan Corps Polisi Militer dan Siliwangi sehingga perlawanan hanya berlangsung beberapa jam. Tidak lama setelah fajar

menyingsing, Madiun jatuh di tangan PKI. Mereka berhasil merebut kota setelah menyergap pasukan-pasukan pemerintah. Semua gedung vital dan kantor pemerintahan diduduki. Markas staf pertahanan Jawa Timur, markas CPM, serta tangsi polisi mereka

rebut, dan senjata mereka ambil. Perwira-perwira yang tidak pro PKI mereka tangkap. Sekitar 350 orang lawan ditahan.[1]

Koresponden “Murba” di Madiun, seperti dikutip Poeze, menulis reportasenya dari kota itu bahwa para penyerang membawa emblem dengan palu arit serta huruf-huruf WFYD- IUS (organisasi komunis berselubung World Federation of Democratic Youth-

International Union of Students). Serangan mereka berhasil, kemudian disusul dengan penjarahan, kepanikan di kalangan penduduk, penangkapan sewenang-wenang, tembak- menembak, dan ‘penyerbuan secara fasis’. Bendera merah putih disobek dan diganti dengan bendera palu arit, dan potret Sukarno diganti potret Musso.[2]

Sabtu malam 18 September 1948, radio Gelora Pemuda Madiun mengumumkan siaran yang menantang:

“Kita khawatir bahwa pemerintah kita menjadi fasis militeristis, yaitu karena kekuasaan dipegang oleh satu orang, yang menjadi Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan. Mereka adalah pengkhianat-pengkhianat negeri yang telah mengarahkan puluhan juta teman-teman setanah air kepada Jepang yang kejam, sebagai romusha- romusha. Persatuan adalah sangat perlu, tetai tak boleh mengakibatkan perbudakan. Kita bertanya apakah tadinya tidak diadakan perundingan antara pemerintah Yogya dan Belanda tentang pembasmian sayap kiri. Kita sekarang mengetahui bahwa Belanda bekerja sama dengan Pemerintah Republik untuk menjajah rakyat. Fasis dan

kolaborator Hatta kini mencoba mempergunakan Republik untuk menjajah kaum buruh dan kaum tani. Madiun telah membangun untuk membasmi semua musuh revolusi, polisi tentara dan tentara telah dilucuti senjatanya oleh rakyat. Kaum buruh dan tani telah membentuk suatu pemerintah baru. Senjata kita akan dipergunakan terus hingga seluruh Indonesia telah dimerdekakan. Saat untuk revolusi telah tiba.”[3]

Seorang pemuda, tutur Soe Hok Gie, yang menyaksikan perebutan kekuasan tersebut menggambarkan keadaan kota saat itu,

“Setelah di pelosok-pelosok dan lorong-lorong jalan penuh dengan para pemuda yang berpakaian kehitam-hitaman dengan sebagian ada yang memakai sapu tangan merah di lehernya, plakat, dan poster. Demikian pula pengumuman-pengumuman yang di

bawahnya dengan tanda dan stempel: “PEMERINTAH FRON NASIONAL. Dengan adanya pengumuman-pengumuman ini barulah saya mengerti bahwa kota Madiun yang tadinya berbentuk PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA akhirnya menjadi

PEMERINTAH FRON NASIONAL, sehingga orang sambil berbisik-bisik mengatakan ‘Kota Madiun telah jatuh ke tangan FDR’ (PKI –red); ada lagi yang mengatakan ‘PKI semalam merebut kekuasaan negara’”.[4]

Setelah itu, datang petugas-petugas yang menamakan diri mereka anggota Komite Front Nasional ke rumah-rumah penduduk. Mereka meminta penduduk agar mau menjadi anggota Front Nasional. Setiap laki-laki dan perempuan berusia 15 tahun ke atas boleh menjadi anggota tanpa memandang aliran politik, kebangsaan, dan agama. Asalkan mereka menyetujui Program Nasional. Iuran keanggotaannya Cuma Rp0,10. Jika tidak setuju,”Saudara harus menanggung akibatnya.” Anggota komite ini mendatangi penduduk dengan granat, karaben, dan sten.[5]

Jam 10 pagi, Radio Gelora Pemuda, RRI Madiun yang sudah di tangan para pemberontak, menyiarkan:

“Sekarang sudah tiba saatnya untuk mengobarkan revolusi. Republik berusaha menyerahkan bangsa dan tanah air Indonesia kepada Belanda. Republik dengan Belanda bekerja sama untuk menindas bangsa Indonesia. Kolaborator fasis Hatta memperalat Republik untuk menjajah kaum buruh dan tani. Pemerintah Republik

seluruhnya terdiri dari pengkhianat-pengkhianat. Madiun sudah bangkit. Revolusi sudah dikobarkan. Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik. Pemerintah buruh dan tani yang baru sudah dibentuk. Mulai saat ini senjata kita tidak boleh berhenti memuntahklan peluru sampai kemerdekaan, ketenteraman pulih di negeri Indonesia tercinta.” [6]

Soemarsono menyatakan gerakan itu upaya membela diri. Maraknya penculikan dan penumpasan kawan-kawannya di Solo, membuat ia dan kawan-kawannya di Madiun merasa tinggal tunggu giliran untuk dihabisi dan diculik. “Wah ndak bisa begini. Kita menunggu sampai ditangkap, dipotong leher kita? Lebih baik kita berlawan! Kalau berlawan, masih ada kemungkinan kita hidup,” kata Soemarsono.[7]

Dua atau tiga hari sebelum peristiwa itu, Soemarsono bertemu dengan Moesso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri membicarakan masalah situasi di Madiun dan perimbangan kekutan. Situasinya, kata Soemarsono, tiga pemimpin Serikat Buruh Dalam Negeri diculik oleh pasukan gelap karena mogok. Mendengar laporan itu, Moesso dan Amir kompak menjawab, “Bertindak! Lucuti saja pasukan yang menculik itu.”[8]

Dengan tumbangnya pemerintah di Madiun, PKI mencoba membentuk pemerintahan baru atas dasar ide Musso tentang Front Nasional. Pagi, 19 September, dibentuklah Front Nasional oleh SOBSI, PKI, Partai Buruh, Partai Sosialis, Pesindo, Letkol Sumantri (Wakil Teritorial), Isdarto (Wakil kepala daerah), dan Walikota Purbo. Berikut susunan pemerintahan Front Nasional:

Kepala Daerah Madiun: Abdoel Moetalib Walikota Madiun: Soepardi

Ketua Komite Front Nasional: Harjono Gubernur Militer: Soemarsono

Panglima militer: Djoko Soedjono

Pemerintah Front Nasional memberlakukan jam malam, dari pukul 9 malam sampai 5 pagi, di daerah-daerah yang direbut. Pemerintah Front Nasional menyeru agar rakyat membantunya, terutama kelas buruh dan mengancam akan mengambil tindakan keras terhadap pengganggu keamanan. Penduduk juga dilarang mendengarkan siaran radio Republik Indonesia. Hanya Radio Gelora Pemuda yang boleh didengar, sebagai usaha monopoli penerangan. Pada tanggal 20 September terbit edisi perdana “Front Nasional” sebagai terompet pemerintah baru, dalam ‘suasana bebas dari segala pengaruh reaksioner dan kontra revolusioner.’ Wikana dan Setiadjit mengharapkan kemenangan militer di Madiun bisa memberi kepastian pada kemenangan politik agar bisa melanjutkan program nasional PKI, khususnya program agraria. Telah disusun Pemerintah Front Nasional

Daerah Madiun yang mempersatukan dan menguasai lima kabupaten: Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan. Perebutan kekuasaan secara serentak oleh PKI dilakukan di kota-kota Keresidenan Madiun, di Ponorogo, Magetan, Pacitan, Gorang-Gareng, dan lain-lain.[9]

Pemerintahan Front Nasional dari segi eksekutif hampir tidak ada yang dilakukan. Umurnya cuma 12 hari. Untuk memberikan “wadah kerakyatan”, pemerintah Front Nasional melarang pemakaian istilah “paduka” dan “tuan”, yang diganti

dengan “saudara, pak, dan bung”. Tindakan lainnya hanya penangkapan lawan-lawan politik.[10]

Kini seluruh kota di Madiun sudah berada dalam penguasaan PKI. Keadaan ini, kata Soemarsono, harus dilaporkan ke pemerintah pusat di Yogyakarta, bahwa telah terjadi pertempuran, ada korban jatuh, asal usul kejadiannya, dan meminta instruksi

penyelesaian lebih lanjut. Wakil Walikota Madiun, Soepardi lalu mengirim telegram ke Yogyakarta, menjelaskan pelucutan senjata batalion Siliwangi dan Mobrig ole Brigade 29. Ia juga menyampaikan keadaan Madiun aman terkendali. “Berhubung kepergian kepala daerah, untuk sementara pimpinan pemerintahan daerah kami pegang. Minta instruksi lebih lanjut,” lapor Soepardi. [11]

Ketika pemerintah Front Nasional diproklamasikan, pimpinan-pimpinan PKI kebanyakan tidak berada di Madiun. Musso, Amir, Setiadjid sedang tur ke daerah-daerah. Musso samai di Madiun 19 September pagi. Di sana ia mendapati Pemerintah Front Nasional sudah dibentuk. Senang ataupun tidak senang ia harus menghadapi pemerintah Republik Indonesia yang kali ini ambil tindakan.[12]

Sikap tegas pemerintah ditunjukkan oleh sidang kabinet tanggal 19 September yang memutuskan untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Keputusannya antara lain,

“Peristiwa di Madiun yang digerakkan oleh FDR/PKI adalah suatu pemberontakan terhadap pemerintah; memerintahkan Angkatan Perang Bersenjata beserta alat-alat negara lainnya untuk memulihkan kekuasaan Negara kepada keadaan biasa,

memberikan kepada Jenderal Soedirman dengan kuasa penuh untuk melakukan tugas pemulihan keamanan/ketertiban ke keadaan biasa di Madiun dan daerah-daerah lainnya, dan membasmi organisasi-organisasi politik, organisasi masa, dan organisasi militer/bersenjata yang turut/mendukung/bersimpati kepada kaum pemberontak

PKI/Moesso.”[13]

Jam 8 malam, laporan Soepardi ‘dijawabi dengan pidato Presiden Sukarno,

“Kemarin pagi, Partai Komunis Moesso melakukan kudeta di Madiun dan membentuk suatu pemerintahan Soviet di sana di bawah pimpinan Musso. Mereka menganggap perebutan kekuasaan secara paksa ini sebagai suatu langkah awal untuk merebut kekuasaan seluruh pemerintah republik Indonesia. Dari kenyataan ini, jelaslah bahwa insiden-insiden yang terjadi di Solo dan Madiun bukanlah insiden-insiden yang terpisah, tetapi merupakan unsur-unsur pokok dari suatu pola aksi keseluruhan yang dirancang untuk menggulingkan pemerintah Republik Indonesia… Rakyatku tercinta, atas

nama perjuangan kemerdekaan Indonesia, Sayameminta kalian pada saat yang kritis, saat kalian dan saya sendiri sedang menghadapi ujian terbesar untuk memilih antara mengikuti Moesso dan partai Komunisnya, yang akan mengganggu terciptanya suatu negara Indonesia yang merdeka, atau ikut Sukarno-Hatta yang dengan bantuan Allah SWT, akan menjadikan Republik Indonesia suatu negara Indonesia merdeka yang tidak akan dijajah oleh bangsa manapun juga….Dukunglah pemerintah, baktikan dirimu sekuat tenaga untuk membantu organ-organ pemerintah dalam berjuang

melawan pemberontak dan mengembalikan pemerintah yang sah di wilayah yang sedang bergolak. Madiun harus kembali ke tangan kita secepat mungkin.”[14]

Menteri Dalam Negeri, Soekiman menyeru seluruh umat Islam supaya berdiri di belakang pemerintah Soekarno-Hatta.[15]

Sultan Hamengkubuwono berpidato, “Kabinet Hatta kini sedang membangun dan melakukan pembangunan, sedang Moeso hanja hendak merusak dan

menghantjurkan.”[16] Ia menyeru agar rakyat membantu presiden dan wakil presiden. Pidato Sultan ini memiliki pengaruh luas di kalangan masyarakat Jawa.[17] Sehingga pemerintah mendapat dukungan yang sangat kuat untuk melawan PKI.

Selang satu setengah jam, Musso membalas lewat Radio Gelora Pemuda Madiun,

“Pada 18 September 1948, penduduk Madiun merebut kekuasaan segera dengan tangan mereka sendiri. Dengan demikian, penduduk Madiun sudah menjalankan tugas mereka dalam revolusi nasional yang semestinya harus dipimpin oleh rakyat dan bukan oleh golongan lain manapun. Dengan menggunakan tuduhan-tuduhan dan bukti-bukti palsu, Sukarno menuding FDR dan PKI Musso sebagai kaum pengacau. Apakah Sukarno sudah lupa bahwa di Solo, dia memanfaatkan para pengkhianat Trotsky untuk meneror dan menculik semua orang komunis? Apakah Sukarno sudah lupa bahwa ia

meningkatkan dan mendukung kejahatan –kejahatan Divisi Siliwangi dan kaum teroris tersebut?…. Bukan Sukarno atau Hatta yang menentang Belanda, Inggris, dan sekarang Amerika, tapi adalah rakyat Indonesia sendiri. Oleh karena itu kejadian-kejadian di Madiun dan tempat-tempat lain, adalah tanda bagi seluruh rakyat untuk merebut kekuasaan-kekuasaan negara ke dalam tangan mereka sendiri. Inilah satu-satunya jaminan agar Republik akan menjadi benar-benar berdaulat, dan mampu menghadapi semua serangan dari dalam dan mampu membebaskan diri dari satelit-satelit imperialis tersebut. Rakyat Indonesia diminta Sukarno untuk memilih ‘Sukarno atau Musso!’ Rakyat seharusnya menjawab ‘Sukarno-Hatta, budak Jepang dan Amerika !Pengkhianat harus mati!’ Kami yakin rakyat akan berkata: ‘Moesso selalu mengabdi pada rakyat Indonesia.’”[18]

Gambar 8. Kartun mengenai Indonesia, Belanda dan negara federal. Sumber foto: Sin Po 31 Juli 1948

Pada hari-hari pertama pemerintahan Front Nasional di Madiun, Musso berbicara tentang perebutan kekuasaan negara oleh “rakyat” dari tangan pemerintahan Soekarno-Hatta, wakil kaum ‘borjuis nasional’. Tanggal 21 September, Moesso mengumumkan langkah garis kerasnya:

“Kaum buruh harus dianjurkan untuk mogok umum dan kaum tani, pemuda, wanita, dan prajurit yang progresif dan anti imperialis harus menentang dengan senjata dalam tangan, Pemerintah Soekarno-Hatta yang sudah terang-terangan menjadi pengkhianat rakyat dan menjadi agen-agen kapitalisme serupa Chiang Kai Shek dan lain-lain. Rakyat Indonesia seluruhnya, kaum buruh dan kaum tani, kaum pemuda dan wanita, kaum

prajurit progresif, Bersatulah. Lawanla pengkhianatnya penjual Romusha Sukarno- Hatta. Perkara kita adalah perkara suci dan adil. Oleh karena itu kita rakyat harus menang. Basmilah Soekarno-Hatta dan budak-budaknya. Hanya inilah jaminan satu- satunya untuk memerdekakan dan menyelamatkan negeri dan rakyat kita. Rakyat Indonesia seluruhnya. Turutlah dan buktikan contoh-contoh yang telah dilakukan oleh rakyat di daerah Madiun. Hidup Republik Kerakyatan kita. Merdeka dan menang perang.”[19]

Seruan PKI ini sayangnya hanya bergema di Madiun, dan Pati, sebelah utara Solo. Di daerah-daerah lain tidak ada perlawanan rakyat dan pemberontakan prajurit progresif. Buruh-buruh SOBSI juga tidak ikut mogok. Klaim bahwa 35% prajurit-prajurit TNI yang terkena program ReRa bergabung dengan pihak PKI tidak jadi kenyataan. PKI

Bojonegoro, Banten, Sumatera tidak ikut berontak. Mereka tetap setia pada Soekarno- Hatta.

Bersambung ke bagian 4: Akhir dari Pemberontakan

Kembali ke bagian 2

Oleh: Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Artikel ini adalah kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

[1] Soetanto, Himawan. Ibid

[2] Poeze, Harry A. Ibid

[3] Soetanto, Himawan. Ibid dan Gie, Soe Hok. Ibid

[4] Gie, Soe Hok. Ibid

[5] Ibid

[6] Soetanto, Himawan. Ibid

[7] Setiawan,Hersri. 2002. Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan. Jakarta:FuSPAD

[8] Soetanto, Himawan. Ibid

[9] Ibid dan Poeze, Harry A. Ibid

[10] Gie, Soe Hok. Ibid

[11] Majalah Tempo,14 November 2010 [12] Gie, Soe Hok. Ibid

[13] Soetanto, Himawan. Ibid

[14] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu. Ibid

[15] Koran Merdeka, 20 September 1948 [16] Ibid

[17] Gie, Soe Hok. Ibid

[18] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu. Ibid

[19] Gie, Soe Hok. Ibid

Pemberontakan PKI Madiun 1948: (4) Akhir

Dalam dokumen Sejarah Partai Komunis Indonesia PKI Oby (Halaman 45-52)