• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Kepemimpinan Islam

1. Pengertian Kepemimpinan Islam

Kepemimpinan di dalam Islam adalah suatu hal yang inheren, serta

merupakan salah satu subsistem Islam yang mencakup pengaturan seluruh aspek

kehidupan secara prinsipal. Islam mengatur niat, amal, tujuan sekaligus sumber

kehidupan, otak manusia, kemudian mengatur proses hidup, perilaku dan tujuan

hidup. Dalam Islam seorang pemimpin dan yang dipimpin harus mempunyai

keberanian untuk menegakkan kebenaran yang dilakasanakan melalui prinsip

kepemimpinan, yaitu melaksanakan kewajiban kepemimpinan dengan penuh rasa

tanggung jawab seorang pemimpin dan melaksanakan hak berpartisipasi bagi

yang dipimpin (Feisal, 1995 dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI

2007).

Menurut Shihab dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI (2007)

menjelaskan bahwa Islam menyebutkan kepemimpinan dengan beberapa istilah

nama, diantaranya imamah (imam), imarah (pengatur), dan wilayah (wali), yang

Menurut Celik (2002) kepemimpinan dalam Islam didasarkan pada

kepercayaan dan menekankan ketulusan, integritas dan kasih sayang. Hal ini dianggap sebagai kontrak psikologis antara pemimpin dan pengikutnya menjamin bahwa ia akan mencobanya terbaik untuk membimbing mereka, untuk melindungi mereka, dan memperlakukan mereka dengan adil. Kepemimpinan dalam Islam berakar dalam keyakinan dan patuh kepada Sang Pencipta (Allah SWT). Ini berpusat pada melayani Sang Pencipta. Ini berarti bahwa seorang pemimpin muslim bertindak sesuai dengan perintah dari Sang Pencipta dan Rasul-Nya , dan harus mengembangkan karakter moral Islam.

Kepemimpinan dalam Islam erat kaitannya dengan model kepemimpinan

yang diterapkan oleh Rasulullah. Rasulullah Muhammad SAW (shallallâhu

'alaihi wa sallam) memberi teladan melalui kepemimpinan dengan contoh, selalu selangkah di depan untuk diikuti yang lain beliau melakukannya tanpa

menunjukkan arogansi, tetapi menunjukkan keberanian tetap rendah hati. Dalam

prosesnya Nabi Muhammad SAW, dipandang sebagai manusia yang memilki

integritas tinggi, bersemangat menuntaskan misi dan penuh kasih dalam

membantu pengikutnya menuju jalan yang benar (Noor, 2011).

Kepemimpinan dalam Islam merupakan hal pokok bagi kepribadian islami

dan sudah banyak diberi contoh oleh Nabi Muhammad SAW (shallallâhu 'alaihi

wa sallam), yang telah menjadikan dirinya sebagai Da‟iyah (seseorang yang melakukan dakwah) untuk menjadi seorang pemimpin, baik secara de jure

maupun de facto, dalam membimbing orang lain menuju jalan yang lurus

(Ihdinasshiratal mustaqim) (Noor, 2011).

Suatu kepemimpinan dalam Islam, haruslah mempunyai kekuatan iman

atau keyakinan untuk mencapai tujuan, keuletan, dan ketabahan untuk dapat

berpegang teguh pada ajaran agama mereka dan memahami tugas dan

tanggungjawab yang diamananahkan kepada mereka (Fathi, 2009).

2. Rasulullah Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW (shallallâhu 'alaihi wa sallam) adalah manusia

fenomenal dalam sepanjang sejarah kehidupan dan peradaban manusia. Ia adalah

manusia biasa, namun memiliki keistimewaan-keistimewaan yang langsung

diberikan Allah kepadanya (Gulen, 2002).

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi ia adalah utusan (rasul) Allah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS Al-ahzab [33]: 40).

Nabi Muhammad lahir 12 Rabi‟ul Awwal tahun 570 M, putra Abdullah, saudagar miskin dari keluarga terhormat dalam suku Quraisy yang berkuasa. Nabi

Muhammad menjadi yatim piatu ketika berumur 6 tahun, kemudian dibesarkan

oleh kakeknya, Abdul Muthalib, lalu pamannya, Abu Thalib. Pada umur 24 tahun

beliau berkerja untuk seorang janda kaya, Khadijah dan kemudian mereka

menikah. Mereka dikaruniai 6 orang anak, tetapi dua putra mereka meninggal

ketika kecil. Menerima wahyu pertama kali di Gua Hira, melalui perantara

malaikat jibril. Allah mengutus Rasulullah untuk membimbing manusia menuju

kebenaran dan membersihkan mereka dari dosa-dosa. Orang-orang yang

dicerahkan oleh Rasulullah menemukan jalan menuju Kehadiran Ilahi dan

Rasulullah dikenal sebagai orang yang benar dan jujur bahkan sebelum

Islam datang. Penduduk Mekkah, bahkan kaum kafir sekalipun, menyebutnya

Al-amin (yang dapat dipercaya) (Gulen, 2002). Beliau dalam semua sisi kehidupannya adalah teladan yang agung dan utama bagi manusia sebab

kesempurnaan dalam segala sesuatu. Inilah sisi yang akan kita paparkan dalam

pasal ini untuk menjelaskan pada kita bahwa tidak ada kesempurnaan bagi

manusia seperti apapun hebatnya dalam segala keadaan kecuali dengan mengikuti

contoh Rasullah. Ini adalah bukti bahawa ia adalah utusan-Nya (Hawwa, 2007).

Menurut Hawwa (2007), Setiap Rasul Allah wajib memiliki empat sifat

asasi berikut ini, sehingga pantas untuk mengemban Risalah Ilahi:

a. Ash-Shidqul Muthlaq atau kejujuran secara mutlak yang tidak rusak dalam

segala kondisi. Sekiranya setiap perkataannya diuji, pastilah sesuai dengan

kenyataan, baik ketika ia berjanji, serius, bercanda, memberi kabar, maupun

ketika bernubuat.

b. Al-Iltizamul Kamil atau komitmen dan sifat amanah yang sempurna dengan

apa yang ia serukan, sebagai wakil Allah. Tugas sebagai Rasul adalah

menyampaikan kepada manusia risalah yang dibebankan oleh Allah kepada

mereka

c. At-Tablighul Kamil atau penyampaian kandungan risalah secara sempurna dan

kontinu, disertai rasa tidak peduli pada kebencian, siksaan, kejahatan, tipu

daya, konspirasi, atau sikap kasar manusia yang menghadapi dakwahnya. Juga,

istiqamah dalam mengerjakan perintah Allah dan tidak menyeleweng dari-Nya.

d. Al-Aqlul Azhim atau intelegensi yang cemerlang. Manusia tidak tunduk dan

mengikuti orang lain kecuali jika orang tersebut lebih cerdas darinya, agar

mereka merasa tenang bahwa ia tidak membawa mereka pada jalan yang salah.

Tanpa intelegensia yang cemerlang, pengemban risalah juga tidak akan

mampu meyakinkan orang lain akan kebenaran yang ia bawa. Oleh karena itu,

seorang rasul seharusnya adalah seorang yang paling cerdik, paling cerdas,

paling bijak, dan paling sempurna pengetahuannya dibandingkan manusia lain,

sehingga keberadaan dirinya sendiri bisa menjadi bukti kebenaran risalah yang

ia sampaikan.

Menurut Alwi (2009) Nabi Muhammad SAW selalu tersenyum dan ketika

menyendiri beliau selalu bertafakur. Lebih sering melihat kebawah. Tidak pernah

memotong pembicaraan lawan bicaranya dan memperlakukan orang lain sebagai

yang paling mulia dalam padangannya. Dalam kehidupan ditengah kaumnya, Nabi

Muhammad SAW selalu baik hati, riang, dan sopan terhadap semua orang. Rasul

selalu lebih dahulu memberikan salam. Rasulullah tidak suka menjadi pemimpin

yang pasif, tidak mau hanya tinggal duduk saja lalu orang melayaninya. Bagi

beliau kehadirannya untuk melayani, bukan untuk dilayani.

Menurut Al-Aqqad dalam Alwi (2009), sejarah hidup nabi itu sendiri

terdapat suri teladan yang baik. Makna uswatun hasanah ini tidak terbatas dalam

beberapa segi, melainkan dalam segala kehidupan Rasulullah. Seorang pemimpin

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah (Muhammad) itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS Al-Ahzab[33] :21). 3. Gaya Kepemimpinan Islam (Rasulullah Muhammad SAW)

Islam merupakan agama dan sistem kehidupan yang menghubungkan

antara individu yang menghubungkan antara individu dengan berbagai dimensi

kehidupan ini. Pemimpin dalam Islam tidak sekedar mengarahkan, membawahi,

memerintah. Tapi beliau lebih kepada teladan dan tanggung jawab. Hanya mereka

mempunyai intuisi pemimpin yang bisa melakukannya. Siapa pun yang ingin

sukses menjadi pemimpin, maka sebaiknya ia banyak belajar dari gaya leadership

Rasulullah. Bagi beliau, pemimpin itu tidak saja mendireksi, membawahi,

meluruskan tapi lebih dari itu adalah amanah besar, baik kepada manusia maupun

kepada Allah. Power kepemimpinan beliau leadership yang dibimbing oleh

wahyu dan bersinergi dengan kepekaan dan kecerdasan telah melahirkan

keputusan-keputusan yang terarah, terukur dan tepat sasaran (Fathi, 2009).

Nabi Muhammad SAW, menerapkan tiga gaya kepemimpinan Islam:

Syura (permusyawaratan), „Adl bil qisth (keadilan, disertai kesetaraan), dan Hurriyyah al-kalam (kebebasan berekspresi) (Noor, 2011). Berikut penjelasan dari setiapnya:

a. Syura (permusyawaratan)

Syura merupakan model dasar pengambilan keputusan, dan dalam melakukan hal ini Al-quran menyerukan kepada para pemimpin muslim agar

bermusyawarah dengan mereka yang berpengaruh atau yang lebih memiliki

pengetahuan dan lebih paham tentang persoalan yang sedang dihadapi Syura

dan pengikut mengenai berbagai persoalan penting terutama jika masalahnya

bersifat kritis dan membutuhkan solusi bijak (Noor, 2011).

Gaya kepemimpinan ini tampak jelas dari perintah Al-quran dalam sebuah

surah membahas perintah ini. Nabi Muhammad SAW sendiri diperintah dalam

Al-quran untuk bermusyawarah dengan shahabah (sahabat) beliau mengenai

urusan kenegaraan dan dalam pelaksanaan berbagai urusan umat pada

umumnya. Dalam hal ini, beliau menunjukkan keterbukaan dan keagungan

dalam berurusan dengan berbagai umat dan keyakinan dibawah yuridikasi

beliau. Perlu kiranya disampaikan bahwa Allah SWT (Subhanahu wata'ala)

mewajibkan syura kepada semua hamba-Nya karena Dia telah menyejajarkan

dengan kewajiban beribadah melalui shalat, zakat, dan amal shaleh (Noor,

2011).

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputusakan) dengan musyawarah

antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian rezki yang kami berikan kepada mereka” (QS As-Syura [42]: 38).

Menurut Asy-syawi dalam Mohammad (2008), Syura bukanlah demokrasi, amal ma‟ruf nahu munkar pertama kali harus diterapkan dengan tujuan mencegah kemungkaran yang timbul dari perbuatan penguasa atau dari mereka

yang berkerja untuk kepentingannya. Sebagai pedoman, syura menjadi

kewajiban jika seorang pemimpin memahami ruang lingkup operasi syura

1) Semua fungsi administratif dan eksekutif harus menjadi hak prerogatif

pemimpin dalam pengambilan keputusan. Pemimpin yang bertanggung

jawab akan memastikan bahwa ia telah memberikan pertimbangan bijak

atas semua faktor yang relavan sebelum mengambil keputusan.

2) Masalah-masalah penting yang membutuhkan keputusan mendesak harus

dipikirkan oleh pemimpin, tetapi disajikan kepada tim untuk

dipertimbangkan dalam pertemuan tatap muka langsung atau melalui

teleconference dan video conference, seperti pada zaman sekarang. Hasilnya harusalah berbentuk keputusan atau solusi yang disepakati.

3) Semua halaqah atau anggota tim harus bebas menyetujui, menolak, atau

mengubah usulan pemimpin tanpa merasa terkekang, selama niatnya adalah

untuk memberi manfaat. Ketidakcocokan atau perbedaan apapun tidak

boleh ditumpahkan atau dibawa ke luar ruang rapat.

4) Berbagai kebijakan, keputusan sinergis, dan rencana jangka panjang harus

dirumuskan melalui musyawarah, yang akan memperkuat integritas

pemimpin di mata para pengikutnya.

Tanpa adanya keimanan bahwa syura merupakan mekanisme baru (inovatif)

yang menjauhkan manusia dari perilaku hewani, maka bentuk perdamaian atau

seruan apaun akan sia-sia saja, kita harus meyakini bahwa syura bukanlah

kekayaan ide yang bersifat temporal dalam kehidupan orang mukmin, tetapi ia

adalah way of life yang dibuat untuk dirinya, dan ia akan berupaya untuk

merealisasikannya baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang lain

Menurut Qumaihah (1990) bahwa musyawarah merupakan pertemuan antara

pemimpin dan bawahan, menurut tema permasalahan, dapat dibagi pada dua

macam:

1). Musyawarah khusus, yaitu musyawarah yang berkenaan dengan

masalah-masalah pribadi. Sebagai contoh, ketika Nabi meminta pedapat sebagian

sahabat tentang masalah Aisyah setelah tersebarnya berita bohong.

2). Musyawarah umum, yaitu musyawarah tentang permasalahan umat atau

orang banyak.

Musyawarah merupakan prinsip dasar dalam kehidupan kaum muslimin yang

harus diterapkan dalam perilaku mereka, dalam berbagai kegiatan kolektif dan

administratif organisasi. Islam mengharuskan pemimpin tersebut mengambil

keputusan sesuai dengan hasil musyawarah para anggota (Fathi, 2009).

Menurut Qumaihah (1990) dalam bermusyawarah akan terjadi tukar menukar

pemikiran. Pemikiran orang banyak tentu akan lebih baik dengan pemikiran

seorang. Paling berbahaya kalau suatu masalah hanya diserahkan kepada satu

orang saja.

Menurut Fathi (2009), Kepemimpinan dalam Islam bukanlah pemberian

kekuasaan yang memungkinkan seorang pemimpin mengembil keputusan

sorang diri dalam berbagai ketetapan dan tidak menyerahkannya kepada para

bawahannya atau orang-orang kepercayaannya yang ahli dalam bidang

masing-masing, akan tetapi Islam telah mengharuskan kaum muslimin untuk

bermusyawarah. tujuan dari nilai musyawarah merupakan kekuatan bagi umat

pemikiran dalam kerja kolektif dan saling memahami, serta memperkuat

hubungan persaudaraan.

Menurut Asy-syawi (1997) tujuan syura itu sendiri yakni melahirkan

ketetapan jamaah, agar mencegah pemimpin jangan sampai mengeluarkan

ketetapan-ketetapan penting untuk jamaah secara sendirian. Melindungi

kebebasan berjamaah dalam haknya menentukan nasib dan memelihara

wewenangnya dalam mengatur urusan-urusannya, baik dikerjakan sendiri

maupun dengan perantara orang-orang-orang yag dipilih untuk itu, serta

memelihara haknya dalam membatasi wewenang para pemimpin dengan apa

yang lazim untuk mencegah kesewenang-wenangan mereka. Musyawarah

merupakan watak substanasial kehidupan Islam dan berbagai indikator

istimewa yang dipilih sebagai teladan bagi umat lain. Musyawarah merupakan

sifat yang harus dimiliki dari sekian sifat keteladanan (Quthb, 2008).

b. „Adl Bil Qisth (keadilan, disertai kesetaraan)

„Adl merupakan tonggak kedua kepemimpinan Islam. Pemimpin muslim harus berurusan dengan berbagai macam orang, tetapi terutama dengan umatnya,

dengan rasa keadilan dan keterbukaan tak peduli apa suku, keyakinan,

kebangsaaan, atau keimanannya. Al-quran memerintahkan kepada kaum

muslim agar bersikap adil dan tidak pandang bulu, bahkan kepada mereka

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri

atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa itu) kaya ataupun

miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatanya. Maka janganlah kamu

mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Jika kamu

memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan, menjadi saksi, maka sesungguhnya

Allah adalah Maha teliti segala apa yang kamu kerjakan” (QS An-Nisa’ [4]: 135).

Keadilan bermakna meletakkan sesuatu pada tempatnya, atau meletakkan

sesuatu pada tempat yang tepat, atau menempatkanya dalam perspektif yang

benar. Keadilan juga berarti melakukan sesuatu tanpa melebihi batas seberapa

besar maupun kecilnya. Dalam konteks Islam, hal ini pada puncaknya

mengimplikasikan bahwa Allah SWT, melakukan segala sesuatunya dengan

benar. Nabi Muhammad SAW, dikenal sebagai pemimpin dan hakim yang tak

pernah diragukan lagi. Beliau bertindak penengah pihak-pihak yang bertikai

sehingga hukum dan aturan bisa ditegakkan. Dalam penerapan kesetaraan,

Nabi Muhammad SAW, selalu memberikan hak dan kesempatan yang sama

kepada semua warga tanpa memandang ras, keyakinan, atau asal-usul (Noor,

2011).

Menurut Al Badri (2001), Suatu keadilan yang menjamin hak-hak keadilan

manusia sebagai mahluk yang mulia, mewujudkan kesejahteraan dan

ketenangan jiwa yang lengang dan hakiki, serta kabahagiaan hidup dan

terpelihara urusan mereka. Menurut Muthahhari (2009) mengatakan bahwa

keadilan merupakan persamaan dan penafian terhadap deskriminasi dalam

melakukan perbedaan dan pengutamaan. Seorang pemimpin tidak

diperkenankan untuk membela dan fanatik terhadap seseorang tertentu dan

membenci yang lain: ia harus mempunyai hubungan yang sama atau sederajat

dengan semua orang, yaitu hubungan yang dilandasi dengan objektifitas dan

keadilan (Fathi, 2009).

Keadilan berarti kesamaan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, tapi

juga kesamaan dalam hak-hak dan kesempatan, serta kesamaan dalam

dasar-dasar bagi penghormatan diri (Rasuanto, 2005). Menurut Muthahhari (2009),

pemeliharaan hak-hak individu dan pemberian hak kepada setiap objek yang

layak menerimanya. Menurut Koehn (2000), keadilan dipikirkan sebagai

mempertahankan atau memulihkan keseimbangan atau proporsional.

Orang-orang mempunyai hak dalam hubungan satu sama lain untuk kedudukan

tertentu yang relatif sama.

c. Hurriyyah Al-kalam (kebebasan berekspresi)

Kebebasan berekspresi merupakan hak yang diberikan kepada siapa saja untuk

menyuarakan kepedulian, persetujuan, atau saran atas suatu persoalan yang

memengaruhi kesejahteraan dirinya atau komunitasnya. Nabi Muhammad

SAW, cakap dalam hal menangani berbagai masalah yang dibawa ke hadapan

beliau. Bahkan sesi halaqah, Nabi mendengarkan pandangan orang lain

dengan sungguh-sungguh, dengan tubuh dicondongkan ke arah orang itu,

sebelum berkomentar, memberi nasihat, dan mengambil keputusan (Noor,

2011).

Kebebasan berekspresi amat erat kaitannya dengan praktik syura, yang

memungkinkan adanya padangan yang setuju dan menentang. Begitulah

dalam perbedaan pendapat („adab al-ikhtilaf) sehingga bisa memunculkan solusi terbaik, memberi gambaran kepada pemimpin tentang bagaimana cara

menangani perselisihan semacam itu. Di dalamnya terkandung hak asasi

individu, sepanjang hak tersebut tidak melanggar hak orang lain (Noor, 2011).

Kebebasan manusia dalam mengekspresikan pendapatnya tidak diukur dengan

ukuran bahwa pendapatnya itu dapat menunjukkannya pada kebenaran, akan

tetapi dikukr dengan adanya kebebasan orang lain dalam mengekspresikan

pendapatnya. Karena asas kehidupan Islam adalah kebebasan dan kebolehan,

maka manusia dapat mengeskpresikan pendapatnya. Inilah yang kami katakan

sebagai kebebasan mengekspresikan pendapat yang merupakan satu-satunya

jalan kehidupan yang mampu mengungkap konflik-konflik intern dan

pengaruh interaksi timbal balik internal maupun eksternal (Syahrur, 2003).

Kebebasan berekspresi bisa menjadi pendorong hal yang positif atau

katakanlah bisa dijadikan ukuran bagi kemajuan kelompok. Kalau kelompok

ingin maju atau ingin cepat maju, maka kebebasan berekspresi harus dibuka

lebih lebar. Kebebasan itu bukan hanya dalam bentuk jaminan-jaminan

hukum terhadap kebebasan berekspresi itu sendiri, tapi institusi yang mereka

miliki untuk mendukung kebebasan itu (Basyaib, 2006). Menurut Syahrur

(2003) kebebasan berekspresi merupakan kehendak sadar manusia untuk

memilih antara menafikan dan menetaokan sebuah eksistensi dalam kehidupan, kebebasan seseorang harus diwujudkan berupa pilihan antara “ya” dan “tidak”.

Menurut Asifudin (2004), mengaktualisasi diri, mempunyai need for

achievement tinggi, yang layak diasumsikan sebagai sesuatu yang dapat

memainkan peranan penting bagi terbentuknya manusia unggulan berkenaan

kewajiban pemimpin untuk terbuka menerima kritik atau pendapat anggotanya

(Chapra, 2006).

Ketiga gaya kepemimpinan terapan ini berjalan seiring dengan lima ajaran

yang menegaskan aspek-aspek sistem nilai Islam penting, yaitu: Al-akmal

asy-syakhshi atau integritas pribadi, Tawiyah al-shilah atau perbaikan hubungan, Fa‟iliyyah al-qiyadiyyah atau daya kepemimpinan, Makarim al-akhlaq atau perilaku etis, dan Tahzib al-akhlaq atau peningkatan moral melalui pengetahuan

spiritual (Noor, 2011). Dengan penjelasannya masing-masing sebagai berikut:

1) Al-akmal asy-syakhshi (integritas pribadi)

Integritas (akhlaq) merupakan tonggak yang memproyeksikan sisi spiritual

kepemimpinan. Integritas merupakan sebuah prinsip berbasis nilai diletakkan

pada karakter dan keyakinan dan bukannya pada teknik dan teknologi.

Integritas pada dasarnya tercermin pada kemampuan sang pemimpin

memenuhi janji dan menjaga kepercayaan dan Islam menekankan hal ini.

Perjanjian dengan Allah, umat, dan setiap orang yang berinteraksi di dalam

masyarakat manusia plural. Integritas memiliki kekuatan batin besar sebagai

sumbernya. Integritas bergantung pada kemampuan pemimpin dalam

membimbing, mengarahkan, dan memengaruhi orang berdasarkan prinsip

moral dan nilai etis. Sifat seperti itu, yang dilengkapi dengan keshalehan, sifat

bisa dipercaya dan wawasan ke depan, secara bersama-sama membentuk orang

dan cita-cita.

Integritas pribadi merupakan pribadi sebagai suatu keseluruhan yang utuh

tidak terbagi atau juga bukan pribadi yang sebagian saja (Riyanto, 2006).

seseorang yang secara utuh berpegang pada kode etik, norma artistik atau

nilai-nilai tertentu, terutama terhadap nilai kebenaran.

2) Tawiyah al-shilah (perbaikan hubungan)

Nabi Muhammad SAW, membagi waktu sehari menjadi tiga dimensi: satu

dimensi untuk Allah SWT (Subhanahu wata'ala), satu dimensi untuk keluarga,

dan satu dimensi untuk diri sendiri. Waktu untuk diri sendiri dibagi lagi

dengan waktu untuk umat. Namun, ketiga dimensi tersebut dilakukan demi

Allah. Beliau tidak melakukan sesuatu untuk diri sendiri sebelum menimbang

kebutuhan umat. Beliau cenderung memilih orang-orang berguna dan

memberikan perhatian lebih kepada mereka yang unggul dalam Din (agama).

Beliau selalu memerhatikan kesejahteraan mereka. Umat manusia diminta

untuk berinteraksi dan meningkatkan hubungan dalam skala global.

3) Fa‟iliyyah al-qiyadiyyah (daya kepemimpinan)

Daya berarti memberikan hasil yang dikehendaki. Daya mengisyaratkan

adanya kekuatan atau kemampuan menghasilkan efek yang diinginkan. Ketika

mendorong untuk berpindah dari kegelapan hidup menuju cahaya, tidak cukup

bagi seorang pemimpin hanya menyampaikan pidato-pidato penggugah

semangat. Nabi Muhammad SAW tahu bahwa para pengikutnya akan tergerak

oleh perbuatan dan tindakan nyata, bukan hanya kata-kata. Para pemimpin

besar tahu bahwa mereka akan ditiru. Oleh karena itu, memimpin melalui

teladan berarti bagaiamana pemimpin sejati menciptakan visi, aspirasi, dan

nilai-nilai yang tahan lama. Mereka memberikan bukti objektif komitmen

pribadi. Tujuan dari sebuah kepemimpinan itu sendiri usaha untuk mencapai

tujuan dengan menggunakan daya pengaruh, potensi yang ada baik yang

harmonis. Daya yang ada atau timbul dari seseorang yang ikut membentuk

watak dan kepercayaan orang lain atas perbuatan tersebut (Al-banjari, 2008).

4) Makarim al-akhlaq (perilaku etis)

Etika adalah seperangkat prinsip moral dalam kaitannya dengan apa yang

benar dan salah. Etika mencerminkan karakter individu, kelompok negara

bangsa. Etika mencakup: karakter individu dan aturan-aturan sosial yang

mengatur perilaku manusia. Etika mengimplikasikan kepatuhan pada standar

moral. Dalam situasi organisasi modern, etika merujuk pada ketaatan terhadap

aturan profesional. Etika Islam melampaui dunia materi ke dalam wilayah

moral dan spiritual demi mendapatkan ganjaran dari Allah SWT. Etika Islam

merupakan pemahaman akan benar dan salah untuk dipraktikkan, bukan

sebagai pengetahuan semata. Etika merupakan padanan Akhlak dalam Islam.

5) Tahzib al-akhlaq (peningkatan moral)

Kekuatan inspirasi yang mungkin berasal dari wahyu atau pengetahuan tidak

mengenal batas. Sumber Ilahiah peningkatan atau pengangkatan semangat,

yang menghasilkan peningkatan besar dalam hal standar perilaku sosial politik.

Pengetahuan spiritual diiperoleh dari kitabullah dan diterjemahkan dalam

praktik melalui sunnah nabi. Pemimpin maupun pengikut membutuhkan

Dokumen terkait