• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kendala dari dalam Lapas/ rutan

KENDALA-KENDALA DALAM PROSES PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDA YANG TERJANGKIT HIV/AIDS

B. Kendala dalam pencegahan HIV/AIDS di Lapas/rutan

1. Kendala dari dalam Lapas/ rutan

Kendala yang muncul dari dalam lembaga pemasyarakatan merupakan kendala yang utama yang harus diselesaikan dan ditanggapi dengan baik dan bijaksana, karena proses pembinaan dilaksanakan sebagian besar di dalam lembaga pemasyarakatan. Proses pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan melibatkan semua unsur atau pihak yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan bahkan melibatkan masyarakat yang mau dan mampu membantu pelaksanaan proses pembinaan yang ada.

Kendala atau hal-hal yang mengganggu dan menghambat dalam pelaksanaan proses pembinaan narapidana sangat banyak dan majemuk bentuknya. Hal-hal yang menjadi kendala tersebut bahkan banyak menguras pikiran dan tenaga semua pihak yang terlibat. Untuk dapat menyelesaikan hambatan ini, dengan demikian peran, fungsi dan tanggung jawab masing-masing pihak sangat penting dan mempengaruhi terlaksananya proses pembinaan terhadap narapidana, disanalah diketahui kendala yang muncul dalam pelaksanaan proses pembinaan terhadap narapidana tersebut.

Di bawah ini merupakan kendala yang muncul dari dalam lembaga pemasyarakatan. a. Petugas pelaksana

Dalam mengelola dan menjalankan sebuah Lapas/Rutan harus ada petugas yang menjalankan fungsinya masing-masing. Pemposisian petugas Lapas/rutan kebanyakan adalah untuk pengamanan. Sebab memang yang paling krusial ialah mengawasi dan menjaga narapidana atau tahanan agar tidak melarikan diri atau melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.

Kendala utama pada petugas pelaksana proses pembinaan narapidana, yakni sangat kurang baiknya secara kualitas dan kuantitas. Pelaksanaan proses pembinaan membutuhkan petugas yang siap untuk beradaptasi dalam membina narapidana.

Untuk menjalankan fungsi dan pelayanan kesehatan maka diperlukan sejumlah petugas yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang kesehatan.Seperti yang diketahui, bahwa narapidana yang memiliki penyakit bawaan ketika masuk Lapas kondisi kesehatannya bakal makin parah. Pada umumnya narapidana yang meninggal di dalam Lapas telah membawa penyakit tertentu pada saat masuk penjara. Penyakit itu kian berat, terutama karena pengaruh kondisi psikologis terpidana yang juga buruk. Namun, yang mengkhawatirkan adalah pengidap HIV. Virus itu menyerang kekebalan tubuh pengidapnya. Dalam kondisi semacam itu, narapidana sangat rentan terserang berbagai macam penyakit. Kondisi itu diperburuk dengan ketersediaan tenaga medis yang relatif minim. Tidak semua Lapas memiliki dokter, perawat, atau poliklinik tersendiri. Berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan pada Februari 2007, jumlah dokter di Lapas sebanyak 277 orang (58,1 persen adalah dokter paruh waktu) dan perawat 438 orang (60,9 persen adalah perawat paruh waktu). Sementara jumlah poliklinik sebanyak 163 buah.54

54

“Selama 2006, 813 Napi Meninggal di Penjara: Kelebihan Penghuni Dituding Jadi Salah Satu Penyebab”,<http://www.reformasihukum.org/konten.php?nama=MekanismeLegislasi&op=detai_politik_mek

Kondisi di atas merupakan permasalahan kuantitas atau minimnya jumlah dari petugas kesehatan. Permasalahan jumlah tersebut belum apa-apa. Sebab masih ada permasalahan dalam hal kualitas petugas. Kualitas petugas diharapkan selain dapat dan mampu melaksanakan tugas sesuai dengan uraian tugasnya masing-masing juga diharapkan mampu menjawab tantangan atau masalah yang selalu ada di lingkungan Lapas. Dari pendidikan umum petugas dapat dikatakan telah memadai namun dalam hal melaksanakan tugas penanggulangan HIV/AIDS tidak banyak petugas yang dikatakan cakap. Sebab dalam perekrutan petugas sebagai pegawai pemasyarakatan tentu harus dengan prasyaratan tertentu. Serta sebelumnya para calon pegawai tersebut telah mendapatkan semacam pendidikan atau pelatihan.

Dalam hal pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS kualitas dari petugas dapat dikatakan masih kurang. Minimnya sumber daya petugas yang mengetahui tentang HIV/ AIDS makanya secara bertahap perlu dilakukan sosialisasi dengan tujuan para petugas secara garis besar mengetahui bagaimana penularannya dan bagaimana jangan sampai tertular. Sebab tidak mustahil bahwa petugas pun dapat tertular.55

Banyaknya jumlah penghuni dalam Lapas/rutan mengakibatkan penjagaan menjadi sulit dilakukan. Karena jumlah petugas keamanan yang terbatas harus mengawasi dan menjaga agar warga binaan tersebut tidak melakukan hal-hal yang melanggar tata tertib dan tentunya tidak mencoba melarikan diri. Banyaknya warga binaan tersebut tentunya juga mengakibatkan dibutuhkannya sumberdaya manusia yang memadai untuk mengelola dan menjalankan Dan untuk lebih lanjut para petugas juga harus segera diberikan pelatihan atau informasi bagaimana menangani penularan HIV/AIDS di Lapas/rutan. Agar persoalan penyebaran HIV/AIDS di Lapas/ rutan dapat segera dikendalikan.

Kurangnya pengetahuan dan keahlian petugas Lapas/rutan menyebabkan kemampuan bertindak mereka menjadi tidak optimal. Dalam hal ada narapidana yang meninggal dunia petugas pun tidak bisa berbuat banyak. Sebab selain karena jumlah anggaran yang terbatas petugas juga hanya bisa mengembalikan narapidana tersebut kepada keluarganya. Dengan kurangnya memadainya petugas (sumberdaya manusia) dalam melakukan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan maka akan berdampak pada kelancaran program penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan menjadi kurang optimal. Jadi petugas kesehatan Lapas/ rutan yang handal perlu juga didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai. Begitu pula sebaliknya, apa artinya memiliki sumber daya petugas yang handal, tapi tidak memiliki sarana dan fasilitas yang memadai.

Mengingat over kapasitas tengah menjadi fenomena yang biasa di Lapas/Rutan. Hampir semua Lapas/rutan mengalami kekurangan daya tampung karena jumlah narapidana atau tahanan yang banyak jumlahnya. Hal seperti memerlukan petugas keamanan yang lebih banyak. Semestinya jumlah petugas keamanan dan jumlah narapidana atau tahanan jumlahnya sebanding atau proporsional.

55

Lapas/Rutan. Namun pada kenyataannya jumlah petugas Lapas/Rutan adalah terbatas. Minimnya jumlahnya petugas kesehatan pada Lapas/Rutan mengakibatkan lambatnya proses pelayanan kesehatan. Dan Kurangnya petugas pengamanan membuat narapidana dan tahanan menjadi sulit untuk ditangani. Hal menyebabkan barang-barang yang dilarang masuk ke dalam Lapas/rutan.

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara kualitas maupun kuantitas maka sumber daya manusia pelaksana dan pengelola Lapas/Rutan masih terbatas dan kurang memadai. Kurangnya sumber daya manusia ini, akan mengakibatkan terhambatnya proses penanggulangan HIV/AIDS. Karena proses penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan menjadi kurang efisien.

b. Narapidana penderita HIV/AIDS.

Narapidana yang terkena kasus narkotika dan psikotropika mempunyai kewajiban seperti narapidana pada umumnya untuk mengikuti proses pembinaan dan kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh pihak lembaga pemasyarakatan.

Walaupun begitu harus dengan kesadaran dan kesedian dari narapidana yang bersangkutan. Kemauan dan kesadaran narapidana kasus narkotika dan psikotropika untuk ikut proses pembinaan sangat minim. Hal ini menyulitkan pelaksanaan proses pembinaan. Kendala yang utama dari narapidana yakni adalah kurangnya kemauan dan kesungguhan dari narapidana peserta proses pembinaan yang dilaksanakan oleh petugas seksi bimbingan kemasyarakatan.56

Gambaran tersebut menunjukkan dominasi cara penularan (mode of transmission) terjadi melalui darah atau lewat jarum suntik yang tercemar virus HIV.

Salah satu kendala proses pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan dikarenakan Narapidana sulit diajak bekerja sama untuk menjalankan program dan kegiatan.

Data yang ada diketahui bahwa mayoritas dari narapidana yang menderita HIV/AIDS merupakan Narapidana yang pernah memakai Narkoba Suntik (penasun). Jumlah estimasi Penasun 191.000-48.000 dan diperkirakan juga memberikan resiko pada pasangan seksualnya yang berjumlah 85.700 orang. Sampai dengan September 2006 sudah 32 provinsi melaporkan kasus AIDS dengan jumlah kumulatif sebanyak 6897 orang dan terbanyak dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan menular di kalangan penasun lebih dari 50%. Kelompok umur 20-29 tahun yang terinfeksi sebanyak 54,77% disusul kelompok umur 30-39 tahun 26,56%. Hal ini mengindikasikan mayoritas penduduk usia muda sangat mudah tertular virus HIV dan menderita AIDS.

57

56 Hadi Gunawan, op. cit., hal. 69.

57 Indonesia, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI No.02/PER/MENKO/KESRA/I/2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV/ AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik, loc. cit.

Kebanyakan dari pederita HIV/AIDS itu adalah pengguna narkoba suntik yang sering menggunakan jarum suntik secara

bersama dan bergantian. Bila penjagaan kurang dan barang-barang terlarang bisa masuk ke dalam Lapas/rutan maka tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi penggunaan jarum suntik di dalam Lapas. Bila hal itu masih terus berlangsung di dalam lembaga pemasyarakatan tidak menutup kemungkinan bila terjadi penggunaan jarum suntik tersebut secara bergantian akan mengakibatkan terjangkitnya HIV/ AIDS di dalam Lapas/rutan.

Menghentikan kebiasaan menyuntikkan obat terlarang atau narkoba menggunakan jarum suntik memang sulit dihentikan. Pasalnya pemakai telah sampai pada tahap ketergantungan. Oleh karena itu, dipilih program subsitusi oral berupa pemberian metadon. Terapi tersebut dapat menurunkan risiko overdosis dan menurunkan penggunaan heroin suntik. Serta juga akan meningkatkan status kesehatan secara umum, dan memperbaiki kualitas hidup yang berpengaruh pada hubungan sosial. Namun demikian ternyata tidak semua narapidana bersedia menjalankan program tersebut. Permasalahannya memang kembali kepada kesadaran dan kemauan dari para narapidana untuk berturut serta dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/Rutan.58

Kendala lain yang juga menjadi kendala dalam penanggulangan HIV/AIDS yakni berasal dari sisi narapidana. Pada umumnya narapidana malas untuk mengikuti program atau kegiatan yang telah diatur oleh petugas. Narapidana malas untuk berobat atau melakukan terapi secara rutin.59

Kondisi sel yang sempit masih harus dihuni oleh narapidana yang jumlahnya banyak. Tentunya kondisi yang seperti jauh dari layak. Apalagi dalam usaha penanggulangan HIV/AIDS kondisi ruangan sel Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keinginan dari setiap narapidana atau tahanan sendiri untuk mengikuti setiap program dan kegiatan dalam usaha pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

c. Sarana dan prasaran penunjang.

Kekurangan sarana dan fasilitas baik dalam hal jumlah maupun kualitas, telah menjadi hal yang menghambat bahkan juga menjadi salah satu penyebab rawannya keamanan/ketertiban dalam Lapas/rutan. Begitu juga dalam hal pelayanan kesehatan narapidana dan tahanan khususnya dalam usaha penanggulangan dan pembinaan narapidana atau tahanan penderita HIV/AIDS. Padahal seharusnya untuk usaha penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/Rutan mesti tersedia sarana-sarana dan prasarana medis yang memadai, serta peralatan-peralatan yang ada hubungannya dengan penanggulangan HIV/AIDS, bahkan seyogyanya di dalam Lapas/rutan mesti tersedia laboratorium untuk melakukan tes darah. Kekurangan fasilitas yang paling utama selain sarana pelayanan kesehatan di Lapas/Rutan yakni adanya kekurangan atau keterbatasan ruangan. Khususnya ruang sel yang digunakan untuk tidur para narapidana dan tahanan.

58 “30 Penghuni LAPAS Banceuy Positif HIV-AIDS” <http://www.pikiranrakyat. com/prprint.php?mib=beritadetail&id=37530>, 1 Mei 2009.

59

akan malah memudahkan penularan dan penyebaran HIV. Masalah over kapasitas mengakibatkan napi yang menderita hiv harus bercampur dengan narapidana yang sehat. Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia overload. Penghuninya, tahanan dan narapidana harus berbagi tempat yang sempit untuk melanjutkan hidup. Gerak langkah yang sangat terbatas makin sempit karena harus berdesak-desakkan di satu sel berteralis. Inilah tantangan yang berat bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha) di Lapas. Tak hanya berat bagi Odha yang tengah berjuang melawan HIV dalam tubuhnya di Lapas, tapi juga berat bagi petugas kesehatannya. Dokter dan relawan penanggulangan HIV di Lapas terpaksa harus bekerja keras mencegah penularan HIV dalam Lapas yang makin sesak. Karena merupakan bahwa sangat sulit melaksanakan terapi pengobatan melawan HIV dalam tubuhnya di Lapas dengan kondisi yang tidak mendukung.

Narapidana yang terhukum akibat penyalahgunaan narkoba menjadi sulit tidur nyenyak karena selnya sesak dan gejala penyakit juga cepat menginfeksinya. Kondisi yang demikian tidak mendukung untuk bisa hidup sehat, apalagi dengan HIV di tubuh. Tentu hal ini akan memperparah keadaan dan akan menjadi bentuk penghukuman baru bagi narapidana tersebut. Narapidana yang memiliki penyakit bawaan ketika masuk Lapas kondisi kesehatannya akan semakin parah. Pada umumnya, narapidana yang meninggal di dalam Lapas telah membawa penyakit tertentu pada saat masuk penjara. Penyakit itu kian berat, terutama karena pengaruh kondisi psikologis terpidana yang juga buruk. Namun, kata dia, yang mengkhawatirkan adalah pengidap HIV. Virus itu menyerang kekebalan tubuh pengidapnya. Dalam kondisi lingkungan dan saranan yang kurang memadai narapidana sangat rentan terserang berbagai macam penyakit baru. Sedangkan kekurangan dalam hal pelayanan kesehatan khususnya dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan yakni meliputi kekurangan sarana dan prasarana kesehatan, tenaga untuk melakukan VCT, dan belum adanya laboratorium untuk pemeriksaan darah.

Pemeriksaan darah merupakan hal yang amat penting untuk mengetahui apakah narapidana atau tahanan yang baru masuk terjangkit HIV/AIDS atau tidak. Selain hal di atas ketersediaan obat-obatan juga menjadi kendala dalam penanggulangan HIV/ AIDS. Pasalnya obat untuk menekan kerja virus HIV, yakni ARV adalah obat yang mahal. Meski demikian obat yang mahal ini tidak akan menyembuhkan penderrita HIV/ AIDS, hanya untuk meredakan penderitaan korban saja. Dan untuk menghentikan penyebaran virus saja. Dengan kondisi yang seperti itu ARV harus dikonsumsi secara rutin. Kelangkaan obat-obatan ini akan menjadi penghalang besar dalam usaha penanggulangan HIV/AIDS.

Di sisi lain walau bagaimana pun keadaan Lapas/rutan, hak-hak kesehatan warga binaan harus tetap dipenuhi. Hak-hak atas pelayanan kesehatan dan perawatan sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan antara lain:

1) Setiap tahanan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak.

2) Pada setiap Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang lapas disediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan ditempatkan sekurang-kurangnya seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya. 3) Dalam hal Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang Lapas belum ada tenaga dokter atau tenaga

kesehatan lainnya, maka pelayanan kesehatan dapat diminta bantuan kepada rumah sakit atau Puskesmas terdekat.60

Menurut National Program Officer UNODC HIV-AIDS Unit, Samuel Nugraha, tidak semua Lapas/rutan memiliki klinik dengan standar pelayanan kesehatan yang memadai. Secara nasional, program penanganan HIV-AIDS di lingkungan Lapas/rutan sudah ada, tetapi implementasinya belum semua karena dana kesehatan di penjara masih rendah.61

d. Masalah psikologis

Beban lainnya yaitu, Lapas menampung tak hanya narapidana tapi juga tahanan, yang jumlahnya makin banyak. Selain itu warga binaan Lapas terdiri dari berbagai latar belakang, seperti kejahatan pembunuhan, narkotika, dan warga binaan wanita. Karena itulah tantangan penanggulangan HIV di Lapas sangat memeras otak. Pertama soal risiko penularan HIV, kedua soal pelaksanaan terapi pengobatan dan perawatan orang dengan HIV/AIDS (Odha) di Lapas. Di antaranya adalah sulitnya mengawasi perilaku-perilaku beresiko dalam penularan HIV. Misalnya pembuatan tato atau tindik tubuh dengan jarum yang tidak steril. Darah adalah media penularan HIV yang cepat. Apalagi menggunakan jarum atau benda tajam yang telah terinfeksi HIV kemudian masuk ke jaringan darah. Warga binaan juga banyak yang keluar masuk. Setelah bebas, lalu masuk lagi. Ini membutuhkan penyuluhan yang kontinyu serta petugas yang cukup. Karena itu Pokja Lapas atau tim AIDS Lapas harus membuat berbagai program penanggulangan HIV, berlomba dengan kemungkinan resiko penularan HIV yang cepat di Lapas.

Kondisi sanitasi dan over kapasitas tentu makin mempercepat Odha mendapatkan gejala penyakit. Selain itu, risiko penularan juga makin tinggi jika pemerintah dan pejabat lembaga pemasyarakatan tidak bergerak cepat. Risiko tidak hanya bagi warga binaan tapi juga pasangan dan anak-anak mereka di luar Lapas yang tidak mengetahui suami atau istrinya telah terinfeksi HIV.

Keterbatasan sarana dan hal-hal di atas akan menjadi panghambat dalam pelaksanaan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/Rutan. Karena mau tidak mau pencegahan dan penanggulan HIV/AIDS harus didukung dengan fasilitas dan sarana yang memadai. Juga perlu diingatkan kembali bahwa pecegahan dan penanggulangan HIV/AIDS memerlukan tes HIV, perawatan kesehatan dasar dan program terapi serta pengalihan dari ketergantungan dari Narkoba.

Masalah-masalah psikologis dan kultural seperti rasa malu untuk berbicara terbuka, kebiasaan yang melarang berbicara soal seks, dan hukuman sosial yang dijatuhkan kepada penderita AIDS masih menjadi kendala pendidikan pencegahan HIV/AIDS di Indonesia.62

60 Indonesia, Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata-cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. Ps. 21 ayat 1-3.

Hal di atas juga menjadi masalah dalam

61 “30 Penghuni LAPAS Banceuy Positif HIV-AIDS,” loc. cit., 1 mei 2009.

62

“Masalah Psikologis masih menjadi penghambat”, <http://www.stmikmj.ac.id/berita/stmik-mj/41-masalah-psikologis-masih-jadi kendalapencegahan- hivaids.html>, 1 Mei 2009.

proses pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Lapas/rutan. Yakni bahwa adanya stigma dari masyarakat pada umumnya dalam menilai penderita HIV/AIDS. Hal ini termasuk ketakutan menghadapi stigma, yang menghambat para warga binaan untuk mengambil obat di lingkungan yang ramai, staf yang tidak dapat dipercaya, pindah ke Lapas lain, dukungan sosial yang buruk setelah bebas. Di sisi lain kondisi Lapas/rutan yang sangat ramai dan over kapasitas membuat adanya rasa takut dari narapidana yang masih sehat, bila sewaktu-waktu dapat ketularan HIV.

Ketakutan yang secara psikologis ini makin kuat manakala melihat kondisi Lapas yang amat rentan untuk terjadinya penularan HIV. Keadaan usai menjalani hukuman juga menjadi kendala. Karena bila tidak didukung oleh masyarakat maka mantan narapidana tersebut menjadi takut untuk kembali ke masyarakat. Sebab muncul perasaan tidak diterima lagi oleh keluarga dan masyarakatnya. Untuk membantu proses perawatannya seharusnya keluarga tetap berpikir postif bahwa HIV/AIDS hanya mungkin menular dengan cara-cara tertentu.

e. Kendala dari luar Lembaga Pemasyarakatan

(1) Pendanaan.

Salah satu faktor penting yang menjadi kendala adalah pendanaan. Kendala ini dapat diatasi dengan menjalin koordinasi diantara instansi yang terlibat dalam penanggulangan HIV/AIDS. Pemerintah daerah mempunyai peran penting dalam penanggulangan HIV/AIDS dengan adanya kewenangan otonomi daerah sehingga dapat menyediakan dana yang cukup. Pada umumnya anggaran Lapas/ rutan jumlahnya sangat minim sekali sehingga dirasakan kurang mencukupi untuk kebutuhan seluruh program pembinaan, pengamanan dan perawatan kesehatan. Dengan anggaran yang ada diusahakan semaksimal mungkin dapat memenuhi kebutuhan kantor maupun penghuni dan khususnya dalam penanggulanga HIV/AIDS. Untuk melaksanakan program penanggulangan HIV/AIDS dibutuhkan dana yang besar. Dana penanggulangan HIV/AIDS berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat/pihak swasta dan bantuan luar negeri. Bantuan luar negeri hendaknya dalam bentuk hibah, atau bentuk pinjaman lunak. Bantuan luar negeri yang tidak mengikat baik bersifat bantuan bilateral maupun multilateral tetap diharapkan dan digunakan secara proporsional sesuai kebutuhan baik untuk pemerintah maupun LSM, dengan berpegang pada prinsip efektif dan efisien. Diperlukan pelibatan masyarakat termasuk swasta/dunia usaha dalam penggalangan dana nasional dan daerah. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan Komisi Penanggulangan AIDS Propinsi dan Kabupaten/Kota dapat mengambil prakarsa untuk menggerakkan masyarakat dan sektor swasta/ dunia usaha dalam pengumpulan dana.

Pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di dalam Lapas/rutan, anggaran juga merupakan faktor yang berguna menjamin kelancaran program kegiatan. Kendala yang pertama adalah Lapas/rutan tidak bisa memeriksa orang masuk ke dalam Lapas/rutan untuk diperiksa apakah orang tersebut telah terjangkit HIV/ AIDS atau tidak. Jadi narapidana atau tahanan hanya diperiksa secara fisik saja dan tidak diambil darahnya. Hal itu disebabkan mahalnya biaya untuk pemeriksaan darah guna mengetahui terjangkit HIV atau tidak. Sebab proses pemeriksaan darah tersebut harus melalui proses pemeriksaan di laboratorium. Karena kecilnya dana, maka untuk mengatasi

persoalan HIV maka pihak Lapas harus bekerja sama dengan RS dan LSM.63 Berkenaan dengan hal itu sebelumnya menjelaskan bahwa layanan kesehatan yang akan disediakan bagi penghuni Lapas yang menderita AIDS antara lain berupa pengobatan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS), tes dan konseling sukarela (VCT), pengobatan dengan Antiretroviral (ARV), pengobatan infeksi oportunistik, pengurangan resiko atau "Harm Reduction" dengan terapi Metadon dan promosi penggunaan kondom. Sebagai gambaran, pada bulan Mei 2005, dana kesehatan di wilayah Kanwil Hukum dan HAM DKI Jakarta, bila dihitung, maka hanya sebesar Rp. 80 pertahun.64

(2) Kesulitan dengan akses kesehatan.

Dengan minimnya anggaran kesehatan dan tidak adanya anggaran khusus untuk penanggulangan HIV/AIDS, sehingga mengakibatkan tidak dapat mendukung program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Karena seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Lapas/rutan diperlukan sarana, fasilitas dan programprogram yang kesemuannya memerlukan dana.

Kecilnya dana pelayanan kesehatan di Lapas/rutan bertambah buruk manakala akses kesehatan narapidana mendapat hambatan. Tidak mudah bagi narapidana untuk mendapat akses kesehatan seperti rawat inap di rumah sakit di luar Lapas. Hal ini terjadi karena biasanya narapidana

Dokumen terkait