• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.4.4 Penilaian Kerentanan

5.4.4.2 Indeks Kepekaan

Indeks kepekaan atau sensitivity indeks merupakan fungsi dari indeks kerentanan populasi yang diartikan kemampuan sistem dalam merespon gangguan eksternal terhadap sistem tersebut. Variabel penyusun indeks kepekaan menunjukkan perbedaan antara variabel dari faktor lingkungan dan faktor sosial antropogenik. Variabel penyusun indek kepekaan dengan nilai proporsi tertinggi adalah suhu pasir sebesar 51,48% untuk pantai Jamursba Medi dan 26,33% untuk pantai Wermon (Gambar 54). Suhu pasir di Jamursba Medi memiliki proporsi tertinggi dengan fluktuasi suhu pasir selama musim peneluran adalah 30 0C dan 34 0C dibandingkan pantai Wermon yang berfluktuasi 27 0C sampai 31 0C, seperti yang dijelaskan pada Gambar 39. Ditambahkan oleh Tapilatu et al. (2005) bahwa suhu pasir di Jamursba Medi sangat berfluktuasi antara 28.86 0C dan 34.98 0C pada high zone (dekat vegetasi) dan lower zone (dekat laut). Perbandingan rata-rata suhu pasir (SP) antara Jamursba Medi dan Wermon menunjukkan bahwa suhu pasir di Jamursba Medi lebih berfluktuasi dibandingkan suhu pasir di Wermon.

Variabel tekstur pasir (TP) memiliki proporsi nilai lebih sensitif yaitu 21,30% pada pantai Jamursba Medi dibandingkan 0,58% di pantai Wermon. Hasil yang sama juga dikemukakan Tapilatu et al. (2005) dimana tekstur pasir di pantai Jamursba Medi relatif sensitif yang terindikasi dari rendahnya keberhasilan penetasan. Dari tiga pantai di Jamusrba Medi pantai Wembrak memiliki nilai

persentase paling rendah 9,2%, disebabkan ukuran dan tekstur pasir yang memicu peningkatan suhu pasir, berpotensi melebihi suhu termal perkembangan embrio sehingga menyebabkan kematian. Selanjutnya variabel kedalaman sarang (KS) menunjukkan nilai proporsi tinggi terhadap indeks kepekaan terutama di pantai Wermon sebesar 44,24% dibandingkan Jamursba Medi 21,89%. Jamursba Medi dan Wermon memiliki rata-rata kedalaman yang berbeda dimana kedalaman sarang di Jamursba Medi lebih dalam dibandingkan dengan Wermon. Kedalaman sarang berhubungan dengan topografi dan kemiringan pantai. Apabila pantai terklasifikasi datar maka mendukung proses penggalian sarang dan meminimalkan laju abrasi oleh gelombang pasang surut. Kondisi berbeda, jika pantai terklasifikasi landai dan curam maka sarang yang tergali cenderung tidak pada posisi ideal sehingga berpotensi terabrasi oleh gelombang.

Faktor sosial antropogenik memiliki variabel penyusun indeks kepekaan yaitu variabel konsumsi telur dan konsumsi daging oleh masyarakat. Variabel konsumsi telur (KT) memiliki nilai proporsi 28,84% dan sensitif terhadap populasi di pantai Wermon. Sementara di Jamursba Medi memiliki nilai proporsi 21,89% terhadap populasi telur. Perbedaan nilai proporsi ini berhubungan dengan jumlah total sarang dikedua pantai. Jamursba Medi memiliki jumlah total sarang yang lebih banyak daripada Wermon dikarenakan panjang pantai yang mencapai 18 km, dibandingkan Wermon yang hanya 6 km. Panjang pantai mempengaruhi jumlah individu yang naik bertelur sehingga pantai Wermon dengan populasi sarang yang terbatas memberikan kontribusi terhadap nilai proposi pengambilan dan konsumsi telur yang bersifat negatif terhadap populasi sarang di Wermon. Konsumsi daging (KD) terhadap populasi di Jamursba Medi dan Wermon tidak memiliki nilai (0.0%) terhadap populasi. Konsumsi daging oleh masyarakat pesisir Abun tergolong rendah dengan frekuensi 1 - 3 kg dikarenakan hanya untuk konsumsi keluarga. Kondisi ini memungkinkan karena masyarakat hanya mengkonsumsi ketika musim peneluran selebihnya masyarakat bergantung terhadap hasil meramu di hutan.

Variabel tangkapan sampingan menjadi variabel penyusun indeks kepekaan yang tidak memiliki nilai proporsi (0%). Tangkapan sampingan merupakan bagian dari aktivitas perikanan yang menghasilkan spesies bukan

target. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas perikanan di perairan utara Abun tergolong berskala kecil. Ini terlihat dari kapal penangkapan yang berukuran 4 - 5 GT dengan jumlah kapal 2 - 4 buah. Rendahnya aktivitas perikanan di pesisir utara Abun disebabkan kondisi perairan yang selalu bergelombang karena berhadapan dengan Samudra Pasifik. Oleh sebab itu, diperoleh informasi bahwa selama penangkapan ikan jarang terlihat penyu yang terjaring atau tertangkap.

Kondisi berbeda terlihat di laut lepas dengan jarak yang jauh dari pesisir Abun (2 mil dari pantai) dimana beroperasinya kapal perikanan tuna. Fakta ini diperkuat dari beberapa penelitian yang menyatakan bahwa Utara Kepala Burung Papua menjadi daerah penangkapan beberapa kapal rawai tuna yang berpusat di Bitung (Zainuddin et al. 2006). Selain kapal rawai tuna, beberapa kapal udang diketahui melakukan penangkapan di perairan laut utara Kepala Burung Papua. Tangkapan sampingan terbanyak diketahui berasal dari perikanan rawai tuna dan kapal penangkap udang dengan alat tangkap trawl. Hasil survey LIPI dan WWF (2005), menunjukkan rawai tuna merupakan alat tangkap yang berpotensi dan efektif dalam menyebabkan tertangkapnya penyu laut secara tidak sengaja (bycatch). Bilahmar (2005), press com dari Asosiasi Tuna Indonesia menyatakan diduga terdapat 1600 buah kapal rawai tuna berbendera Indonesia, jika satu kapal rata- rata beroperasi dalam 4 trip dalam setahun,dan dalam satu trip minimal satu penyu tertangkap, maka estimasi jumlah penyu yang tertangkap sebanyak 6400 ekor dalam setahun (LIPI dan WWF 2005). Lewison (2004) memperoleh hasil tangkapan sampingan dari rawai untuk ikan tuna dan swordfish berkisar antara 0-14 ekor untuk penyu tempayan dan 0- 2.4 ekor untuk penyu belimbing dari 1000 mata pancing yang digunakan.

Alat tangkap lain selain rawai tuna seperti gillnet/drifnet, purse seine, set net atau sero, trawl (pukat harimau) dan alat lainnya berpotensi menyebabkan penyu tertangkap atau terjaring. Pierpoint (2000) menunjukkan bahwa gillnet dan

driftnet yang dipakai untuk menangkap ikan tuna dapat menjerat penyu belimbing dengan laju tangkapan sebesar 0,33 - 8 penyu per 10.000 rawai tuna di perairan Inggris dan Irlandia. Meskipun jenis alat tangkap ini memiliki persentase yang jauh dari rawai, namun 45% dari nelayan yang diwawancari pernah menangkap penyu dengan alat tangkap selain rawai.

Selanjutnya LIPI dan WWF (2005) melakukan analisa terkait aktivitas perikanan dan jumlah armada untuk memperkirakan laju tangkapan sampingan berdasarkan daerah menangkap. Hasil menunjukkan bahwa perbandingan pengoperasian armada di samudra Pasifik dan samudra Hindia adalah 16% berbanding 84%. Sejumlah armada penangkapan terkonsentrasi di Samudra Pasifik dikarena produktivitas perairan yang tinggi karena proses upwelling dan proses oseanografi lainnya. Selanjutnya estimasi perbandingan tangkapan sampingan antara penyu belimbing dan penyu tempayan dari kapal rawai tuna adalah 28% berbanding 86%. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa peluang tertangkapnya penyu belimbing oleh kapal rawai tuna Indonesia di samudra Pasifik adalah 768 – 2.304 ekor per tahun. Hasil berbeda ditunjukan oleh Lewison

et al. (2004) melalui peta sebaran pendugaan penyu belimbing dan penyu tempayan untuk tahun 2000 diperairan dunia (Lampiran 13). Dari peta tersebut terlihat kisaran tangkapan sampingan di Pasifik untuk Penyu Belimbing adalah 20000-40000 ekor sedangkan disamudra Hindia adalah 4000 ekor. Jika dibandingkan dengan perkiraan tangkapan sampingan dari kapal perikanan rawai Tuna Indonesia yang beroperasi di samudra Hindia menunjukkan perbedaan nilai tangkapan sampingan estimasi Lewison et al. (2006) dimana perikanan rawai tuna Indonesia memiliki interaksi kuat dan tinggi terhadap tangkapan sampingan kedua jenis penyu samudra Hindia dan relatif rendah di samudra Pasifik.