• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERHADAP KARYAWAN

C. Penghitungan dan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21

Penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap¸ menggunakan pengurangan yang berupa biaya jabatan dan pensiun. Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Besarnya biaya jabatan atau biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pegawai tetap atau pensiunan.81 Menurut Pasal 1 ayat (1), 250/PMK.03/2008 besarnya biaya jabatan adalah sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan. Sedangkan besarnya biaya pensiun sebesar dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan.82

Sebelum menghitung berapa besarnya Pajak Penghasilan yang harus dihitung atas Penghasilan Kena Pajak, khusus untuk wajib pajak prang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (personal exemption).83Ketentuan mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:

81

Didik Budi Waluyo,Op. Cit., hal. 10

82

Pasal 1 ayat (2), Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK.03/2008 Tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan

83

Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005., hal. 288

a. Rp. 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;

b. Rp. 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang Kawin;

c. Rp. 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan d. Rp. 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk

setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Penghasilan Tidak Kena Pajak perbulan adalah Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun dibagi 12 (dua belas), sebesar:

a. Rp. 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak orang pribadi;

b. Rp. 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

c. Rp. 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Tarif pajak merupakan angka atau persentase yang digunakan untuk menghitung jumlah pajak yang terhutang. Tujuan pembentukan tarif pajak untuk mencapai keadilan. Bentuk tarif pajak dipengaruhi oleh :

1. Bagaimana bebannya dapat dibagi secara adil, kadang-kadang dicari tarif sesuai dengan daya pikul kemudian timbul tarif progressive.

2. Bagaimana progresif itu dibentuk, kadang-kadang diciptakan tarif dasar kepentingan, kalau sampai pada teori kepentingan maka batas antara retribusi dan pajak menjadi kabur.

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah :

Tabel II.2

Tarif Pajak Penghasilan

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 5%

Di atas Rp. 50.000.000,00 sampai Rp. 250.000.000,00 15% Di atas Rp. 250.000.000,00 sampai Rp. 500.000.000,00 25%

Di atas Rp. 500.000.000,00 30%

Sumber: Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

Apabila seorang pegawai tetap memperoleh gaji secara bulanan, maka dalam menghitung PPh Pasal 21 adalah:84

a. Ditentukan penghasilan bruto secara bulanan yang terdiri dari gaji tetap ditambah dengan tunjangan lainnya.

b. Setelah diperoleh penghasilan bruto, maka untuk menghitung penghasilan neto, penghasilan neto tersebut dikurangkan dengan potongan-potongan yang diperkenankan.

c. Setelah diperoleh penghasilan neto sebulan, maka untuk memperoleh penghasilan neto setahun penghasilan neto sebulan dikalikan dengan jumlah bulan satu tahun takwim atau jumlah bulan dalam bagian tahun pajak.

d. Setelah diperoleh penghasilan neto setahun maka dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sehingga diperoleh Penghasilan Kena Pajak (PKP).

84

e. Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17 menghasilkan pajak terutang satu tahun.

f. Pajak Penghasilan Pasal 21 sebulan diperoleh dengan membagi pajak terutang satu tahun dengan jumlah bulan dalam satu tahun.

Salah satu contoh penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut : Ahmad Zakaria pada tahun 2009 bekerja di kantor Notaris X dengan memperoleh gaji sebulan Rp. 2.500.000,00. Ahmad sudah menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah sebagai berikut : Gaji sebulan Rp. 2.500.000,00 Pengurangan: 1. Biaya Jabatan : 5% x Rp. 2.500.000,00 Rp. 125.000,00 Rp. 125.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp. 2.375.000,00

Penghasilan neto setahun :

12 x Rp. 2.375.000,00 Rp. 28.500.000,00 PTKP setahun - Untuk WP sendiri Rp. 15.840.000,00 - Tambahan WP Kawin Rp. 1.320.000,00 Rp. 17.160.000,00 Rp. 17.160.000,00 Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp. 11.340.000,00 PPh Pasal 21 terutang

5 % x Rp. 11.340.000,00 = Rp. 567.000,00 PPh Pasal 21 sebulan

Rp. 567.000,00 : 12 = Rp. 47.250,00

Setelah dilakukan penghitungan, tahap selanjutnya adalah melakukan pemotongan. Pemotongan PPh Pasal 21, dilakukan terhadap subjek Pajak orang pribadi dalam negeri yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan lainnya. Pemotongan pajak atas penghasilan adalah pelaksanaan pemotongan oleh pihak yang ditunjuk sebagai pemotong atas suatu

penghasilan yang dibayarkan kepada (diterima oleh) penerima penghasilan selaku Subjek Pajak orang pribadi atau badan.85

Ada dua kriteria utama untuk menentukan berlakunya pemotongan PPh Pasal 21, yaitu :

1. Wajib pajak yang terkena pemotongan adalah wajib pajak orang pribadi dalam negeri

2. Penghasilan yang dipotong berasal dari pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan lainnya.

Penghasilan yang dipotong adalah sebagai berikut :86

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap berupa penghasilan yang bersifat teratur dan penghasilan yang bersifat tidak teratur. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap yang bersifat teratur berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur. Sedangkan penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap yang bersifat tidak teratur hanya diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun.

2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.

3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang

85

Ibid., hal. 4

86

pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis.

4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.

5. Imbalan kepada bukan pegawai antara lain berupa honorarium, komisi, fee dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan dan imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:87

a. Bukan Wajib Pajak;

b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final;

87

c. Wajib Pajak yang dikenakan pajak penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit)

Bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan adalah penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2008. Batas penghasilan bruto yang dimaksud sampai dengan jumlah Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari tidak dikenakan pajak penghasilan.

Apabila penghasilan bruto jumlahnya melebihi Rp. 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) sebulan atau dalam hal penghasilan dibayar secara bulanan. Ketentuan ini tidak berlaku atas penghasilan berupa honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.

Gambaran tentang Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan Penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya dapat dilihat pada Tabel II.3 dibawah ini :

Tabel II.3

Penghitungan PPh Pasal 21 oleh Notaris/PPAT Banda Aceh

No Keterangan Jumlah %

1 Notaris/PPAT yang melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya

10 47,61

2 Notaris/PPAT yang tidak melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya

11 52,39

Total 21 100

Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa ada 10 (sepuluh) orang atau 47,61 % (empat puluh tujuh koma enam puluh satu persen) Notaris/PPAT yang melakukan penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai tetapnya. Sedangkan 11 (sebelas) orang atau 52,39 % (lima puluh dua koma tiga puluh sembilan persen) lainnya tidak melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetapnya. Kesebelas Notaris/PPAT yang tidak melakukan penghitungan tersebut karena memang tidak mengetahui kewajiban sebagai pemotong.

Dikaitkan dengan Tabel II.1 di atas, dari 10 (sepuluh) orang Notaris/PPAT di Banda Aceh yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong, semuanya ternyata melakukan penghitungan pajak penghasilan pasal 21 atas gaji pegawai tetapnya. Jadi kesepuluh Notaris/PPAT tersebut telah melaksanakan kewajiban menghitung PPh Pasal 21 atas pegawai tetapnya dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai pemotong pajak walaupun belum penuh.

Berikutnya adalah gambaran Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas gaji pegawainya yang dapat dilihat pada Tabel II.4 dibawah ini :

Tabel II.4

Pemotongan PPh Pasal 21 oleh Notaris/PPAT Banda Aceh

No Keterangan Jumlah %

1 Notaris/PPAT yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya

2 9,52

2 Notaris/PPAT yang tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya

19 90,48

Total 21 100

Sumber : Hasil wawancara dengan para Notaris/PPAT Banda Aceh pada tanggal 21 Juli 2011

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui jumlah Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan pemotongan PPh sesuai dengan Pasal 21 terhadap pegawai

tetapnya hanya 2 (dua) orang atau 9,52 % (sembilan koma lima puluh dua persen) sedangkan 19 (sembilan belas) orang atau 90, 48 % (sembilan puluh koma empat puluh delapan persen) lainnya tidak melakukan pemotongan atas PPh Pasal 21.

Jumlah Notaris/PPAT yang tidak melakukan pemotongan sebanyak 19 (sembilan belas) atau 90,48 % (sembilan puluh koma empat puluh delapan persen) terdiri dari 8 (delapan) orang yang mengetahui kewajiban sebagai pemotong dan telah melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap penghasilan pegawai tetapnya, tetapi tidak melakukan pemotongan dan 11 (sebelas) orang lainnya karena tidak mengetahui kewajiban sebagai pemotong.

Notaris/PPAT yang telah melakukan pemotongan atas gaji pegawai tetapnya, harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 terhadap gaji pegawai tetapnya. Hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (8) 252/PMK.03/2008 yang menyatakan bahwa pemotong PPh Pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap secara berkala paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.88 Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh Pasal 21 harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja.89

Apabila dikaitkan dengan tabel II.4, bahwa dari 2 (dua) orang Notaris/PPAT yang melakukan pemotongan, keduanya memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 pada pegawai tetapnya seperti ketentuan yang telah ditetapkan.

88

Didik Budi Waluyo,Op. Cit, hal. 41

89

Berdasarkan Tabel II.4 yang telah disebutkan di atas, diketahui bahwa ada beberapa Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan penghitungan tetapi tidak melakukan pemotongan, yaitu sebanyak 8 (delapan) orang. Faktor-faktor yang menyebabkan kedelapan Notaris/PPAT tersebut tidak melakukan pemotongan adalah sebagai berikut :90

1. Hasil penghitungan PPh Pasal 21 nihil. Hal ini terdapat pada 7 (tujuh) orang atau 87,5 % (delapan puluh tujuh koma lima persen) Notaris/PPAT yang melakukan penghitungan atas gaji pegawai tetapnya dan setelah dilakukan penghitungan, ternyata pajak penghasilannya nihil. Faktor ini dikarenakan Penghasilan pegawai tetapnya belum memenuhi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sebagian pegawai tetap Notaris/PPAT yang ada di Banda Aceh memiliki penghasilan yang tidak memenuhi PTKP yaitu masih dibawah Rp. 1.320.000,- (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) /bulan atau kurang dari Rp. 15.840.000,- (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) /tahun. Penghasilan dibawah PTKP ini karena kurangnya jumlah pemasukan yang diperoleh dari pembuatan berbagai macam akta di kantor Notaris/PPAT tersebut sehingga tidak memungkinkan mereka untuk membayar gaji para pegawai tetap diatas jumlah PTKP.

2. Keberatan dari Pegawai Notaris/PPAT. Terdapat 1 (satu) orang Notaris/PPAT di Banda Aceh atau 12,5 % (dua belas koma lima persen) yang tidak melakukan pemotongan karena alasan keberatan dari pegawai tetapnya sendiri untuk dilakukan pemotongan atas penghasilan mereka setiap bulannya. Para pegawai ini beranggapan bahwa pemotongan ini akan mempengaruhi jumlah

90

gaji yang mereka terima setiap bulannya. Faktor ini disebabkan karena adanya ketidak pahaman dari pegawai tetap Notaris/PPAT itu sendiri mengenai PPh Pasal 21 dan Notaris/PPAT itu sendiri tentang kewajiban PPh Pasal 21.

Kedua faktor diatas menjelaskan mengapa tidak semua dari 10 (sepuluh) orang atau 47,61 % (empat puluh tujuh koma enam puluh satu persen) Notaris/PPAT yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong dan telah melakukan penghitungan, tetapi tidak melanjutkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetapnya.