• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepastian Hukum Gereja Sebagai Penerima Hibah Hak Atas Tanah Yang

Dalam dokumen Kepastian Hukum Gereja Sebagai Penerima (Halaman 92-101)

BAB IV ANALISIS KEPASTIAN HUKUM GEREJA SEBAGA

4.3. Kepastian Hukum Gereja Sebagai Penerima Hibah Hak Atas Tanah Yang

Dalam proses peralihan hak khususnya melalui hibah belum ada kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.

151 Dalam hal hibah, gereja tidak perlu melampirkan proposal uraian pemanfaatan tanah sebagaimana diberitahukan oleh Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor pada masa permohonan tersebut. Hasil Wawancara dengan Bapak Deddy Arruanpitu, Sekretaris Umum Gereja Kristen Indonesia Kebayoran Baru, pada tanggal 20 Oktober 2015 Pukul 12.30 WIB.

152 Hasil Wawancara dengan Bapak Deddy Arruanpitu, Sekretaris Umum Gereja Kristen Indonesia Kebayoran Baru, pada tanggal 20 Oktober 2015 Pukul 12.30 WIB.

Kepastian Hukum…, Mutiara Hafidzah, FH UI, 2016.

UNIVERSITAS INDONESIA

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum karena kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Berikut pengertian-pengertian kepastian hukum dari beberapa ahli:

1. Menurut Gustav Radbruch153 (Untuk Selanjutnya disebut sebagai Ahli I)

yang dikutip oleh M. Sulaeman Jaluli ada 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum yaitu pertama bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif adalah perundang- undangan. Kedua, bahwa didasarkan pada fakta. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan disamping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.

2. Menurut Sudikno Mertokusumo (Untuk Selanjutnya disebut sebagai Ahli II), kepastian hukum adalah jaminan hukum yang harus dijalankan, yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan putusan harus dapat dilaksanakan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan154.

3. Menurut Nurhasan Ismail (Untuk Selanjutnya disebut sebagai Ahli III), penciptaan kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu sendiri. Persyaratan internal tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kejelasan konsep yang digunakan. Kedua, kejelasan hirarki kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan perundang- undangan. Kejelasan hirarki akan memberikan arahan pembentuk hukum yang mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu peraturan

153 Radbruch dalam Jaluli, Loc.Cit. 154 Sudikno dalam Jaluli., Loc.Cit.

Kepastian Hukum…, Mutiara Hafidzah, FH UI, 2016.

UNIVERSITAS INDONESIA

perundang-undangan tertentu. Ketiga, adanya konsistensi norma hukum perundang-undangan155.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, penulis akan melakukan analisis sebagai berikut:

Persyaratan kepastian hukum dari ahli I dan III tidak terpenuhi dalam hal perundang-undangan karena pada saat peralihan hak melalui hibah yaitu tahun 2010, tidak ada peraturan khusus mengenai IPPT. Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor hanya mengacu kepada Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi.156 Tindakan yang dilakukan oleh Badan

Perizinan Terpadu merupakan diskresi bebas karena tidak ada pengaturan mengenai IPPT. Alasan lain menerapkan pengaturan izin lokasi terhadap IPPT karena selain dipergunakan dalam rangka penanaman modal, izin lokasi dapat diperluas sebagai izin untuk memperoleh tanah untuk keperluan yang tidak ada hubungannya dalam rangka penanaman modal.157 Berdasarkan pertimbangan

diatas, maka Pihak Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor mempersamakan izin lokasi dengan izin peruntukan penggunaan tanah yaitu sebagai izin untuk memindahkan hak.

Dalam penerapan asas diskresi perlu diperhatikan asas yuridikitas dan legalitas. Dalam hal ini, Kabupaten Bogor yang diwakili oleh Bupati memiliki kewenangan untuk mengatur pemanfaatan tata ruang158 wilayahnya159. Sehingga,

155 Nurhasan dalam Jaluli., Loc.Cit.

156 Hasil Wawancara dengan Bapak Asep Hermawan, Kepala Sub Bidang Penerbitan Bidang Pemanfaatan Ruang Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor, pada tanggal 16 November 2015 Pukul 11.00 WIB.

157 Hal ini merupakan klausul menimbang di Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan menerapkan prosedur pemberian izin lokasi terhadap izin peruntukan penggunaan tanah di Kabupaten Bogor karena masih belum terdapat peraturan daerah ataupun peraturan bupati yang mengatur mengenai hal tersebut. Hasil Wawancara dengan Bapak Asep Hermawan, Kepala Sub Bidang Penerbitan Bidang Pemanfaatan Ruang Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor, pada tanggal 16 November 2015 Pukul 11.00 WIB.

158 Kabupaten Bogor I, Loc.Cit. 159 Kabupaten Bogor II, Loc.Cit.

Kepastian Hukum…, Mutiara Hafidzah, FH UI, 2016.

UNIVERSITAS INDONESIA

asas legalitas terpenuhi. Mengenai asas yuridikitas yaitu tindakan pejabat administrasi negara tidak boleh melanggar secara hukum secara umum (harus sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan), dalam kasus ini menurut penulis belum terpenuhi. Diskresi dalam hal menerapkan pengaturan izin lokasi pada IPPT justru menimbulkan ketidakpastian hukum.

IPPT yang dijadikan sebagai izin pemindahan hak, dalam praktiknya baru diajukan setelah ditandatanganinya akta peralihan hak, baik dalam kasus jual beli ataupun hibah. Hal ini dapat dilihat bahwa persyaratan dalam permohonan perizinan IPPT, harus melampirkan akta peralihan hak. Dalam kasus peralihan hibah yang dilakukan gereja, menurut penulis seharusnya tidak perlu dilampirkan IPPT dalam proses pendaftarannya. Karena penguasaan tanah dengan pemanfaatan tanah adalah hal yang berbeda. Penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara perorangan, kelompok orang, badan hukum dengan tanah.160

Sedangkan pemanfaatan tanah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya.161 Mengingat dalam kasus hibah

belum ditentukan peruntukannya. Selain itu, mempersamakan izin lokasi dengan izin peruntukan penggunaan tanah adalah salah.

Jika mengacu pada Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 Tahun 1999, Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya. Subyek izin lokasi adalah setiap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penanaman modal wajib mempunyai izin lokasi yntuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal yang bersangkutan. Dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Retribusi IPPT, IPPT adalah izin yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang guna melindungi

160 Indonesia XI, Loc.Cit., pasal 1 butir 2. 161 Indonesia XI, Ibid., pasal 1 butir 4.

Kepastian Hukum…, Mutiara Hafidzah, FH UI, 2016.

UNIVERSITAS INDONESIA

kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan162 dan subyek dari IPPT

adalah setiap orang pribadi atau badan yang mendirikan atau memperluas tempat usahanya di lokasi tertentu tidak termasuk tempat usaha yang lokasinya telah ditunjuk oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, diwajibkan memiliki izin peruntukan penggunaan tanah163.

Berdasarkan hal tersebut, pengertian IPPT dalam peraturan daerah tersebut cakupannya sangat luas dan subyek yang wajib memiliki IPPT adalah pribadi atau badan sedangkan pengertian dan subyek izin lokasi lebih sempit, karena izin lokasi adalah izin untuk memperoleh tanah bagi perusahaan yang menanamkan modal. Jika membandingkan makna “mendirikan atau memperluas tempat usahanya” dalam Pasal 23 Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Retribusi IPPT dengan “izin yang diberikan untuk memperoleh tanah yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak” dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1999, pengertian pertama dianalogikan sebagai memanfaatkan suatu tanah karena subyek akan mengambil nilai tambah dari penggunaan tanahnya sedangkan pengertian kedua dimaknai bahwa izin tersebut hanya dijadikan dasar untuk dapat memperoleh tanah, yang dalam hal ini masih mencakup kepada penguasaan tanah. Dari hal tersebut terjadi ketidaksinkronan peraturan yang diacu yaitu peraturan izin lokasi dengan peraturan daerah itu sendiri.

Jika mengacu pada ketentuan Peraturan Bupati tentang IPPT Nomor 37 Tahun 2014 tentang IPPT, setiap perorangan, badan atau instansi yang akan memanfaatkan tanah wajib memiliki IPPT164. Sedangkan mengenai Obyek IPPT

terdiri dari165:

a. Tanah yang akan diperoleh merupakan pemasukan dari para pemegang saham yang merupakan perluasan penguasaan/kepemilikan di luar luas

162 Kabupaten Bogor III., Loc.Cit. 163Ibid., Pasal 23 ayat (1)

164 Kabupaten Bogor IV, Op.Cit., pasal 4. 165 Kabupaten Bogor IV, Ibid., pasal 6.

Kepastian Hukum…, Mutiara Hafidzah, FH UI, 2016.

UNIVERSITAS INDONESIA

lahan dan masa izin lokasi dan/atau IPPT yang telah dimiliki perorangan dan/atau badan;

b. Tanah yang akan diperoleh merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh perorangan dan atau badan lain dalam rangka melanjutkan pelaksanaan sebagian atau seluruh rencana penanaman modal dan/atau badan lain tersebut, dan untuk itu telah memperoleh izin lokasi dari instansi yang berwenang;

c. Tanah yang akan diperoleh diperlukan dalam rangka melaksanakan usaha industri dalam suatu kawasan industri;

d. Tanah yang akan diperoleh diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan, sedangkan letak lokasi perluasan tersebut berbatasan dengan letak lokasi perluasan tersebut berbatasan dengan lokasi usaha yang bersangkutan dengan ketentuan tidak lebih dari 1 ha untuk usaha bukan pertanian;

e. Tanah yang akan diperoleh untuk melaksanakan rencana penanaman modal tidak lebih dari 25 Ha untuk usaha pertanian atau tidak lebih dari 1 Ha untuk usaha bukan pertanian;

f. Tanah yang akan digunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal adalah tanah yang sudah dimiliki oleh perorangan dan/atau badan yang bersangkutan dengan ketentuan bahwa tanah tersebut terletak di lokasi yang menurut ketentuan ruang yang berlaku diperuntukan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang bersangkutan;

g. Tanah yang akan digunakan telah dikuasai/dimiliki oleh badan atau kegiatan non usaha;

h. Tanah yang akan diperoleh badan luasnya tidak lebih dari 1 Ha untuk kegiatan non usaha, non pertanian dan tidak lebih dari 25 Ha untuk non usaha bidang pertanian;

i. Tanah yang akan diperoleh instansi luasnya tidak lebih dari 5 Ha dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum;

Kepastian Hukum…, Mutiara Hafidzah, FH UI, 2016.

UNIVERSITAS INDONESIA

j. Tanah yang akan diperoleh oleh instansi dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum;

k. Tanah yang dikuasai/dimiliki instansi yang akan dipergunakan dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum maupun bukan untuk kepentingan umum;

l. Tanah yang akan digunakan telah dikuasai/dimiliki oleh perorangan sesuai dengan batas maksimum kepemilikan tanah;

m. Tanah yang akan digunakan oleh perorangan untuk rumah tinggal. Dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Nomor 2 Tahun 1999, Izin Lokasi tidak diperlukan dan dianggap sudah dipunyai oleh perusahaan yang bersangkutan dalam hal:

a. Tanah yang akan diperoleh merupakan pemasukan (inbreng) dari para pemegang saham;

b. Tanah yang akan diperoleh merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh perusahaan lain dalam rangka melanjutkan pelaksanaan sebagai atau seluruh rencana penanaman modal perusahaan lain tersebut, dan untuk itu telah diperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang;

c. Tanah yang akan diperoleh diperlukan dalam rangka melaksanakan usaha industri dalam suatu Kawasan Industri;

d. Tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan rencana pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut;

e. Tanah yang akan diperoleh diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan dan untuk perluasan itu telah diperoleh izin tanah tersebut berbatasan dengan lokasi usaha yang bersangkutan;

f. Tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal tidak lebih dari 25 Ha (dua puluh lima hektar) untuk usaha pertanian atau tidak lebih dari 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi) untuk usaha bukan pertanian; atau

Kepastian Hukum…, Mutiara Hafidzah, FH UI, 2016.

UNIVERSITAS INDONESIA

g. Tanah yang akan dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal adalah tanah yang sudah dipunyai oleh perusahaan yang bersangkutan, dengan kertentuan bahwa tanah-tanah tersebut terletak di lokasi yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang bersangkutan.

Jika membandingkan pengaturan obyek IPPT dalam peraturan dengan obyek yang dikecualikan dari izin lokasi, maka jelas bahwa sebelum lahirnya peraturan bupati tersebut, Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor hanya mengacu pada pengaturan izin lokasi. Jika dikelompokan, maka obyek IPPT adalah obyek yang dikecualikan dari izin lokasi, tanah bagi instansi, dan tanah bagi perorangan. Dari pengaturan tersebut, maka IPPT dijadikan sebagai izin pemindahan hak dan/atau izin pemanfaatan tanah karena mengenai obyeknya terdapat tanah yang belum dikuasai/dimiliki dan tanah yang sudah dikuasai/dimiliki.

Mengacu pada pendapat ahli II, dalam hal ini belum ada jaminan hukum yang dilaksanakan dan yang berhak belum mendapatkan haknya. Negara sebagai penyelenggara pelayanan publik memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan setiap warga negara dengan cara mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipilnya, dalam hal ini pelayanan administratif berupa perizinan. Dalam kasus hibah, tanah yang dihibahkan pada gereja masih belum ditentukan pemanfaatannya oleh gereja sendiri, tujuan dilakukan pendaftaran peralihan hak yaitu agar tanah tersebut tidak beralih kepada ahli waris penghibah jika penghibah meninggal dunia. Sehingga pada saat permohonan perizinan IPPT, gereja diberitahukan tidak diwajibkan melampirkan proposal uraian pemanfaatan tanah. Berdasarkan hal tersebut, belum diterapkannya asas keterbukaan/transparansi dalam pelayanan publik.

Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004, transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik utamanya meliputi sepuluh elemen yaitu manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik, prosedur pelayanan,

Kepastian Hukum…, Mutiara Hafidzah, FH UI, 2016.

UNIVERSITAS INDONESIA

persyaratan teknis dan administratif pelayanan, rincian biaya pelayanan, waktu penyelesaian pelayanan, pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab, lokasi pelayanan, janji pelayanan, standar pelayanan publik dan informasi pelayanan. Dalam hal kasus hibah, gereja tidak diberitahukan secara jelas mengenai persyaratan administratif IPPT. Jika setiap penguasaan tanah harus telah ditentukan mengenai pemanfaatan tanahnya, maka dari awal pengajuan permohonan IPPT, gereja seharusnya diberitahukan bahwa wajib melampirkan proposal uraian rencana pemanfaatan tanah. Akan tetapi dalam hal ini, gereja tidak diwajibkan untuk melampirkan proposal tersebut.

Sehingga menurut penulis, dalam peralihan hak melalui hibah yang dilakukan Gereja belum ada kepastian hukum karena alasan-alasan sebagai berikut:

1. IPPT dipersamakan dengan izin lokasi. Karena pada saat peralihan hibah yang dilakukan oleh gereja, belum adanya pengaturan khusus mengenai IPPT. Dalam hal ini, Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor hanya menerapkan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi. Padahal izin lokasi dengan IPPT adalah izin dengan konsep yang berbeda. Izin lokasi merupakan izin pemindahan hak sedangkan IPPT adalah izin untuk memanfaatkan tanah. Untuk menegakan kepastian hukum, seharusnya telah dibentuk peraturan khusus mengenai IPPT tersebut. Meskipun, tindakan yang dilakukan oleh Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor adalah diskesi yang bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum, akan tetapi dalam penerapannya menimbulkan suatu ketidakpastian hukum.

2. Asas keterbukaan/transparansi dalam hal ini tidak diterapkan karena sebagai pemohon izin, gereja tidak diberitahukan secara jelas persyaratan administratif dari perizinan IPPT. Jika setiap penguasaan tanah harus telah ditentukan mengenai pemanfaatan tanahnya, maka dari awal pengajuan permohonan IPPT, gereja seharusnya diberitahukan bahwa wajib melampirkan proposal uraian rencana pemanfaatan tanah. Akan tetapi

Kepastian Hukum…, Mutiara Hafidzah, FH UI, 2016.

UNIVERSITAS INDONESIA

dalam hal ini, gereja tidak diwajibkan untuk melampirkan proposal tersebut.

4.4. Solusi Penyelesaian Agar Gereja Dapat Menguasai Hak Atas Tanah

Dalam dokumen Kepastian Hukum Gereja Sebagai Penerima (Halaman 92-101)

Dokumen terkait