• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Variabel Organisasi yang Berkaitan dengan Kualitas Hidup

2.3.1. Kepemimpinan Mutu

a. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memimpin dan menentukan secara benar apa yang harus dikerjakan. Kemampuan kepemimpinan menurut Bass dalam (Vance dan Larson, 2002) adalah: (a). Fokus pada kegiatan, (b). Mempunyai

kepribadian yang bisa ditiru, (c). Seni untuk mempengaruhi, (d). Kemampuan untuk memajukan, (e). Mampu bertindak tepat waktu, (f). Mempunyai karakter untuk mempengaruhi, (g). Mempunyai kekuatan dalam hubungan antar manusia, (h). Mempunyai instrumen untuk mencapai sasaran, (i). Kemampuan berinteraksi dengan peran yang berbeda. Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi. Menurut John dan Bertram dalam (Nisrul, 2004). Pemimpin memiliki kekuasaan yang bersumber dari: a). Kekuasaan imbalan: Persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumber daya untuk memberikan penghargaan jika mengikuti arahannya, atau kepatuhan bawahan terhadap atasan, b). Kekuasaan paksaan: Persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumber daya memberikan hukuman bagi bawahan jika tidak mengikuti arahannya, c). Kekuatan legitimasi: Memiliki pengaruh berdasarkan otoritas yang dimilikinya terhadap pihak yang berkedudukan lebih rendah, d). Kekuasaan panutan: Memiliki pengaruh karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau kharismanya, e). Kekuasaan ahli: Memiliki pengaruh karena kompetensi dan keahlian teknis, administratif atau yang lain dalam bidangnya.

b. Perkembangan Teori Kepemimpinan

Perkembangan Teori Kepemimpinan menurut Bolden, dkk, (2003) seperti ditunjukkan tabel di bawah ini:

Tabel 2.2. Perkembangan Teori Kepemimpinan

Great Man Theories

Dasar kepemimpinan adalah adanya kepercayaan bahwa seseorang telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sifat pemimpin dibawa sejak lahir (dilahirkan untuk memimpin)

Trait Theories Teori ini menjelaskan bahwa pemimpin mempunyai sejumlah daftar karakteristik kepemimpinan yang harus dimiliki seorang pemimpin

Behaviourist Theories

Teori perilaku muncul karena ada anggapan bahwa tidak selamanya pemimpin bisa berhasil walaupun dia memiliki ciri-ciri yang ideal, oleh karena itu teori ini berpusat kepada tindakan-tindakan yang dilakukan pemimpin tanpa memperhatikan karakteristiknya

Situational Leadership

Pembawaan yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah berbeda-beda, tergantung dari situasi yang sedang dihadapi, dalam situasi tertentu dia bersifat otokratis tetapi situasi yang lain dia bersifat partisipasi

Contingency Theory

Teori ini perbaikan dari teori situasional yang berpusat kepada sudut pandang identifikasi situasi dan meramalkan gaya kepemimpinan yang paling sesuai dan efektif

Transactional Theory

Pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya dalam mencapai tujuan

Transformation al

Theory

Memotivasi bawahannya melakukan tanggung jawabnya melalui kemampuan mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi

Sumber: Dikutip dari Lyn (2004)

Berdasarkan Tabel 2.2 di atas bisa diterangkan sebagai berikut:

a) Teori Great Man: Teori Great Man adalah teori kepemimpinan kuno pada zaman

Yunani kuno atau zaman Roma, teori ini menyatakan bahwa seorang menjadi pemimpin karena bawaan lahir, namun tidak seluruhnya teori ini dapat diterima pada saat ini karena menjadi pemimpin bisa dicapai melalui pendidikan dan pengalaman (Golding, 2003).

b) Model Teori Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership): Penelitian Siagian (2002), mendapatkan enam kategori faktor pribadi yang membedakan

jawab, 4). Partisipasi, 5). Status dan 6). Situasi, Penelitian pada era tahun 1950 an ini mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi mereka dan lain-lain Bass, Stogdill dalam (Siagian, 2002). Teori ini ditinggalkan karena tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin, k eb er h as i l a n kepemimpinan dan para pengikut. Para peneliti lainnya mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut (Thoha, 2000; Ward King, 2002; Golding, 2003; Henckle, 2004).

c) Model Behaviourist Theorist: Teori kepribadian perilaku yang mengeksplorasi pemikiran bagaimana perilaku seseorang dapat menentukan keefektifan kepemimpinan seseorang dan tindakan yang dilakukan pemimpin. Penelitian di Michigan mengidentifikasikan dua gaya kepemimpinan yang berbeda, disebut sebagai job-centered yang berorientasi pada pekerjaan dan employed-centered yang berorientasi pada karyawan (Rivai, 2003).

d) Model Kepemimpinan Situasional: Model ini melihat bahwa menjadi pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi, tidak ada seorang pemimpin yang efektif menggunakan satu gaya kepemimpinan dalam berbagai situasi yang berbeda, Bolden, dkk, (2003), selanjutnya

menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin,

yaitu: 1). Sifat struktural organisasi, 2). Iklim atau lingkungan organisasi, 3). Karakteristik tugas atau peran dan 4). Karakteristik bawahan. Namun

demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang lebih efektif dalam situasi tertentu.

e) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model): Model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektivitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya, atau kesesuaian antara karakteristik watak pribadi dan tingkah laku pemimpin dengan variabel-variabel situasional ( Bolden, dkk, 2 0 0 3 ) , menurut Fiedler d a l a m ( Golding, 2003) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi, faktor tersebut adalah: 1). Hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member

relations): Sampai sejauhmana pemimpin itu dipercaya, disukai dan mengikuti

petunjuk, 2). Struktur tugas (the task structure): Sejauhmana tugas-tugas sudah didefinisikan dan sudah dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku, 3). Kekuatan posisi (position power) yang dicapai lewat otorita formal: Sampai sejauhmana pemimpin menanamkan rasa memiliki dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing.

pada hakikatnya menekankan kewajiban melalui reward dan punishment untuk mencapai tujuan organisasi, memotivasi bawahan melakukan tanggung jawab dengan mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Model Transaksional menjelaskan hubungan atasan bawahan melalui proses transaksi dan pertukaran (exchanges process) yang bersifat ekonomis. Burns dalam Golding (2003). Sedangkan menurut Rivai (2003), mengatakan bahwa pemimpin yang transaksional yaitu pemimpin yang memandu atau memotivasi, pengikut mereka dalam arah dan tujuan yang ditegaskan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas.

g) Model Kepemimpinan Transformasional: Penggagas model ini adalah Burns pada tahun 1978, masih relatif baru namun sudah dipakai secara luas dalam berbagai bidang baik bisnis, kesehatan, pendidikan, psycholog. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik kepemimpinan, karena pemimpin memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan memiliki karisma (Bolden, dkk, 2003). Kepemimpinan transformasional mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, juga menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep model kepemimpinan terdahulu.

teori kepemimpinan selain pendekatan secara kontingensi dapat pula didekati dari teori path-goal yang mempergunakan kerangka motivasi. Usaha pengembangan teori path-goal ini sebenarnya telah dimulai oleh Georgepoulos dari Institut Penelitian Sosial Universitas Michigan, kemudian teori ini dikembangkan oleh Robert J. House, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif. Teorinya disebut sebagai jalur-tujuan karena memfokuskan pada bagaimana pemimpin mempengaruhi persepsi bawahannya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri dan jalan untuk mencapai tujuan, maka teori path-goal memasukkan 4 (empat) tipe atau gaya kepemimpinan sebagai berikut: 1) Kepemimpinan Direktif, tipe ini sama dengan model kepemimpinan yang

otokratis karena dalam model ini tidak ada partisipasi dari bawahan, 2) Kepemimpinan yang mendukung (Supportive), mempunyai kesediaan untuk

menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap para bawahannya, 3). Kepemimpinan

Partisipatif, pemimpin berusaha meminta dan mempergunakan saran-saran dari

bawahannya, namun untuk mengambil keputusan masih berada padanya, 4). Kepemimpinan berorientasi pada prestasi, pemimpin menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk berpartisipasi (Thoha, 2000). i) Tipe Laissez Faire: Ciri khas seorang pemimpin yang Laissez Faire adalah

cenderung memilih peran yang pasif dan membiarkan organisasi berjalan menurut temponya sendiri, bersikap permisif dengan prinsip setiap anggota organisasi

boleh bertindak sesuai dengan hati nuraninya untuk mencapai tujuan organisasi, sebab setiap manusia pada prinsipnya memiliki rasa solidaritas, mempunyai kesetiaan, taat pada norma, bertanggung jawab (Golding, 2003; Jansenn, 2004; Henckle, 2004).

c. Kepemimpinan Mutu

Kepemimpinan mutu adalah perilaku pimpinan menjalankan mutu dalam organisasinya. Perilaku pemimpin membangun komitmen dalam organisasinya terlihat dari gaya kepemimpinan yang diterapkannya. Perilaku pemimpin transformasional membangkitkan motivasi kerja dan kepuasan kerja bawahannya melalui proses hubungan antara atasan dan bawahan yang didasari nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi mengenai visi dan misi organisasi dilandasi oleh pertimbangan pemberdayaan potensi manusia (Henckle, 2004; Golding, 2003; Janssen, 2004).

Pemimpin tranformasional juga diyakini mampu membangun komitmen organisasional karyawan melalui upaya-upaya untuk memberdayakan dan mentransformasi para bawahannya, sedangkan kepemimpinan transaksional adalah proses hubungan atasan dan bawahan melalui proses transaksi dan pertukaran (exchanges process) yang bersifat ekonomis berdasarkan pertimbangan ekonomi (Podsakoff, dkk dalam Pareke, 2004).

d. Total Quality Management (TQM)/Manajemen Mutu Terpadu

TQM (Total Quality Management) adalah strategi manajemen yang ditujukan untuk menanamkan kesadaran kualitas pada semua proses dalam organisasi.

berdasarkan partisipasi semua anggotanya dan bertujuan untuk mendapatkan kesuksesan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan serta memberi keuntungan untuk semua anggota dalam organisasi serta masyarakat (Choy, 2002).

TQM telah memperoleh ketenaran sebagai sebuah metoda yang merubah operasional organisasi menjadi lebih efisien dan efektif, TQM merupakan paradigma baru dalam menjalankan bisnis yang berupaya memaksimumkan daya saing organisasi melalui: fokus pada kepuasan konsumen, keterlibatan seluruh karyawan, dan perbaikan secara berkesinambungan atas kualitas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan organisasi, implementasi TQM juga berdampak positif terhadap biaya produksi dan terhadap pendapatan (Gaspersz, 2005). Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari penerapan prinsip TQM sudah lama dikenal dan dimanfaatkan dalam pengoperasian pabrik, saat ini sudah meluas ke organisasi pelayanan kesehatan, hasilnya diyakini menunjukkan peningkatan dan perbaikan sikap kerja (kepuasan kerja, komitmen organisasi, iklim kerja, dan adanya daya saing) (Choy, 2002).

Penerapan TQM di rumah sakit mampu membuat rumah sakit bertahan dalam era persaingan dan bisa mengangkatnya menjadi kelas dunia (Besterfield dalam Purwaningrum, dan Kuncoro, 2007). Penerapan TQM di organisasi kesehatan di Amerika sudah sangat luas, tahun 1994 hampir 60 persen dari organisasi pelayanan kesehatan sudah menerapkan TQM dalam perencanaan programnya, malah beberapa organisasi sudah merasakan sebagai suatu kebutuhan, (Donald Berwick (Bapak TQM) dalam Somer, dkk, 1994).

Filosofi TQM sudah digunakan secara luas untuk menambah kunjungan pasien, melalui konsep peningkatan kepedulian terhadap pelayanan yang diberikan kepada pasien, termasuk meningkatkan pelayanan di ICU (Lindberg, 2005).

Penelitian Gavriel, dkk (2007), menemukan bahwa semakin besar diberikan wewenang kepada direktur untuk mengelola rumah sakit (semakin terdesentralisasi) maka semakin mudah menerapkan prinsip TQM dalam pelayanannya. Penerapan TQM bisa juga digunakan untuk memperbaiki mutu terapi, diagnostik dan indikator penampilan rumah sakit, bahkan mampu merubah kultur kebiasaan pekerja kesehatan yang kurang baik menjadi lebih baik (Rad, 2006), unsur utama mendukung TQM adalah kepemimpinan (Ketut, 2008).

Kualitas menurut Juran (1989), adalah ‘kesesuaian untuk digunakan’, hal ini berarti produk yang memenuhi harapan konsumen dan bebas dari defisiensi. Sedangkan Deming dalam Peterson (2004), berpendapat kualitas adalah: mempertemukan kebutuhan dan harapan konsumen secara berkelanjutan atas harga yang telah mereka bayarkan. Pengertian kualitas lebih luas dalam delapan dimensi menurut Philip (2000), adalah sebagai berikut: (1). Kinerja (performance): karakteristik operasi suatu produk utama, (2). Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (feature), (3). Kehandalan (reliability): probabilitas suatu produk tidak berfungsi atau gagal, (4). Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), (5). Daya tahan (durability), (6). Kemampuan melayani (serviceability), (7). Estetika (estethic): bagaimana suatu produk dipandang dirasakan dan didengarkan, dan (8). Ketepatan kualitas yang dipersepsikan (perceived quality).

Dokumen terkait