• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji RPM Pada Alat Pembuat Pakan Ikan Lele Bentuk Pelet

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji RPM Pada Alat Pembuat Pakan Ikan Lele Bentuk Pelet"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDANA PENDERITA HIV/AIDS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN DI NEGARA INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum O

L E H

DEWA MAHDALENA 060200014

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Muhammad Hamdan , SH. M..Hum. NIP. 195703261986011001

PEMBIMBING I PEMBIMBING II :

(Prof. Warsani, S.H.) ( Dr. Marlina, S.H., M.Hum )

NIP. 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDANA PENDERITA HIV/AIDS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN DI NEGARA INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DEWA MAHDALENA NIM. 060200014

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya dan ridlo-Nyalah penulisan skripsi dengan judul “PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDANA PENDERITA HIV/AIDS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN DI NEGARA INDONESIA” ini dapat diselesaikan, ditengah sakit dan masa penyembuhan yang melanda penulis.

Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan banyak rahmat-Nya pada penulis, tetapi penulis terkadang lupa untuk mensyukuri rahmat dan nikmat tersebut. (Nikmat Tuhan mana yang manusia bisa dustakan).

Banyak tantangan yang dihadapi penulis dalam menyusun skripsi ini. Akan tetapi, berkat dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini terselesaikan. banyak dilema penulis alami dalam menggubah suatu goresan yang mungkin masih jauh dari sebutan mahakarya ini, telah banyak sekali pihak-pihak yang secara disadari maupun tidak disadari,langsung atau tidak langsung telah di buat repot dalam membantu penulis.

Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum, DFM, selaku Pembantu Dekan II. 5. Bapak M. Husni, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III.

6. Bapak Muhammad Hamdan, S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana. 7. Bapak Elfi Syahrial Lubis, S.H, selaku Kasubbag Pendidikan.

8. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana.

9. Ibu Prof. Warsani, S.H, sebagai pembimbing I dan Mahaguru penulis yang telah banyak memberikan inspirasi dan bimbingan kepada penulis. Banyak berbagai perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang ilmu hukum yang diberikan secara langsung dan tidak langsung oleh beliau ( Terimakasih banyak ya bu).

10. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum, selaku pembimbing II yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini, arahan dan bimbingan beliau sangat berarti ( Terimakasih banyak ya bu ).

Terima Kasih juga penulis haturkan kepada pihak-pihak dibawah ini atas saran, semangat dan dorongan yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsinya

(4)

Darma, S.E, atas segala encouragement, serta terimakasih yang tiada tara kepada semua keluarga kandung penulis yaitu : Kakanda T.H. Risky Afrizal, S.T, Kakanda Devi Firda, Kakanda Hendra Saputra dan Adinda Surya Darma selaku adik bungsu penulis.

2. Guru-guru penulis pada saat di SD , SMPN 1 Meukek dan SMUN 1 Simpang Kiri (Terima Kasih Atas Bimbingannya, Semoga Allah membalas semua kebaikan bapak/ibu guru yang tiada tara),

3. Rekan-rekan penulis, Karina,vai Hutabarat,Brando Sitanggang, Bang Soli Akbar, dan lain-lain, yang telah memberikan pengertian kepada penulis tentang arti pada kehidupan.

4. sahabat-sahabatku tercinta di Paten 12, Eva, Diana, Vai, Yusnika, bang Rudy, Reynold, Renaldy, bang Ardi, Very, bang Jonhson dan Doni. Terimakasih banyak atas segala dukungan dan semangatnya.

Mohon maaf bagi yang lupa disebutkan, dan Walaupun karya ini masih jauh dari kesempurnaan, besar harapan penulis agar karya ini dapat berguna dalam menjadi bahan bacaan bagi peminat Hukum Pidana. Sesungguhnya yang benar hanya dari Allah SWT semata dan yang salah dari kelemahan penulis.

Wabillahi Taufiq Wal Hidayah.

Medan , Maret 2011, Penulis,

(5)

ABSTRAK

Pendahuluan skripsi ini menguraikan tentang penyebaran HIV/AIDS yang semakin luas. Penyakit ini dapat menyebar melalui hubungan seksual, jarum suntik dan kontak darah. Jadi bisa saja seseorang narapidana baru terjangkit HIV/AIDS setelah berada di dalam penjara. Menanggulangi HIV/AIDS bukanlah hal yang mudah. Pasalnya penyakit ini, belum bisa disembuhkan. Namun demikian dengan penanganan medis yang tepat maka dapat memperpanjang usia penderita.

Permasalahan yang diangkat dalam sripsi ini adalah Bagaimana penanganan khusus terhadap narapidana yang menderita HIV/AIDS dan apa saja kendala-kendala dalam proses penanganan khusus terhadap narapidana yang terjangkit HIV/AIDS.

Keaslian penulisannya, sebelum tulisan ini dimulai, penulis telah terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap tulisan-tulisan terdahulu, dan sepanjang penelusuran tersebut, diketahui di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan tentang “Penanganan khusus terhadap narapidana penderita HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan di Negara Indonesia”. belum pernah ada. Kemudian, permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis sendiri. Kendatipun terdapat tulisan atau skripsi yang menyerupai tulisan ini, penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda dengan skripsi ini. Penulisan ini mengacu kepada Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, Peraturan Pemerintaha No. 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksaan hak warga binaan pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 32 tahuin 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksaan hak warga binaan pemasyarakatan), Oleh sebab itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin oleh penulis.

Penulisan ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pengawasan serta penanganan narapidana yang terjangkit HIV/AIDS. Seperti kita tahu bahwa perlakuan yang manusia dan memenuhi asas keadilan adalah salah satu hendak dicapai dalam proses pembinaan. Oleh karena itu narapidana, khususnya narapidana yang memiliki HIV/AIDS harusnya mendapatkan penangganan dan terapi khusus yang sesuai yang dengan kebutuhannya. Telah diketahui bahwa HIV/AIDS dapat dengan mudah melalui hubungan seksual, jarum suntik dan kontak pendarahan. Untuk mencegah terjadinya penularan virus HIV/AIDS di dalam Lapas, maka narapidana yang menderita HIV/AIDS harus dijaga dengan baik. Hal ini menarik bagi penulis.

(6)

agar dapat berbuat baik dan berguna bagi diri sendiri maupun orang lain bukan sebagai tempat penyiksaan dan pengasingan dari masyarakat luas seperti anggapan masyarakat selama ini, dan sebagai bahan kajian Akademis untuk menambah wawasan Ilmu Pengetahuan khususnya Hukum Pidana dan Sistem Pemasyarakatan.

Tinjauan perpustakaannya antara lain Sistem Pemasyarakatan. Yaitu bertolak dari pandangan Dr. Saharjo, SH. Tentang tugas hukum sebagai pangayoman hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara dan proses pemasyarakat secara formal, proses pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana dalam sistem pemasyarakatan, diberlakukan pada tahun 1965. tujuan utama daripada penetapan metode tersebut adalah sebagai petunjuk dan sekaligus sebagai landasan bekerja para petugas lembaga pemasyarakatan didalam kegiatannya melaksanakan sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan ini meliputi empat tahap sebagai berikut: Tahap pertama, terdap setiap narapidana yang masuk didalam pemasyarakatan dilakukan penetian untuk mengetahui segala hal ikwal perihal dirinya termasuk sebab-sebabnya ia melakukan pelangggaran dan segala keterangan mengenai dirinya dapat diperoleh dari keluarga, bekas majikan, atau atasannya, teman sekerja, sikorban dari perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang telah menangani perkaranya. Tahap kedua, jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya sepertiga (1/3) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Dewan Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertip yang berlaku dilembaga-lembaga, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan (mediun security). Tahap ketiga,jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani setengah (1/2) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Dewan Pengamat Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan, baik secara fisik ataupun mental dan juga segi keterampilannya, wadah proses pembinaannya diperluas dengan diperbolehkannya mengadakan asimilasi dengan masyarakat luar, berolahraga bersama dengan masyarakat luar, mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah umum, bekerja diluar, akan tetapi dalam pelaksaannya tetap masih berada dibawah pengawasan dan bimbingan petugas lembaga. Tahap keempat, jika proses pembinaannya telah dijalani dua pertiga (2/3) dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya Sembilan (9) bulan, maka kepada narapidana yang bersangkutan dapat diberikan lepas bersyarat dan pengusulan lepas bersyarat ini, ditetapkan oleh Dewan Pengamatan Pemasyarakatan.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah spesifikasi Penelitian, Jenis dari

penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Penelitian Hukum Normatif (legal research), yaitu

dengan mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah perangkat hukum tata negara yang

terdapat di dalam berbagai sumber terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibahas dalam

skripsi ini. Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan yuridis (legal

approach), mengingat permasalahan yang diteliti dan dibahas dala skripsi ini adalah Penanganan khusus

(7)

Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang

pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, Peraturan Pemerintaha No. 32 Tahun 1999

tentang syarat dan tata cara pelaksaan hak warga binaan pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah No. 28

Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 32 tahuin 1999 tentang syarat dan tata

cara pelaksaan hak warga binaan pemasyarakatan). Alat pengumpulan data yang diperlukan oleh penulis

berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library research).

Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis

ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini.

Tujuan dari tinjauan kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang

meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan

bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Analisis data yang diperoleh penulis dari

tinjauan kepustakaan ini akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan

deduktif yang berpedoman kepada bagaimana penanganan khusu terhadap narapidana pengidap HIV/AIDS

dilapas dalam ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam lembaga pemasyarakatan di Indonesia

Bab kedua dalam skripsi ini berisikan tentang Penyebaran HIV/AIDS merupakan masalah serius yang harus segera direspon oleh banyak pihak. Penyebaran HIV/AIDS tidak hanya terjadi di masyarakat umum, namun juga dapat terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara. Walau jumlah orang dalam lapas/ rutan tidak sebanyak orang di di masyarakat umum, namun tetap saja penyebaran HIV/ AIDS merupakan hal yang harus diwaspadai. Sebab Kondisi Lapas/ Rutan di Indonesia masih belum memadai. Bahkan dengan berbagai masalahnya, seperti overkapasitas maka penyebaran dan penularan HIV/AIDS justru semakin rentang terjadi. Sebagai pihak yang harus melindungi dan memenuhi hak-hak warga negaranya, maka pemerintah wajib untuk berperan aktif dalam segala usaha penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS di Lapas/rutan. Untuk meneruskan penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS dalam bentuk implementasi nyata maka pemerintah dengan sigap telah membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA).

(8)

kebijakan dan strategi pencegahan dan penanggulahan HIV di Lapas/Rutan. Kebijakan yang paling mendasar yakni masalah pendanaan. Dengan kondisi saat ini, pemerintah belum bisa menganggarkan biaya yang memadai untuk memenuhi berbagai kebutuhan dalam menjalankan kebijakan penanggulahan HIV/AIDS.

(9)
(10)
(11)

DAFTAR ISI

Halaman.

Kata Pengantar...i

Abstrak...iv

Daftar isi...vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Permasalahan...6

C. Keaslian Penulisan...6

D. Tujuan Penulisan...6

E. Mamfaat Penulisan...8

F. Tinjauan Perpustakaan...9

1. Sistem Pemasyarakatan...9

2. Proses Pemasyarakatan...13

G. Metode Penulisan...14

H. Sistematika Penulisan...17

BAB II : PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDANA - YANG MENDERITA HIV/AIDS...19

A. Keadaan Lapas/Rutan pada umumnya...19

B. Situasi HIV/AIDS di Lapas/Rutan...21

1. Jumlah estimasi penderita HIV/AIDS di Lapas/rutan...21

2. Proses penyebaran HIV/AIDS di dalam Lapas/rutan...26

C. Pembinaan dan perawatan khusus bagi narapidana pengidap- HIV/ADIS di Lapas/rutan...29

D. Hak-hak narapidana...37

BAB III : KENDALA – KENDALA DALAM PROSES PENANGANAN- KHUSUS NARAPIDANA YANG TERJANGKIT HIV/AIDS...43

A. Penyimpangan...43

1. Penyimpangan seksual...44

2. Perilaku kapal selam...45

3. Perilaku simpan vonis...45

4. Penyeludupan barang terlarang...45

5. Pelarian dan pemberontakan...46

B. Kendala dalam pencengahan HIV/AIDS di Lapas/Rutan...46

(12)

a. Petugas pelaksana...47

b. Narapidana penderita HIV/AIDS...50

c. Sarana dan prasana penunjang...53

d. Masalah psikologis...56

e. Kendala dari luar Lembaga Permasyarakatan...57

(1) Pendanaan...57

(2) Kesulitan dengan akses kesehatan...58

(3) Keluarga narapidana penderita HIV/AIDS...59

(4) Masalah-masalah lain yang berkaitan dengan - narapidana...59

C. Kebijakan hukum pidana dalam proses penanggulangan - terhadap narapidana yang terjangkit HIV/AIDS di Lapas/rutan...60

BAB V : KESIMPULAN dan SARAN...68

A. Kesimpulan...68

B. Saran...71

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang. Sebagian dari perkembangan itu bermakna positif dan sebagian yang lain bermakna negatif.Usaha Pemerintah dalam menegakkan hukum dan memberantas korupsi merupakan usaha yang positif. Di sisi lain, akibat arus globalisasi dan modernisasi,mengakibatkan berbagai persoalan sosial dan persoalan kriminalitas yang terus bermuculan. Sebagaimana dikatakan oleh Barda Nawawi :

“... bahwa dilihat dari sudut politik kriminal, masalah strategis yang justru harus ditanggulangi ialah menangani masalah-masalah atau kondisikondisi sosial secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Ini berarti, penanganan atau penggarapan masalah-masalah ini justru merupakan posisi kunci dan strategis dilihat dari sudut politik kriminal.”1

Dari jumlah tersebut, 70 hingga 75 persen adalah narapidana kasus Narkoba. Hal ini menjadi kecurigaan bahwa kasus kematian pengguna narkoba umumnya berlatar belakang penyalahgunaan narkoba yang kerap bergandengan dengan HIV/AIDS. Menurut data Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia hingga 31 Desember 2006, ada 8194 kasus HIV /AIDS di seluruh Indonesia. Seperti fenomena gunung es, tentu masih banyak kasus yang belum dilaporkan. Bahkan Badan Narkotika Nasional menyebutkan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika telah menyentuh 1,5 persen dari penduduk Indonesia atau lebih 3 juta orang pada tahun 2006, sebagian dari mereka adalah pengguna narkotika.

Rantai peredaran narkoba yang sulit diputus merupakan satu dari banyak masalah pelik yang mendera Indonesia. Bahkan dengan hukuman mati yang mengancam para pelaku kejahatan narkotika dan psikotropika tampaknya belum mampu menghentikan laju bisnis narkoba dan psikotropika di Indonesia. Sudah banyak para pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika yang ditangkap dan dibina di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Namun banyak juga yang kerap kembali melakukan tindak pidana yang sama. Hal yang menarik ialah bahwa banyak dari narapidana kasus narkotika dan psikotropika yang menderita HIV/AIDS.

2

Dari data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa narapidana yang terjangkit HIV/AIDS berasal dari mereka yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika. Hal tersebut sangat wajar sebab salah satu proses penular HIV/AIDS, ialah melalui jarum suntik.Namun demikian narapidana yang menderita HIV/AIDS tidak selalu dari narapidana yang terlibat kasus narkotika dan psikotropika. Sebab penuralan

1 Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2002), hal. 9.

2

“LP Narkoba Terpadu di Yogya: Menjadi Percontohan se-Asia

(14)

HIV/AIDS tidak hanya melalui jarum suntik saja. Tapi bisa juga HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.3

a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen)

Dewasa ini, HIV/AIDS menyebar dengan luas. Penyakit ini dapat menyebar melalui hubungan seksual, jarum suntik dan kontak darah. Jadi bisa saja seseorang narapidana baru terjangkit HIV/AIDS setelah berada di dalam penjara. Menanggulangi HIV/AIDS bukanlah hal yang mudah. Pasalnya penyakit ini, belum bisa disembuhkan. Namun demikian dengan penanganan medis yang tepat maka dapat memperpanjang usia penderita.

Kondisi Lapas dan rutan yang kotor dan tidak memadai untuk menampung narapidana, memungkinkan terjadinya penularan HIV/AIDS. Kamar sel yang over capacity tanpa disadari bisa menularkan HIV/AIDS bila mana terjadi kontak darah atau kontak seksual. Bukan berita baru bila di dalam lembaga pemasyarakatan kerap terjadi hubungan seksual sesama jenis (sodomi).

Berbicara mengenai narapidana dan pembinaan narapidana tentunya tidak akan terlepas dari teori-teori pemidanaan. Secara tradisional teori-teori-teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu:

b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/ doeltheorieen)4

Ada juga teori rehabilitasi, bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kembali. Di Indenesia kebanyakan dari kasus-kasus pidana selalu berujung pada pemidanaan penjara. Walau sebenarnya banyak juga alternatif pidana lain. Hal demikian itu menyebabkan penjara-penjara yang ada menjadi kelebihan penghuni. Bahkan beberapa rumah tahanan negara berubah fungsi menjadi tempat untuk membina narapidana.

Andi Hamzah dalam seminar tentang hukum pidana di Semarang, Senin 26 April 2004 mengungkapkan,5

3

“AIDS,”< http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS>, 27 Nopember 2010

4 “AIDS,” loc. cit.

5

"Pidana Penjara Kurang Efektif," <http://www2.kompas.com/kompascetak/ 0404/28/Politikhukum/995849.htm>, 30 September

2010.

(15)

Menurut Andi Hamzah, sebenarnya, sejumlah negara mulai "meninggalkan" pidana penjara, terutama untuk hukuman singkat, karena ketidakefektifannya. Pidana itu bisa diganti dengan denda harian, seperti di negara Skandinavia. Terkait dengan tujuan pemidanaan, penting diketahui bagaimana seharusnya memperlakukan dan membina narapidana yang menderita HIV/AIDS. Disatu sisi mereka adalah warga binaan yang perlu mendapat binaan agar menjadi individu yang dapat diterima di masyarakat. Dengan demikian hukuman penjara sebagai bentuk hukuman harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Di sisi lain, narapidana yang mengidap HIV/AIDS memerlukan suatu perawatan dan perlakuan khusus atas penyakit yang mereka derita. Kebutuhan khusus inilah yang seharusnya menjadi perhatian pihak-pihak pembuat kebijakan hukum pidana. Keberadaan narapidana yang menderita HIV/AIDS secara tidak langsung menjadi ancaman bagi narapidana lain. Namun untuk menghindari hal-hal buruk yang mungkin terjadi narapidana penderita HIV/AIDS perlu untuk ditempatkan di sel tersendiri.

Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Nasional (KPHAN) mendesak pemerintah pusat segera merevisi undang-undang nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika. Selain itu pemerintah didesak mengkaji ulang pemenjaraan para pengguna narkoba untuk mencegah meluasnya penyebaran Human Immunodeficiency Virus/Acqired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di kalangan narapidana.

Sebaliknya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tangerang meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Lembaga Pemasyarakatan untuk mengisolasi narapidana yang diduga terjangkit HIV.6 Tentunya terjangkitnya seorang narapidana dengan penyakit mematikan seperti HIV/AIDS tidak akan membuatnya lepas dari proses pemidanaan atau bahkan sekedar peringanan pemidanaan. Sebab sebagaimana digambarkan dalam pasal 1 ayat (2) Undang-undang Pemasyarakatan: Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.7

Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 12 Tahun 1995 tetang Pemasyarakatan, khususnya pasal 14 mengenai hak-hak narapidana, narapidana harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu. Pembinaan dan pembimbingan narapidana meliputi program pembinaan dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian.

Sesungguhnya arti penting penting pembinaan narapidana adalah agar narapidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah diperbuat. Agar tidak merasa didiskrimansikan maka narapidana penderita HIV/AIDS harus mendapatkan perlakuan yang layak.

6

“Narapidana Terjangkit AIDS Diminta Diisolasi,” <http://www.sinarharapan.co.id/berita/0704/04/nas07.html>, 21 Nopember

2010,

(16)

Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar narapidana menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar narapidana dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Perlu untuk selalu disadari bahwa, pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis-normatif dan sistematik-dogmatik. Disamping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, dan komparatif; bahkan memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.8

B. Perumusan Permasalahan

Permasalahan dalam skripsi ini adalah:

1) Bagaimana penanganan khusus terhadap narapidana yang menderita HIV/AIDS?

2) Apa saja kendala-kendala dalam proses penanganan khusus terhadap narapidana yang terjangkit HIV/AIDS?

C. Keaslian Penuliasan.

Sebelum tulisan ini dimulai, penulis telah terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap tulisan-tulisan terdahulu, dan sepanjang penelusuran tersebut, diketahui di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan tentang “PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDANA PENDERITA HIV/AIDS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN DI NEGARA INDONESIA”. belum pernah ada. Kemudian, permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis sendiri. Kendatipun terdapat tulisan atau skripsi yang menyerupai tulisan ini, penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda dengan skripsi ini. Penulisan ini mengacu kepada Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, Peraturan Pemerintaha No. 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksaan hak warga binaan pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 32 tahuin 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksaan hak warga binaan pemasyarakatan), Oleh sebab itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin oleh penulis.

8

(17)

D. Tujuan Penulisan.

Penulisan ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pengawasan serta penanganan narapidana yang terjangkit HIV/AIDS. Seperti kita tahu bahwa perlakuan yang manusia dan memenuhi asas keadilan adalah salah satu hendak dicapai dalam proses pembinaan. Oleh karena itu narapidana, khususnya narapidana yang memiliki HIV/AIDS harusnya mendapatkan penangganan dan terapi khusus yang sesuai yang dengan kebutuhannya. Telah diketahui bahwa HIV/AIDS dapat dengan mudah melalui hubungan seksual, jarum suntik dan kontak pendarahan. Untuk mencegah terjadinya penularan virus HIV/AIDS di dalam Lapas, maka narapidana yang menderita HIV/AIDS harus dijaga dengan baik. Hal ini menarik bagi penulis. Dan untuk itulah maka kita perlu melakukan penelitian lebih lanjut agar kita lebih mengetahui, memahami, dan memperluas khazanah pengetahuan mengenai pembinaan narapidana. Terutama dalam penulisan ini terkait dengan hak-hak khusus narapidana. Terlebih lagi untuk mengetahui apakah ada perbedaan mendasar terhadap perlakuan narapidana. Apakah narapidana penderita HIV/AIDS diperlakukan secara berbeda atau sama saja dengan kebanyakan narapidana. Serta untuk mengetahui bagaimana layanan kesehatan narapidana HIV/AIDS, apakah telah memandai atau belum.

Hasil penelitian ini bisa menjadi masukan kepada pihak-pihak berkepentingan agar proses pembimbingan dan pembinaan narapidana di masa mendatang menjadi lebih baik. Pihak yang berwenang terhadap pelaksanaan pengawasan dan pembinaan di lembaga pemasyarakatan antara lain ialah menteri dan balai pertimbangan pemasyarakatan. Selain memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pembinaan dan pembimbingan pemasyarakatan, menteri juga memiliki wewenang, tugas, dan tanggung jawab perawatan terhadap tahanan.9

Tugas Balai Pertimbangan pemasyarakatan adalah bertugas memberi saran dan atau pertimbangan kepada Menteri. Balai Pertimbangan pemasyarakatan bertanggung jawab pada menteri. Ada pun pertimbangan tersebut meliputi:10

a) Pembinaan sumber daya manusia yang melaksanakan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan;

b) Penggunaan metode, cara dan materi pembinaan warga binaan pemasyarakatan;

c) Perencanaan dan penyusunan program pembinaan serta peran serta masyarakat untuk meningkatkan kualitas kesadaran warga binaan pemasyarakatan agar dapat hidup secara wajar dan bertanggungjawab;

d) Sarana dan prasarana serta hal-hal lain yang mungkin dapat digunakan dalam pembinaan dan pembimbingan secara terpadu.

9 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemasyarakatan, UU No.12 tahun 1995, ps. 51.

10 Indonesia, Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No: M.02.PR.08.03 tahun 1999, tentang Pembentukan

(18)

Balai Pertimbangan pemasyarakatan terdiri dari para ahli di bidang pemasyarakatan yang merupakan wakil instansi pemerintah terkait, badan non pemerintah dan perorangan dan merupakan suatu badan penasehat Menteri yang bersifat non struktural. Saran atau pertimbangan yang diberikan balai Pertimbangan pemasyarakatan kepada Menteri antara lain berdasarkan keluhan atau pengaduan warga binaan pemasyarakatan.

D. Mamfaat Penulisan.

Disamping untuk mencapai tujuan di atas maka penulisan ini juga mempunyai mamfaat, baik secara Teoritis maupun Praktis, antara lain :

1. Secara Teoritis, hasil penulisan ini akan berguna untuk dapat dijadikan lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep ilmiah yang pada gilirannya memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum pidana khususnya yang mengatur tentang masalah Pembinaan para Narapidana.

2. Secara Praktis hasil tulisan ini dapat dipergunakan :

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Pemerintah, Peradilan, Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan bagi narapidana Lembaga Pemasyarakatan.

b. Sebagai Informasi bagi masyarakat mengenai Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat pembinaan, mendidik serta membimbing para narapidana agar dapat berbuat baik dan berguna bagi diri sendiri maupun orang lain bukan sebagai tempat penyiksaan dan pengasingan dari masyarakat luas seperti anggapan masyarakat selama ini.

c. Sebagai bahan kajian Akademis untuk menambah wawasan Ilmu Pengetahuan khususnya Hukum Pidana dan Sistem Pemasyarakatan.

E. Tinjauan Keperpustakaan. 1. Sistem Pemasyarakatan.

Bertolak dari pandangan Dr. Saharjo, SH. Tentang tugas hukum sebagai pangayoman hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara.

Konsepsi pemasyarakatan tersebut kemudian disempurnakan oleh keputusan konferensi dinas para pimpinan kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem pemasyarakatan, suatu pernyataan di samping sebagai arah tujuan pidana penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan membina .11

Sambutan Menteri Kehakiman RI dalam pembukaan Rapat Kerja Terbatas Direktorat Jendral Bina Tuna Warga tahun 1976 menandaskan kembali prinsip–prinsip untuk bimbingan dan pembinaan sistem

(19)

pemasyarakatan yang sudah di rumuskan dalam konferensi di Lembang tahun 1964 yang terdiri atas sepuluh rumusan.12

Prinsip – prinsip untuk bimbingan dan pembinaan itu ialah :13

1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.

2. Penjatuhan Pidana adalah bukan tindakan balasan dendam dari Negara.

3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan. 4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat

dari pada sebelum ia masuk Lembaga Pemasyarakatan.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya di peruntukkan bagi kepentingan lembaga atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau Negara saja.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas pancasila.

8. Tiap orang adalah manusia dan diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat.

9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.

10.Sarana fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan sistem Pemasyarakatan.

Sepuluh prinsip bimbingan dan pembinaan tersebut apabila ditinjau dari kerangka teoritis akan menjadi tiga pokok pikiran Pemasyarakatan, yaitu sebagi suatu tujuan, sistem proses, dan metode untuk pelaksaan pidana penjara di Indonesia.

Tujuan aliran pemidaan yang memperhatikan aspek perbuatan dan aspek manusia dapat digolongkan pada teori Utilitarian Reform yang meliputi aspek-aspek perlindungan terhadap masyarakat (protection of the public), pencegahan kejahatan (Prevention of crime), dan sekaligus usaha memperbaiki manusia pelanggar hukum (reform of the offender).

12

Pidato Pengarahan Menteri Kehakiman RI, Jakarta. Pada Pembukaan Rapat Kerja Terbatas, Dit.Jen. B.T.W, Departemen

Kehakiman RI, Tahun 1976, Jakarta. Din. Jen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman RI, Dari Sangkar ke Sanggar, Suatu Komitmen

Pengayoman, November, 1976, hal 9-11.

(20)

Kegiatan pemasyarakatan merupakan cara pelaksaan pidana penjara berupa sistem proses konversi yang melibatkan hubungan interrelasi, intraksi, dan integritas antara komponen masyarakat, dan komponen petugas penegak hukum yang menyelenggarakan proses pembinaan terhadap komponen narapidana, dengan sasaran untuk mengasilkan pembinaan seseorang menjadi warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat. Dengan demikian sistem pemasyarakatan menjadi suatu sistem terbuka ( open system) mempunyai bagian masukan (input) komponen narapidana dalam proses pembinaan dan hasil menjadi seorang warga masyarakat yang berguna (output). Segala upaya berpikir dalam pemasyarakatan merupakan metodelogi penyelenggaraan bimbingan dan pembinaan dengan cara tertentu bagi kepentingan masyarakat dan individu yang bersangkutan, serta mempergunakan akal yang kritis melalui upaya – upaya tertentu, misalnya asimilasi, intregrasi, pendidikan, latihan kerja keterampilan, dan lain-lainnya.

Sistem pemasyarakatan Indonesi mengandung arti pembinaan narapidana yang berintegrasi dengan masyarakat dan menuju kepada integrasi kehidupan dan penghidupan. Pemasyarakatan sebagai proses bergerak dengan menstimulir timbulnya dan berkembangnya self profelling adjustment diantara elemen intregritas, sehingga narapidana yang bersangkutan menuju kearah, perkembangan pribadi melalui asosiasinya sendiri menyesuaikan dengan integritas kehidupan dan penghidupan. Upaya pembinaan atau bimbingan yang menjadi inti dari kegiatan sistem pemasyarakatan merupakan satu sarana perlakuan cara baru terhadap narapidana untuk mendukung pola upaya baru laksanaan pidana penjara agar mencapai keberhasilan peranan Negara mengeluarkan untuk menjadi anggota masyarakat.

Pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu sasaran yang perlu dibuat adalah pribadi dan budipekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada orang lain serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi.

Pembinaan terhadap pribadi dan budi pekerti yang dimaksudkan tidaklah tanpa batas, akan tetapi selama waktu tertentu memberi warna dasar agar nara pidana kelak kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi dan taat terhadap hukum yang berlaku dalam masyarakat. Namun pembinaan narapidana masi tergantung bagaimana hubungannya terhadap masyarakat luas, yang menerima narapidana menjadi anggotanya. Arah pembinaan harus tertuju kepada :

1. Membina pribadi narapidana agar jangan sampai mengulangi perbuatannya dan mentaati peraturan hukum.

2. Membina hubungan antara narapidana dengan masyarakat luar, agar dapat berdiri sendiri dan diterima menjadi anggotanya.

Untuk mencapai target yang diinginkan di atas, maka pelaksaan pembinaan narapidana di lakukan dengan dua pendekatan:14

14

(21)

a. Pembinaan kepribadian yang meliputi : pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan), pembinaan kesadaran hukum, pembinaan mengintegrasi diri dengan mnasyarakat.

b. Pembinaan kemandirian meliputi : keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri misalnya, kerajinan tangan, industri rumah tangga, reparasi mesin dan alat-alat eletronik dan sebagainya.

2. Proses Pemasyarakat.

Secara formal, proses pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana dalam sistem pemasyarakatan, diberlakukan pada tahun 1965. tujuan utama daripada penetapan metode tersebut adalah sebagai petunjuk dan sekaligus sebagai landasan bekerja para petugas lembaga pemasyarakatan didalam kegiatannya melaksanakan sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan ini meliputi empat tahap sebagai berikut:15

Tahap keempat : jika proses pembinaannya telah dijalani dua pertiga (2/3) dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya Sembilan (9) bulan, maka kepada narapidana yang bersangkutan dapat diberikan lepas bersyarat dan pengusulan lepas bersyarat ini, ditetapkan oleh Dewan Pengamatan Pemasyarakatan.

Tahap pertama : terdap setiap narapidana yang masuk didalam pemasyarakatan dilakukan penetian untuk mengetahui segala hal ikwal perihal dirinya termasuk sebab-sebabnya ia melakukan pelangggaran dan segala keterangan mengenai dirinya dapat diperoleh dari keluarga, bekas majikan, atau atasannya, teman sekerja, sikorban dari perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang telah menangani perkaranya.

Tahap kedua : jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya sepertiga (1/3) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Dewan Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertip yang berlaku dilembaga-lembaga, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan (mediun security).

Tahap ketiga : jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani setengah (1/2) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Dewan Pengamat Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan, baik secara fisik ataupun mental dan juga segi keterampilannya, wadah proses pembinaannya diperluas dengan diperbolehkannya mengadakan asimilasi dengan masyarakat luar, berolahraga bersama dengan masyarakat luar, mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah umum, bekerja diluar, akan tetapi dalam pelaksaannya tetap masih berada dibawah pengawasan dan bimbingan petugas lembaga.

15

Romli Atmasasmita, Strategi Pembinnaan Pelanggaran Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, penerbit

(22)

Kemudian tujuan sistem pemasyarakatan mempunyai tujuan akhir dalam memulihkan kesatuan hubungan sosial (reintegrasi social warga binaan), dengan masyarakat, khususnya masyarakat di tempat tinggal asal mereka melalui sustu proses (proses pemasyarakatan/pembinaan) yang melibatkan unsur-unsur atau elemen-elemen petugas pemasyarakatan narapidana dan masyarakat. Apabila kita melihat prinsip-prinsip pemasyarakatan sebagaimana telah disebutkan di atas, jelas nampak bahwa pemasyarakatan memiliki dua tujuan : pertama tetap membuat sipelanggar hukum jera. Tujuan kedua, berusa membimbing dan membina agar pelanggar hukum kembali menjadi warga yang berguna.16

F. Metode Penulisan.

Metode dapat diartikan sebagai cara atau jalan untuk mencapai sesuatu. Namun, menurut kebiasaan metode dapat dirumuskan dalam beberapa kemungkinan17

a. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian; yaitu :

b. Suatu teknik yang umum digunakan dalam ilmu pengetahuan;

c. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

Dalam pembahasan skripsi ini, metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Jenis dari penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Penelitian Hukum Normatif (legal

research), yaitu dengan mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah perangkat hukum tata

negara yang terdapat di dalam berbagai sumber terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibahas

dalam skripsi ini.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan yuridis (legal

approach), mengingat permasalahan yang diteliti dan dibahas dala skripsi ini adalah Penanganan khusus

terhadap narapida pengidap penyakit HIV/AIDS di Lapas/rutan yang mengacu kepada kepada

Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang

pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, Peraturan Pemerintaha No. 32 Tahun 1999

16 Ibid.

17

(23)

tentang syarat dan tata cara pelaksaan hak warga binaan pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah No. 28

Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 32 tahuin 1999 tentang syarat dan tata

cara pelaksaan hak warga binaan pemasyarakatan),

3. Alat Pengumpul Data.

Pengumpulan data yang diperlukan oleh penulis berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini adalah

dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian

terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar

analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini. Tujuan dari tinjauan kepustakaan (library

research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder18

4. Analisis Data

yang meliputi peraturan perundang-undangan,

buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan

penulisan skripsi ini.

Data yang diperoleh penulis dari tinjauan kepustakaan ini akan dianalisis secara deskriptif dengan

menggunakan metode induktif dan deduktif yang berpedoman kepada bagaimana penanganan khusu

terhadap narapidana pengidap HIV/AIDS dilapas dalam ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam

lembaga pemasyarakatan di Indonesia.

5. Metode Deduktif yang digunakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia tentang penanganan khusus terhadap narapidana pengidap AIV/AIDS di lapas dan

Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Peraturan Pemerintah No. 31

Tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, Peraturan

Pemerintaha No. 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksaan hak warga binaan

pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan

Pemerintah nomor 32 tahuin 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksaan hak warga binaan

18

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian surat

(24)

pemasyarakatan), yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan yang

bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian.

6. Metode induktif yang digunakan adalah data-data khusus mengenai implementasi penanganan

khusus terhadap narapidana pengidap HIV/AIDS di lapas akan dapat ditarik kesimpulan umum

yang akan digunakan dalam pembahasan selanjutnya.

G. Sistematika Penulisan.

BAB I

PENDAHULUAN.

Dalam bab ini berisikan, persoalan penyebaran HIV/ AIDS adalah masalah besar yang harus segera ditangani. Seperti yang telah diketahui bahwa penyebaran HIV/AIDS juga dapat terjadi di Lapas/ rutan, maka perlu untuk memberikan perhatian kepada penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS di dalam Lapas/ rutan. Apa yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini antara lain untuk mengetahui tentang peraturan perundang-undangan mengatur mengenai pembinaan dan pengawasan narapidana/tahanan. Kemudian untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan dan perawatan terhadap narapidana yang menderita HIV/AIDS. Terakhir untuk menginvetarisir kendala-kendala dalam proses pembinaan narapidana yang terjangkit HIV/AIDS. Mengenai tujuan skripsi ini, disamping sebagai syarat untuk mengambil gelar sarjana, juga sebagai masukan kepada pihak-pihak terkait. Skripsi ini dikerjakan dengan menggunakan studi pustaka, dengan memperbandingan berbagai literatur yang relevan.

BAB II

PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDANA YANG MENDERITA HIV/AIDS.

Dalam bab ini akan dibahas mengenai keadaan Lapas/Rutan pada umumnya. serta bagaimana pembinaan dan perawatan khusus narapidana, Lalu apa saja hak-hak narapidana dan tahanan. Karena skripsi ini mengenai pengawasan dan pembinaan narapidana/tahanan pengidap HIV/AIDS, maka perlu diketahui mengenai situasi HIV/AIDS dan bagaimana penanggulangan HIV/AIDS yang telah dilakukan di dalam Lapas/ rutan.

BAB III

KENDALA-KENDALA DALAM PROSES PENANGANAN KHUSUS TERHADAP

NARAPIDANA YANG TERJANGKIT HIV/AIDS.

(25)

Lapas/rutan Serta kebijakan hukum pidana dalam proses penanggulangan terhadap narapidana yang terjangkit HIV/AIDS di Lapas/rutan.

BAB IV

KESIMPULAN dan SARAN

(26)

BAB II

PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDANA YANG MENDERITA HIV/AIDS.

A. Keadaan Lapas/rutan pada umumnya.

Selama ini masyarakat sangat dekat dengan istilah penjara, walau kemudian istilah ini telah berganti menjadi lembaga pemasyarakatan. Secara tegas dinyatakan dalam Undang-undang tentang definisi dari Lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan atau Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.19

Kenyataan Lapas tidak hanya dihuni oleh narapidana dan anak didik pemasyarakatan saja. Tetapi juga dihuni oleh tahanan. Seharusnya secara ideal para tahanan itu ditempatkan khusus di Rumah Tahanan Negara (Rutan). Rutan adalah unit pelaksana teknis dibidang penahanan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada kantor wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Selama ini masyarakat sangat dekat dengan istilah penjara, walau kemudian istilah ini berganti menjadi lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan atau Lapas.

20

Klasifikasi Lapas didasarkan atas kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan kerja. Pelaksanaan pembinaan narapidana harus sesuai dan berdasarkan asas pancasila, yang mana harkat dan martabat manusia harus dihargai.21

a) Lapas Klas I

Tidak dapat lagi sewenang-sewenang. Pengklasifikasian Lembaga Pemasyarakatan dalam struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan surat keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.01.PR.07.03 tahun 1985 dalam pasal 4 ayat 1 diklasifikasikan dalam 3 klas yaitu:

b) Lapas Klas IIA c) Lapas Klas IIB

Sedangkan rumah tahanan negara/cabang Rutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04.OPR.07.03 tahun 1985 diklasifikasikan dalam 3 klas yaitu:

a) Rumah Tahanan Negara Klas I b) Rumah Tahanan Negara Klas IIA c) Rumah Tahanan Negra Klas IIB d) Cabang Rutan

19

Indonesia, Undang-undang nomor: 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 1 ayat 3.

20 Indonesia, Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI, No.M.04.PR.07.03 tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, ps. 1.

21 Hadi Gunawan, “Pelaksanaan pembinaan Narapidana Kasus Narkotika dan Psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Klas I

(27)

Klasifikasi tersebut didasarkan atas kapasitas dan lokasi. Indonesia mempunyai banyak Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang difungsikan untuk bermacam macam kebutuhan. Sejauh ini di Indonesia terdapat 525 Unit Pelayanan Teknis yang terdiri dari: 22

a) Lembaga Pemasyarakatan : 207 UPT b) Rumah Tahanan Negara : 132 UPT c) Cabang Rutan : 58 UPT

d) BAPAS : 67 UPT e) Rupbasan : 61 UPT

Melihat realitas yang ada maka over kapasitas telah menjadi persoalan bagi hampir semua lembaga pemasyarakatan. Jumlah hunian tidak sebanding dengan jumlah warga binaan. Jumlah kapasitas yang seharusnya dari Lapas/Rutan Seluruh Indonesia 73.000 orang. Sedangkan pada kenyataannya disi penghuni 111.357 orang (Nopember 2006).23

D. Situasi HIV/AIDS di Lapas/rutan.

Ditambah lagi dengan meningkatnya Napi/Tahanan narkotika Diperkirakan 28.26 % serta masih adanya napi/tahanan narkotika yang berada di Lapas Non-Narkotika. Kondisi melebihi kapasitas ini bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur dalam standard minimum rules of treatment of prisoners. Standard minimal yang harus dipatuhi oleh suatu lembaga terkait dengan

akomodasi tahanan adalah penyediaan ruang sel berupa kamar-kamar yang harus dihuni sendiri oleh masing-masing tahanan. Pengecualian hanyalah bagi ruangan besar untuk ditempati beberapa orang. Dan ada ruang-ruang khusus terhadap Narapidana yang terjangkit HIV/AIDS, dan mereka juga mendapat penangganan khusus dibandingkan narapidana-narapidana yang lainnya. Dari bentuk pencegahan agar tidak menularkan kepada penghuni lapas yang lain, mereka (narapidana pengidap HIV/AIDS) juga dikasi paparan atau ajaran bagaimana untuk hidup sehat. Selain itu masi banyak juga penangganan khusus lain yang diberikan kepada mereka dan hak-hak mereka sebagai narapidana.

1. Jumlah estimasi penderita HIV/ AIDS di Lapas/ rutan.

Berdasarkan data dan informasi dari Departemen Kesehatan, estimasi nasional 2006 jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) sebanyak 171.000-219.000 orang, Jumlah estimasi Penasun 191.000-48.000 dan diperkirakan juga memberikan resiko pada pasangan seksualnya yang berjumlah 85.700 orang. Sampai dengan September 2006 sudah 32 provinsi melaporkan kasus AIDS dengan jumlah kumulatif sebanyak 6897 orang dan terbanyak dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Proporsi

22 “Data UPT PAS”,

<http://Lapas.aids-ina.org/modules.php?name=Profile&op=viewprofile&pid=3>, 12 November 2010.

23

(28)

kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan menular di kalangan penasun lebih dari 50%. Kelompok umur 20-29 tahun yang terinfeksi sebanyak 54,77% disusul kelompok umur 30-39 tahun 26,56%. Hal ini mengindikasikan mayoritas penduduk usia muda sangat mudah tertular virus HIV dan menderita AIDS.

Gambaran tersebut menunjukkan dominasi cara penularan (mode of transmission) terjadi melalui darah atau lewat jarum suntik yang tercemar virus HIV.24 Mengenai jumlah total kematian akibat akibat HIV melalui jarum suntik di Lapas/ rutan belum tersedia data tapi cukup memadai namun diperkirakan sekitar 1 orang per hari. Data dari Lapas dan Rutan menunjukkan meningkatnya jumlah tahanan dengan pelanggaran yang berkaitan dengan napza terjangkit HIV. Pelanggar kasus napza meningkat dari 7211 di tahun 2002 menjadi 11.973 tahun 2003 dan sampai dengan Agustus 2006 menjadi 25.096. Di samping itu ada tahanan yang bukan karena kasus napza tapi juga pengguna jarum suntik (penasun) tapi tidak ada informasi mengenainya. Adapun data mengenai surveilans HIV, yang dilaksanakan oleh Depkes RI, tahun 2004 melaporkan prevalensi HIV sebesar 24,5% di kalangan narapidana dan tahanan di Lapas/Rutan di Provinsi Angka kematian napi/tahanan dengan latar belakang HIV/AIDS relatif tinggi, di LP Cipinang angka kematian meningkat dari 76 di tahun 2004 menjadi 159 di tahun 2005, dan di Rutan Salemba dari 58 menjadi 179. Faktor penyakit yang utama menjadi penyebab kematian di Lapas/Rutan adalah TBC. Pada sisi lain kondisi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di UPT di lingkungan Direktorat Jendral Pemasyarakatan belum sepenuhnya optimal.25

Penjelasan. yang tinggi dari perilaku risiko tinggi di beberapa Lapas dan Rutan termasuk seks tidak aman antar narapidana dan tahanan.

Belum ada data surveilans HIV dari Lapas/Rutan di Provinsi lain. Namun, telah ada laporan rutin kepada Direktorat Jenderal Pemasyarkatan yang menunjukan adanya kasus HIV, angka kesakitan dan angka kematian akibat HIV/AIDS di Lapas/rutan. Di samping itu, melihat tren peningkatan prevalensi HIV di kelompok populasi berperilaku risiko tinggi, dapat diperkirakan HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang serius di Lapas/rutan. Penggunaan alat dan jarum suntik “yang tidak disterilisasi” secara bergantian diakui oleh 80% pengguna narkoba suntik (penasun) di masyarakat dan kegiatan menyuntik dan berbagi juga dilaporkan terjadi juga di dalam Lapas dan Rutan. Walaupun data tersebut sulit dibuktikan, namun menunjukkan insiden Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik.

26

24 Indonesia, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI no. 02/PER/MENKO/KESRA/I/2007 tentang

Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV/ AIDS

25

“Penanggulangan HIV/ AIDS di Lapas/ Rutan”, <http://Lapas.aids-ina.org/>, 12 November 2010.

26

Ibid.

(29)

bergantian) mereka berada di Lapas/ rutan. Penyebab lain adalah tingginya angka infeksi HIV pada pengguna narkoba suntikan (Injecting Drug User/IDU) antar sesama narapidana/tahanan.27

Tingginya sirkulasi pergantian warga narapidana/tahanan di Lapas, juga ikut mempengaruhi penyebaran HIV di masyarakat luas jika mantan narapidana tertular selama berada di Lapas/ rutan. Angka HIV dan AIDS di penjara di Eropa menunjukkan perbedaan beragam. Di Spanyol dan Italia, angka infeksi HIV tercatat masing-masing 26% dan 17%. Di AS, angka berkisar antara 1%-20%. Di Kanada angka berkisar 1%-12%. Di Afrika Selatan angka mencapai 41% sedangkan di Brazil angka berkisar dari 11%-21%. Penelitian-penelitian untuk mengukur angka infeksi HIV di kalangan Buku Saku Staff Lapas/Rutan 3 IDU di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan angka yang berkisar dari 20% sampai lebih dari 50%. Estimasi infeksi HIV pada orang dewasa Indonesia yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI menghasilkan angka rata-rata infeksi HIV di kalangan narapidana sebesar 11,99%.28

Penelitian yang menunjukkan tingginya angka infeksi HIV di kalangan IDU ini tidak bisa dipungkiri, dan dengan banyaknya IDU yang dipenjarakan, maka para staf dan manajemen Lapas/rutan perlu mengetahui realita ini. Sejalan dengan meningkatnya kasus HIV/AIDS dalam masyarakat, terjadi pula peningkatan dalam Lapas/rutan. Seperti terdapat dalam tabel di bawah ini:29

Tabel Prevalensi HIV Pada Narapidana di Indonesia

NO Prevalensi

Prevalensi HIV Pada Narapidana

1999 2000 2001 2002 2003

1 DKI 1.69 17.53 22 7.55 17.65

2 JaBar 0.9 7 20.6 5 21.1

3 JaTim - - 0.68 - 4.23

4 Bali 18.7 - 9.6 10.2 10.7

5 Lampung - - 2.5 2.3 2.8

6 BaBel 1 - - - -

7 DIY - 2.8 - - -

8 Banten - - - 10.8 21.3

9 KalTim - - - - 0.36

Tabel di atas memperlihatkan peningkatan prevalensi HIV di lapas/rutan.

Contohnya di Lapas/Rutan DKI Jakarta pada tahun 2002 sebesar 7,55% meningkat pada 2003 menjadi 17,65%, Jawa Barat pada tahun 2002 sebesar 5 % menjadi 21,1% pada tahun 2003, dan Banten pada tahun 2002 sebesar 10,8 % menjadi 21,3% pada tahun 2003. Angka HIV akan kelihatan lebih kecil apabila populasi Lapas/Rutan dilihat secara keseluruhan, namun masalah ini tetap perlu untuk diperhatikan.

27 Buku saku staff Lapas/Rutan (Program Aksi Stop AIDS(ASA), ( jakarta: Family Health International (FHI), 2007), hal. 2.

28 Ibid., hal. 3.

29

(30)

Perkiraan yang dibuat pada tahun 2002 menyatakan bahwa sekitar 8-12% narapidana/tahanan adalah HIV positif.

Kesehatan narapidana/tahanan berhubungan erat dengan kesehatan dalam masyarakat. Tanpa intervensi kesehatan masyarakat yang tepat, Lapas/rutan dapat menjadi tempat yang potensial bagi penyebaran HIV. Walaupun demikian, dengan langkah-langkah yang tepat Lapas/Rutan juga dapat menawarkan peluang pencegahan yang baik.30 Sejalan dengan tujuan strategi kesehatan masyarakat, maka Lapas/rutan pun mempunyai tujuan untuk mempromosikan, melindungi kesehatan, mengurangi tingkat penyakit dan kematian di antara narapidana/tahanan. Dengan adanya epidemi (penyebaran) ganda HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan ini, memunculkan tantangan baru dan penting bagi isu kesehatan masyarakat di Lapas/Rutan. Bukti-bukti yang ada dari negara-negara lain mengindikasikan bahwa tingkat infeksi HIV di kalangan narapidana/tahanan secara signifikan lebih tinggi dari pada yang ada dalam masyarakat.31

Beberapa narapidana/tahanan memang telah terinfeksi sebelum masuk Lapas/rutan, tetapi sebagian terinfeksi pada waktu mereka berada dalam Lapas/rutan. Perilaku yang membuat narapidana/tahanan rawan HIV telah umum terjadi, yaitu akibat perilaku berisiko yang meliputi praktik seksual tidak aman, penggunaan bersama peralatan suntik, tato, kekerasan lain termasuk perkosaan dan kekerasan berdarah umum. Meskipun angka penyalahgunaan narkoba suntik di Lapas/rutan lebih kecil dari penyalahgunaan di masyarakat, tetap sangat berbahaya.32

Hubungan seksual tidak aman di antara narapidana/tahanan adalah faktor penting lainnya dalam penularan HIV di antara narapidana/tahanan. Angka hubungan seksual sesama jenis di Lapas/Rutan berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan seksual ini bisa dilakukan atas dasar suka sama suka, tetapi juga dapat terjadi karena adanya pemaksaan, yang di dalamnya terdapat unsur perkosaan. Risiko tertular HIV pun menjadi tinggi, mengingat tidak adanya penggunaan kondom dan terjadinya luka pada waktu terjadi pemaksaan. Tato dan bentuk penusukan lain pada kulit, umum terjadi dalam Lapas/Rutan dan juga menyebabkan adanya risiko penularan HIV karena langkanya peralatan steril. Terdapat pula risiko penularan HIV dari ibu pengidap HIV ke anak, apabila narapidana/tahanan hamil dan menyusui tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang selayaknya. Lapas/Rutan di Indonesia telah memainkan peranan yang cukup aktif dalam menghadapi HIV dan penyalahgunaan narkoba. Walaupun

Hal ini disebabkan karena adanya kelangkaan peralatan setiap kali menyuntik, dan jarum yang sama biasanya akan digunakan bersama dan bergantian. Hal tersebut sebagai faktor utama terjadinya kasus HIV baru di dalam Lapas/rutan.

30 Departemen Kesehatan, ”Estimasi Nasional Infeksi HIV Pada Orang Dewasa Indonesia, Tahun 2003". Jakarta: Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2003

31

UNAIDS, “UNAIDS Best Practice Collection: UNAIDS point of view on Prisons and AIDS”,(New York: United Nations),

1997.

32 The Centre for Harm Reduction and Asian Harm Reduction, ”Mengurangi Dampak Buruk narkoba di Asia, Edisi Indonesia”,

(31)

beberapa narapidana/tahanan telah berstatus HIV positif pada waktu mereka masuk ke dalam Lapas/ Rutan, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa penularan juga terjadi di antara narapidana/tahanan. Di Indonesia, seperti halnya juga di negara lain, penelitian yang ada menunjukkan bahwa umumnya penularan HIV di Lapas/Rutan terjadi karena adanya penggunaan bersama peralatan suntik dan melalui hubungan seksual tidak aman.33

2. Proses penyebaran HIV/ AIDS di dalam Lapas/rutan.

Dengan tingginya resiko penyebaran HIV/AIDS di dalam Lapas/rutan tentunya karena Lapas/ rutan terdapat faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya penyebaran dan penularan HIV/AIDS. Lapas/rutan menempatkan orang dalam keadaan yang berisiko tinggi terhadap penularan penyakit karena:34

a) Tingkat hunian yang sesak, yang menyebabkan iklim kekerasan serta sanitasi yang buruk. b) Kontrol infeksi yang buruk: fasilitas kesehatan & pengawasan infeksi sangat terbatas. c) Penggunaan narkoba melalui jarum suntik secara bersama.

Bila ada pengguna jarum suntik di masyarakat, maka kemungkinan juga akan ada penggunaan jarum suntik di dalam Lapas/rutan. Pada keadaan yang sulit untuk memperoleh jarum suntik maka jarum suntik yang ada pun digunakan secara bergantian dan bersama-sama. Indikasi penggunaan jarum suntik di dalam Lapas/rutan dapat didasarkan pada beberapa fakta, antara lain:

1) Karena beberapa narapidana/tahanan yang mengalami kondisi ketagihan sehingga berusaha memasukkan narkoba kedalam Lapas/rutan;

2) Adanya indikasi keterlibatan petugas pada kasus masuknya narkoba ke dalam Lapas/rutan; 3) Diketemukannya peralatan suntik, sabu-sabu dan ganja di dalam Lapas/rutan;

4) Hasil tes urine terhadap narapidana/tahanan yang hasilnya positif menggunakan narkoba;

5) Narapidana lebih cerdik walau secanggih alat yang dipergunakan oleh petugas mencegah masuknya narkoba.35

6) Penyuntikan yang tidak aman: peralatan menyuntik susah didapatkan dan menyebabkan narapidana menggunakan jarum suntik (atau peralatan buatan sendiri dari ujung bolpoin) secara bergantian tanpa membersihkannya terlebih dahulu.

7) Perilaku seksual yang tidak aman dan pemerkosaan: hubungan seks di antara laki laki sangat umum, namun tidak tersedia kondom.

33 Strategi Penanggulangan HIV/ AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan

Negara di Indonesia 2005-2009, (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pemasyarakatan),

2005, hal. 11-12.

34 Buku saku staff Lapas/Rutan, loc. cit., hal. 3-4.

35

(32)

Hubungan seksual antar narapidana/tahanan kerap kali menimbulkan Infeksi Menular Seksual (IMS), dulu disebut penyakit kelamin adalah penyakit yang salah satu penularannya melalui hubungan seksual. IMS terjadi di Lapas/rutan, karena kemungkinan narapidana telah terinfeksi IMS sebelum masuk dan/atau melalui hubungan seks di dalam Lapas/rutan. Hubungan seks di dalam Lapas/rutan bisa terjadi atas dasar suka sama suka, terpaksa karena intimidasi, alasan perlindungan dan pemerkosaan. Penelitian di seluruh dunia menunjukkan hubungan seks antara pria dengan pria di dalam Lapas/rutan adalah hal yang biasa. Dan karena kondom jarang tersedia, maka risiko tertular/menularkan IMS dan HIV/AIDS merupakan suatu realitas bagi para narapidana.36

Infeksi Menular Seksual terutama sifilis, meningkatkan risiko penularan HIV 1-9 kali lipat. Di samping itu, IMS juga merupakan beban penyakit tersendiri yang dapat menimbulkan komplikasi dan efek jangka panjang seperti kemandulan, penyempitan saluran kencing pada laki-laki, serta kehamilan di luar kandungan pada wanita. Sebagian besar IMS dapat disembuhkan. Dengan menyembuhkan IMS, risiko penularan HIV diturunkan 1-9 kali lipat. Infeksi ganda HIV dan IMS meningkatkan potensi masalah HIV maupun IMS.37

8) Perilaku berisiko lain seperti tatto, tindik telinga/ kulit,pemasangan pelor ke dalam penis, dll dan biasanya alat yang dipakai tidak steril dan digunakan bergantian.

Layanan kesehatan di Lapas/Rutan akan secara aktif mengidentifikasi IMS pada narapidana/tahanan pria maupun wanita, baik yang HIV positif maupun negatif Narapidana/tahanan dengan IMS akan diobati sesuai standard pengobatan. Narapidana/tahanan dengan IMS tidak akan diperlakukan secara diskriminatif. Lapas/Rutan juga akan menyediakan obat-obat esensial untuk pengobatan berbagai IMS, sesuai standard terapi, secara berkesinambungan atau bila perlu kerja sama dengan Dinkes dan RS setempat.

9) Akibat perkelahian antar narapidana/ tahanan.

10)Penggunaan alat cukur bergantian tanpa proses sterilisasi, karena fasilitas terbatas.

E. Pembinaan dan perawatan khusus bagi narapidana pengidap penyakit HIV/AIDS di Lapas/rutan.

Pembinaan merupakan suatu proses belajar dengan melepaskan hal-hal yang sudah dimiliki dan mempelajari hal-hal yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang yang menjalaninya, untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup serta kerja yang sedang dialami secara lebih efektif.38

Mangunhardja secara lebih tegas mencoba membedakan antara pembinaan dan pendidikan, yaitu: Pembinaan menekankan pada pengembangan manusia dari segi praktis yaitu pengembangan sikap dan

36 Buku saku staff Lapas/Rutan, loc. cit., hal. 18.

37 “IMS”, <http://Lapas.aids-ina.org/>, 12 November 2010.

38

(33)

kecakapan. Sedangkan pendidikan menekankan pada pengembangan pengetahuan dan ilmu. Oleh karena itu, pembinaan memegang peranan yang cukup penting dalam pembentukan manusia yang seutuhnya. Selain dipenuhi hak-haknya, para narapidana juga harus menjalani proses pembinaan. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu.39 Sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman nomor: M.02-PK.04.10 tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/tahanan, maka ruang lingkup pembinaan dapat dibagi dalam 2 bidang:40

a. Pembinaan kepribadiaan yang meliputi: (1) Pembinaan kesadaran beragama,

(2) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, (3) Pembinaan kemampuan intelektual,

(4) Pembinaan kesadaran hukum,

(5) Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat,

b. Pembinaan kemandirian

Pembinaan kemandirian yang diberikan melalui program-program sebagai berikut:

(1) Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, misalnya kerajinan tangan, industri rumah tangga, refarasi mesin dan alat elektronik.

(2) Ketrampilan untuk mendukung usaha industri kecil, misalnya pengelolaan bahan mentah dari hasil pertaniaan dan bahan alam menjadi barang setengah jadi.

(3) Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing. (4) Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atas kegiatan pertanian.

Wujud pembinaan tersebut dilaksanakan di setiap lembaga pemasyarakatan dimana pengawasan dan penilaian terhadap narapidana yang menjalani pembinaan dilakukan oleh tim pengawas pemasyarakatan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor. M.02.PR.08.03 tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) dan Tim Pengawas Pemasyarakatan (TPP), tugas pokok TPP diatur dalam pasal 13, yaitu:41

1. Memberikan saran mengenai bentuk dan program pembinaan pengamanan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan.

2. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan pengamanan dan pembimbingan . 3. Menerima keluhan dan pengaduan warga binaan pemasyarakatan.

39 Loc. cit., Undang-undang no. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, ps. 15 ayat 1.

40 Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Pemasyarakatan, hal. 69-70.

41

(34)

Pelaksanaannya pembinaan narapidana di dalam lapas, dijalankan dalam tahapan-tahapan. Sebagaimana dicantumkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02-PK.04.10 tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/tahanan, disebutkan bahwa:

1) Setiap narapidana harus memulai tahap-tahap pembinaan yang telah ditentukan. 2) Tahap-tahap pembinaan bagi narapidana ditentukan berdasarkan lamanya

pidana/masa pembinaan yang bersangkutan.

Bagi narapidana yang sisa pidananya lebih dari 1 (satu) tahun, menjalani pidana dengan empat tahap :42

1) Tahap pertama : pembinaan awal yang didahului dengan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan (mapenaling), sejak diterima sampai sekurang-kurangnya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya.

2) Tahap kedua: pembinaan lanjutan di atas 1/3 sampai sekurang-kurangnya ½ dari masa pidana yang sebenarnya.

3) Tahap ketiga: pembinaan lanjutan di atas 1/2 sampai sekurang-kurangnya 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya.

4) Tahap keempat: Pembinaan lanjutan/bimbingan di atas 2/3 sampai selesai masa pidananya.

Sedangkan bagi narapidana yang sisa pidananya sampai dengan 1 satu tahun, ada tiga tahap :43

1) Tahap pertama, sejak diterima sampai sekurang-kurangnya 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya.

2) Tahap kedua sejak 1/2 sampai sekurang-kurangnya 2/3 masa pidana yang ebenarnya. 3) Tahap ketiga, sejak 2/3 sampai selesai masa pidananya.

Sedangkan proses pembinaan bagi narapidana yang dipidana mati atau seumur hidup tidak dilakukan pentahapan, kecuali setelah dirubah pidananya menjadi pidana sementara.

Ketentuan di atas tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, yakni:44

42 Indonesia, Keputusan Menteri Kehakiman nomor: M.02-PK.04.10 tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/ tahanan.

43 Ibid.

44 Indonesia, Peraturan Presiden nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, ps. 9,

10, 12.

(35)

(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a bagi Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana.

(2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi : a. tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (satu per

dua) dari masa pidana; dan

b. tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana.

(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan.

Pasal 10

(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi:

a. masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan paling lama 1 (satu) bulan. b. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;

c. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; dan d. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.

(2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi : a. perencanaan program pembinaan lanjutan;

b. pelaksanaan program pembinaan lanjutan;

c. penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan d. perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.

(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) meliputi: a. perencanaan program integrasi;

b. pelaksanaan program integrasi; dan

c. pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.

(4) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat

Pasal 12

Dalam hal terdapat Narapidana yang tidak dimungkinkan memperoleh kesempatan kesempatan asimilasi dan atau integrasi, maka Narapidana yang bersangkutan diberikan pembinaan khusus (maximum security).

Sedangkan menurut Sunaryo tahap-tahap pembinaan yang harus diberikan oleh setiap narapidana dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:45

Gambar

Tabel  Prevalensi HIV Pada Narapidana di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

(2) What language features are frequently used by men and women when responding to e-mail postings from same-gender or cross-gender participants in “Yahoo” discussion groups. As

Berdasarkan Gambar 4a dapat dilihat bahwa perlakuan probiotik memiliki nilai total hemosit yang tinggi yaitu 10,74x10 7 sel/mL pada akhir perlakuan dan menunjukkan hasil

Tujuan dari penelitian adalah Menganalisis biaya produksi, pendapatan, dan efisiensi usahatani padi sawah petani kooperator, dan menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi

Didalam melakukan pemasaran Maestro Foto Studio menghadapi persaingan yang cukup ketat dilihat dari banyaknya pesaing yang bergerak dalam bidang fotografi di

maka Pejabat Pengadaan Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika Aceh Tahun Anggaran 2014 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut

Jika dilihat dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepercayaan berpengaruh tidak signifikan terhadap adopsi internet banking BRI di Surabaya dikarenakan

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga.. Tesis Pengaruh Keterampilan

Perlakuan K1W2 lebih efektif untuk menghasilkan tanaman poliploid, walaupun hasil flow cytometry menunjukkan tanaman jahe tersebut masih moxiploid (2n=2x+4x) tetapi