• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.5 Faktor - Faktor yang Melatarbelakangi Nelayan Terjebak Dalam Kemiskinan di Kampung Kolam Pajak Baru Kelurahan Belawan Bahagia

4.5.1 KEMISKINAN ITU SENDIRI

4.5.1.1 Rendahnya Pendidikan

Berdasarkan hasil observasi lapangan mayoritas pendidikan (formal) terakhir nelayan pemilik sampan tradisional, nelayan pekerjaserta anggota keluarga adalah SD (Sekolah Dasar) . Hal ini dapat diterangkan semakin rendah pendidikan seseorang maka akan berpengaruh pada pekerja yang digeluti dan rendahnya pendapatan yang diterima. Dengan pendapatan rendah maka akan semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari disebabkan keterbatasan biaya.

Seperti pemaparan informan seperti berikut ini :

“jaman dulu tak ada niat awak sekolah, tamat STP Sekolah Teknik Pertama, dulu ada

STP setara SMP udah pergi melaut. Hidup pun susah dek lagian dulu pun dek gak nya perlu-perlu kali tamatan, dulu lebih banyak nya gaji swasta dari pada pegawai. Sekarang ajanya semua berlomba sekolah biar jangan susah macam awak ini. Paling nggak tamat SMA lah biar bisa kerja di pabrik di KIM sana. (Wawancara dengan bapak H.P Sitorus, April 2017)”

Sama halnya seperti pernyataan informan berikut ini :

“inilah dulu liat kawan-kawan pergi kelaut pulang dari sana dapat duit, ikot lah awak. Macamana yakan hidup pun susah makan tak makan. Berpikir juga awak kalo kerja bisa

sikit-sikit bantu beli beras. Pergi lah kelaut tak lagi niat sekolah”. (Hasil wawancara dengan Muhammad Nazri, Mei 2017)

Begitu juga penuturan informan berikut :

“bou ini lah cuman tamatan SD. Tamat SD bou ngopek-ngoppek udang trus jumpa

amang borumu diajak nikah. Yaudalah nikah kami (wawancara bersama ibu J Br. Silalahi, April 2017)”.

Berdasarkan penuturan dari beberapa informan bahwa mereka memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan karena keterbatasan ekonomi, kemudian jika bekerja sebagai nelayan bisa langsung mendapatkan hasil untuk dapat membantu keluarga. Dilihat dari beberapa penuturan informan di atas dapat digambarkan bahwa pendidikan yang rendah mempengaruh keterbatasan peluang untuk meraih pekerjaan yang lebih baik di dalam dunia kerja. Bekerja sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang hanya bisa mereka lakukan karena mengandalkan cukup tenaga.

UU RI No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memilki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal mencakup lembaga pendidikan seperti Sekolah serta pendidikan non formal mencakup pendidikan luar sekolah. Maka dari itu pendidikan sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang.

4.5.1.2 Keterbatasan Keahlian (Skill)

Setiap di daerah pedesaan pesisir identik dengan kehidupan sebagai nelayan, hal ini disebabkan karena mayoritas masyarakat dipedesaan bekerja sebagai nelayan. Pendidikan formal

maupun informal merupakan bagian dari pondasi dan bekal bagi setiap orang, begitu juga dengan pendidikan nonformal. Adapun pendidikan nonformal yang dimaksud merupakan pembelajaran yang didapat diluar dari pendidikan formal ataupun informal yang berupa keterampilan – kerampilan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian keluarga.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, selain sebagai nelayan mereka tidak memiliki keahlian lain. Hal ini disebabkan keterbatasan keahlian yang dimiliki sehingga tidak dapat memperoleh pekerjaan lain maupun dalam hal mengelola Sumber Daya Alam selain dari pendidikan formal yang rendah, Minimnya ketermpilan membuat mereka tidak dapat maju dan berkembang lebih baik lagi, sehingga mereka tidak dapat keluar dari perangkap kemiskinan dan terjebak dalam pekerjaan sebagai nelayan. Hal ini di buktikan berdasarkan penuturan bapak Anwar Effendi yang merupakan salah satu informan.

“Pendidikan terakhir saya itu SD. Kalau dikasih milih dek saya milih pekerjaan lain dari pada nelayan. Tenaga masih ada, saya juga masih baru 15 tahun jadi nelayan. Kita cemana nggak bertahan dari sekarang. Kita kan kadang-kadang kerja bangunan mau kita nanti seminggu aja yang ngedur (bekerja) sisanya gak ada lagi. Kita terus gelagapan, kalau ke laut ini kita tinggal makan nggak memikirkan ongkos lagi. Memang kalau di suruh pilih bagusan kerja didarat karena kerja di laut pun kita makan gaji harian merasa tak apa juga, tak sesuai dengan apa awak, resiko tetap ada. Kedua lagi gaji kita itu terlalu apa kali dengan anak yang sekarang ini.. gakk.. gakk menutupi, kita nombok. Makanya kalau di suruh pilih yah di darat aja lah. Cuma ya itu lah kerja seminggu libur lagi (wawancara dengan bapak Anwar Efendi, April 2017)

Sama halnya seperti pemaparan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan seorang informan.

“jadi nelayan itu karena gak ada pilihan lain dek, sekolah pas itu biaya gak ada. Taulah nelayan yang makan pun pas-pasan. Mau sekolah tinggi tinggi pun biaya besar dari mana ? jadilah kelaut. Pulang dari laut bawa duit, kalo ada tangkapan tak ada tangkapan iya sabarlah dulu. Dari pada nganggur yakan dek (Wawancara bersama bapak Muhammad Nawi, Mei 2017 )

Jika diamati berdasarkan hasil pemaparan informan adanya factor keterbatasan biaya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, sehingga mereka mengisi waktu luang dengan bekerja sebagai nelayan, dari pada harus menganggur. Kemiskinan bersifat multidimensional dalam arti berkaitan dengan asek sosial, budaya, politik, dan aspek lainnya. Berdasarkan teori Robert Chambers bahwa kemiskinan itu sendiri di latarbelakangkangi beberapa faktor termasuk keterbatasan keahlian yang dimiliki. Dimana hal ini berasal dari dalam diri seseorang. Keahlian yang dimiliki jika dikaitkan dengan rendahnya pendidikan seseorang maka dapat dikatakan saling mempengaruhi satu dan lainnya. Rendahnya pendidikan memberikan dampak terbatasnya keahlian.

4.5.1.3 Sikap Pasrah

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan di lapangan tepatnya di Kampung Kolam Pajak Baru, dalam penelitian ini adalah sikap pasrah terhadap keadaan sehingga sudah merasa nyaman dalam keadaan saat ini. Seperti yang dituturkan oleh salah satu informan yang merupakan seorang buruh nelayan:

“jadi nelayan ini udah mendarah daging. Pernah nya awak kerja di pabrik tapi gak

lama cuman 3 bulan. Dari lajang udah melaut. Kalau di pabrik nerima uang sebulan sekali, dua minggu sekali, atau seminggu sekali. Kalo melaut kan, pulang dari laut kan bawa uang. Disana bisa kombur-kombur abis bentangkan jaring”. (Hasil wawancara dengan bapak H.P Sitorus, April 2017 ).

Begitu juga dengan yang diutarakan oleh informan berikut:

“dari lajang awak udah melaut, udah enak awak rasa dek kerja kek gini. Kalau masih

muda dulu kalau tidak kelaut kuli bangunan. Biar bisa makan anak binik (istri) awak. Dari binik pertama trus pisah nikah lagi sampe binik yang sekarang sampe sekarang nelayan ajalah. Tapi yah gini lah keadan nya dek, liat sendiri lah (sambal tertawa)”. (wawancara bersama bapak Ruslan, April 2017)

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan dengan beberapa informan. Bahwa pekerjaan sebagai nelayan sudah mendarah daging, sehingga sudah merasa nyaman dengan keadaan seperti

ini. Kenyataan ini dijadikan alasan oleh para informan untuk tetap berada dalam zona nyamannya. Sehingga sulit untuk keluar memperbaiki dan meningkatkan tingkat kehidupannya. Sikap pasrah ini kaitanya dengan teori jebakan kemiskinan oleh Robert Chamber yakni terindikasi dengan kemalasan pada diri seseorang. Merasa nyaman dengan keadaan menurut dirinya sendiri adalah benar akan tetapi menurut pandangan khalayak umum hal ini kurang tepat. 4.5.2 KELEMAHAN FISIK

4.5.2.1 Membatasi Frekuensi makan dan Jenis makanan

Membatasi Frekuensi makan serta jens makanan merupakan jebakan kemiskinan yang dapat mematikan potensi dalam diri seseorang, dimana jika frekuensi makan seseorang umumnya sehari sebanyak tiga kali berkurang maka menurunya daya tahan tubuh serta kelemahan fisik. Hal ini merupakan strategi yang dilakukan informan untuk dapat bertahhan hidup di tengah penghasilan yang kurang akan tetapi strategi ini juga membawa dampak buruk bagi kondisi kemiskinan. Ini diungkapkan oleh penuturan beberapa informan diantara :

“berapa yang ada segitu lah dek, dicukup-cukup kan beli beras. Seadanya dek (Wawancara bersama Bapak Dianto, Mei 2017)”.

Kemudian ditambah penuturan informan berikut ini:

“yah namanya kelaut, ikan di laut. Ada sedikit beli makan. Kan gak mungkin gak

makan, sehari yang penting makan buk (Wawancara bersama bapak sabbanudin, Mei 2017)”.

Dokumen terkait