• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERHADAP KARYAWAN

E. Kepatuhan Notaris/PPAT Banda Aceh Terhadap Memungut Pajak Penghasilan

Pelaksanaan pemungutan pajak memerlukan suatu system yang telah disetujui masyarakat melalui perwakilannya di dewan perwakilan, dengan menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan perpajakan bagi fiskus maupun bagi wajib pajak.

Salah satu jenis pajak yang diberlakukan di Indonesia adalah Pajak Penghasilan. Dalam Pajak Penghasilan ini , ditemui Pajak Penghasilan pasal 21 berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008. Sistem Pemungutan atas pajak jenis ini adalah dengan melibatkan orang ketiga sebagai pemungut pajak dengan menggunakan sistem pemotongan. Pemberi kerja merupakan satu diantara beberapa orang atau badan yang termasuk dalam katagori sebagai pemotong, sedangkan penerima penghasilan atau gaji masuk dalam katagori orang yang penghasilannya kena pajak dan dipotong oleh pemotong tersebut.

Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam hal perpajakan di Indonesia, dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Jadi, wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.105

Terdapat 2 (dua) macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material, yakni ;

105

1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang perpajakan.

2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan.

Misalnya ketentuan tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dari tanggal 1 sampai tanggal 10 setiap bulannya. Apabila pemotong telah melakukan Surat Pemberitahuan Masa tersebut sebelum atau pada tanggal 10 setiap bulannya pemotong telah memilih ketentuan formal namun isinya belum tentu memenuhi ketentuan material. Pemotong yang memenuhi kepatuhan material adalah pemotong yang mengisi dengan jujur, lengkap dan benar Surat Pemberitahuan Masa tersebut sesuai dengan ketentuan dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu berakhir.

Notaris /PPAT sebagai salah satu dari pemberi kerja berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan ditunjuk dan diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 21 dari gaji yang dibayarkannya pada pegawai tetapnya tersebut. Dari hasil penelitian yang didapat diketahui bahwa tidak semua dari jumlah keseluruhan responden yaitu 21 (dua puluh satu) Notaris/PPAT di Banda Aceh yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong atas gaji dari pegawai tetapnya tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa jumlah Notaris/PPAT yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong hanya 10 (sepuluh) orang atau 47,61 % (empat puluh tujuh koma enam puluh satu persen) . Sedangkan 11 (sebelas) orang atau 52,39 % (lima puluh dua koma tiga puluh sembilan persen)

Notaris/PPAT yang lainnya tidak mengetahui kewajibannya sebagai pemotong. Dari sebelas orang tersebut diatas, 7 (tujuh) orang atau 63,63 % (enam puluh tiga koma enam puluh tiga persen) tidak mengetahui kewajiban sebagai pemotong karena tidak pernah mendapat sosialisasi dari Kantor Pelayanan Pajak setempat sementara 4 (empat) orang atau 36,37 % (tiga puluh enam koma tiga puluh tujuh persen) karena kurang memahami PPh Pasal 21 terutama tentang ketentuan serta hak dan kewajiban sebagai pemotong bagi para pemberi kerja, yang mana salah satunya adalah Notaris/PPAT.

Kesepuluh orang atau 47,61 % (empat puluh tujuh koma enam puluh satu persen) Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong, semuanya melakukan penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai tetapnya, sesuai dengan yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 .

Langkah selanjutnya setelah penghitungan adalah melakukan pemotongan. Dari 10 (sepuluh) orang Notaris/PPAT itu yang menghitung Pajak Penghasilan pasal 21 atas gaji pegawai tetapnya, yang melakukan pemotongan atas pajak tersebut diatas terhadap pegawai tetapnya hanya 2 (dua) orang Notaris/PPAT. Sementara 8 (delapan) Notaris/PPAT lainnya yang sebelumnya melakukan penghitungan tidak melakukan pemotongan karena faktor hasil penghitungan yang nihil yaitu sebesar 7 (tujuh) orang atau 87,5 % (delapan puluh tujuh koma lima persen) dan juga faktor keberatan dari pegawai tetapnya itu sendiri yaitu sebesar 1 (satu) orang atau 12,5 % (dua belas koma lima persen).

Demikian halnya tentang bukti pemotongan, 2 (dua) orang Notaris/PPAT di Banda Aceh yang telah melakukan pemotongan, keduanya memberikan bukti

pemotongan PPh Pasal 21 kepada pegawai tetapnya. Pada tahap penyetoran dan pelaporan. Notaris/PPAT harus menyampaikan penyetoran atas pemotongan yang telah ia lakukan. Dari 2 (dua) orang Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai tetapnya, keduanya menindaklanjuti tindakannya dengan melakukan penyetoran pajak tersebut diatas. Akan tetapi keduanya tidak melakukan penyetoran pada waktu yang bersamaan. Hanya 1 (satu) orang Notaris/PPAT melakukan penyetoran sesuai dengan waktu yang ditentukan yaitu dari tanggal 1 (satu) sampai dengan tanggal 10 (sepuluh) setiap bulannya sementara 1 (satu) orang lainnya melakukannya setelah tanggal jatuh tempo.

Pada tahap pelaporan, kedua Notaris/PPAT di atas juga menyampaikan pelaporan atas pemotongan PPh Pasal 21 yang telah mereka lakukan atas gaji pegawainya. Pelaporan ini juga tidak dilakukan dengan bersamaan. 1 (satu) orang Notaris/PPAT melakukan sesuai dengan waktu yang dijadwalkan setiap bulannya sedangkan 1 (satu) terlambat dalam menyampaikan pelaporan. Keduanya menyampaikan laporan dengan menggunakan SPT Masa, yang disampaikan setiap bulannya ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.

Berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap Notaris/PPAT di Banda Aceh, dapat diketahui bahwa dari 21 (dua puluh satu) responden hanya 2 (dua) orang Notaris/PPAT atau 9,52 % (sembilan koma lima puluh dua persen) yang benar-benar melakukan kewajibannya dalam menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008.

Dengan demikian dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa sebahagian kecil dari 21 (dua puluh satu) responden yang diteliti, yaitu 9,52 % atau 2 (dua) orang yang telah mematuhi secara formal ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan, yakni mematuhi kewajiban sebagai pemotong. Akan tetapi masih terdapat Notaris/PPAT yang tidak mematuhi ketentuan formal tersebut yaitu 90,47 % (sembilan puluh koma empat puluh tujuh persen) atau 19 (sembilan belas) orang, walaupun sebahagian di antara mereka yaitu 8 (delapan) orang, sudah mengetahui kewajiban sebagai pemotong dan telah melakukan kewajiban perpajakannya walaupun tidak penuh, namun mereka tidak menyampaikan SPT Masa seperti yang telah digariskan dalam Peraturan Perundang-undangan yang menyangkut ketentuan tentang Pajak Penghasilan, yaitu Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berkaitan dengan PPh Pasal 21 yang mengharuskan setiap pemotong menyampaikan pelaporan dalam bentuk SPT Masa untuk setiap pemotongan yang telah ia lakukan, meskipun hasil pemotongan atas gaji pegawai tetap tersebut adalah nihil. SPT Masa merupakan bukti bahwa Notaris/PPAT sebagai pemotong telah menjalankan kewajiban sebagai pemotong PPh Pasal 21 dengan baik dan utuh. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat dikatakan tingkat kepatuhan Notaris/PPAT di Banda Aceh dalam memenuhi kewajibannya seperti tersebut diatas masih rendah.

BAB III