• Tidak ada hasil yang ditemukan

Edisi 5 - Tahun JURNAL_6_2011_cover.indd 1 08/12/ :08:00

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Edisi 5 - Tahun JURNAL_6_2011_cover.indd 1 08/12/ :08:00"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Gedung KPPU, Jl. Ir. H. Juanda No. 36 Jakarta 10210 - INDONESIA Telp.: +62-21-3519144 - 3507015 - 3507043 Faks.: +62-21-3507008 e-mail: infokom@kppu.go.id SURABAYA

Bumi Mandiri Lt. 7, Jl. Basuki Rahmat No. 129 Surabaya 60271 - JAWA TIMUR

Telp.: (031) 54540146, Faks : (031) 5454146 e-mail: kpd_surabaya@kppu.go.id

BALIKPAPAN

Gedung BRI Lt. 8, Jl. Sudirman No. 37 Balikpapan 76112 - KALIMANTAN TIMUR Telp.: (0542) 730373, Faks: (0542) 415939 e-mail: kpd_balikpapan@kppu.go.id

BATAM

Gedung Graha Pena Lt. 3A, Jl. Raya Batam Center Teluk Teriring Nongsa - Batam 29461 - KEPULAUAN RIAU Telp.: (0778) 469337, Faks.: (0778) 469433 e-mail: kpd_batam@kppu.go.id

Kantor Perwakilan Daerah KPPU :

www.kppu.go.id

MEDAN

Jl. Ir. H. Juanda No. 9A Medan - SUMATERA UTARA

Telp.: (061) 4558133, Fax. : (061) 4148603 e-mail: kpd_medan@kppu.go.id

MAKASSAR

Menara Makassar Lt. 1, Jl. Nusantara No. 1 Makassar - SULAWESI SELATAN

Telp.: (0411) 310733, Faks. : (0411) 310733 e-mail: kpd_makassar@kppu.go.id

MANADO

Gedung Gubernur Sulawesi Utara Jl. Tujuh Belas Agusutus No. 69 Manado - Sulawesi Utara

Telp.: (0431) 845559, Faks : (0431) 845559 e-mail : kpd_manado@kppu.go.id

(3)

JURNAL

PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

REPUBLIK INDONESIA

(4)

Edisi 6 - Tahun 2011 ISSN 2087 - 0353

Hak Penerbitan © 2011 KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

REPUBLIK INDONESIA Cetakan Pertama - Desember 2011

Penanggung Jawab Kurnia Sya’ranie Redaktur Ahmad Kaylani Penyunting/Editor F.Y. Andriyanto Redaktur Pelaksana Fintri Hapsari Redaksi

Santy Evita Irianty Tobing Retno Wiranti

Nurul Fauzia Rahmat Banu Widodo

Meiti Selita

Desain/Layout

Gatot M. Sutejo

Alamat Redaksi

Jl. Ir. H. Juanda No. 36, Jakarta Pusat 10120 Telp. 021 3507015, Faks. 021 3507008

(5)

Daftar isi

Editorial

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

Kajian Holistik Kelembagaan KPPU-RI:

Antara Harapan Vs Fakta Historis 2000-2011

Dr. Sukarmi, S.H.,M.H.

Kedudukan KPPU dalam Lembaga Extra Auxiliary

Prof. Dr. Ir. H. Ahmad Ramadhan Siregar, M.S.

Upaya Peningkatan Daya Saing Ekspor Indonesia

Ir. Dedie S. Martadisastra, S.E.,M.M.

Dampak Regulasi dan Persaingan Terhadap Hubungan

Ritel Modern dan Pemasok Domestik

Dr. Anna Maria Tri Anggraini, S.H., M.H.

Program Leniency dalam Mengungkap Kartel Menurut

Hukum Persaingan Usaha

Dr. Sukarmi, S.H.,M.H.

Pembuktian Kartel dalam Hukum Persaingan Usaha

1

iv

31

45

73

103

119

(6)

Editorial

IMPLEMENTASI Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya tidak hanya menjadi tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) namun juga memerlukan dukungan stakeholder yaitu pelaku usaha dan regulator. Peran pelaku usaha, dalam hal ini, diwujudkan melalui kesadaran untuk senantiasa berusaha dengan praktek bisnis yang sehat, sementara bagi regulator peran ini dapat berupa kebijakan yang mendukung terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat.

Untuk itu, diperlukan suatu pola komunikasi yang konstruktif antara 3 (tiga) komponen di atas, termasuk diantaranya pemahaman bersama tentang tugas kelembagaan, kejelasan hukum acara, dan strategi kebijakan persaingan yang segaris dengan peraturan UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Jurnal ini merupakan salah satu media untuk mencapai kesepahaman dimaksud sekaligus juga menjadi instrumen komunikasi publik yang berisikan gagasan-gagasan Komisioner mengenai isu persaingan usaha terkini.

Terkait isu kelembagaan, Komisioner Prof. Dr. Tresna P. Soemardi menulis tentang “Kajian Holistik Kelembagaan KPPU-RI : Antara Harapan vs Fakta Historis 2000-2011,” sementara Komisioner Dr. Sukarmi SH., MH. membahas kedudukan KPPU sebagai lembaga Extra Auxiliary melalui tulisan “Kedudukan KPPU dalam Lembaga Extra Auxiliary”.

Dalam kerangka hukum acara, Komisioner Dr. Anna Maria Tri Anggraini SH., MH mengangkat tulisan tentang “Program Leniency dalam Mengungkap Kartel.” Tulisan ini amat bernilai karena leniency program dalam best practices internasional telah menjadi instrumen otoritas persaingan untuk mengungkap kasus kartel. Lantas bagaimana membuktikan kartel? Komisioner Dr.Sukarmi dalam artikel yang lain dengan judul “Pembuktian Kartel dalam Hukum Persaingan Usaha” akan membahasnya.

(7)

Selanjutnya dalam rangka penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat, Komisioner Prof. Dr. Ir. Ahmad Ramadhan Siregar MS menulis mengenai ”Upaya Peningkatan Daya Saing Eksport Indonesia,” sedangkan Komisioner Ir. Dedy Martadisastra SE, MM membahas masalah hubungan ritel modern dengan pemasoknya dengan judul “Dampak Regulasi dan Persaingan Terhadap Hubungan Ritel Modern dan Pemasok Domestik.” Dua tulisan ini merupakan salah satu wujud perhatian KPPU akan pentingnya pertimbangan daya saing dan perlindungan atas ketidakseimbangan bargaining power (daya tawar) pelaku usaha di Indonesia.

Pada akhirnya kita berharap Jurnal Edisi 6 Tahun 2011 ini dapat menjadi rujukan semua pihak dalam memahami isu-isu persaingan usaha di Indonesia.

(8)
(9)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

Kajian Holistik

Kelembagaan

KPPU-RI:

Antara Harapan Vs

Fakta Historis

2000-2011

(10)

ABSTRAKSI

LEMBAGA NEGARA Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, semenjak mulai bekerjanya pada tahun 2000 sampai saat ini harus terus memperkuat posisi kelembagaannya agar dapat memenuhi permintaan masyarakat maupun lembaga badan usaha dan lembaga lainnya secara kredibel dan profesional.

Road Map strategis yang telah dibuat dalam Rencana Strategis pertama KPPU-RI 2007-2012 mempunyai visi menjadi lembaga persaingan usaha yang kredibel dan mampu berperan mengikis praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam pembangunan ekonomi nasional yang akan mensejahterakan rakyat, sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

Dalam perjalanannya, lebih operasional dalam rencana strategisnya, KPPU-RI mempunyai 3 (tiga) misi yaitu advokasi nilai-nilai persaingan sehat, penegakan hukum persaingan dan terus mengembangkan kelembagaan yang kredibel dan profesional.

Untuk mencapai visi dan misi di atas KPPU harus mampu melihat strategic gap atau kesenjangan strategis dalam lima tahunan sesuai dengan masa jabatan komisioner, untuk dituangkan dalam program dan kegiatan tahunan yang sasaran dan target 5 (lima) tahunan dapat dicapai. Good governance dan best practices harus terus dikembangkan dan diimplementasikan secara holistik dalam tubuh kelembagaan KPPU sehingga keteraturan, transparansi dan akuntabel (compliance), efisiensi dan efektivitas dapat terwujud dalam kelembagaan KPPU yang kredibel.

Kertas kerja ini mencoba menyumbangkan kajian holistik kelembagaan KPPU-RI sejak tahun 2000-2011. Berbagai harapan dari Lahirnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dijabarkan mulai dari UUD tahun 1945 dan amandemennya mengatur kelembagaan negara, sampai pada implementasi Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sebagai lembaga yang relevan untuk dikaji terkait penguatan Kelembagaan KPPU-RI. Kertas kerja ini juga secara historis mendeskripsikan dan memberikan analisis mengenai permasalahan kelembagaan KPPU dalam kurun historis 2000-2011. Alternatif solusi permasalahan kelembagaan KPPU-RI juga dianalisis pada kertas kerja ini. Semoga bermanfaat.

(11)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

KAJIAN HOLISTIK

KELEMBAGAAN KPPU-RI:

ANTARA HARAPAN VS FAKTA HISTORIS

2000-2011

I. Pendahuluan

KEMERDEKAAN Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan momentum penting dalam lahirnya negara dan ketatanegaraan Indonesia. Perkembangan Indonesia yang telah lebih dari 65 tahun menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi telah menghasilkan banyak kemajuan, dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat dan kemajuan di berbagai dimensi.

Kemajuan yang telah dicapai selama ini ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peluang-peluang usaha yang tercipta. Akan tetapi juga disadari bahwa peluang usaha yang tercipta selama ini belum mampu membuat seluruh rakyat Indonesia dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi.

Terkait dengan berbagai dilema dalam sektor pembangunan ekonomi terutama dalam bidang persaingan usaha, muncul sebuah gagasan perlu diatur secara khusus mengenai aspek persaingan usaha dan dibentuknya lembaga yang menjadi pengawas di bidang persaingan usaha. Menindaklanjuti hal tersebut, Dewan Perwakilan Rayat berinisiatif membuat Rancangan Undang-undang terkait dengan persaingan usaha dan pada tanggal 5 Maret 1999 disahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam undang-undang dimaksud, tertuang secara jelas aspek-aspek terkait larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, serta terbentuknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, lahir pada masa awal era reformasi dimana pada saat itu masyarakat Indonesia merasakan pahitnya dampak konglomerasi perusahaan-perusahaan yang melakukan praktek monopoli di hampir seluruh sektor ekonomi. Maraknya

(12)

perekonomian monopolistik yang timbul sebagai akibat adanya kolusi penguasa dan pengusaha. Demikian juga dengan tekanan internasional yang telah mempengaruhi lahirnya undang-undang ini.

Dalam perjalanan sepuluh tahun KPPU dalam mengawal UU No. 5 Tahun 1999 ternyata masih mendapatkan kendala yang besar dalam aspek kelembagaan. Mulai sejak berdiri hingga kini, status kelembagaan KPPU sebagai lembaga negara masih saja dipertanyakan oleh berbagai pihak, bahkan dalam lingkup pemerintah sendiri. Masalah kelembagaan yang dialami KPPU dimaksud kemudian mengkondisi pagar penghalang yang menghalangi KPPU untuk berkembang menjadi lembaga negara seutuhnya. Permasalahan kelembagaan dirasakan begitu besar sampai ke tingkat teknis pengelolaan sumber daya manusia (SDM) terutama status kepegawaian maupun pengelolaan keuangan di lingkungan Sekretariat KPPU. Oleh karena itu penuntasan permasalahan kelembagaan KPPU menjadi agenda bersama guna terwujudnya KPPU yang modern dan kredibel. Kemajuan KPPU adalah kemajuan negeri ini.

Untuk membahas lebih lanjut terkait KPPU, muncul pertanyaan kemudian yaitu:

1. Apakah KPPU merupakan Lembaga Negara?

2. Apakah yang menjadi permasalahan kelembagaan KPPU? 3. Bagaimanakah alternatif solusi permasalah tersebut?

II. Kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Pembentukan KPPU merupakan amanat dari UU No. 5 Tahun 1999, dimana dalam Pasal 30 berbunyi:

(1) untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.

(2) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.

(3) Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal di atas merupakan dasar hukum terbentuknya KPPU yang kemudian untuk selanjutnya akan dibahas apakah KPPU merupakan Lembaga Negara atau bukan. Sebelum dibahas mengenai status kelembagaan KPPU, terlebih dahulu akan disampaikan terminologi dari lembaga negara sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945. Adapun terminologi lembaga negara sesuai dengan UUD 1945 tidak begitu eksplisit disebutkan secara jelas, akan tetapi pada prinsipnya membagi lembaga-lembaga dalam tiga fungsi yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Oleh karena itu perlu disampaikan terlebih dahulu potret lembaga negara sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945, juga perlu disampaikan mengenai kondisi

(13)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

lembaga negara lain, dalam hal ini yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).

A. Lembaga Negara Sebelum Amandemen UUD 1945

Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) berlaku hingga tahun 1949, dimana untuk selanjutnya UUD 1945 diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949. Perubahan tersebut membawa konsekuensi yuridis dengan berubahnya pula struktur ketatanegaraan Indonesia pada waktu itu.

Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia Serikat, atau lebih dikenal dengan UUD RIS atau Konstitusi RIS adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia Serikat sejak tanggal 27 Desember 1949 (yakni tanggal diakuinya kedaulatan Indonesia dalam bentuk RIS) hingga diubahnya kembali bentuk negara federal (RIS) menjadi negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950. Dalam Konstitusi RIS 1949, menyebutnya istilah lembaga negara dengan istilah “alat-alat perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat”.

Menyerupai lembaga negara, alat-alat perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat yaitu;

1. Presiden; 2. Menteri; 3. Senat;

4. Dewan Perwakilan Rakyat; 5. Mahkamah Agung Indonesia; 6. Dewan Pengawas Keuangan.

Disamping alat-alat perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat di atas, disinggung pula keberadaan suatu sidang pembuat konstitusi, yaitu Konstituante. Sidang ini bersama-sama dengan Pemerintah bertugas untuk selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesa Serikat yang akan menggantikan Konstitusi Sementara ini. Di luar yang disebut sebagai alat-alat perlengkapan federal, Pasal 180 ayat (1) menyebutkan keberadaaan Tentara Republik Indonesia Serikat yang bertugas melindungi kepentingan-kepentingan Republik Indonesia Serikat.

Setelah Konstitusi RIS, di Indonesia berlaku Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, atau dikenal dengan UUDS 1950, adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan

(14)

Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam sidang pertama babak ke-3 rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.

Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Dewan Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Dewan Konstituante secara demokratis, namun Dewan Konstituante tersebut gagal membentuk konstitusi baru hingga berlarut-larut.

Dalam UUDS 1950 dinamakan sebagai istilah alat-alat perlengkapan negara. Pasal 44 Ketentuan Umum dari Bab II tentang Alat-alat Perlengkapan Negara menyebutkan bahwa alat-alat perlengkapan negara ialah:

a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Menteri;

c. Dewan Perwakilan Rakyat; d. Mahkamah Agung Indonesia; e. Dewan Pengawas Keuangan.

Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang antara lain berisi kembali berlakunya UUD 1945.

B. Lembaga Negara Sesudah Amandemen UUD 1945

Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa UUD 1945 pernah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Konstitusi RIS dan dinyatakan berlaku kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Terkait dengan terminologi lembaga negara, baik UUD 1945 yang berlaku sebelum UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, dan berlaku kembali setelah Dekrit Presiden 1959, sama sekali tidak memberi panduan untuk mengidentifikasi atau memaknai organ-organ penyelenggara negara secara jelas.

Dalam UUD 1945 tidak ditemui satu kata “lembaga negara” pun sehingga menyulitkan dalam mengidentifikasi dan memaknai lembaga negara. Yang ada “badan”, misalnya dalam Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 “badan” dipergunakan untuk menyebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Demikian pula dengan Pasal 24 UUD 1945, “badan” untuk menyebut “Badan Kehakiman”. Dalam Pasal II Aturan Peralihan dipergunakan istilah “badan”. Begitu pula untuk menyebut MPR, penjelasan UUD 1945 menggunakan istilah “badan”. Untuk DPRD, Pasal 18 UUD 1945 juga menggunakan istilah “badan”. Badan yang secara konsisten dipergunakan dalam batang tubuh dan penjelasan UUD 1945 sebagai organ negara oleh MPRS kemudian diubah atau ditafsirkan menjadi “lembaga”.

(15)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

Terkait dengan istilah lembaga negara muncul dan banyak dijumpai dalam ketetapan-ketetapan MPR. Istilah lembaga negara pertama kali muncul dan diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Dalam ketetapan tersebut terlampir skema susunan kekuasaan negara RI yang menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara di bawah UUD, sedangkan Presiden, DPR, BPK, DPA, dan MA sebagai lembaga negara di bawah MPR. Meskipun ketetapan tersebut telah menentukan skema kekuasaan negara, sama sekali belum menyinggung istilah “lembaga tertinggi” dan “lembaga tinggi negara”.

Istilah lembaga negara dijumpai dalam Ketetapan MPRS No. XIV/ MPRS/1966 tentang pembentukan panitia ad hoc MPRS yang bertugas meneliti lembaga-lembaga negara, penyusunan bagan pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara menurut sistem UUD 1945, penyusunan rencana penjelasan pelengkap UUD 1945, dan penyusunan perincian hak-hak asasi manusia. Dalam UUD 1945 ini keberadaan tentang lembaga negara hanya digolongkan ke dalam lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara.

Selanjutnya kita ketahui bersama bahwa pada era reformasi dengan ditandai jatuhnya rezim orde baru, menandai berbagai perubahan besar dalam kehidupan ketatanegaraan. Mulai tahun 1999 terjadi beberapa perubahan terhadap UUD 1945 hingga sebanyak empat kali amandemen. Perubahan terjadi pada struktur kenegaraan, ada yang dihapus, berkurang dan bergeser tugas dan wewenangnya, ada pula yang baru.

Sebagai bagian dan rangkaian proses reformasi, penataan sistem kelembagaan negara pun dilakukan. Penataan tersebut dilakukan melalui perubahan fungsi dan wewenang beberapa lembaga negara ataupun pembentukan lembaga negara baru. Semakin banyak dan beragamnya lembaga-lembaga negara mengakibatkan biasnya konsepsi lembaga negara itu sendiri.

Apabila dicermati secara seksama dalam ketentuan UUD 1945 hasil amendemen sama sekali tidak terdapat ketentuan hukum yang mengatur tentang definisi lembaga negara, sehingga tidak sedikit pemikir hukum Indonesia yang membuat pemikiran hukum sendiri-sendiri dalam mendefinisikan dan mengklasifikasikan konsep lembaga negara. Petunjuk yang dapat ditemukan terkait dengan hal tersebut diberikan UUD 1945 pasca amendemen adalah berdasarkan Pasal 24C ayat (i) yang menyebutkan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengadili dan memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

(16)

Selanjutnya setelah amendemen UUD 1945 dikenal dua istilah untuk mengidentifikasi organ-organ penyelenggara negara, yakni istilah badan dan lembaga. Namun, perbedaan itu sama sekali tidak mengurangi esensi adanya organisasi yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Walaupun demikian, memang akan terjadi beberapa silang pendapat ketika akan menggolongkan berdasarkan fungsi penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan karena pernah juga terdapat istilah selain lembaga negara, yakni lembaga pemerintahan.

Hal tersebut menimbulkan ketidakjelasan ketentuan UUD 1945 dalam mengatur lembaga negara mengakibatkan munculnya banyak ragam penafsiran. Ketidakjelasan itu dapat dilihat dan tidak adanya standar atau kriteria suatu lembaga bisa diatur atau tidak diatur dalam konstitusi. Hasil amandemen UUD 1945 memberikan pengaturan ada lembaga-lembaga yang disebutkan dengan jelas wewenangnya, ada yang secara umum disebutkan wewenangnya ada yang tidak sama sekali. Selain itu ada lembaga yang disebutkan dengan menggunakan huruf besar dan menggunakan huruf kecil. Sehingga hal ini menimbulkan berbagai macam penafsiran. Salah satunya adalah penafsiran yang disampaikan oleh Prof. Jimly Asshidiqie, dimana beliau membagi lembaga negara menjadi lembaga negara utama (main state’s organ) dan lembaga negara bantu (auxiliary state’s organ). Lembaga negara utama mengacu kepada paham trias politica yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga poros, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan mengacu kepada ketentuan ini, yang dapat dikategorikan sebagai lembaga negara utama menurut UUD 1945 adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, sedangkan lembaga-lembaga yang lain masuk kategori lembaga-lembaga negara bantu.

Terminologi lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang-undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari undang-undang, dan bahkan ada pula yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang-undang Dasar merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan undang-undang merupakan organ undang-undang, sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan peraturan daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.

(17)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

Sehubungan dengan pengertian tentang lembaga negara dimaksud, ahli-ahli tata negara memberikan penjelasan bahwa pada umumnya keberadaan negara dikenal dari luar dan secara internal. Dari luar, keberadaan negara dikenal melalui bentuk negara, apakah kesatuan atau federasi. Termasuk hal ini adalah bentuk pemerintahan, apakah republik atau monarki, serta identitas kenegaraan lainnya. Sementara itu secara internal, keberadaaan negara dikenal melalui alat-alat kelengkapan negara. Kelengkapan negara inilah yang kemudian dinamakan “Lembaga Negara”. Bagir Manan mengklasifikasi lembaga negara menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu lembaga negara yang bersifat ketatanegaraan, lembaga negara yang bersifat administratif, dan yang bersifat membantu (Auxiliary Agents).

Dalam perkembangannya lembaga negara yang bersifat ketatanegaraan sendiri digolongkan menjadi lembaga negara sebagai syarat keberadaan negara, dan lembaga yang tidak absolut terhadap keberadaan negara. Arti dari syarat keberadaan negara adalah bahwa keberadaan negara ini harus ada agar fungsi negara bisa berjalan dengan maksimal dan baik. Pendekatan yang digunakan adalah fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bagir Manan menegaskan bahwa terlepas dari trias politica Montesquieu ini dianut atau tidak, kenyataannya pada umumnya negara menjalankan fungsi-fungsi tersebut dalam menyelenggarakan negaranya. Sementara itu lembaga negara yang tidak absolut berarti tanpa keberadaan lembaga ini fungsi-fungsi negara sudah dapat dijalankan. Contoh dari lembaga yang tidak absolut ini adalah BPK. Kategori lembaga negara lainnya adalah lembaga yang bersifat administratif. Artinya, bahwa keberadaan lembaga ini adalah sebagai pelaksana pemerintahan secara administrasi.

Lembaga negara kategori ketiga adalah lembaga yang keberadaannya sebagai pendukung fungsi-fungsi kenegaraan yang dilakukan oleh lembaga ketatanegaraan yang absolut. Artinya sebagai organ pembantu fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Termasuk contoh lembaga negara yang bersifat auxiliary ini adalah Komisi Yudisial yang bertugas mendukung fungsi yudikatif.

Walaupun setiap negara berbeda-beda dalam menuangkan hal-hal yang akan diatur dalam konstitusinya, namun pada umumnya setiap konstitusi memuat hal-hal sebagai berikut:

1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;

2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; 3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas yang bersifat fundamental. Terkait dengan kelembagaan KPPU, guna menjawab pertanyaan apakah KPPU merupakan lembaga negara, akan dibahas dengan membedah isi

(18)

dari UU No. 5 Tahun 1999 dan best practice dalam penyelenggaraan kenegaraan. Sebagaimana telah disampaikan diawal bahwa KPPU lahir dimasa era reformasi dan RUU-nya pun merupakan inisiatif dari DPR. Pada Pasal 1 huruf 18 yang berbunyi:

”Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah Komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.” Terkait hal tersebut diperluas kemudian dalam Pasal 30 yang berbunyi: (1) Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi

Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi. (2) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari

pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain. (3) Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.

Dalam Pasal 30 tersebut terlihat dengan jelas karakteristik kelembagaan KPPU yaitu:

a. Dibentuk dengan undang-undang; b. Bertanggung jawab kepada Presiden.

Dari dua hal tersebut telah menunjukkan bahwa KPPU merupakan lembaga yang lahir berdasarkan undang-undang, dimana salah satu ciri dasar yang wajib dimiliki oleh lembaga negara adalah bahwa lembaga tersebut lahir dari amanat produk resmi kenegaraan, yaitu bisa diamanatkan oleh Konstitusi (Undang-undang Dasar) atau undang-undang. Kemudian jelas disebutkan bahwa KPPU bertanggung jawab kepada Presiden adalah ciri selanjutnya dari sebuah lembaga negara, dimana lembaga negara pertanggungjawabannya kepada Presiden. Apabila itu bukan lembaga negara yang biasanya disebut Non Governmental Organization pertanggungjawabannya adalah kepada pemberi dana.

Gambaran selanjutnya bahwa KPPU adalah lembaga negara terlihat dalam Pasal 31 ayat (2):

(2) Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal diatas jelas sekali menunjukkan posisi KPPU berada dalam lingkup Pemerintahan Republik Indonesia, dimana setelah dilakukan fit and proper test oleh DPR terhadap calon Anggota KPPU, maka untuk selanjutnya yang mempunyai hak untuk mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi adalah Presiden. Diangkat dan diberhentikannya anggota Komisi oleh Presiden menunjukkan secara struktural pemerintahan, KPPU berada pada lingkup Pemerintahan Republik Indonesia. Pertanggungjawaban KPPU kepada Presiden menunjukkan bahwa KPPU merupakan lembaga negara yang dibawah koordinasi langsung Presiden.

(19)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

Ciri selanjutnya dari sebuah lembaga negara adalah pembiayaan lembaga tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jelas disebutkan dalam Pasal 37 yang berbunyi:

”Biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Melalui Peraturan Pemerintah No. 80 tahun 2008 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, jelas telah disebutkan dalam Pasal 15A yang berbunyi:

(1) Biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan.

(2) Penyusunan rencana kerja dan anggaran dikelola oleh Ketua Komisi selaku Pengguna Anggaran di lingkungan Komisi. (3) Pada saat mulainya Peraturan Presiden ini, pembiayaan

pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi dibebankan kepada Bagian Anggaran Departemen Perdagangan sampai dengan Komisi memiliki Bagian Anggaran sendiri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran Komisi diatur oleh Ketua Komisi setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan.

Ketentuan Peraturan Pemerintah No. 80 tahun 2008 ini menjadi dasar hukum pengelolaan secara mandiri penggunaan APBN oleh KPPU yang sebelumnya penggunaan APBN oleh KPPU masih menginduk pada Bagian Anggaran, Departemen Perdagangan. Sejak berdirinya KPPU di tahun 2000, seluruh pembiayaannya menggunakan APBN. Dimana sejak berdiri hingga Oktober 2010 APBN yang dipergunakan oleh KPPU adalah sebesar Rp 245.780.000.000,00.

Oleh karena itu pembiayaan setiap lembaga negara di negeri ini dibebankan pada APBN. Dikarenakan fungsi pemerintah sebagai pemegang kewenangan pengelolaan fiskal amat sangat berkepentingan terhadap efektif dan efisiennya penyelenggaraan pemerintahan. Dengan adanya tiga indikator utama yaitu dibentuk oleh undang-undang, bertanggung jawab kepada Presiden, dan pembiayaannya dibebankan dalam APBN, tidak ada alasan untuk meragukan bahwa KPPU adalah lembaga negara seutuhnya. Perdebatan selanjutnya terkait dengan kelembagaan KPPU adalah mengenai status bentuk lembaganya sesuai dengan UU No. 5 Tahun

(20)

1999. Adapun seandainya perdebatan mengenai kelembagaan KPPU berdasarkan Pasal 30 ayat (2) yang berbunyi:

(2) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.

Dimana dalam pasal tersebut tidak muncul istilah lembaga negara akan tetapi dipergunakan istilah lembaga independen, bukan berarti bahwa KPPU bukan merupakan lembaga negara. Pasal 30 ayat (2) tersebut bisa dijelaskan, bahwa KPPU merupakan lembaga independen, dimana independensi KPPU ada terkait proses penegakan hukum persaingan usaha dan produk putusan yang dihasilkan oleh KPPU. Hal tersebut berkaitan erat dengan wewenang yang dimiliki oleh KPPU sebagaimana termaktub dalam Pasal 36, yaitu:

1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;

4. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

5. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

6. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

7. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi; 8. meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya

dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;

9. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;

10. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;

11. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

(21)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

12. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Wewenang tersebut muncul dengan adanya amanat undang-undang yang mengamanatkan tugas dari Komisi sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 35 yaitu:

1. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; 2. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan

pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;

3. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;

4. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;

5. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

6. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini;

7. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Jadi independensi KPPU yang dimaksud adalah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 5 Tahun 1999 dengan tidak adanya campur tangan maupun pengaruh dari kekuasaan pemerintah dan pihak lain. Selain itu independensi KPPU juga termaktub dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 80 tahun 2008 dimana disebutkan bahwa dalam menangani perkara, anggota Komisi bebas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.

C. Kelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pusat Pelaporan dan

Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

Dalam mengupas kelembagaan KPPU, terlebih dahulu akan dibahas keberadaan lembaga negara lain yang ada di Indonesia yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). MK merupakan lembaga yang pembentukannya diamanatkan oleh konstitusi, kemudian

(22)

PPATK dan KPK pembentukannya diamanatkan oleh undang-undang. Ada perbedaan antara PPATK dan KPK, dimana KPK merupakan lembaga negara ad hoc yang melaksanakan fungsi pemberantasan korupsi yang sebenarnya telah dimilki oleh Kepolisian RI dan Kejaksaan RI. Oleh karena itu 3 (tiga) lembaga ini akan dipergunakan sebagai pembanding terhadap berbagai macam silsilah atau awal pembentukan lembaga negara. Sehingga pada akhirnya diharapkan mampu menunjukkan kelembagaan KPPU.

1. Mahkamah Konstitusi (MK)

Berdirinya MK diawali dengan perubahan ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya perubahan ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil perubahan keempat.

DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu. Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para hakim konstitusi di istana negara pada tanggal 16 Agustus 2003.

MK dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, MK biasa disebut sebagai the guardian of the constitution seperti sebutan yang biasa dinisbatkan kepada Mahkamah Agung di Amerika Serikat.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, MK dilengkapi dengan lima kewenangan, yaitu:

1. menguji konstitusionalitas undang-undang;

2. memutus sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara;

3. memutus perselisihan mengenai hasil pemilihan umum; 4. memutus pembubaran partai politik;

5. memutus pendapat DPR yang berisi tuduhan bahwa Presiden melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, sebelum hal itu dapat diusulkan untuk diberhentikan oleh MPR.

(23)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

Dalam melaksanakan fungsi peradilan keempat bidang kewenangan tersebut, MK melakukan penafsiran terhadap UUD 1945, sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan tertinggi menafsirkan UUD 1945. Oleh karena itu, disamping berfungsi sebagai pengawal konstitusi, MK juga biasa disebut sebagai the sole interpreter of the constitution.

Bahkan dalam rangka kewenangannya untuk memutus perselisihan hasil pemilu, MK juga dapat disebut sebagai pengawal proses demokratisasi dengan cara menyediakan sarana dan jalan hukum untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di antara penyelenggaraan pemilu yang dapat memicu terjadinya konflik politik dan bahkan konflik sosial di tengah masyarakat. Dengan adanya MK, potensi konflik semacam itu dapat diredam dan bahkan diselesaikan melalui cara-cara yang beradab di meja MK. Oleh karena itu, disamping berfungsi sebagai pengawal konstitusi, MK juga berfungsi sebagai penafsir konstitusi, pengawal demokrasi, dan pelindung hak asasi manusia.

Dalam UUD 1945, ketentuan mengenai MK diatur dalam Pasal 24C yang terdiri atas 6 ayat, yang didahului oleh pengaturan mengenai Komisi Yudisial (KY) pada Pasal 24B. Dalam UU tentang KY, MK bersama-sama MA merupakan objek yang diawasi perilaku hakim-hakimnya. Dalam Pasal 24C ayat (3) ditentukan bahwa MK mempunyai sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden. Pasal 24C ayat (4) menjelaskan bahwa: ”Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh Hakim konstitusi.” ”Hakim Konstitusional disyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara” (Pasal 24C ayat (5)). ”Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang MK diatur dengan undang-undang” (Pasal 24C ayat (6)).

Jika dibandingkan dengan sesama lembaga tinggi negara lainnya, MK ini mempunyai posisi yang unik. MPR yang menetapkan UUD 1945, sedangkan MK yang mengawalnya. DPR yang membentuk undang-undang, tetapi MK yang membatalkannya jika terbukti bertentangan dengan UUD 1945.

MA mengadili perkara pelanggaran hukum di bawah undang-undang, sedangkan MK mengadili pelanggaran perkara UUD. Jika DPR ingin mengajukan tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, maka sebelum diajukan ke MPR untuk diambil putusan, tuntutan tersebut diajukan

(24)

dulu ke MK untuk pembuktiannya secara hukum. Semua lembaga negara tersebut saling berselisih pendapat atau bersengketa dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya satu sama lain, maka yang memutus final dan mengikat atas persengketaan itu adalah MK. Ditinjau dari kelembagaan MK, jelas disitu terlihat bahwa lahirnya MK karena adanya amanat konstitusi, dimana jelas disebutkan pada Pasal 5 UU MK bahwa Hakim Konstitusi adalah Pejabat Negara. Pernyataan deklaratur dalam pasal tersebut telah mengkondisikan bahwa MK merupakan lembaga negara yang utuh dimana Hakim Konstitusi dipilih oleh DPR yang kemudian diangkat oleh Presiden. Tatanan struktur organisasi MK untuk selanjutnya termaktub dalam Pasal 7 UU MK yang berbunyi:

”Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan.” Hal tersebut kemudian dikuatkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 8 UU MK dimana ketentuan mengenai Susunan Organisasi, Fungsi, Tugas, dan Wewenang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konsitusi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan hal tersebut dapat kita lihat bahwa implementasi dari pembentukan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi semuanya diisi dan diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), dimana Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi merupakan jabatan esselon I dan sekaligus sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian.

Kemudian terkait dengan anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada APBN sebagaimana termaktub pada Pasal 9 yang berbunyi:

”Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam APBN.”

Menilik dari penjelasan di atas jelas bahwa Mahkamah Konstitusi yang pembentukannya melalui undang-undang atas amanat dari UUD 1945, kemudian pejabat dan pegawainya adalah PNS dimana segala biaya operasional Mahkamah Konstitusi dibebankan pada APBN, lengkap sudah menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara seutuhnya.

2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

KPK dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 1

(25)

undang-Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

undang ini menentukan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tindak pidana korupsi itu sendiri adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Setiap penyelenggara negara, seperti yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, diharapkan dapat dibebaskan dari segala bentuk perbuatan KKN sehingga benar-benar bersih dan berwibawa.

Dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, nama Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status hukum KPK secara tegas ditentukan sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Pembentukan KPK bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi di tanah air yang telah mengakar di semua sendi kehidupan bernegara. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK bekerja berdasarkan asas sebagai berikut:

a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 mengatur mengenai kewajiban KPK, antara lain:

1. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi;

(26)

2. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;

3. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden, DPR, dan BPK;

4. menegakkan sumpah jabatan;

5. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud Pasal 5.

KPK berkedudukan di Ibukota Negara dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Karena luasnya cakupan dan jangkauan tugas dan kewenangannya itu, maka ditentukan pula bahwa KPK dapat membentuk perwakilan di daerah-daerah provinsi di seluruh Indonesia.

Dalam menjalankan atau melaksanakan tugas dan kewenangannya, KPK bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK. Pertanggungjawaban publik yang dimaksud itu dilaksanakan dengan cara:

1. wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya;

2. menerbitkan laporan tahunan; 3. membuka akses informasi.

Adapun terkait dengan struktur organisasi KPK meliputi:

a. Pimpinan KPK yang terdiri dari ketua merangkap anggota, dan empat orang wakil ketua yang masing-masing merangkap anggota; b. Tim Penasihat yang terdiri dari empat anggota;

c. Pegawai KPK sebagai pelaksana tugas.

Pimpinan KPK secara clear ditentukan sebagai pejabat negara, dan merupakan penyidik dan penuntut umum. Pimpinan KPK bekerja secara kolektif, dan secara bersama-sama merupakan penanggung jawab KPK. Menurut ketentuan Pasal 29, untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. warga negara RI;

2. bertakwa kepada Tuhan YME; 3. sehat jasmani dan rohani;

4. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan;

5. berumur sekurang-kurangnya 40 tahun dan setinggi-tingginya 65 tahun pada proses pemilihan;

(27)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

6. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

7. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;

8. tidak jadi pengurus salah satu partai politik;

9. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota KPK;

10. tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota KPK; 11. mengumumkan kekayaannya sesuai dengan

peraturan-perundangan yang berlaku.

Pimpinan KPK dipilih oleh DPR atas usulan Presiden. Masa jabatan pimpinan KPK itu selama empat tahun dan sesudah itu dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.

Pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena: 1. meninggal dunia;

2. berakhir masa jabatannya;

3. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan; 4. berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari

tiga bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya; 5. mengundurkan diri; atau

6. dikenai sanksi berdasarkan undang-undang ini.

Dalam hal Pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, maka yang bersangkutan diberhentikan untuk sementara waktu dari jabatannya. Pemberhentian sementara tersebut ditetapkan oleh Presiden. Dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK, Presiden mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR. Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.

Pada saat berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, pemberantasan korupsi sebenarnya sudah ditangani oleh berbagai institusi, misalnya kejaksaan dan kepolisian, serta badan lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, agar tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan antar instansi tersebut dengan KPK, maka kewenangan yang diberikan kepada KPK diatur secara hati-hati.

Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, meliputi:

1. tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan

(28)

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan atau penyelenggara negara;

2. tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat;

3. tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit satu milyar rupiah.

Dengan pengaturan dalam undang-undang ini, maka KPK:

1. dapat menyusun jaringan kerja yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai counter partner yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;

2. tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;

3. berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism);

4. berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan atau kejaksaan.

Selain itu, dalam usaha pemberdayaan secara efektif, KPK telah didukung pula oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis, antara lain:

1. ketentuan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;

2. ketentuan tentang wewenang KPK yang dapat melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara;

3. ketentuan tentang pertanggungjawaban KPK kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden, DPR, dan BPK;

4. ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau pegawai pada KPK yang melakukan korupsi; dan

5. ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota KPK yang melakukan tindak pidana korupsi.

(29)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

Jelas terlihat di atas betapa besar peran KPK dalam pembangunan secara makro dan penegakkan hukum pada khususnya. Terlepas dari betapa besarnya peran yang harus diemban oleh KPK terlihat bahwasanya KPK merupakan lembaga yang lahir dari amanat undang-undang. Pimpinan KPK dipilih oleh DPR atas usulan Presiden, dimana ketentuan tentang pertanggungjawaban KPK kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden, DPR, dan BPK.

Dapat disampaikan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang utuh dimana dalam Pasal 21 UU No. 30 Tahun 2002 jelas disebutkan bahwa pimpinan KPK adalah pejabat negara. Tidak ada keraguan lagi apabila suatu lembaga negara yang pimpinannya adalah pejabat negara, maka tiada lain lembaga tersebut adalah lembaga negara. Berbagai macam pembahasaan dalam undang-undang satu dengan yang lain merupakan hal yang wajar, sebagai bukti bahwa lembaga negara tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain.

Adapun KPK dalam mengatur kesekretariatannya juga cukup terperinci. Hal tersebut dapat kita temukan pada Pasal 27 UU No. 30 Tahun 2002 yang berbunyi:

(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, Komisi Pemberantasan Korupsi dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal;

(2) Sekretaris Jenderal pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia.

Lazimnya sebagai sebuah Sekretariat Jenderal, maka Sekretaris Jenderal inilah yang nantinya akan mengelola keuangan KPK dan dialah yang menjadi Kuasa Pengguna Anggaran nantinya.

Terkait dengan sistem pembinaan kepegawaian KPK tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2003 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi. PP dimaksud merupakan langkah pembuka awal dasar terbentuknya pola pembinaan pegawai KPK yang profesional.

Untuk selanjutnya sehubungan dengan jenjang esselonering jabatan di KPK termaktub dalam Pasal 6 PP dimaksud yang berbunyi: (1) Sekretaris Jenderal dan Deputi setara dengan jabatan eselon IA; (2) Direktur dan Kepala Biro setara dengan jabatan eselon IIA; (3) Koordinator Sekretaris Pimpinan, Kepala Sekretariat, dan Kepala

(30)

Jelas terlihat dalam pola jenjang karir di KPK bahwa pola jenjang karir dalam Pemerintahan pada umumnya menjadi salah satu hal yang dipehitungkan.

3. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

(PPATK)

PPATK lahir karena adanya desakan dunia Internasional karena semakin tingginya tindak pidana pencucian uang (money laundering) di seluruh belahan dunia. Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi; penyuapan (bribery); penyelundupan barang; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan imigran; perbankan; perdagangan gelap narkotika dan psikotropika; perdagangan budak, wanita dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan; dan berbagai kejahatan kerah putih. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya.

Perbuatan pencucian uang di samping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang telah menjadi perhatian internasional.

Berbagai upaya telah ditempuh oleh masing-masing negara untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang termasuk dengan cara melakukan kerja sama internasional, baik melalui forum secara bilateral maupun multilateral. Dalam konteks kepentingan nasional ditetapkannya undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang merupakan penegasan bahwa Pemerintah dan sektor swasta bukan merupakan bagian dari masalah, akan tetapi bagian dari penyelesaian masalah, baik di sektor ekonomi, keuangan, maupun perbankan. Lahirnya PPATK ditandai dengan disahkannya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam Pasal 18 yang berbunyi:

(1) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dengan Undang-undang ini dibentuk PPATK;

(31)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

(2) PPATK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya; (3) PPATK bertanggung jawab kepada Presiden.

Jelas diatas telah diterangkan bahwa salah satu ciri dari lembaga negara adalah lahirnya lembaga tersebut dari amanat undang-undang. Oleh karena itu sebagaimana MK dan KPK maka PPATK juga merupakan lembaga negara. Hal tersebut juga semakin dikuatkan oleh adanya amanat undang-undang yang menyatakan bahwa PPATK bertanggung jawab kepada Presiden. Adapun yang dimaksud dengan “independen” adalah bebas dari intervensi dan pengaruh dari pihak mana pun.

Terkait dengan besaran struktur organisasi PPATK dapat ditemukan pada Pasal 20 yaitu:

1. PPATK dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh paling banyak 4 (empat) orang wakil kepala.

2. Kepala dan wakil kepala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri Keuangan.

3. Masa jabatan kepala dan wakil kepala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

4. Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja PPATK diatur dengan Keputusan Presiden.

Amanat undang-undang mengenai susunan organisasi dan tata kerja PPATK diatur dengan Keputusan Presiden dapat ditemukan dalam Keputusan Presiden No. 81 tahun 2003 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Pasal 1 Keppres ini menerangkan bahwa Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dan PPATK bertanggung jawab kepada Presiden.

Selanjutnya terkait dengan pola pembinaan pegawai PPATK dapat ditemukan dalam Keputusan Presiden No. 3 tahun 2004 tentang Sistem Kepegawaian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Dalam Pasal 1 Keppres ini disebutkan bahwa pegawai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan terdiri dari:

1. pegawai tetap

2. pegawai yang dipekerjakan 3. pegawai kontrak

(32)

Adapun sistem kepegawaian PPATK dapat dilihat dalam Pasal 2, dimana pegawai tetap merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jelaslah sudah bahwa pegawai tetap di PPATK adalah PNS, dimana pengelolaan APBN yang dilakukan oleh PPATK akan semakin mudah dengan adanya status kepegawaian dimaksud.

III. Permasalahan Kelembagaan KPPU

Permasalahan KPPU yang dihadapi sebenarnya adalah permasalahan beda interpretasi antara pemerintah sekarang dan KPPU mengenai penafsiran Pasal 34 UU No. 5 Tahun 1999. KPPU berpegang pada hal-hal filosofis dan yuridis pembuatan UU No. 5 Tahun 1999 tersebut, dimana DPR selaku pihak yang membuat dan mengesahkan UU No. 5 Tahun 1999, mempunyai maksud dan tujuan yang sangat fundamental dan menginterpretasikan makna demokratisasi yang berkembang pada waktu itu.

UU No. 5 Tahun 1999 harus dipahami sesuai dengan nuansa filosofis dan yuridis dalam pembuatannya, dimana pada waktu itu gerakan reformasi sedang dalam puncak aktualisasi. Dalam mengejawantahkan aktualisasi demokrasi di Indonesia, pada sekitar tahun 1999, disahkan beberapa undang-undang yang sangat penting. Di bidang politik misalnya, ditetapkan Undang-undang tentang Pemilu dan Partai Politik, kemudian di sisi Pemerintahan muncul Undang-undang mengenai Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan, serta di sisi dunia usaha ditetapkanlah Undang-undang mengenai Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat maupun Perlindungan Konsumen.

Berbagai undang-undang tersebut sangat fundamental dalam meletakkan nilai-nilai demokratisasi baik di bidang politik, pemerintahan maupun ekonomi. UU No. 5 Tahun 1999 yang merupakan kristalisasi dari demokrasi ekonomi patut dibanggakan keberadaanya, karena dengan UU No. 5 Tahun 1999 tersebut persamaan dan kesempatan yang seimbang bagi pelaku usaha untuk turut serta dalam membangun perekonomian di Indonesia diatur secara sehat dan proporsional.

UU No. 5 Tahun 1999 mengarahkan pembangunan bidang ekonomi kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, demokrasi dalam bidang ekonomi juga menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara, untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang atau jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif, serta efisien sehingga diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Terkait dengan hal tersebut, perlu kiranya setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak

(33)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Indonesia terkait dengan perjanjian internasional yang berlaku. Sehubungan dengan penjelasan diatas, pemahaman terhadap UU No. 5 Tahun 1999 perlu untuk tetap dijaga kemurniannya sesuai dengan pembuat undang-undang pada waktu itu. Permasalahan yang dihadapi oleh KPPU cukup kompleks. Salah satunya adalah permasalahan kelembagaan dan status kepegawaian. Apabila kita memahami UU No. 5 Tahun 1999 sesuai dengan makna filosofis dan yuridis pembuatan undang-undang tersebut, seharusnya permasalahan itu tidak terjadi, karena pada dasarnya UU No. 5 Tahun 1999 telah jelas mengatur tentang kelembagaan KPPU.

Sesuai dengan Pasal 1 angka 18 UU No. 5 Tahun 1999 harus kita pegang kuat apa yang dimaksud dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dalam pasal tersebut, jelas disebutkan bahwa KPPU adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Hal tersebut dikuatkan dalam status kelembagaan KPPU yang termasuk pada Pasal 30 UU No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi: 1. Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi

Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.

2. Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.

3. Komisi bertanggung jawab pada Presiden.

Jelas disitu terlihat, bahwa KPPU yang selanjutnya disebut Komisi dibentuk berdasarkan amanat undang undang. Maksud dari lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain adalah bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenang KPPU sebagaimana termaktub dalam Pasal 35 dan Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999, KPPU terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain. Itulah yang dimaksud dengan independensi KPPU dalam undang-undang ini. Selain itu independensi KPPU dikuatkan pula melalui Keppres No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi pengawas Persaingan Usaha Pasal 6 yang berbunyi: (1) Dalam menangani perkara, anggota komisi bebas dari pengaruh dan

kekuasaan pemerintah serta pihak lain.

Sedangkan KPPU bertanggung jawab kepada Presiden adalah hal yang wajar, karena segala pembiayaan KPPU dibebankan kepada APBN. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 37 UU No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi: “Biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

(34)

Dengan adanya dasar hukum tersebut sebenarnya permasalahan kelembagaan KPPU tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi karena jelas KPPU menggunakan APBN dan bertanggungjawab kepada Presiden sehingga tidak ada istilah lain bagi lembaga yang seperti itu kecuali diistilahkan sebagai lembaga negara.

Untuk lebih memperjelas status KPPU sebagai lembaga negara dikuatkan dalam Pasal 31 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi:

“Anggota komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Dengan amanat pasal tersebut apakah mungkin KPPU dapat ditafsirkan bukan lembaga negara? Jelas jawabannya adalah tidak, sungguh ironis apabila masih ada pihak-pihak yang berfikir atau menafsirkan bahwa KPPU bukan lembaga negara/pemerintah. Dengan mendudukkan substansi UU No. 5 Tahun 1999 secara utuh maka sebenarnya segala permasalahan yang bermuara pada kelembagaan KPPU tidaklah harus terjadi.

Permasalahan selanjutnya terkait dengan kelembagaan KPPU terdapat pada perbedaan penafsiran terhadap Pasal 34 UU No. 5 Tahun 1999. Adanya pendapat yang mengatakan bahwa Sekretariat KPPU bukan merupakan lembaga pemerintah sehingga tidak dapat dimungkinkan mengelola APBN adalah pendapat yang salah dan akan diterangkan dalam kesempatan ini. Diatas telah disebutkan bahwa Pasal 37 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan terkait dengan biaya KPPU dibebankan kepada APBN. Apabila kemudian hal tersebut dihubungkan dengan status sekretariat KPPU yang bukan merupakan lembaga pemerintah kita harus membahas secara terperinci keberadaan Pasal 34 UU No. 5 Tahun 1999. Adapun Pasal 34 UU No. 5 Tahun 1999 berbunyi:

a. Komisi serta susunan organisasi, tugas dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

b. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh Sekretariat. c. Komisi dapat membuat kelompok kerja.

d. Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi Sekretariat dan Kelompok Kerja diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi. Pasal 34 ini harus dibaca sebagai satu paket norma yang tidak bisa dipisahkan ayat satu dengan yang lainnya. Maksudnya disini adalah, keberadaan ayat (1) terkait erat dengan ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), demikian juga sebaliknya, ayat (4) sangat berhubungan erat dengan keberadaan ayat (1). Oleh karena itu, apabila akan menafsirkan ayat (4) Pasal 34 ini harus tetap berpegang pada Pasal 34 ayat (1). Apabila kita hanya membaca ayat (4) Pasal 34 saja maka seakan-akan terlihat bahwa terkait dengan Sekretariat KPPU hanya cukup diatur dalam ketentuan Komisi.

(35)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

Padahal maksud dari ayat tersebut tidak sesederhana itu sebelum membentuk keputusan Komisi terkait dengan Sekretariat KPPU terlebih dahulu harus ada keputusan Presiden yang mengatur mengenai pembentukan susunan organisasi tugas dan fungsi Komisi sebagaimmana dimaksud pada Pasal 34 ayat (1). Perlu diingat bahwa Komisi terdiri dari Komisioner, Sekretariat sebagai Pembantu Komisi sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (2) serta kelompok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Sebagaimana telah termaktub dalam Pasal 34 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999, bahwa pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dalam perkembangannya KPPU telah didukung oleh dua Keputusan Presiden yaitu Keppres No.75 tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Perpres No. 80 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Keppres No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dalam Keppres No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dapat ditemukan tujuan pembentukan KPPU yaitu termaktub dalam Pasal 2:

“Tujuan pembentukan Komisi adalah untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”.

Dalam Keppres ini pula disebutkan pula pada Pasal 8 bahwa susunan organisasi Komisi terdiri dari Anggota Komisi dan Sekretariat. Adapun terkait dengan posisi Sekretariat dapat ditemukan pada Pasal 12 yang menegaskan bahwa untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh Sekretariat.

Dalam perkembangan selanjutnya, KPPU menganggap perlu adanya revisi terhadap Keppres No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, sehingga pada tanggal 30 Desember 2008 Presiden menerbitkan Perpres No. 80 Tahun 2008. Perpres No. 80 Tahun 2008 ini pada dasarnya menyempurnakan Keppres No. 75 Tahun 1999. Dimana terlihat dalam Perpres No. 80 Tahun 2008 ini, KPPU memiliki bagian anggaran sendiri, yang mana hal tersebut termaktub dalam Pasal 15A yaitu:

1. Biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan.

2. Penyusunan rencana kerja dan anggaran dikelola oleh Ketua Komisi selaku Pengguna Anggaran di lingkungan Komisi.

3. Pada saat mulai berlakunya Peraturan Presiden ini, pembiayaan pelaksanaan tugas dan fungsi-fungsi dibebankan kepada bagian anggaran Departemen Perdagangan sampai dengan Komisi memiliki bagian anggaran sendiri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(36)

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran Komisi diatur oleh Ketua Komisi setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan.

Terkait dengan hal tersebut sejak terhitung mulai tahun anggaran 2010 telah ditetapkan bagian anggaran KPPU dengan kode 108 yang terlepas dari Kementerian Perdagangan dimana hal tersebut telah tercantum dalam lampiran Peraturan Presiden No. 51 tahun 2009 tentang rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat. Lengkap sudah sebenarnya terkait dengan kelembagaan KPPU terutama dibidang pengelolaan APBN, dimana Ketua Komisi adalah pengguna anggaran KPPU.

Sudah menjadi kewajaran apabila dalam pengelolaan APBN, Ketua Komisi selaku Pengguna Anggaran KPPU memberikan kuasa kepada pejabat KPPU dalam hal ini adalah Sekjen KPPU selaku Kuasa Pengguna Anggaran. Disinilah salah satu letak permasalahan KPPU, dimana Sekjen KPPU belum jelas status kedudukannya sesuai dengan kelaziman penyelenggaraan pemerintahan. Permasalahan terkait Sekjen KPPU adalah Sekjen KPPU ini merupakan jabatan setingkat apa? Karena belum ada aturan hukum yang jelas yang mengatur kedudukan dan fungsi Sekjen KPPU. Lazimnya Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana terdapat dalam kementrian/ lembaga negara, kuasa pengguna anggaran biasanya adalah Sekretaris Jenderal yang merupakan pejabat eselon 1A.

Permasalahan KPPU tidak hanya berhenti pada Sekretariat Jenderal tetapi juga pada status kepegawaian KPPU. Hingga pada saat ini status kepegawaian KPPU adalah Pegawai Honorer dimana pegawai KPPU tidak mendapatkan gaji melainkan honorarium. Permasalahan ini masih berlangsung hingga satu dasawarsa umur kelembagaan KPPU. Setiap bulan Pegawai KPPU menerima Honorarium, bukan GAJI. Hal tersebut berimplikasi pada ketidakjelasan sistem renumerasi secara permanen selayaknya organisasi profesional lainnya.

Negara belum memperhatikan pegawai sebagai pegawai dengan segala hak yang melekat berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Ketidakjelasan status kepegawaian tersebut, bahkan sempat mengancam keberlanjutan pemberian hak asuransi kesehatan bagi pegawai. Perikatan kontrak kerja dilakukan untuk jangka waktu 1 tahun dan diperpanjang untuk jangka waktu 1 tahun berikutnya. Hal itu setidaknya telah berlangsung untuk jangka waktu satu dasawarsa terakhir.

Ketidakjelasan status Sekretariat mengakibatkan kesulitan dalam merancang sistem karir sehingga cukup banyak pegawai KPPU yang mengundurkan diri karena menilai belum ada kejelasan mengenai status kepegawaian dan jenjang karir di masa depan. Berkurangnya SDM yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan khusus tentu saja sangat mengganggu dalam

(37)

Prof. Dr. Tresna P. Soemardi

pencapaian kinerja dan sasaran strategis yang ingin dicapai KPPU.

Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan upaya yang serius dan komprehensif guna penguatan kelembagaan KPPU dimana di dalamnya juga terdapat kepastian status kepegawaian. Adapun penguatan kelembagaan KPPU antara lain:

a. Penguatan terkait permasalahan yang melingkupi praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat saat ini sudah semakin kompleks dan beragam yang dapat merugikan perekonomian nasional dan perlindungan konsumen sehingga kelembagaan KPPU perlu diperkuat agar mampu melaksanakan pengawasan persaingan usaha di Indonesia secara optimal;

b. Penguatan di bidang tugas dan fungsi yang dilaksanakan KPPU di bidang pengawasan persaingan usaha tidak bersifat sementara waktu/ad hoc namun justru kian strategis seiring dinamika perekonomian global sehingga kelembagaannya perlu diperkuat;

c. Penguatan di bidang pengelolaan anggaran, dimana KPPU telah ditetapkan sebagai bagian anggaran yang mandiri pada tahun 2010 dan Pimpinan KPPU memiliki tugas untuk mengelola keuangan negara yang dikuasakan kepadanya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 UU No. 17/2003 sehingga seyogianya dapat didukung oleh Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal yang setara dengan eselon 1A serta jajaran pegawai yang berstatus PNS agar mampu mendukung pelaksanaan dan pengelolaan anggaran secara optimal;

d. Penguatan Kepegawaian, dimana para pegawai Sekretariat KPPU sudah selayaknya mendapatkan status dan hak kepegawaian dalam suatu sistem yang adil dan berkesinambungan;

e. Penguatan publik, hal tersebut terkait dengan pembahasan masalah kelembagaan Sekretariat KPPU telah berlarut-larut, maka agar semua pihak dapat memberikan segenap perhatian dan upaya guna menyelesaikan masalah ini secara komprehensif dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Oleh karena itu sebagai sebuah institusi yang besar perlu kiranya adanya kepedulian dan kesamaan visi dari berbagai pihak terutama pemerintah agar keberadaan KPPU semakin dapat memberikan kontribusi yang maksimal sebagai lembaga negara yang melakukan fungsi pengawasan terhadap larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Gambar

Tabel 1. Nilai Produk Ekspor Indonesia (dalam US$)
Tabel 1. Perkembangan Market Share Ritel Modern 2004-2008
Tabel 2. Karakteristik Beberapa Jenis Ritel Modern
Tabel 3. Karakteristik Beberapa Jenis Ritel Modern
+4

Referensi

Dokumen terkait

dan mereka membela dan menolong golongan tertentu karena dasar kezaliman dan ia terbunuh, maka matinya termasuk mati jahiliyah. Dari sini sudah jelas bahwasannya ‘

Kirby-Bauer. Kontrol positif menggunakan siprofloksasin 5 μg/disk sedangkan kontrol negatif menggunakan DMSO 10%. Hasil : Berdasarkan skrining fitokimia, ekstrak etanol daun

Pengamanan dan penyelamatan terhadap barang milik daerah, perlu dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang sanksi terhadap pengelola, pembantu

Pada awal proses AHP hal yang dilakukan adalah memasukkan prioritas elemen, prioritas elemen didapat dari inputan pengguna dengan mengurutkan 5 kriteria yang

Akan tetapi aktivitas antioksidan tertinggi ditemukan pada bekatul yang difermentasi oleh Rhizopus oryzae dengan daya hambat radikal sebesar 93,41% dari konsentrasi ekstrak

30 Perilaku kerja sebagai mana dimaksud, meliputi aspek :Orientasi pelayanan adalah sikap dan perilaku kerja PNS dalam memberikan pelayanan terbaik kepada yang

Pada umumnya peternak di kedua lokasi penelitian (dataran tinggi dan dataran rendah) memelihara kerbau sebagai pekerjaan sambilan artinya beternak kerbau bukan merupakan

Meskipun meyakini pentingnya pengalaman empiris sebagai saluran ilmu pengetahuan yang absah, Islam tidak berpegang pada pendapat yang saat ini berlaku di Barat, bahwa kebenaran itu