• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.5 Faktor - Faktor yang Melatarbelakangi Nelayan Terjebak Dalam Kemiskinan di Kampung Kolam Pajak Baru Kelurahan Belawan Bahagia

4.5.3 KETERASINGAN ATAU KADAR ISOLASI

4.5.3.1Akses Informasi Terhadap Pemasaran Ikan

Dalam pengkategorian keterasingan atau kadar isolasi mencakup perihal pemasaran hasil tangkapan, kemudian akses informasi nelayan baik nelayan pemilik sampan tradisional maupun nelayan pekerja mengenai naik turunya harga ikan di pasaran. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan ada yang mengetahui mengenai informasi naik/turunnya harga ikan serta pemasaran hasil tangkapan dan ada yang tidak mengetahui. Hal ini dibuktikan melalui pernuturan informan berikut yakni :

“tau lah, dari yang jual ikan di pajak itu dek. Sekian katanya. Kadang nggak segitu

dibilang toke ini, dimurahkannya. Iya biar banyak sama dia (Wawancara bersama bapak Dianto, Mei 2017 )

Kemudian penuturan informan berikut :

“Gak tau, awak dengar-dengar ke pabrik yang di gabion itu langsung. Kalau masalah

harga sekian dibilang sama anggota segi lah itu dek (Wawancara bersama bapak Amran lubis, Mei 2017

Kemudian penuturan informan lainnya :

Kalau harga ikan naik/turun pas itu lah pas gak ada ikan naik dia pas banjir murah

dia. Dari sesama yang kerja. Dipasarkan gak tau kemana dek, kami kerja aja. Sekian katanya harganya yaudah bergaji lah nanti seberapa. (Wawancara bersama bapak Nazri Lubis, Mei 2017)

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan bahwa mereka cenderung tidak mengetahui kemana hasil tangkapan merekadipasarkan dan akses informasi terhadap naik/turunya harga ikan. Berdasarkan teori Jebakan Kemiskinan dari Robert Chambers bahwa kadar isolasi atau keterangsingan penentu kondisi kemiskinan padakelompok masyrakat seperti pada masyarakat Kampung Kolam Pajak Baru yang bekerja sebagai nelayan.

4.5.4 KERENTANAN

4.5.4.1 Tingkat Pendapatan yang Rendah

Sebagai seorang nelayan yang memiliki keterbatasan keahlian dan tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi pendapatan atau penghasilan yang mereka. Hal ini disebabkan sudah tidak memiliki pilihan lain untuk bekerja selain sebagai nelayan, sehingga mereka tetap bertahan dengan pekerjaan tersebut meskipun pendapatan atau penghasilan mereka rendah serta tidak menetap dan tidak mencukupi kebutuhan sehari – hari. Rata – rata masyarakat di Kampung Kolam bekerja sebagai pengrajin nelayan.

Seperti pemaparan informan berikut:

“semalam itu rugi karena situasi air pasang nya kurang bagus. Kalau biasnya bisalah

lepas belanja, lepas-lepas belanja gitu ajalah.habis-hanis kesitu, nanti kalau ada kerusakan tutup lagi. (wawancara dengan bapak H.P Sitorus, April 2017)

Hal senada diungkapkan juga oleh informan lain:

“Kalau penghasilan dari nelayan kan nggak nentu dek. Tergantung cemana ikan lah

dek. Kadang ada ikan kadang gak ada. Paling ada Rp. 50.000 bisa di bawa pulang kerumah dek”. (Hasil wawancara dengan abang Putra, Mei 2017)

Begitu juga dengan peryataan informan berikut ini.

Kalau tiap bulan tu ya gak nentulah,itulah tadi dek ikan ini mana tau kita dia dimana. Kalau ditanya perbulan mau berapa lah awak bilang. Paling ada Rp. 70.000 ( Hasil wawancara dengan bapak Anwar lubis, Juni 2017)

Kemudian di dukung dengan pernyataan informan berikut :

“Gak nentu jugalah, kadang tengok ikannya, kalau ada. Gak tentu juga dek. Kalau

dia ngerti awak gaji perbulan ngertilah awak menjawab. Ini gak nentu kadang ada kadang tidak. Perminggu Rp.800.000 – 900.000, itu kalau ada kalau nggak ada nihil. Kalau tadi gaji pabrik bisalah awak bilang 2 juta sekian, ini kemarin Rp 85.000 (Wawancara dengan ibu Asmarani. Mei 2017)

Ditambah lagi penuturan informan berikut :

“Gini buk yah, kayak saya bilangkan kalo penghasilan itu gak nentu kan udah saya

kadang-kadang sepuluh hari. Kadang-kadang-kadang tiga hari. Kalau hasil itu banyak ikan itu ada. Tapi kalau gak ada istilahnya yah sampe sepuluh hari”. ( Wawancara dengan bapak Dianto, Mei 2017)

Berdasarkan pemaparan informan di atas dapat dijelaskan bahwa pekerjaan sebagai nelayan sangat minim, Dalam kondisi pendapatan upah yang minim membuat kehidupan mereka sangat sederhana dan pas – pasan. Hal ini dibuktikan dengan keadaan rumah para informan yang sangat sederhana. Dibangun diatas air serta kondisi bangunan yang yang semuanya terbuat dari kayu.

4.5.4.2 Musim Ombak Besar

Pada dasarnya keberadaan ikan di laut tidak dapat diprediksikan. Selain sifatnya berpindah-pindah ada faktor lain yang melatarbelakangi kerentanan. Salah satu diantaranya yakni saat musim ombak besar. Pada saat situasi ombak besar nelayan cenderung tidak dapat pergi melaut. Jika tidak pergi melaut maka pendapatan tidak ada. Pada nelayan pemilik sampan tradisional mereka akan sangat menghindari ombak besar karna akan membahayan keselamatan dan juga dapat membalikan sampan mereka. Hal ini dibuktikan oleh penuturan informan yakni :

“kalau besar kali terpaksa pulang, kalau masih bisa di pertahankan yah dipertahankan. Lihat kondisi perahu. Selama abis tsunami udah gak bisa diprediksi, abis tsunami itu lah gak bisa diprediksi. Air aja awak gaktau kapan pasangnya. Kalau dulu pasti sebelum bulan ini oh tanggal sekian nanti pasang mati. Pasang mati itu. Ombak pun gak bisa dipredisi lagi, biasa bulan 8 sampe bulan 12 awal. Ini aja semalam sore aja udah gak bisa balek. Gak bisa di prediksi lagi. Yaitu lah takada ikan tak ada hasil utanglah dulu kemana-mana (Wawancara bersama bapak H.P Sitorus, April 2017)”.

Kemudian penuturan informan berikut :

“gak bisa lah kelaut. Ombak ini kan dibilang kadang gak nentu, kayak selayang

sekarang 24 mau dia 27 28. Disini udah mahal-mahal semua udah. Kalau dulu masih dapat lapan belas ribu sekarang udah dua 28 27. Itu lah kalau ada ombak kita labuh kalau ada pas ikan kita bisa di tahan jadi mahal ada di bawa pulang kerumah. Kalau tak ada tunggu sampe ombak berhenti baru tebar jaring lagi.(Wawancara bersama bapak Ruslan, April 2017)”.

Kemudian penuturan informan berikut ini :

“kalau ombak besar masalahnya kalau lagi di darat yah nggak melaut. Kalau di laut

kami ke pinggir. Kami berjangkar lah berlabuh lah dua dua hari, satu satu malam. Kalau berhenti keluar lagi (Wawancara dengan bapak Anwar Effendi, April 2107)”. Meihat situasi yang terjadi saat musim ombak nelayan tidak dapat melaut. Maka secara otomatis pendapatan dari hasil melaut tidak ada. Alhasil untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari mereka akan berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini terpaksa dilakukan karna kebutuhan hidup seperti makan adalah kebutuhan primer.

4.5.4.3 Keterbatasan Lapangan Pekerjaan

Nelayan pemilik sampan tradisional dan buruh nelayan tetap bertahan dengan pekerjaannya, hal ini disebabkan keterbatasan lapangan pekerjaan di kota Medan, sehingga mereka tidak memiliki pekerjaan yang lain. Adapun pekerjaan lain seperti buruh bangunan dan tukang becak juga tidak mempu menutupi kebutuhan hidup.

Seperti yang disampaikan oleh informan sebagai berikut

Gak ada lagi pekerjaan laen selain jadi nelayan, jadi namanya orang susah,

dipertahankan lah”. (wawancara bersama bapak Dianto, April 2017)

Begitu juga dengan penuturan salah satu informan berikut ini

“Dari dulu pun udah kelaut abang sama bapak, tapi gak terus kadang-kadang lah.

Terus kerja lah jadi buruh, nikah lah abang punya anak. gak lama abang kerja jadi buruh trus di rumahkan (diberhentikan) kata pabriknya nanti dipanggil lagi. Tapi yaitu sampe sekarang gak ada dipanggil dek. Balek lagi kerumah orangtua, balek lagi kelaut. (Wawancara dengan bang Putra, Mei 2017)

Dari pernyataan informan di atas terbatasnya lapangan pekerjaan di kota Medan menjadi salah satu factor yang melatarbelakangi mereka sehingga tetap bertahan dengan pekerjaan sebagai nelayan.

4.5.5 KETIDAKBERDAYAAN

4.5.5.1 Keterbatasan Teknologi Alat Tangkap

Berdasarkan hasil observasi peneliti bahwa nelayan mandiri dan buruh nelayan yang menggunakan alat tangkap yang sederhana seperti jaring dan pancing cumit. Sementara nelayan ini harus bersaing dengan nelayan lain yang menggunankan alat tangkap yang lebih canggih seperti troll atau pun pukat

seperti penuturan informan berikut

“kami kan cuma pake pancing cumit, yah dapatnya paling cumit. Sambil menebar

jaring. Gak jauh-jauhlah dari bibir pantai. Kalau troll dia bisa dapat banyak ikanya, semua bisa diambilnya penghasilan pun banyak lah”. (wawancara dengan bapak H.P Sitorus, April 2017).

Kemudian ditambah informan berikut

“awak kalau pergi kelaut sambil bubu kepiting dekat sini. Karena gak selalu bisa dapat banyak. Namanya pun jarring paling ikan besar yang bisa masuk kalau yang kecil itu dia lubang jaringnya ikan mana lolos lagi banyaknya lah hasil”.( wawancara dengan bang putra, Mei 2017)

Berdasarkan hasil wawancara bahwa keterbatasan teknologi penangkapan berpengaruh terhadap pendapatan. Semakin sederhana maka semakin sedikit hasil tangkapan. Begitu pula sebaliknya. Semakin canggih teknologi alat tangkap yang digunakan maka semakin banyak hasil tangkapan.

4.5.5.2 Keterbatasan Modal

Saat mengalami keterbatasan modal para nelayan khususnya nelayan tradisional akan meminjam kepada toke dimana ne;ayan tersebut menolak hasil tangkapnnya. Hal ini adalah wajar tetapi jika amatai terlebih lagi maka akan terjadi ketimpangan. Dimana bahwa nelayan tersebut hanya akanbisa pasrah dengan segala bentuk perjanjian yang dilakukan oleh toke pemilik modal. Jika mereka meminjam sejumlah uang makan uang tersebut akan di bayar

melalui hasil tangkapan. Diamana penentuan harga ikan dilakukan oleh pemilik modal yang jelas lebih rendah dari harga dipasar. Kemudian jika mengambil alat bantu tangkap dari toke maka pembayarannya yang dilakukan pun demikian. Jika salah satu pihak melanggar perjanjian tersebut maka sangsinya yakni barang tersebut akan diambil kembali kemudian sesegera mungkin melunasi hutang-hutang yang ada. Hal ini berdasarkan penuturan informan berikut:

“ada tempat itulah, tokenya itu. Kalau kita betoke gitukan dia udah ngambek dari kita itu sekilonya itu tiga ribu. Dia kan nolak lagi kesana ke pabrik. Dia ngambek tiga ribu lah dari kita perkilonya. Biasa awak minjam sama dia bentuk uang sama bahan. Barang pun ada genset misalnya, kek genset semalam itu dikasih entah kera berapa pun gak tau lah awak. Kalau tak sama dia nanti awak jual marah lah di ambek lagi lah genset tadi, tak bisa lagi berhutang”. (wawancara dengan bapak H.P Sitorus, April 2017)

Sama halnya dengan penuturan informan berikut:

“Kalau udah tak ada hasil tangkapan pinjam lah dulu sama toke bayarnya nanti pulang dari laut. Kalau tak ada cicil cicil lah sikit-sikit. Biar besok-besok dikasih lagi minjam”. (wawancara bersama bapak Muhammad Nawi, Mei 2017).

Jebakan kemiskinan nelayan yang terjadi di Kampung Kolam Pajak Baru Kelurahan Belawan Bahagia dilatarbelakangi oleh banyak faktor salah satu diantaranya keterbatasan modal. Hal ini dialami terutama pada nelayan pemilik sampan tradisional. Saat mengalami keterbatasan modal untuk keperluan bekerja mengharuskan mereka untuk meminjam kepada pemilik modal.. Dimana pada umumnya mereka yang meminjam adalah nelayan yang tujuannya untuk meningkatkan pendapatan. Dalam posisi ini tidak ada tawar-menawar antara toke yang memberi pinjaman dan nelayan meminjam dalam pelunasan hutang, sehingga melemahkan nelayan yang meminjam modal. Ketentuan dalam hal pembayaran peminjaman ditentukan oleh toke secara sepihak. Dimana nelayan diharuskan untuk menjuall hasil tangkapannya kepada toke pemberi pinjaman dengan harga di bawah pasar. Jika nelayan peminjam modal melanggar perjanjian maka sanksi yang di berikan cukup tegas yakni penarikan alat tangkap atau sesegera mungkin

untuk melunasi hutang dan tidak akan di berikan lag pinjaman modal. Hal ini merupakan pandangan Robert Chambers dalam pandangannya terhadap jebakan kemiskinan diantaranya Ketidakberdayaan dimana kemiskinan cenderung akan bertambah parah dan membuat keluarga miskin semakin terpuruk dan susuah untuk keluar dari kemiskinannya.

4.5.5.3Jerat hutang

Jerat hutang yang dialami para nelayan baik nelayan pemilik sampan tradisional maupun nelayan pekerja juga memperparah kemiskinan yang mereka alami. Keterbatasan modal serta pendapatan dari hasil melaut memaksa mereka meminjam baik itu berupa uang, maupun barang dari pemiliki modal. Hal ini dibuktikan berdasarkan penuturan informan berikut:

“iya pinjam duit sama kak iros (menunjuk pada orang yang merupakan orang yang

sering meminjamkan uang). Biasanya pinjamnya uang Rp. 500.000 lah. Bayarnya seminggu sekali kadang Rp. 35.000. jadi Rp. 800.000. bayar seminggu sekali, tiap minggu datang (wawancara dengan ibu Sumiyem, April 2017)”.

Sama halnya dengan pernyataan informan berikut:

“Kalau aku pinjam uang masih terbilang murah lah dari rentenir yang lain. Nanti

pinjam jepek (Rp. 100.00) bunganya Rp. 20.000. itu ada dulu orang kita juga, orang bermarga baik kali itu. Ada dua langganan ku baik-baik kali. Sampe sekarang asal jumpa aku dipanggilnya aku. (wawancara bersama ibu J. Br Silalahi, April 2017).

Didukung pernyataan informan selanjutnya sebagai berikut:

“ihh seringlah sering kali udah, udah tiga tempat udah (sambal tertawa). Tiga tempat gak bisa bayar nak maki (kena caci maki). Kek gitu lah dek. Kalau misal nya lima ratus ribu kan jadi lapan ratus, tiga ratus lah bunganya”. (Wawancara dengan kak Rifka Nanda, Mei 2017)

Jerat hutang menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada jebakan kemiskinan nelayan. Jerat hutang bahkan memperparah kondisi kemiskinan nelayan yang berada di kampung Kolam Pajak Baru. Berdasarkan penuturan informan bahwa mereka meminjam uang kepada rentenir dengan cara membayar bunga uang yang mereka pinjam kemudian jumlah uang yang di pinjam

kan. Jika kita amati nelayan maupun anggota keluarga nelayan yang meminjam sejumlah uang adalah mereka yang terbatas secara ekonomi. Artinya dengan mereka membayar bunga uang tersebut kondisi kemiskinan semakin memburuk dan mereka semakin tidak berdaya menghadapi kungkungan jerat hutang.

4.5.5.4Ketimpangan Sistem Bagi Hasil

Pada nelayan pekerja/nelayan buruh pendapatan diperoleh dengan cara bagi hasil dengan toke pemilik kapal. Dimana pada umunya system pembagian yang dilakukan yakni tangkap bagi. Hasil tangkapan yang diperoleh dari melaut dijual ketempat pelelangikan maupun kepabrik kemudian dikurangi biaya operasi sebelum pergi melaut dan yang terakhir hasil tesebut dibagi dengan jumlah anggota nelyan dalam satu kapal. Hal ini dibuktikan denganpenuturan beberapa informan sebagai berikut:

“kira nya kek ginilah, kita bikin dapat seratus kilo, kan dijualke pajak kali lima belas. Turun ke yang punya boat kali lima belas ribu, yah dibayar sama kita kan kali sepuluh. Jadi kalau sepuluh kali serratus kan satu juta. Kita kelaut itu enam orang. Kita dapat satu orang itu serratus ribu. Potong belanja lagi, tujuh puluh lah dapat. Itu kalau seratus kilo kali sepuluh”. (Wawancara bersama bapak Anwar Lubis, Mei 2017)

Dilanjutkan penuturan informan berikut ini:

“biaya kami sekali berangkat menurut informasi dari toke tuh sekitar tiga juta. Biaya pengeluaran itu minyak, apa segala macam termsuk gaji. Pokoknya sekali belanja itu udah termasuk gaji kami yang kelaut. Gaji itu tergantung hasil tangkapan. Ada istilahnya bagi hasil. Kita dari sepuluh hari dari hasil yang dapat. Jadi kalau istilahnya satu hari itu bisa mencapai dia lebih dari belanja yang ditargetkan tadi yang tiga juta itu tadi. Pengeluaran kita dalam satu hari tiga juta pendapatan kita lima juta kan gitukan, berarti ada sisanya dua juta. Dua juta itu kita hitung dalam sepuluh hari kedepan. Istilahnya ada rejeki lebih, gak ada rejeki terhutang. Tapi tetap dikira jumlah kita yang kelaut tadi. (Wawancara dengan bapak Sabbanudin, Mei 2017)

Kemudian selanjutnya penuturan informan berikut:

“misalnya gajinya berapa yah dibagi, gitulah. Berapa penjualan tangkapan lah nanti itu dibagi. 30 % untuk anggota, 70 % untuk toke yang punya boat. yang tiga 30 % ini udah bersih tapi nanti itu dibagi lagi jumlah anggota dalam satu boat. (Wawancara dengan bapak Dianto, Mei 2017)

Mengamati penuturan dari beberapa informan tersebut, system pembagian hasil tangkapan ini dapat dikatakan timpang. Pendapatan yang lebih banyak diperoleh toke pemilik boat, sementara para anggota nelayan pekerja mendapat upah yang lebih sedikit dalam pembagian hasil. Belum lagi pendapatan ini harus diagi dengan jumlah anggota yang ada dalam satu kapal. Kondisi ini semakin melemahkan para nelayan pekerja yang hanya bisa mengikuti aturan dari toke.

4.6 Strategi Nelayan Dalam Menghadapi Jebakan Kemiskinan Nelayan di Kampung

Dokumen terkait