• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemungkinan Penerapan Program Leniency di Indonesia

MENURUT HUKUM PERSAINGAN USAHA

C. Kemungkinan Penerapan Program Leniency di Indonesia

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa program leniency dapat dibagi menjadi dua (2):

1. Program leniency perusahaan;

Suatu perusahaan yang mengakui atau bekerjasama dengan institusi penegak hukum tentang adanya kartel, maka mereka dapat menikmati program leniency. Melalui program ini, perusahaan mendapatkan diskon atas denda yang akan diberikan. Besarnya diskon ini tergantung dari besar-kecilnya peran, dan seberapa besar kerjasama yang dilakukan untuk diketahui kartelnya, sehingga diskon yang diberikan bervariasi mulai dari 10% sampai dengan 100% atau diberikan amnesti. Sebagai contoh dapat dilihat program leniency di Amerika Serikat, terdapat enam (6) syarat diberikannya program leniency bagi mereka sebelum penyelidikan dimulai:

Dr. Anna Maria Tri Anggraini, S.H., M.H.

a. Divisi antitrust belum menerima informasi mengenai aktivitas yang melanggar hukum, sehingga belum memiliki bukti untuk melakukan penuntutan. Dalam hal ini, perusahaan merupakan pihak yang pertama melaporkan dan memenuhi syarat untuk mendapatkan leniency; b. Perusahaan segera menghentikan keterlibatannya dalam aktivitas

ilegal, setelah ditemukan adanya aktivitas ilegal tersebut.

c. Perusahaan melaporkan perbuatan yang melanggar hukum dengan sungguh-sungguh dan bekerjasama secara total serta berkelanjutan dengan Divisi Antitrust dalam penyelidikannya.

d. Pengakuan tentang perbuatan yang salah adalah benar-benar perbuatan perusahaan, sebagai kebalikan pengakuan individual dari eksekutif atau karyawan;

e. Perusahaan memberikan restitusi kepada pihak-pihak yang dirugikan apabila kondisi perusahaan memungkinkan untuk melakukannya; f. Perusahaan tidak menekan pihak lainnya untuk ikut serta dalam

perbuatan melawan hukum dan bukan merupakan pemimpin atau pencetus dari aktivitas tersebut. Dalam hal ini, Divisi Antitrust menentukan, bahwa pemberian leniency akan berlangsung secara fair bagi yang lainnya, sehubungan dengan perbuatan melawan hukum tersebut, peran dari perusahaan yang mengaku, dan kapan perusahaan tersebut melapor/mengaku.

2. Program leniency untuk individu

Dalam setiap perusahaan yang menjadi anggota kartel mempunyai beberapa karyawan (agen) baik yang mempunyai jabatan tinggi yang biasanya merupakan tokoh utama maupun karyawan yang lebih rendah atau karyawan biasa yang terlibat dalam kartel. Dengan kata lain, kartel melibatkan agen-agen dalam suatu perusahaan, mulai dari yang memutuskan kesepakatan-kesepakatan, menghadiri pertemuan, menegosiasikan hal-hal yang akan disepakati, sampai mereka yang melaksanakannya. Setiap karyawan yang terlibat dalam satu kartel adalah pelaku suatu kejahatan. Mengungkap kartel dari tokoh utama, pada umumnya jauh lebih sulit daripada mereka yang berada pada tingkat yang lebih rendah. Penegak Hukum Persaingan dapat memanfaatkan karyawan atau agen ini untuk mengungkap suatu kartel. Setiap agen dalam suatu perusahaan yang menjadi anggota kartel yang mengetahui tentang kartel, haruslah diberikan insentif yang berarti untuk membuka aktivitas kartel. Terhadap mereka ini harus diterapkan pendekatan a carrot and stick atau leniency program. Melalui program leniency, dapat diterapkan hal-hal berikut:

1. Agen yang ikut serta melaksanakan kartel haruslah diberikan hukuman yang berat termasuk hukuman penjara, khususnya bagi mereka yang tidak segera bekerjasama dengan penegak hukum; 2. Sebaliknya, agen yang melaporkan adanya kartel harus diberi

hadiah yang berarti, termasuk program leniency dari tuntutan pidana, kekebalan dari tanggung jawab pribadi (pengampunan), dan uang insentif yang cukup besar.

3. Meyakinkan agen untuk tidak mempercayai atasannya. Mereka ini berada pada posisi yang lemah, oleh karena itu perlu diberikan insentif untuk menerima karyawan tersebut pada waktu proses pemeriksaan. Melalui program ini, diharapkan agen akan berusaha menjadi yang pertama melakukan pengakuan atau melaporkan kepada penegak hukum akan adanya kartel. Tentu hal ini akan efektif, apabila keuntungan melaporkan atau melakukan pengakuan lebih besar daripada kerugian jika mereka tertangkap melakukan kartel.

4. Untuk mengurangi terjadinya kartel, maka perlu dilakukan program yang bertujuan meningkatkan kepatuhan agen/karyawan terhadap Hukum Persaingan Usaha melalui program-program pelatihan, penerbitan buku-buku, ataupun brosur atau penggunaan teknologi dan lain-lain.

Larangan kartel dalam Pasal 11, demikian juga Pasal 5 dan Pasal 9 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tidak mengatur program leniency, padahal program ini adalah salah satu cara efektif untuk menangani kartel. Oleh karenanya, sampai saat ini KPPU belum menerapkan program leniency dalam menangani kasus-kasus kartel. Kartel lebih ditangani secara konvensional dengan cara mencari alat bukti sesuai yang diatur dalam Pasal 42 UU Nomor 5 Tahun 1999, meskipun dalam praktiknya seringkali kesulitan memperoleh bukti berupa dokumen atau surat berisi kesepakatan diantara anggota kartel, mengingat KPPU tidak memiliki kewenangan untuk menggeledah dan/menyita dokumen.

Dalam pembebanan sanksi berdasarkan Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1999, tindakan kartel dikatagorikan sebagai Perjanjian yang Dilarang, yang hanya dapat dijatuhi sanksi administratif berupa pembatalan perjanjian dan/atau pengenaan denda setinggi-tingginya Rp 25 milyar. Beberapa tindakan kartel dalam skala nasional di sektor-sektor industri telekomunikasi, minyak goreng, fuel surcharge, dan obat-obatan, menunjukkan bahwa profit yang diraih para pelaku atas harga kartel mencapai triliunan rupiah, sehingga denda sebesar maksimal Rp 25 milyar menjadi terlihat relatif kecil. Demikian juga dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman

Dr. Anna Maria Tri Anggraini, S.H., M.H.

Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tidak mengatur ketentuan tentang program leniency. Pengaturan program leniency akan memiliki kekuatan hukum dan kepastian apabila diatur dalam suatu Undang-undang, yakni dengan cara melakukan amandemen terhadap UU Nomor 5 Tahun 1999. Dengan ditetapkannya program leniency dalam suatu undang-undang, terdapat dasar hukum yang kuat bagi KPPU untuk memberikan pengampunan dan/atau pengurangan denda. Sebaliknya, pembebasan hukuman (amnesti) maupun pengurangan denda dalam program leniency yang didasarkan peraturan lebih rendah daripada undang-undang, akan “melebihi” pengaturan (over rule) undang-undang pokoknya.

Selanjutnya, program leniency akan memberikan insentif yang memadai bagi pihak-pihak yang mengaku melakukan kartel, apabila besaran/nilai denda yang dibebankan oleh KPPU tidak dibatasi hanya sampai Rp 25 miliyar, melainkan diperbesar sampai dengan Rp 1 trilyun, mengingat excessive profit yang diraih para pelaku kartel dapat mencapai trilyunan rupiah. Apalagi, ketentuan hukum persaingan di Indonesia yang mengatur kartel hanya melarang secara administratif, karena KPPU hanya memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi administratif saja. Berbeda halnya dengan pengaturan kartel di beberapa negara, dimana perilaku kartel dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan, sehingga dapat memberikan efek jera bagi para pelakunya.

D. Kesimpulan

Terdapat dua (2) jenis program leniency yang dapat ditawarkan kepada para pelaku kartel, yakni program leniency untuk perusahaan dan untuk individu. Program leniency ini dapat diberikan sebelum maupun setelah proses masuk dalam pemeriksaan perkara. Apabila pengakuan terjadi sebelum perkara masuk tahap pemeriksaan, maka pelapor pertama dapat diberikan pembebasan hukuman (amnesti), namun jika pengakuan tersebut akan mengakibatkan pengurangan denda tergantung apakah pelaku kartel terhitung sebagai pelapor pertama, kedua, atau ketiga. Hampir semua negara mengatur ketentuan program leniency dalam bentuk undang-undang, karena akan memiliki dasar hukum yang kuat dan memiliki kepastian hukum, mengingat pada prinsipnya program leniency merupakan pengecualian atau pengesampingan pembebanan hukuman bagi pelaku kartel yang mengaku, baik sebelum maupun saat proses pemeriksaan perkara atas kartel. Karena itu, diperlukan upaya melakukan amandemen terhadap UU Nomor 5 Tahun 1999, khususnya dalam mengatur program leniency, agar ketentuan ini menjadi dasar KPPU untuk membuat pedoman penanganan kartel secara lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA

A.M.Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Per se illegal atau Rule of Reason, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003) h. 212. Gatra–Kolongmerat & Mendag (On-line), tersedia di http://www.hamline.edu/ apakabar/basisdata /1995/07/12/0009.html (28 September 2007). James F. Griffin, The Modern Leniency Program After Ten Years, a Summary

Overview of The Antitrust Division’s Criminal Enforcement Program, dipaparkan American Bar Association section of Antitrust law Annual Meeting, The Ritz-Carlton Hotel San Francisco, California, 12 Agustus 2003. http://www.justice.gov/atr/public/speeches/201477. htm, diakses tanggal 27 Juni 2011.

Joseph E. Harrington, Jr., “Corporate Leniency Programs and the Role of the Antitrust Authority in Detecting Collusion”, 31 Januari 2006, http://www.econ.jhu.edu/People/Harrington/Tokyo.pdf., diakses pada tanggal 28 Juni 2011.

Kwik Kian Gie, Konsep dan Program PDI dalam Bidang Ekonomi (On-Line), http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1999/03/10/0011.html (17 Oktober 2007)

Luis Tineo, Maria Coppola, “Kebijakan mengenai Persaingan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia:Laporan tentang Masalah-Masalah dan Pilihan-Pilihan”, (On-Line), tersedia di http://lnweb18.worldbank.org/eap/ eap.nsf/2c4ea74c4d42fe8d8568b60074 (30 September 2007).

http://www.omm.com/files/publication/c281c55b-8d67-4ab9-b42b-cb8087398493/presentation/ PublicationAttachment/cf97da78-3219-4656-bf7c-cdc108955cae/TIJL_04_05.pdf, diakses pada tanggal 4 Juli 2011.

Dr. Sukarmi, S.H.,M.H.

Pembuktian Kartel