• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDREFORM DAN KEPEMILIKAN TANAH

C. Kepemilikan Tanah Secara Absentee (Guntai)

Dalam melakukan reforma hubungan manusia dengan tanah telah diupayakan agar setiap orang mempunyai tanah atau lahan pertanian dengan melarang adanya pemilikan tanah yang melampaui batas. Maka hal pertama yang dilakukan adalah bagi pemilik tanah pertanian agar mengerjakan atau mengusahakannya sendiri

123

Chadidjah Dlimunthe,”Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah, (Medan: Yayasan Pencerahan Mandailing, 2008), hlm. 76.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

tanahnya secara aktif.124 Diadakannya ketentuan ini untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara apa yang disebut “absentee” atau dalam bahasa Sunda disebut dengan “guntai”, yaitu pemilikan tanah yang letak tanahnya berada di luar daerah tempat tinggal yang mempunyai tanah. (“Absent” artinya tidak hadir, tidak ada di tempat)125 atau tanah absentee (guntai) adalah tanah pertanian yang dimiliki oleh orang perorangan dan keluarga, di mana letak pertanian itu di luar wilayah kecamatan tempat kedudukan (domisili) pemilik tanah.126

Pemilikan tanah secara absentee dilarang oleh undang-undang karena letak tanah tersebut berada di luar kecamatan yang berbeda dengan tempat tinggal pemilik tanah sehingga tidak dapat mengerjakan tanahnya secara aktif. Tetapi larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan asal jarak tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih memungkinkannya untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien.

127

Selain itu tujuan melarang pemilikan tanah secara absentee adalah untuk menghilangkan sistem pemerasan dan penumpukan tanah di tangan segelintir tuan- tuan tanah agar hasil yang diperoleh dari penguasaan tanah itu sebagian besar dapat

Ketentuan- ketentuan tersebut merupakan gambaran situasi pada waktu itu yang didasarkan pada keadaan teknologi yang belum maju seperti sekarang.

124

Lihat pembahasan Pasal 10 UUPA. 125

Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 371. 126

Lihat Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961 dan Pasal 1 PP Nomor 41 Tahun 1964 (tambahan Pasal 3a sampai dengan Pasal 3e).

127

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil. Jika pemilik tanah berada di perkotaan sementara tanahnya berada di pedesaan kemungkinan besar pemilik tanah tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya secara aktif, akibatnya terpaksa dibagi hasilkan kepada petani penggarap di tempat letaknya tanah. Jika penggarap hanya mempunyai hubungan bagi hasil dengan tanahnya apa yang menjadi tujuan landreform dalam bidang mental psikologis tidak akan tercapai128

Larangan absentee lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian. Dalam Pasal 3 peraturan ini antara lain ditentukan bahwa bagi pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya diberikan dua pilihan, yaitu: pertama, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan atau kedua kepada pemilik tanah tersebut diwajibkan untuk pindah dalam satu kecamatan dengan tanah tersebut.129 Untuk mencegah usaha-usaha yang bertujuan menghindarkan diri dari ketentuan tersebut di atas dijelaskan “pindah ke kecamatan letak tanah yang bersangkutan” diartikan bahwa mereka benar-benar berumah tangga dan menjalankan kegiatan-kegiatan hidup bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari di tempat yang baru sehingga memungkinkan penggarapan tanah miliknya secara efisien.130

128

Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., hlm. 42. 129

Lihat Pasal 3 UU Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian ganti Kerugian.

130

Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 371.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

demikian belumlah cukup jika seseorang telah mempunyai kartu penduduk di tempat yang baru padahal menurut kenyataannya sehari-hari ia masih tetap berada di tempat tinggalnya yang lain.

Dalam pasal tersebut juga disebutkan bahwa jika pemilik tanah pertanian absentee berpindah tempat atau meninggalkan kediamannya keluar kecamatan tempat

letak tanah itu selama 2 (dua) tahun berturut-turut sedang ia melaporkan kepada pejabat setempat yang berwenang, maka dalam waktu 1 (satu) tahun kemudian setelah berakhirnya jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut maka kepada pemiliknya diwajibkan untuk mengalihkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut atau kembali pindah ke kecamatan tempat letak tanah tersebut.131 Sedangkan pemilik tanah pertanian absentee yang telah pindah tempat atau meninggalkan kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 (dua) tahun berturut-turut maka wajib memindahkan hak atas tanahnnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut atau kembali pindah ke kecamatan tempat letak tanah tersebut.132

131

Lihat Pasal 3a ayat 1 PP Nomor 41 Tahun 1964. 132

Lihat Pasal 3a ayat 2 PP Nomor 41 Tahun 1964.

Selanjutnya pemilik tanah pertanian absentee yang diperoleh dari warisan dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak si

pewaris meninggal diwajibkan untuk memindahkannya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah itu terletak atau dia pindah ke

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

kecamatan letak tanah itu. Dalam hal tertentu dengan alasan yang wajar dapat diperpanjang waktunya oleh Badan Pertanahan Nasional.133

Tetapi sewaktu-waktu seorang pegawai negeri atau yang dipersamakan dengan mereka berhenti dalam menjalankan tugas negara (misalnya: pensiun) dan mempunyai hak milik atas tanah pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya dalam waktu satu (1) tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya tersebut diwajibkan pindah ke kecamatan letak tanah itu atau memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah itu terletak. Dan Apabila kewajiban-kewajiban sebagaimana yang disebutkan di atas tidak dipenuhi maka tanah yang bersangkutan dikuasai oleh pemerintah dan kepada pemilik tanah diberikan ganti kerugian. Untuk selanjutnya tanah tersebut dijadikan sebagai tanah objek landreform yang akan diredistribusikan menurut hukum yang berlaku.

Terhadap larangan absentee ini tidak berlaku bagi pemilik tanah pertanian yang sedang menjalankan tugas negara seperti pegawai negeri, pejabat militer atau yang dipersamakan dengan mereka. Artinya kepada mereka dimungkinkan adanya pemilikan tanah pertanian meskipun tidak bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanah di maksud dengan ketentuan bahwa luas tanah yang dimiliki tersebut tidak boleh melebihi 2/5 dari ketentuan luas maksimum pemilikan tanah pertanian yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan. Adanya ketentuan ini merupakan pengecualian dari larangan pemilikan tanah secara absentee.

133

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

dalam hal-hal tertentu jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria jika ada alasan yang wajar. Pertimbangan tersebut didasarkan kepada perlunya dilaksanakan prinsip bahwa pemilik tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan.134 Dalam usaha dibidang pertanian tidak boleh ada pemerasan tidak boleh terjadi apa yang disebut exploitation de l’homme par l’homme, yaitu penindasan manusia terhadap manusia lain.135 Dalam penjelasan umum UUPA (II.7) antara lain disebutkan dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) adalah suatu asas yang pelaksanaannya masih memerlukan pengaturan lebih lanjut. Dalam peraturan pelaksanaan itu nanti kiranya masih perlu membuka adanya pengecualian (dispensasi).136

134

Lihat Konsiderans PP Nomor 41 Tahun 1964 135

Pasal 11 ayat (1) UUPA, menyebutkan hubungan hukum antara orang termasuk badan hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa serta wewenang yang bersumber dari hubungan hukum itu akan diatur, harus memperhatikan kepentingan orang lain dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas. Selanjutnya pada ayat (2), bahwa perbedaan hukum golongan atau masyarakat bila perlu harus diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap ekonomi lemah.

136

Dalam penjelasan tersebut dicontohkan seorang pegawai negeri yang untuk persediaan hari tuanya mempunyai tanah satu dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin dapat mengusahakannya sendiri, kiranya harus dimungkinkan untuk memiliki tanah tersebut. Selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi hasil dan lain sebagainya. Tetapi setelah ia tidak bekerja lagi sebagai pegawai negeri (misalnya pensiun) tanah itu harus dikerjakannya sendiri secara aktif.

Hubungan-hubungan yang seperti itu harus dilakukan menurut ketentuan yang berlaku sehingga tidak terjadi penindasan terhadap golongan ekonomi lemah. Perjanjian tidak dibenarkan dilakukan oleh pihak-pihak atas syarat-syarat yang ditentukan sendiri tetapi harus ditetapkan oleh pihak yang berwenang jadi tidak dibenarkan adanya exploitation de l’homme par l’homme.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri dinyatakan bahwa pengecualian yang diberikan kepada pegawai negeri sipil tersebut diberlakukan juga kepada:

a. Pensiunan pegawai negeri;

b. Janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri;

c. Karyawan dan pensiunan karyawan yang sebelum berlakunya UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sudah memiliki tanah pertanian secara guntai

d. Janda dari yang disebut pada huruf (c) selama ia tidak menikah lagi dengan seseorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri.137

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga mengatur tentang seorang pegawai negeri dalam waktu 2 tahun menjelang masa pensiun, diperbolehkan membeli tanah pertanian secara guntai (absentee) seluas sampai 2/5 dari batas maksimum penguasaan tanah untuk Daerah Tingkat II yang bersangkutan.138 Dasar pertimbangan dari ketentuan tersebut adalah bahwa dewasa ini umumnya sukar bagi para pensiunan tersebut untuk berpindah ke tempat letak tanah itu meskipun pemilikan tanah itu dimaksudkan untuk jaminan di hari tua setelah pensiun.139

Dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang ini dan juga di masa yang akan datang adanya ketentuan tentang pengecualian ini, kiranya sudah saatnya untuk dipikirkan lagi relevansinya. Sebab bukan saja jumlah pegawai negeri dan keluarganya semakin lama semakin bertambah. Apalagi dengan adanya ketentuan

137

Lihat PP Nomor 4 Tahun 1977 138

Lihat Pasal 6 PP Nomor 4 Tahun 1977 139

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Guntai Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri diartikan juga janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri yang tentunya akan menambah jumlah orang yang dikecualikan dalam memiliki tanah absentee, sementara tanah pertanian dapat dipastikan tidak akan bertambah. Kalau demikian akan bertambah banyak pula jumlah orang yang mempunyai tanah absentee baik yang dilarang maupun yang dibolehkan. Sementara bagi orang-orang yang pada saat ini menggantungkan hidupnya semata-mata dari pertanian (petani) saja kondisi tanah pertaniannya sudah sangat sempit.

Jadi sesuai dengan tujuan landreform di Indonesia maka pemusatan penguasaan tanah oleh sekelompok orang yang dapat merugikan rakyat tidak dibenarkan, hal ini telah diatur dalam penetapan batas maksimum penguasaan tanah pertanian dan kepemilikan tanah absentee. Namun, didalam praktek masih dijumpai berbagai masalah terutama dalam penguasaan tanahnya. Banyak tanah-tanah yang masih tidak jelas kepemilikan dan penggunaanya. Ketidakjelasan tentang penguasaan tanah (present land tenure) dan penggunaan tanah (present land use) mengakibatkan usaha pemerintah untuk melaksanakan pembagian yang adil atas tanah dan hasil yang adil pula tidak berhasil dengan baik.140

140

Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., hlm.168.

Banyak masyarakat yang mempunyai tanah yang cukup luas dan yang tidak mempunyai tanah sama sekali, banyak tanah yang statusnya absentee namun pemilik yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

pemilikan tersebut dilarang atau pemiliknya tidak tahu dengan peraturan yang ada. Hal itu disebabkan karena tanah-tanah tersebut tidak terdaftar di Kantor Pertanahan sehingga dapat dengan mudah terjadi peralihan hak secara terus menerus tanpa melalui instansi yang berwenang. Hal inilah yang dapat menimbulkan kepemilikan tanah yang melebihi batas maksimum.

Disamping itu, yang menimbulkan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee adalah kemudahan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Yang

banyak terjadi dalam praktek adalah adanya sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Tanah-tanah pertanian tersebut letaknya di desa sedangkan mereka yang memiliki tanah absentee umumnya bertempat tinggal di kota. Hal ini dapat terjadi dengan memiliki KTP ganda yang memungkinkan orang menyelundupi ketentuan tentang tanah absentee dan faktor yang lain melalui upaya pemindahan hak yang terkenal dengan cara pemberian kuasa mutlak.141

Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang diberi kewenangan untuk menguasai, menggunakan dan melakukan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek pemberian kuasa sehingga pada hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas

141

Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 21.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

merupakan penyelundupan hukum melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan. Memiliki KTP ganda tidak mudah untuk diketahui karena secara yuridis kalau tanah sudah bersertipikat, maka sertipikat atas nama pemilik semula dan surat kuasa hanya diketahui oleh kedua belah pihak saja.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

BAB III

LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI) DI KABUPATEN DELI SERDANG

Dokumen terkait